Share

PEMBALASAN MANTU KAMPUNGAN
PEMBALASAN MANTU KAMPUNGAN
Penulis: Rytíř

001 - Keberadaan Yang Tak Penting

Tak bisa dipungkiri, dibandingkan dengan jutaan bintang dan galaksi yang ada di luar sana, keberadaan kita sebagai manusia sangatlah kecil dan insignifikan. Namun kenyataannya, masih banyak manusia yang begitu arogan berlagak menjadi yang paling penting di dunia ini.

Di tepi ladang tomat itu, seorang pria duduk dalam posisi berjongkok, memperhatikan ulat daun yang saat ini menggeliat begitu lambat di salah satu daun tomat. Ulat itu menggeliat, entah karena baru bangun dari tidurnya, atau hanya karena efek pestisida.

  

“Perhatian banget sama ulat. Kaya' ada yang penting saja,” sapa seorang pekerja ladang.

  

“Di mata kita, ulat sekecil ini memang terlihat tak begitu penting,” balas pria itu.

  

Pria itu menjawab begitu datar, sama sekali tak mengalihkan perhatiannya dari ulat daun tersebut. Si pekerja ladang mengerutkan wajahnya. Namun setelah itu dia langsung pergi meninggalkan pria itu dengan kesibukan anehnya itu.

  

Nama pria itu Yusuf, salah satu orang kepercayaan Harmoko - seorang pengusaha raksasa di provinsi itu yang kebetulan adalah mertuanya juga. Yusuf hanya berasal dari keluarga petani. Pada hari dia akan menikah dengan putrinya Harmoko, dia berpikir bahwa hidupnya akan berubah secara drastis.

  

Memang hidupnya berubah drastis. Hanya saja semua berubah dengan cara yang paling buruk. Dia tidak lebih dari seorang kacung, bukanlah menantu yang dihormati dalam keluarga kaya raya tersebut.

  

Sementara Yusuf sibuk memperhatikan ulat daun tersebut, seakan memikirkan nasibnya sendiri, dua orang laki-laki berpakaian rapi dan bersih sedang adu mulut dengan seorang petani di seberang ladang.

  

“Apa kalian gila? Kalian menawar terlalu rendah. Setidaknya, pikirkan uang yang telah aku keluarkan untuk semua tomat-tomat ini,” kata petani itu.

  

“Satu-satunya pilihan Bapak adalah menerima tawaran kami atau tidak. Tak lebih dari itu. Masih ada ladang lain yang bisa kami datangi,” kata salah seorang pria berpakaian rapi tersebut.

  

“Sekilo tiga ribu? Dengan harga serendah itu? Tidak akan ada yang mau menerima tawaran gila seperti itu.”

  

“Baiklah, kalau begitu kami pergi dulu!”

  

“Hei, ayolah! Naikkan harganya sedikit lagi. Jerih payahku tidak akan terbayar sama sekali dengan tawaran kalian ini,” jelas si petani.

  

Namun kedua pria itu berlalu pergi. Salah satu dari mereka menoleh ke arah Yusuf, mengangkat satu tangan dari kejauhan. 

  

“Yusuf! Kita pergi!” teriaknya.

  

Yusuf pun bangkit. Dia tampak sangat tidak puas karena sepertinya mereka harus pergi tanpa bisa membeli tomat petani tersebut.

  

“Jadi bagaimana?” tanyanya.

  

“Dia tidak mau menerima tawaran kita,” jawab salah satu dari mereka.

  

“Tentu saja. Harganya terlalu rendah. Sudahkah kalian coba untuk menaikkannya sedikit lagi?” tanya Yusuf.

  

“Pak Harmoko mengatakan ini adalah harga tertinggi yang bisa kita tawarkan. Lebih dari ini, kita sendiri yang akan kesulitan untuk menjualnya ke pengencer.” jelas rekannya itu.

  

Yusuf semakin tidak bersemangat dengan pilihan tersebut. Untuk sementara, pikirannya sudah begitu disibukkan oleh kekhawatirannya tentang kondisi Rayna, istrinya yang sedang hamil. Jika memungkinkan, dia ingin segera merampungkan segala sesuatunya, sehingga dia bisa kembali ke rumah untuk menemani sang istri tercinta.

  

“Kalian berdua tunggulah di sini!” kata Yusuf sebelum pergi sendiri menemui si petani tomat.

  

Karena tidak sabar, Yusuf pun menawarkan sedikit kenaikan harga dan meminta petani itu untuk merahasiakannya dari dua orang rekannya yang lain. Yusuf menutupi marginnya dengan uang kantongnya sendiri, berharap dia bisa segera pulang secepatnya.

  

“Hanya untuk kali ini. Jangan beritahu temanku. Jangan juga bilang-bilang petani lain kalau aku menawarkan harga tomat segini,” jelas Yusuf sambil menghitung uang yang akan dia berikan kepada petani itu.

  

Petani itu pun hanya manggut-manggut, tak begitu mengerti mengapa Yusuf harus berbuat sejauh itu. Dengan cepat Yusuf menyelesaikan negosiasi, dan orang-orang pun mulai memuat peti-peti tomat ke dalam truk.

