Yusuf hanya diam, pantang baginya berdebat dengan seorang wanita dalam kondisi seperti itu. Dia terus menatap lurus ke arah Sutan Sati, hingga lelaki tua itu tidak punya pilihan lain selain menyuruh anaknya itu berhenti.
“Rosdiana! Cukup!” sergah Sutan Sati.
“Bagaimana mungkin aku diam saja! Anak petani itu sudah mulai kurang ajar di rumah ini. Lihat apa yang sudah diperbuatnya. Anjing saja tak akan mau menggigit tangan tuannya," bantah Bu Harmoko.
Yusuf hanya bisa menunduk. Dia mencoba menahan amarahnya, mengingat Bu Harmoko masih ibu kandung dari Rayna, merasa tak enak jika harus mendebat balik padanya.
Pak Harmoko bergegas membawa Yusuf dan keluarganya, bersama Rayna dan putranya ke rumah lain yang ditinggali Cindy.
“Heh?! Aku belum selesai!" teriak Rosdiana.
Namun Harmoko mengabaikannya dan segera menjauhkan Yusuf dan keluarganya untuk segera menghentikan keributan tersebut.
“Nes, tahan kakakmu!" seru Sutan Sati.
Namun Nesty malah memperlihatkan raut wajah kesal dan berjalan menuju dapur. Sutan Sati mencoba menegur atas sikapnya itu, namun tetap tak diindahkan. Bu Harmoko ikut mengabaikan ayahnya itu dan menyusul adiknya.
Beruntung bagi mereka, semua teman Cindy yang ngekos di rumah itu selalu pulang ke kampung masing-masing setiap akhir pekan. Setidaknya, apa yang baru saja terjadi dalam keluarga itu tidak sampai diketahui oleh orang luar.
Cindy yang kebetulan menyaksikan seluruh kejadian itu dari awal hingga akhir hanya bisa bersimpati pada Yusuf dan keluarganya yang baru datang dari kampung. Namun, dia tahu bagaimana ibunya sendiri membenci Yusuf, dan tidak memiliki keberanian untuk berada di sisi buruk ibunya tersebut.
Cindy terus mengelus dan mengusap bahu adik perempuan Yusuf yang masih remaja yang sampai saat ini masih gemetaran karena rasa takut.
Tak tahan dengan kondisi adiknya itu, Yusuf pun memutuskan untuk segera angkat kaki dari rumah itu.
“Rayna, bisakah kamu mengambilkan semua pakaianku? Tidak perlu membawa semuanya, cukup beberapa baju yang dulu aku bawa saat datang ke rumah ini saja,” pinta Yusuf.
Hal itu membuat semua orang yang ada di ruangan itu sedikit terkejut. Semua sadar bahwa Yusuf telah mengambil keputusan untuk tidak akan menginjakkan kakinya lagi di Rumah Gadang tersebut.
Rayna menitipkan putranya kepada ibu Yusuf dan buru-buru kembali ke rumah. Sementara itu, Yusuf berbicara kepada Pak Harmoko, menyampaikan niatnya untuk tidak lagi bekerja dengannya.
Hal itu mengubah wajah Pak Harmoko secara drastis. Dia terdiam cukup lama, nampak begitu kecewa. Tapi lebih dari itu, dia begitu serba salah jika harus membiarkan Yusuf meninggalkan bisnisnya.
“Kau seharusnya sudah mengetahuinya. Jika kau pergi sekarang, kita tidak akan mampu bersaing dengan Mahzar dan komplotannya. Tidak mungkin aku bisa menyerahkan ini semua pada David sendirian. Aku bukan satu-satunya orang yang akan terpengaruh oleh ini. Kalau aku biarkan Mahzar menguasai pasar, semua petani pun akan terkena dampaknya,” jelas Pak Harmoko.
