Tak bisa dipungkiri, dibandingkan dengan jutaan bintang dan galaksi yang ada di luar sana, keberadaan kita sebagai manusia sangatlah kecil dan insignifikan. Namun kenyataannya, masih banyak manusia yang begitu arogan berlagak menjadi yang paling penting di dunia ini.
Di tepi ladang tomat itu, seorang pria duduk dalam posisi berjongkok, memperhatikan ulat daun yang saat ini menggeliat begitu lambat di salah satu daun tomat. Ulat itu menggeliat, entah karena baru bangun dari tidurnya, atau hanya karena efek pestisida.
“Perhatian banget sama ulat. Kaya' ada yang penting saja,” sapa seorang pekerja ladang.
“Di mata kita, ulat sekecil ini memang terlihat tak begitu penting,” balas pria itu.
Pria itu menjawab begitu datar, sama sekali tak mengalihkan perhatiannya dari ulat daun tersebut. Si pekerja ladang mengerutkan wajahnya. Namun setelah itu dia langsung pergi meninggalkan pria itu dengan kesibukan anehnya itu.
Nama pria itu Yusuf, salah satu orang kepercayaan Harmoko - seorang pengusaha raksasa di provinsi itu yang kebetulan adalah mertuanya juga. Yusuf hanya berasal dari keluarga petani. Pada hari dia akan menikah dengan putrinya Harmoko, dia berpikir bahwa hidupnya akan berubah secara drastis.
Memang hidupnya berubah drastis. Hanya saja semua berubah dengan cara yang paling buruk. Dia tidak lebih dari seorang kacung, bukanlah menantu yang dihormati dalam keluarga kaya raya tersebut.
Sementara Yusuf sibuk memperhatikan ulat daun tersebut, seakan memikirkan nasibnya sendiri, dua orang laki-laki berpakaian rapi dan bersih sedang adu mulut dengan seorang petani di seberang ladang.
“Apa kalian gila? Kalian menawar terlalu rendah. Setidaknya, pikirkan uang yang telah aku keluarkan untuk semua tomat-tomat ini,” kata petani itu.
“Satu-satunya pilihan Bapak adalah menerima tawaran kami atau tidak. Tak lebih dari itu. Masih ada ladang lain yang bisa kami datangi,” kata salah seorang pria berpakaian rapi tersebut.
“Sekilo tiga ribu? Dengan harga serendah itu? Tidak akan ada yang mau menerima tawaran gila seperti itu.”
“Baiklah, kalau begitu kami pergi dulu!”
“Hei, ayolah! Naikkan harganya sedikit lagi. Jerih payahku tidak akan terbayar sama sekali dengan tawaran kalian ini,” jelas si petani.
Namun kedua pria itu berlalu pergi. Salah satu dari mereka menoleh ke arah Yusuf, mengangkat satu tangan dari kejauhan.
“Yusuf! Kita pergi!” teriaknya.
Yusuf pun bangkit. Dia tampak sangat tidak puas karena sepertinya mereka harus pergi tanpa bisa membeli tomat petani tersebut.
“Jadi bagaimana?” tanyanya.
“Dia tidak mau menerima tawaran kita,” jawab salah satu dari mereka.
“Tentu saja. Harganya terlalu rendah. Sudahkah kalian coba untuk menaikkannya sedikit lagi?” tanya Yusuf.
“Pak Harmoko mengatakan ini adalah harga tertinggi yang bisa kita tawarkan. Lebih dari ini, kita sendiri yang akan kesulitan untuk menjualnya ke pengencer.” jelas rekannya itu.
Yusuf semakin tidak bersemangat dengan pilihan tersebut. Untuk sementara, pikirannya sudah begitu disibukkan oleh kekhawatirannya tentang kondisi Rayna, istrinya yang sedang hamil. Jika memungkinkan, dia ingin segera merampungkan segala sesuatunya, sehingga dia bisa kembali ke rumah untuk menemani sang istri tercinta.
