Share

003 - Masalah Nama Anak

Kenyataannya, seluruh keluarga Harmoko tinggal di satu pekarangan seluas 1 hektar, terdiri dari tiga rumah dan satu garasi besar untuk truk mereka. Salah satunya adalah satu Rumah Gadang untuk keluarga utama yang dibangun dengan mempertahankan arsitektur khas Rumah Gadang Minangkabau, namun dengan sentuhan futuristik ala rumah modern.

  

Yusuf yang menikah dengan Rayna yang merupakan putri tertua, tinggal di Rumah Gadang tersebut bersama kedua mertuanya. Sedangkan Rani dan suaminya, David, tinggal di salah satu dari dua rumah lainnya, terpisah dari keluarga utama. Rumah ketiga dikelola oleh putri bungsu Harmoko bernama Cindy, yang merupakan seorang mahasiswi ilmu politik. Dia menyewakan lima kamar lainnya itu untuk anak kos.

  

David tidak pernah menyembunyikan betapa bencinya dia karena Yusuf bisa tinggal di rumah utama. Tapi bagi Yusuf, hidup bersama mereka seperti menanggung masalah rumit yang tak berkesudahan yang terus dihadirkan oleh Bu Harmoko kepadanya.

  

Contohnya saja, seperti bagaimana Bu Harmoko membawa isu yang tidak masuk akal dan tidak rasional terkait nama anaknya yang baru lahir.

  

“Jadi, kami memutuskan bahwa nama anakmu harus dengan huruf awal “S”. Terserah kamu mau memberikan nama apa untuknya. Pokoknya harus dengan awalan huruf S,” kata Bu Harmoko kepada putrinya, Rayna.

  

Rayna tersenyum dengan sedikit ekspresi bingung. Dia tidak pernah tahu ada hal seperti itu dalam tradisi keluarga mereka.

  

“Kenapa harus dengan huruf “S” segala, Bu? Tidak bisakah kita menggunakan huruf lain?” tanya Rayna.

  

“TIDAK! Kami telah menghitung semuanya, mulai dari tanggal lahirnya, dan itu terkait dengan tanggal lahir kamu juga. Ibu tidak tahu detailnya, tetapi kakekmu telah memberi tahu Ibu melalui telepon, bahwa anakmu harus diberi nama dengan huruf awalan berupa huruf ketiga Hijaiyah. Bukan berarti kamu harus memilih nama Arab seperti nama suamimu itu. Tapi setidaknya harus menggunakan huruf awalnya,” jelas Bu Harmoko.

  

“Huruf ketiga Hijaiyah? Bukankah itu bagus. Kebetulan nama Taufiqul Hakim sudah kami siapkan,” kata Yusuf.

  

Bu Harmoko langsung menyipitkan matanya, tidak menyembunyikan betapa bencinya dia karena Yusuf ikut-ikutan dalam percakapan mereka.

  

“Siapa yang memberimu izin untuk berbicara dalam pembicaraan semacam ini. Kau itu hanya “Urang Sumando” (menantu) di rumah ini. Kau mungkin ayah dari anakmu, tetapi kau tidak berhak membantah keputusanku tentang nama untuk cucuku ini,” bantah Bu Harmoko dengan lantang.

  

Yusuf pun langsung terdiam tak mampu membalas. “Sudah serendah itukah diriku di dalam rumah?” lirih batinnya berbicara.

  

Tak tega melihat suaminya itu, Rayna pun angkat bicara untuk memberikan pembelaan. 

  

“Bu? Aku tidak pernah tahu ada hal seperti itu dalam tradisi kita?” balas Rayna menyela ibunya. “Sejak kapan seorang ayah tidak berhak memberikan nama kepada anaknya dalam budaya kita ini? Jangan lupa, “Urang Sumando” itu seperti abu di perapian. Jika dia memutuskan untuk meninggalkan rumah ini karena rendahnya Ibu memperlakukannya, aku pun juga akan meninggalkan rumah ini,” 

  

Entah bagaimana, Rayna sudah lama juga berpikir untuk keluar dari rumah tersebut. Sekarang begitu ibunya menunjukkan sikap buruknya dalam memperlakukan Yusuf, Rayna pun menjadikannya alasan untuk keluar dari rumah.

  

Namun, bagi Bu Harmoko, membiarkan putri sulung meninggalkan Rumah Gadang adalah hal yang memalukan, terutama bagi mereka yang sejatinya merupakan keluarga kaya yang berada. Sama halnya dengan dirinya dulu, Rayna akan menerima amanah mengelola rumah gadang tersebut selepas dirinya. Karena alasan ini juga, Bu Harmoko dari dulu tak senang Rayna sampai harus menikah dengan sembarang laki-laki seperti Yusuf yang begitu rendah di matanya.