“Maafkan aku, Ayah. Pantang bagiku untuk kembali ke Rumah Gadang itu. Dan mengenai bisnis ini…”
“Aku sendiri yang meminta Yusuf untuk meninggalkan bisnis ini, Ayah!” Rayna memasuki ruangan, sudah siap dengan segala sesuatunya untuk meninggalkan rumah. “Maafkan aku, tapi aku tidak ingin memberikan makan kepada anakku dengan uang yang kita dapatkan dengan memeras tangisan para petani.”
Harmoko tersentak kaget dengan kata-kata dari putri sulungnya itu. “Apa yang kau bicarakan? Jangan mengatakannya seolah-olah Ayah tidak peduli dengan kehidupan petani. Ayah sudah mencoba yang terbaik untuk menjaga harga cukup tinggi bagi mereka. Tapi tetap saja, Ayah tidak bisa melakukan lebih, dalam situasi di mana distributor lain memainkan harga seperti itu,” jelas Pak Harmoko.
“Tidak, Ayah. Tentu ayah tidak akan pernah bisa menyaingi Mahzar dan komplotannya. Tidak akan, selama semuanya masih diatur oleh Ibu,” balas Rayna dengan tatapan dingin.
“Apa maksudmu bicara seperti itu?” Harmoko tertegun.
Baik Harmoko maupun Yusuf terlihat begitu bingung dengan kata-kata Rayna. Sepertinya Rayna tahu sesuatu yang tidak mereka ketahui selama ini, mengenai campur tangan Rosdiana, istrinya Harmoko, terhadap bisnis yang sedang mereka jalankan.
Kenyataannya, Rayna sudah lama curiga, bahwa selama ini ibunya memanfaatkan David untuk jadi perantara, bukan memenangkan negosiasi untuk Ayahnya. Sebaliknya, menjadi perantara ibunya, agar para distributor itu menjalankan skema bisnis yang dia rancang. Sebuah skema yang menguntungkan mereka para distributor dengan memeras para petani, sesuatu yang hanya bisa dijalankan jika semuanya sepakat memainkan model yang sama.
Hanya saja, Bu Harmoko tahu bahwa suaminya tak akan mau menggunakan pendekatan tersebut. Namun jika distributor lain kompak dengan itu, mau tak mau tentu Harmoko akan terpaksa mengikuti skema pasar jika masih ingin bertahan.
Rayna cukup menyadarinya dengan apa yang selama ini dia amati di rumah. Akan tetapi, dia tak mau menceritakan hal itu pada ayahnya, karena takut hal itu akan memicu keretakan hubungan dari kedua orang tuanya itu.
“Ayah terlalu sibuk mengurus lawan bisnis Ayah di pasar, sampai luput kalau ancaman itu datang dari rumah sendiri,” lanjut Rayna yang semakin membuat ayahnya itu kebingungan.
Harmoko pun terdiam mencoba membaca ujung dari kata-kata anaknya itu. Namun Rayna langsung membuang muka, merasa sedikit menyesal karena sudah terlanjur mengungkit kata-kata itu. Sebisanya, dia tak ingin menceritakan itu pada yang lain, dan berharap dia dan suaminya bisa pergi meninggalkan rumah itu tanpa harus mengungkit kecurigaannya itu.
Namun Harmoko tak bisa mengabaikan saja hal tersebut. Dia tahu anaknya itu, seseorang yang bergelar master dalam manajemen bisnis, tentu tak akan sembarangan mengeluarkan kata-kata tersebut. Apa lagi dengan kesan seperti sedang mencurigai ibu kandungnya sendiri.
“Apa kau mengetahui sesuatu yang tak Ayah ketahui selama ini?” tanya Harmoko.
Rayna masih membuang muka, nampak begitu berat untuk menceritakannya. Namun hal itu justru membuat ayahnya semakin sadar. Begitu juga dengan Yusuf, yang mulai bisa meraba-raba alasan kenapa istrinya itu begitu ngotot untuk memintanya berhenti ikut terlibat dalam bisnis keluarganya itu.
