Share

002 - Hanya Kacung

Yusuf tahu bahwa khotbah ibu mertuanya itu tidak akan ada habisnya dan sama sekali tak beralasan untuk terus didengarkan. Dia hanyalah kacung di keluarga tersebut. Dia meninggalkan istrinya pun karena memang Pak Harmoko sendiri yang menyuruhnya untuk pergi.

  

Akhirnya, Yusuf menemukan Pak Harmoko telah menantikannya, berdiri sendirian di ujung koridor, dengan ekspresi dingin dan serius tergambar di wajahnya.

  

“Apa kamu benar-benar meninggalkan tomat yang sudah kita beli di ladang petani?” tanya Pak Harmoko.

  

“Maafkan aku, Yah. Aku...”

  

“Bukankah sudah kukatakan, serahkan saja soal Rayna padaku?” Harmoko memotongnya dengan dingin. “Apa kau pikir aku terlalu tua untuk mengurus semua omong kosong ini? Aku telah membantu persalinan istriku 3 kali di masa lalu. Tak satu pun dari mereka menemukan masalah. Kau hanya perlu melakukan apa yang aku perintahkan. Tomat sebanyak itu kau telantarkan? Sekarang siapa yang harus menanggung kerugian ini?”

  

“Kalau begitu, biar aku dan Bobby kembali untuk mengambilnya,” balas Yusuf masih menundukkan kepala.

  

“Kembali ke sana dan membawa truk kita? Pikirkan berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk biaya bahan bakar dan juga gaji sopir,” sergah Harmoko.

  

Di sana Yusuf terdiam mendengarkan khotbah dari mertuanya. Setidaknya sedikit berbeda dari ibu mertuanya, sang ayah mertua masih bisa bersikap tenang dan menahan suaranya, tak asal membentaknya di keramaian.

  

Kedua orang mertuanya itu bagaikan dua buku antitesis yang saling bertolak belakang baginya. Yang satu melarangnya pergi, yang satu lagi menyuruhnya untuk pergi. Terlalu sering dia ditempatkan di posisi sulit, bagai memakan buah simalakama.

  

“Tapi, Ibu sendiri yang menyuruhku menelantarkan barang-barang itu,” balas Yusuf.

  

“Tak bisakah kau pakai otakmu itu sedikit? Kau itu laki-laki, harus bisa tenang dalam kondisi seperti ini. Dari sana ke sini butuh waktu 2-3 jam. Sebelum kau sampai, semua urusan di sini juga sudah selesai? Apa salahnya kau naikkan saja barang-barang itu dulu,” bantah Ayah mertuanya.

  

“Pikirku juga begitu, Yah. Tapi aku tak berani membalas kata-kata Ibu,” balas Yusuf.

  

“Kau harus mengerti. Ibu mertuamu itu cuma asal memarahimu saja. Meski kau turuti pun, dia tetap akan memarahimu. Kalau tau akan kena marah juga, setidaknya selamatkan dulu barang kita. Jadi laki-laki itu jangan lemah begitu,” jelas Harmoko.

  

Harmoko pun menghela nafas sembari geleng kepala sekali. Karena seingatnya, istrinya sendiri yang mengusulkan agar Yusuf pergi ke ladang petani mengingat sulitnya mereka saat ini berurusan dengan para petani tersebut. Meski semua juga tahu kalau Rayna sedang hamil tua.

  

Sejatinya, Yusuf tak pernah berbuat sesuatu yang memicu dendam dari sang ibu mertua. Hanya saja, dia terlalu hina di mata sang nyonya besar itu. Bu Harmoko selalu memojokkan Yusuf dan sengaja menempatkannya di posisi yang serba salah.

  

Hal itu diperburuk dengan keberadaan David, suaminya Rani yang merupakan seseorang lulusan Magister Manajemen dari keluarga cukup terpandang. Dia adalah pria pilihan dari Bu Harmoko, tidak seperti Yusuf yang hanya seorang anak petani. Keberadaannya menjadikan status Yusuf semakin buruk saja di mata ibu mertuanya itu.

  

Yang membuat ibu mertuanya itu semakin kesal, Yusuf yang hanya anak petani dari kampung ini malah menikahi Rayna yang merupakan putri sulung di keluarga. Setidaknya, Bu Harmoko berharap seorang pria terpandang seperti David inilah yang menikahi putri sulungnya itu.

  

“Ayah, mobilnya sudah siap,” panggil David dari kejauhan.

  

Panggilan itu menghentikan khotbah Harmoko sesaat dan mengalihkan perhatiannya dari Yusuf. Mereka berdua melihat David tersenyum dari jauh di pintu masuk, menunggu Pak Harmoko untuk keluar bersamanya.

  

“Kamu tinggal di sini bersama yang lain. Aku harus pergi menemui Pak Mahzar. Tetap aktifkan HP-mu. Aku mungkin akan meneleponmu nanti,” pesan Pak Hamoko pada Yusuf sebelum dia pergi.