  

Hingga tiba-tiba, perhatian Yusuf teralihkan oleh suara dering ponsel di sakunya. Nampaknya sang istri tercinta yang meneleponnya.

  

“Rayna? Bagaimana keadaanmu?” tanya yusuf dengan wajah berseri-seri.

  

Ternyata yang meneleponnya bukanlah Rayna, tapi ibu mertuanya. Yusuf pun langsung kena bentak.

  

[Ke mana kau keluyuran?]

  

“Maaf, Bu. Ayah yang menyuruhku pergi dan sekarang kami sedang memuat barang. Tak lama lagi kami akan..."

  

[Sudah, jangan banyak bacot! Istrimu mau melahirkan, mau kau apakan dia? Lupakan saja barang-barang itu dan segera kembali ke sini?]

  

Raut wajah Yusuf pun menjadi panik dengan begitu serba salah. Sementara itu, bentakan ibu mertuanya tak kunjung berhenti. Seakan tak ada habisnya bak sambaran petir di gulungan Tesla.

  

Tangan Yusuf bergemetaran, segera mengakhiri panggilan itu sembari berlari ke arah kedua rekannya. “Bobby! Nyalakan truknya segera. Kita harus kembali ke kota,” perintah Yusuf.

  

“Hey! Tidak bisakah kau menunggu sedikit lebih lama lagi?” balas rekannya itu.

  

“Aku tidak bisa lama-lama di sini. Istriku sedang dalam perjalanan ke rumah bersalin,” teriak Yusuf bergegas naik ke atas truk.

  

Tanpa pikir panjang, mereka menelantarkan sisa-sisa tomat itu dan membawa sebagian yang sudah dimuat saja. Namun pada akhirnya, Yusuf tetap tidak sempat mendampingi proses persalinan istrinya. Setidaknya, Rayna dan bayinya selamat dengan persalinan normal tanpa masalah apa-apa.

  

Saat Yusuf datang, adik Rayna yang bernama Rani memandangnya dengan tatapan hina dan merendahkan. Begitu juga dengan ibu mertuanya.

  

“Bagaimana bisa dia meninggalkan rumah dalam situasi seperti ini?” kata Rani, adik iparnya, berbisik begitu dekat ke telinga sang ibu mertua.

  

Yusuf hanya melirik sesaat dan menemukan ibu mertuanya juga melirik dengan tatapan julid, tampak begitu tidak senang padanya. Lirikannya melalangbuana dengan tatapan jijik, melihat Yusuf yang berantakan, dengan celana dasar yang masih kotor oleh tanah basah dari ladang tomat dengan sepatu sedikit becek.

  

“Istri hamil main tinggal saja. Mentang-mentang kita semua tinggal bareng dalam keluarga besar. Bukan berarti kau bisa seenaknya saja meninggalkan istri seperti itu.”

  

Ibu mertuanya itu membentak dengan leher yang menegang, di depan keramaian pengunjung rumah bersalin lainnya. Semua pengunjung itu hanya diam, namun tak menyembunyikan reaksi tidak senang mereka.

  

Yusuf hanya menunduk dan mencoba untuk mengabaikan. Dia bergegas masuk untuk menemui istrinya. Ketika dia sudah berada di dalam, dia menemukan Pak Harmoko sedang berdiri di dekat Rayna.

  

Wajah lelaki paruh baya berbaju batik itu tampak begitu penuh perhatian menimang sang cucu. Namun tak lama, ia pun memilih pergi, memberikan kesempatan bagi Yusuf untuk bisa bertemu dengan istri dan anaknya yang baru lahir.

  

Sesaat melewati Yusuf, Pak Harmoko berbisik pelan. “Temui aku dalam 15 menit.”

  

Yusuf melirik sejenak. Dia sedikit penasaran dengan apa yang ingin Pak Harmoko bicarakan.

  

Tidak sampai 10 menit dia menimang anaknya, Yusuf sudah memutuskan untuk meninggalkan kamar itu dengan menyerahkan kembali bayi itu ke pangkuan Rayna. Dia dengan lembut membelai rambut istri tercinta, memberinya senyum hangat sebelum pergi untuk menemui sang ayah mertua.

  

Saat dia sampai di luar, Pak Harmoko tidak lagi terlihat. Yusuf mengalihkan perhatian ke ibu mertuanya, berniat untuk bertanya. Tapi Bu Harmoko segera bangkit, berdiri dengan berlagak pinggang sebelum Yusuf sempat berkata apa-apa.

  

“Nak ke mana lagi kau sekarang?” bentaknya.

  

“Maafkan aku, Bu. Tapi...”

  

“Tapi apa? Belum juga lima menit kau di dalam, sudah mau pergi lagi. Mana rasa tanggung jawabmu sebagai seorang suami?” bentaknya lagi begitu geram.

  

“Maaf, aku harus pergi. Baru saja Ayah menyuruhku untuk menemuinya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status