“Maafkan aku, Ayah. Sebagai seorang petani kampung, aku tak bisa meneruskan ini semua. Lagi pula, tak mungkin bagiku untuk kembali menginjakkan kaki ke Rumah Gadang itu lagi,” kata Yusuf.
“Bukankah kamu juga anak petani? Apakah kamu akan diam saja membiarkan ini semua terjadi pada mereka?” Harmoko menyela. “Sejauh ini, hanya kita satu-satunya yang masih memikirkan nasib mereka dan menawarkan harga yang sedikit lebih wajar.”
“Mungkin ini akan terdengar naif, tapi aku akan melawan mereka dengan caraku sendiri,” jawab Yusuf.
“Caramu sendiri? Memangnya apa yang akan kau lakukan?”
“Memang aku hanya dibesarkan sebagai petani. Tapi, bukankah Ayah juga sudah mengajariku menjadi pengusaha yang baik selama ini,” jawab Yusuf.
“Dan lagi, bukan berarti dia akan melakukannya sendirian kan,” lanjut Rayna menimpali, nampak mantap bahwa dia akan selalu mendukung suaminya itu.
Harmoko pun menghela nafas sesaat, mulai menyadari kalau keputusan anak dan menantunya itu sudah bulat untuk pergi meninggalkan rumah serta bisnis keluarga yang dijalankannya.
Dia melirik sesaat ke arah ibunya Yusuf dan juga adiknya. Melihat kondisi mereka yang masih gemetar ketakutan seperti itu, tak mungkin juga rasanya dia menahan mereka lebih lama lagi di rumah itu.
Harmoko pun berdiri dan menuju teras rumah sembari mengeluarkan ponselnya untuk segera melakukan panggilan. “Tunggulah sebentar. Kebetulan ada dua truk kita yang akan bertolak menuju kampungmu. Ayah akan memberitahu sopirnya, agar kalian bisa pergi bersama mereka,” jelas Harmoko bergegas keluar dari ruangan itu. Tak lama setelah itu, Harmoko kembali dan memberitahu putri dan menantunya itu bahwa dua truk yang akan pergi itu sudah siap di depan. Yusuf hanya menyempatkan pamit pada ayah mertuanya. Namun hatinya tak kuasa untuk menampakkan muka di hadapan ibu mertuanya lagi. Sementara itu, Bu Harmoko masih mencak-mencak di dapur ditemani oleh beberapa orang saudara iparnya, termasuk satu orang adik perempuannya yang sebelumnya digampar Yusuf. “Awas saja! Memangnya bisa apa dia di rumah ini. Begitu semua acara ini selesai, dia dan ibunya yang kampungan itu tak akan kubiarkan bisa tenang berlama-lama di rumah ini,” geramnya. Tepat di saat Rosdiana berkata seperti itu, suaminya datang k
Saat sampai di rumah, kedatangan Yusuf dan keluarganya menjadi perhatian para tetangga. Satu tetangga ramah yang terdekat, Bi Minah, datang dengan sedikit ekspresi linglung tergambar di wajahnya. “Sudah pulang saja, Mak Sannah?” tanyanya pada Ibu Yusuf. Ibu Yusuf mengangguk sedikit, dan Bi Minah pun juga ikutan manggut-manggut dengan senyuman canggungnya. Ibunya Yusuf tak tahu harus bagaimana bercerita, karena kenyataannya dia tak sampai satu jam menginjakkan kaki di Rumah Gadang besannya di kota. “Dah selesai saja acara “turun mandi” anak si Yusuf?” tanyanya lagi. “Itu si Yusuf dan istrinya datang ke sini bersama anak mereka,” balas Ibu Yusuf sembari tetap sibuk menurunkan barang bawaannya dari mobil Bobby. Yusuf pun lewat sembari membawa barangnya ke dalam. Dia menyempatkan diri menyapa tetangga yang saat ini sedang berdiri di teras rumahnya itu. “Sore, Bi Minah!” sapa Yusuf sedikit menundukkan kepala sambil lalu. “Ah, Iya!” balasnya. Bi Minah nampak semakin pangling menyaksi