  

Di sana David terus manggut-manggut menundukkan kepalanya seperti seekor anjing manja saat Pak Harmoko berjalan ke arahnya. Sebenarnya, Pak Harmoko tidak pernah menyukai sikap seperti itu darinya. Tapi dia tidak bisa juga menunjukkan ketidaksenangannya. Karena David adalah menantu kesayangan yang dipilih Bu Harmoko sendiri untuk Rani.

  

David melirik sedikit ke arah Yusuf, dengan seringai buruk, sadar kalau Yusuf baru saja kena marah.

  

“Jadi benar mereka menelantarkan barang kita di ladang petani, Yah? Teledor sekali si Yusuf sampai berbuat seperti itu,” ucap David sembari membukakan pintu mobil, mencoba kembali mengungkit-ungkit kesalahan Yusuf.

  

“Sudah, jangan dibahas lagi,” sergah Pak Harmoko nampak tak senang berlarut-larut dengan cerita itu. “Masih ada hal yang lebih penting yang harus kita selesaikan.”

  

Berbeda dengan Yusuf yang menangani sebagian besar bisnis Pak Harmoko di ladang para petani, si menantu emas yang selalu berpenampilan parlente ini selalu berada di zona nyaman keluarga Harmoko. Namun begitu, dia masih saja membenci Yusuf untuk segala kepercayaan yang diberikan Pak Hamoko pada Yusuf.

  

Karena latar belakang Yusuf dari keluarga petani pekerja keras, Pak Harmoko mendapati Yusuf lebih dapat diandalkan daripada David. Namun, semakin Pak Hamoko menaruh kepercayaan pada Yusuf, semakin Bu Harmoko membencinya. Tak jarang juga David memanas-manasi dan menjelek-jelekkan Yusuf di depan kedua mertuanya itu.

  

Untuk beberapa waktu belakangan, Yusuf berpikir untuk berhenti bekerja dengan sang mertua karena permintaan dari sang istri, entah apa alasannya.

  

“Apa dia marah lagi padamu, Sayang?” tanya Rayna pada suaminya.

  

“Tidak juga. Kami baru saja berdiskusi tentang situasi di pasar,” balas Yusuf menimpali.

  

“Jadi, apa kamu sudah memberi tahu Ayah bahwa kamu akan berhenti bekerja padanya?”

  

“Belum!”

  

“Baru-baru ini, cara mereka menjalankan bisnis hampir seperti mafia saja. Aku tidak ingin keluarga kecil kita ikut campur dengan masalahnya,” jelas Rayna.

  

“Kamu harus tahu seberapa besar kepercayaan yang diberikan ayahmu padaku. Aku takut dia akan kecewa, atau mungkin, dia akan membenciku. Kau tahu, kondisi di pasar sedang sulit-sulitnya untuk ayahmu saat ini,” balas Yusuf.

  

Saat ini, Harmoko mendapat saingan berat di pasar dari kelompok Mahzar. Keduanya bisa dikatakan telah menguasai usaha distribusi produk sayuran di provinsi tersebut. Begitu juga dengan beberapa daerah pertanian di kawasan perbatasan provinsi terdekat.

  

Berbeda dengan Harmoko yang memiliki usaha sendiri dengan ditopang kekayaan dari istrinya, kelompok Mahzar terdiri dari beberapa pengusaha yang mencoba menyabot pasokan produk dan kompak menekan harga pada para petani.

  

Harmoko sudah mencoba berbagai usaha untuk melobi Mahzar dan komplotan lainnya, untuk tidak terlalu keras menekan harga. Sayangnya, Harmoko merasa bahwa dia tidak bisa mengandalkan Yusuf untuk ini. Saat itulah David memainkan perannya dalam memenangkan kepercayaan Harmoko, menyombongkan soal kepiawaiannya dalam strategi pasar.

  

Malam itu, Yusuf tak sengaja mendapati David sedang sendirian di dekat kolam renang sembari memegang segelas minuman. Yusuf pun mendatanginya ganti basa-basi dan bertanya soal perkembangan situasi di pasar.

  

“Jadi, bagaimana respon mereka?” tanya Yusuf kepada David.

  

David meliriknya sesaat, dan kemudian terkekeh sambil menggelengkan kepalanya.

  

“Kacung sepertimu tidak akan mengerti hal semacam ini. Kau urus saja para petani kampungan itu. Kau yang kampungan paling mengerti berurusan dengan mereka,” balas David segera pergi, berniat untuk kembali ke rumahnya.

  

Namun kemudian, David berhenti sejenak dan berbalik ke arah Yusuf.

  

“Ngomong-ngomong, sudahkah kau memberi nama pada anakmu? Sekadar saran, lebih baik kau memberinya nama yang keren seperti yang diberikan orang kaya kepada anak mereka. Bukan nama kampungan seperti yang diberikan orang tuamu padamu,” teriaknya dari kejauhan sembari mengangkat gelasnya.

  

David memastikan kata-kata itu cukup keras untuk didengar oleh orang lain yang ada di Rumah Gadang. Yusuf tidak membalas penghinaan itu. Dia tahu dia memiliki posisi yang lemah dalam keluarga karena rendahnya Bu Harmoko melihatnya dibandingkan dengan David.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status