“Kalian berdua tunggulah di sini!” kata Yusuf sebelum pergi sendiri menemui si petani tomat.
Karena tidak sabar, Yusuf pun menawarkan sedikit kenaikan harga dan meminta petani itu untuk merahasiakannya dari dua orang rekannya yang lain. Yusuf menutupi marginnya dengan uang kantongnya sendiri, berharap dia bisa segera pulang secepatnya.
“Hanya untuk kali ini. Jangan beritahu temanku. Jangan juga bilang-bilang petani lain kalau aku menawarkan harga tomat segini,” jelas Yusuf sambil menghitung uang yang akan dia berikan kepada petani itu.
Petani itu pun hanya manggut-manggut, tak begitu mengerti mengapa Yusuf harus berbuat sejauh itu. Dengan cepat Yusuf menyelesaikan negosiasi, dan orang-orang pun mulai memuat peti-peti tomat ke dalam truk.
Hingga tiba-tiba, perhatian Yusuf teralihkan oleh suara dering ponsel di sakunya. Nampaknya sang istri tercinta yang meneleponnya.
“Rayna? Bagaimana keadaanmu?” tanya yusuf dengan wajah berseri-seri.
Ternyata yang meneleponnya bukanlah Rayna, tapi ibu mertuanya. Yusuf pun langsung kena bentak.
[Ke mana kau keluyuran?]
“Maaf, Bu. Ayah yang menyuruhku pergi dan sekarang kami sedang memuat barang. Tak lama lagi kami akan..."
[Sudah, jangan banyak bacot! Istrimu mau melahirkan, mau kau apakan dia? Lupakan saja barang-barang itu dan segera kembali ke sini?]
Raut wajah Yusuf pun menjadi panik dengan begitu serba salah. Sementara itu, bentakan ibu mertuanya tak kunjung berhenti. Seakan tak ada habisnya bak sambaran petir di gulungan Tesla.
Tangan Yusuf bergemetaran, segera mengakhiri panggilan itu sembari berlari ke arah kedua rekannya. “Bobby! Nyalakan truknya segera. Kita harus kembali ke kota,” perintah Yusuf.
“Hey! Tidak bisakah kau menunggu sedikit lebih lama lagi?” balas rekannya itu.
“Aku tidak bisa lama-lama di sini. Istriku sedang dalam perjalanan ke rumah bersalin,” teriak Yusuf bergegas naik ke atas truk.
Tanpa pikir panjang, mereka menelantarkan sisa-sisa tomat itu dan membawa sebagian yang sudah dimuat saja. Namun pada akhirnya, Yusuf tetap tidak sempat mendampingi proses persalinan istrinya. Setidaknya, Rayna dan bayinya selamat dengan persalinan normal tanpa masalah apa-apa.
Saat Yusuf datang, adik Rayna yang bernama Rani memandangnya dengan tatapan hina dan merendahkan. Begitu juga dengan ibu mertuanya.
“Bagaimana bisa dia meninggalkan rumah dalam situasi seperti ini?” kata Rani, adik iparnya, berbisik begitu dekat ke telinga sang ibu mertua.
Yusuf hanya melirik sesaat dan menemukan ibu mertuanya juga melirik dengan tatapan julid, tampak begitu tidak senang padanya. Lirikannya melalangbuana dengan tatapan jijik, melihat Yusuf yang berantakan, dengan celana dasar yang masih kotor oleh tanah basah dari ladang tomat dengan sepatu sedikit becek.
“Istri hamil main tinggal saja. Mentang-mentang kita semua tinggal bareng dalam keluarga besar. Bukan berarti kau bisa seenaknya saja meninggalkan istri seperti itu.”
Ibu mertuanya itu membentak dengan leher yang menegang, di depan keramaian pengunjung rumah bersalin lainnya. Semua pengunjung itu hanya diam, namun tak menyembunyikan reaksi tidak senang mereka.