  

Bu Harmoko menahan amarahnya dan menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan ketenangannya di depan ancaman putrinya tersebut.

  

“Apapun itu. Nama Taufiqul masih kurang tepat dengan apa yang dikatakan kakek Rayna kepadaku. Cari nama lain saja kalau kau bersikeras juga ingin memberikan nama untuk anakmu,” kata Bu Harmoko kepada Yusuf.

  

“Tapi, Bu! Apakah Ibu tidak salah di sini untuk mengambil huruf "S" sebagai huruf ketiga Hijaiyah?” tanya Yusuf.

  

“Apa kau mengatakan kalau aku tidak tahu huruf Hijaiyah? Huruf ketiga adalah "Sa", jadi kau harus memilih nama dengan huruf awal "S". Aku sudah membiarkan kau memiliki peran dalam hal ini, jadi lebih baik kau perhatikan sikapmu! Mengatakan aku tidak tahu huruf Arab sama dengan menuduh aku tidak bisa membaca Al-Qur’an,” bantah Bu Harmoko dengan menahan amarah yang begitu besar di dalam dadanya.

  

“Duh?!” Rayna hanya bisa menutupi wajahnya dengan telapak tangan, merasa malu akan betapa konyolnya sikap ibunya saat ini.

  

“Huruf ketiga Hijaiyah itu Ta, Bu! Bukan Sa. Lagian, huruf keempat juga adanya Tsa. Yang Sa itu adanya di urutan ke 12. Dan lagian, kenapa juga bikin nama harus repot-repot seperti ini juga. Ada-ada saja ibu ini,” bantah Rayna sebelum pergi dengan menarik tangan Yusuf untuk meninggalkan ibunya itu sendirian.

  

“Apa katamu? Hey!” Bu Harmoko segera berdiri berlagak pinggang. “Jika kamu tidak mendengarkanku, kakekmu akan marah kepada Ibu,” teriaknya.

  

“Aku ini menikah dengan Yusuf, Bu! Bukan dengan kakek!” bantah Rayna sebelum menutup pintu kamarnya.

  

Bu Harmoko pun terdiam. Ini pertama kalinya Rayna membantahnya dengan nada seperti itu, sampai-sampai memberi ancaman bahwa dia juga akan meninggalkan rumah. Tidak peduli seberapa bencinya dia pada Yusuf, dia tidak bisa membiarkan putrinya pergi begitu saja.

  

Kebetulan saat itu Pak Harmoko baru keluar dari ruang kerjanya bersama David. Kenyataannya, mereka berdua sempat mendengar pertengkaran kecil itu sejak awal. Hanya saja, Pak Harmoko yang asli jawa kurang memahami semua masalah adat yang diributkan oleh istrinya itu. Dia hanya menganggapnya sebagai debat-debat kecil belaka.

  

Harmoko menunggu David meninggalkan rumah terlebih dahulu sebelum mendekati istrinya. Namun belum sempat dia mengatakan apa-apa untuk memadamkan kejengkelan istrinya itu, Bu Harmoko sudah mulai menuduh-nuduh dan menyalahkan Yusuf atas perubahan sikap putri sulungnya.

  

“Dasar mantu sialan. Guna-guna macam apa yang dia berikan pada putriku?” gumamnya penuh curiga dengan alis berkerut.

  

“Apa pula yang kamu maksud dengan guna-guna?” tanya Pak Harmoko.

  

“Si Yusuf itu. Ini pertama kalinya Rayna membantah kata-kataku. Dia pasti sudah mengguna-gunainya dengan Pamanih dari kampungnya itu.”

  

“Ini tidak ada hubungannya dengan sihir atau guna-guna atau Pamanih segala macamnya. Ini buah dari ajaranku pada Rayna, untuk menghormati suaminya. Lagipula, itu hanya sebuah nama. Mengapa kamu menganggapnya seserius itu?” Pak Harmoko berusaha meredam amarah istrinya.

  

“Sudah tinggal di rumah ini bertahun-tahun, dan kamu masih juga tidak mengerti betapa pentingnya hal seperti ini? Jangan berani-berani memasuki kamarku malam ini. Tidur saja di sofa sana!” bentak Bu Harmoko pada suaminya dengan mengarahkan jari telunjuknya sekali ke wajah suaminya itu.

  

Pak Harmoko hanya bisa geleng-geleng kepala sembari menghela nafas. Ini juga kenapa, dia tak mau terlalu ambil pusing untuk membela posisi Yusuf dari ketidakrasionalan istrinya itu dalam memarahi menantunya tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status