Sebenarnya, selama dua tahun lebih ikut dalam bisnis Harmoko, Yusuf lumayan bisa menyimpan uang. Dia bukan tipe orang yang konsumtif. Sementara biaya hidup selama ini ditanggung kelurga Harmoko karena mereka tinggal bersama. Dengan itu juga dia selalu bisa membantu ibu dan juga adiknya di kampung. Begitu juga dengan Rayna yang memiliki simpanan yang lumayan cukup. Meskipun begitu, dua orang suami istri ini berpikir jauh ke depan. Mereka tak mungkin menunggu semua simpanan itu habis duluan baru mencari solusi saat kepepet. “Rayna, kamu balik saja ke rumah dulu bawa Taufiq. Tak baik berpanas-panas di sini,” teriak Yusuf dari balik semak-semak. “Dingin begini dibilang panas,” balas Rayna yang saat ini menggendong bayinya, menemani Yusuf yang sibuk mengurus ladang yang sudah lama ditelantarkan. Yusuf pun berdiri, namun hanya terlihat sedikit kepalanya diantara tingginya semak-semak. “Dingin karena kita berada di ketinggian. Begitu juga dengan anginnya. Tapi terpaan sinar matahari langs
Sesaat kemudian, Rayna nampak sedikit kaget, menemukan sudah cukup banyak kentang terkumpul di ladang yang baru selesai dirambah Yusuf. “Lho, dapat dari mana kentang-kentang ini?” tanyanya. “Dari semak-semak yang dirambah tadi,” jawab Yusuf. “Waaah, bisa dibikin Potato Chips?” tanya Rayna dengan wajah sumringah. Yusuf mengangguk pelan dengan sedikit senyuman. Namun, melihat Rayna yang bersemangat itu, Yusuf malah terpikirkan akan sesuatu yang konyol. Sore itu, Yusuf menghentikan pekerjaannya, dan seluruh kentang-kentang itu diangkut ke rumah dengan dibantu istrinya. Namun sesampainya di rumah, Yusuf malah menebar kentang-kentang itu di lantai di salah satu sudut ruangan. Sementara dia sibuk dengan kentang itu, Rayna datang dengan membawa pisau dan sebuah baskom. “Mau apa?” tanya Yusuf. “Mau mengupas kentangnya,” balas Rayna. “Jangan. Kentang-kentang ini bagus untuk dijadikan bibit,” jelas Yusuf. “Eeeh? Jangan-jangan?” “Melihat kamu semangat begitu, sayang kalau tak dimanfaatka
Namun tiba-tiba Aisyah terpikirkan sesuatu. “Oh? Kalau begitu, masak juga tanggung jawab Abang dong? Trus kenapa Abang serahkan kentangnya ke Emak, sementara Abang ngotot tak bolehkan Aisyah bantu nyuci?” balasnya beretorika. Yusuf pun berdiri menghentikan kucekan cuciannya, sedikit mengerutkan dahi dengan wajah pangling. Tak disangkanya, adiknya itu sudah makin jeli dalam beradu argumen. Dia bingung apa harus kesal atau bangga dengan perkembangannya itu. “Sudah! Kamu bantu Mak saja di dapur sana,” timpal Yusuf, mencoba menolak kekalahannya beradu argumen dengan adiknya itu. “Eh, Bang. Kalau sampai ada yang datang lihat Abang nyuci, bisa-bisa Abang diejek lagi lho. Atau mungkin seisi rumah ini jadi gunjingan orang, seolah tak ada lagi perempuan di rumah ini,” gerutu Aisyah meninggalkannya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Apa yang dikhawatirkan Aisyah pun datang menghampiri rumah mereka. Baru saja dia meninggalkan Yusuf, sudah terdengar suara laki-laki mengucap salam di pintu depan. A