Yusuf hanya menunduk dan mencoba untuk mengabaikan. Dia bergegas masuk untuk menemui istrinya. Ketika dia sudah berada di dalam, dia menemukan Pak Harmoko sedang berdiri di dekat Rayna.
Wajah lelaki paruh baya berbaju batik itu tampak begitu penuh perhatian menimang sang cucu. Namun tak lama, ia pun memilih pergi, memberikan kesempatan bagi Yusuf untuk bisa bertemu dengan istri dan anaknya yang baru lahir.
Sesaat melewati Yusuf, Pak Harmoko berbisik pelan. “Temui aku dalam 15 menit.”
Yusuf melirik sejenak. Dia sedikit penasaran dengan apa yang ingin Pak Harmoko bicarakan.
Tidak sampai 10 menit dia menimang anaknya, Yusuf sudah memutuskan untuk meninggalkan kamar itu dengan menyerahkan kembali bayi itu ke pangkuan Rayna. Dia dengan lembut membelai rambut istri tercinta, memberinya senyum hangat sebelum pergi untuk menemui sang ayah mertua.
Saat dia sampai di luar, Pak Harmoko tidak lagi terlihat. Yusuf mengalihkan perhatian ke ibu mertuanya, berniat untuk bertanya. Tapi Bu Harmoko segera bangkit, berdiri dengan berlagak pinggang sebelum Yusuf sempat berkata apa-apa.
“Nak ke mana lagi kau sekarang?” bentaknya.
“Maafkan aku, Bu. Tapi...”
“Tapi apa? Belum juga lima menit kau di dalam, sudah mau pergi lagi. Mana rasa tanggung jawabmu sebagai seorang suami?” bentaknya lagi begitu geram.
“Maaf, aku harus pergi. Baru saja Ayah menyuruhku untuk menemuinya.”
Yusuf tahu bahwa khotbah ibu mertuanya itu tidak akan ada habisnya dan sama sekali tak beralasan untuk terus didengarkan. Dia hanyalah kacung di keluarga tersebut. Dia meninggalkan istrinya pun karena memang Pak Harmoko sendiri yang menyuruhnya untuk pergi. Akhirnya, Yusuf menemukan Pak Harmoko telah menantikannya, berdiri sendirian di ujung koridor, dengan ekspresi dingin dan serius tergambar di wajahnya. “Apa kamu benar-benar meninggalkan tomat yang sudah kita beli di ladang petani?” tanya Pak Harmoko. “Maafkan aku, Yah. Aku...” “Bukankah sudah kukatakan, serahkan saja soal Rayna padaku?” Harmoko memotongnya dengan dingin. “Apa kau pikir aku terlalu tua untuk mengurus semua omong kosong ini? Aku telah membantu persalinan istriku 3 kali di masa lalu. Tak satu pun dari mereka menemukan masalah. Kau hanya perlu melakukan apa yang aku perintahkan. Tomat sebanyak itu kau telantarkan? Sekarang siapa yang harus menanggung kerugian ini?” “Kalau begitu, biar aku dan Bobby kembali untuk m
Kenyataannya, seluruh keluarga Harmoko tinggal di satu pekarangan seluas 1 hektar, terdiri dari tiga rumah dan satu garasi besar untuk truk mereka. Salah satunya adalah satu Rumah Gadang untuk keluarga utama yang dibangun dengan mempertahankan arsitektur khas Rumah Gadang Minangkabau, namun dengan sentuhan futuristik ala rumah modern. Yusuf yang menikah dengan Rayna yang merupakan putri tertua, tinggal di Rumah Gadang tersebut bersama kedua mertuanya. Sedangkan Rani dan suaminya, David, tinggal di salah satu dari dua rumah lainnya, terpisah dari keluarga utama. Rumah ketiga dikelola oleh putri bungsu Harmoko bernama Cindy, yang merupakan seorang mahasiswi ilmu politik. Dia menyewakan lima kamar lainnya itu untuk anak kos. David tidak pernah menyembunyikan betapa bencinya dia karena Yusuf bisa tinggal di rumah utama. Tapi bagi Yusuf, hidup bersama mereka seperti menanggung masalah rumit yang tak berkesudahan yang terus dihadirkan oleh Bu Harmoko kepadanya. Contohnya saja, seperti bag
Dalam beberapa hari ke depan, ibu Yusuf dan adik perempuannya juga akan datang untuk melihat bayi Yusuf yang baru lahir. Ini adalah acara tradisional khusus yang disebut “turun mandi”, di mana semua keluarga akan datang untuk ikut merayakan.“Jadi kamu pesankan pada ibumu untuk membawakanku Lamang Tapai? Aku sudah cukup lama kangen dengan Lamang Tapai buatan ibumu,” kata Rayna pada suaminya“Kamu tidak perlu khawatir. Membawakan Lamang Tapai untuk menantu sudah menjadi tradisi keluarga. Meski aku tidak memintanya, dia sendiri akan membawakannya untukmu,” jelas Yusuf.Sementara itu, Bu Harmoko telah sukses menyebar kebenciannya terhadap Yusuf kepada kerabatnya yang lain. Terutama kepada ayahnya sendiri, Sutan Sati, dengan mengungkit isu soal pemberian nama anak, dengan memanas-manasi bahwa Yusuf terang-terangan mengatakan bahwa wejangannya itu sesuatu yang konyol. Tentu hal itu ikut mempengaruhi reaksi dari kerabatnya yang lain.Di hari acara turun mandi itu, semua kerabat dari pihak k
Yusuf hanya diam, pantang baginya berdebat dengan seorang wanita dalam kondisi seperti itu. Dia terus menatap lurus ke arah Sutan Sati, hingga lelaki tua itu tidak punya pilihan lain selain menyuruh anaknya itu berhenti.“Rosdiana! Cukup!” sergah Sutan Sati.“Bagaimana mungkin aku diam saja! Anak petani itu sudah mulai kurang ajar di rumah ini. Lihat apa yang sudah diperbuatnya. Anjing saja tak akan mau menggigit tangan tuannya," bantah Bu Harmoko. Yusuf hanya bisa menunduk. Dia mencoba menahan amarahnya, mengingat Bu Harmoko masih ibu kandung dari Rayna, merasa tak enak jika harus mendebat balik padanya.Pak Harmoko bergegas membawa Yusuf dan keluarganya, bersama Rayna dan putranya ke rumah lain yang ditinggali Cindy.“Heh?! Aku belum selesai!" teriak Rosdiana.Namun Harmoko mengabaikannya dan segera menjauhkan Yusuf dan keluarganya untuk segera menghentikan keributan tersebut.“Nes, tahan kakakmu!" seru Sutan Sati.Namun Nesty malah memperlihatkan raut wajah kesal dan berjalan menu
Harmoko pun berdiri dan menuju teras rumah sembari mengeluarkan ponselnya untuk segera melakukan panggilan. “Tunggulah sebentar. Kebetulan ada dua truk kita yang akan bertolak menuju kampungmu. Ayah akan memberitahu sopirnya, agar kalian bisa pergi bersama mereka,” jelas Harmoko bergegas keluar dari ruangan itu. Tak lama setelah itu, Harmoko kembali dan memberitahu putri dan menantunya itu bahwa dua truk yang akan pergi itu sudah siap di depan. Yusuf hanya menyempatkan pamit pada ayah mertuanya. Namun hatinya tak kuasa untuk menampakkan muka di hadapan ibu mertuanya lagi. Sementara itu, Bu Harmoko masih mencak-mencak di dapur ditemani oleh beberapa orang saudara iparnya, termasuk satu orang adik perempuannya yang sebelumnya digampar Yusuf. “Awas saja! Memangnya bisa apa dia di rumah ini. Begitu semua acara ini selesai, dia dan ibunya yang kampungan itu tak akan kubiarkan bisa tenang berlama-lama di rumah ini,” geramnya. Tepat di saat Rosdiana berkata seperti itu, suaminya datang k