Yusuf mungkin sudah terbiasa dipandang rendah orang. Tapi dia tak pernah bisa tahan menerima ibunya dipermalukan. Apa lagi setelah melihat ibunya menangis seperti itu. Semua pengunjung warung kopi pun langsung tersentak. Begitu juga dengan Rendy yang langsung gamang melihat Yusuf dengan wajah yang begitu mengerikan. Dia sadar, tak mungkin lagi situati seperti itu akan selesai dengan pembicaraan baik-baik. “Yusuf!” tegur Joni panik. Namun dia dan juga Andra nampak terlambat untuk menghentikan Yusuf karena berada di balik meja. Untungnya dua orang pria lain sudah lebih dulu menahan Yusuf. Mereka nampak kesulitan menahannya. Sementara Yusuf tak juga berkata apa-apa. Dia sama sekali tak meminta orang-orang itu melepaskannya, hanya terus meronta berusaha membebaskan diri. “Sabar, Suf! Sabar! Jangan bikin gaduh di warung orang. Tak enak sama Pak Saidi, Suf.” Yusuf masih tak menjawab. Hanya ada suara erangan nafas yang begitu berat terdengar, karena emosi yang sudah begitu memuncak. Ke
Seperti kebanyakan laki-laki, tidur semalaman tak cukup meredakan semua rasa kesal dalam diri Yusuf. Dia masih belum bisa lepas dari apa yang terjadi di warung Pak Saidi.Sesaat sebelum habis waktu subuh, Yusuf berdiri di teras rumah di saat kabut putih masih cukup tebal menutupi pandangan. Dia berdiri di sana menatapi ladang. Meski udara di luar begitu dingin, namun dadanya masih panas.“Sudah hampir satu jam kamu berdiri sendirian di sini,” ujar Rayna tiba-tiba dari belakang.Pikiran Yusuf tersentak dan sedikit menoleh ke belakang. Namun setelah itu dia kembali menatap lurus ke arah ladang.“Aku tahu ada yang sedang kamu pikirkan. Apa terjadi sesuatu?” tanya Rayna.Yusuf pun menghela nafas sesaat. “Aku sedang memikirkan untuk membuat greenhouse untuk ladang ini. Tapi ragu, apa hitung-hitungannya masuk nanti.” Yusuf mencoba mengalihkan perhatian Rayna.“Ladang seluas ini? Bisa makan banyak biaya juga ini,” balas Rayna menimpali.“Itulah. Aku masih punya dana simpanan untuk itu. Aku p
Harmoko terkejut, nampak sangat tidak senang. Namun Rosdiana memasang wajah cuek bebeknya. HP itu kembali berdering dan tentu saja langsung ditolak oleh Rosdiana. “Kenapa kau tutup teleponnya?” tanya Harmoko lirih berbisik. “Kita sudah tak ada hubungan lagi dengannya,” jawab Rosdiana ketus memasukkan HP suaminya itu ke dalam tas. “Kita? Terserah jika kau berpikir tak ada hubungannya. Jangan bawa-bawa aku juga,” sergah Harmoko dengan suara tertahan, mencoba mengambil kembali HP itu. Rosdiana menjauhkan tasnya, dan dua orang suami istri itu mulai nampak sibuk seperti dua remaja sejoli yang sedang ribut. Begitu berhasil merebut HP itu, Harmoko langsung pergi menjauhkan dirinya dari istrinya itu. Nampak dia bersegera melakukan panggilan sembari berjalan cepat di antara keramaian di gedung pasar inpres tersebut. Tinggallah Rosdiana bersama dua orang anak buahnya yang mengiringi di belakang. Sejak Yusuf tak lagi bekerja dengan mereka, David cukup sering terpaksa ikut turun ke ladang-la