Saat sampai di rumah, kedatangan Yusuf dan keluarganya menjadi perhatian para tetangga. Satu tetangga ramah yang terdekat, Bi Minah, datang dengan sedikit ekspresi linglung tergambar di wajahnya. “Sudah pulang saja, Mak Sannah?” tanyanya pada Ibu Yusuf. Ibu Yusuf mengangguk sedikit, dan Bi Minah pun juga ikutan manggut-manggut dengan senyuman canggungnya. Ibunya Yusuf tak tahu harus bagaimana bercerita, karena kenyataannya dia tak sampai satu jam menginjakkan kaki di Rumah Gadang besannya di kota. “Dah selesai saja acara “turun mandi” anak si Yusuf?” tanyanya lagi. “Itu si Yusuf dan istrinya datang ke sini bersama anak mereka,” balas Ibu Yusuf sembari tetap sibuk menurunkan barang bawaannya dari mobil Bobby. Yusuf pun lewat sembari membawa barangnya ke dalam. Dia menyempatkan diri menyapa tetangga yang saat ini sedang berdiri di teras rumahnya itu. “Sore, Bi Minah!” sapa Yusuf sedikit menundukkan kepala sambil lalu. “Ah, Iya!” balasnya. Bi Minah nampak semakin pangling menyaksi
Sebenarnya, selama dua tahun lebih ikut dalam bisnis Harmoko, Yusuf lumayan bisa menyimpan uang. Dia bukan tipe orang yang konsumtif. Sementara biaya hidup selama ini ditanggung kelurga Harmoko karena mereka tinggal bersama. Dengan itu juga dia selalu bisa membantu ibu dan juga adiknya di kampung. Begitu juga dengan Rayna yang memiliki simpanan yang lumayan cukup. Meskipun begitu, dua orang suami istri ini berpikir jauh ke depan. Mereka tak mungkin menunggu semua simpanan itu habis duluan baru mencari solusi saat kepepet. “Rayna, kamu balik saja ke rumah dulu bawa Taufiq. Tak baik berpanas-panas di sini,” teriak Yusuf dari balik semak-semak. “Dingin begini dibilang panas,” balas Rayna yang saat ini menggendong bayinya, menemani Yusuf yang sibuk mengurus ladang yang sudah lama ditelantarkan. Yusuf pun berdiri, namun hanya terlihat sedikit kepalanya diantara tingginya semak-semak. “Dingin karena kita berada di ketinggian. Begitu juga dengan anginnya. Tapi terpaan sinar matahari langs
Sesaat kemudian, Rayna nampak sedikit kaget, menemukan sudah cukup banyak kentang terkumpul di ladang yang baru selesai dirambah Yusuf. “Lho, dapat dari mana kentang-kentang ini?” tanyanya. “Dari semak-semak yang dirambah tadi,” jawab Yusuf. “Waaah, bisa dibikin Potato Chips?” tanya Rayna dengan wajah sumringah. Yusuf mengangguk pelan dengan sedikit senyuman. Namun, melihat Rayna yang bersemangat itu, Yusuf malah terpikirkan akan sesuatu yang konyol. Sore itu, Yusuf menghentikan pekerjaannya, dan seluruh kentang-kentang itu diangkut ke rumah dengan dibantu istrinya. Namun sesampainya di rumah, Yusuf malah menebar kentang-kentang itu di lantai di salah satu sudut ruangan. Sementara dia sibuk dengan kentang itu, Rayna datang dengan membawa pisau dan sebuah baskom. “Mau apa?” tanya Yusuf. “Mau mengupas kentangnya,” balas Rayna. “Jangan. Kentang-kentang ini bagus untuk dijadikan bibit,” jelas Yusuf. “Eeeh? Jangan-jangan?” “Melihat kamu semangat begitu, sayang kalau tak dimanfaatka