Share

005 - Keputusan Yusuf

Yusuf hanya diam, pantang baginya berdebat dengan seorang wanita dalam kondisi seperti itu. Dia terus menatap lurus ke arah Sutan Sati, hingga lelaki tua itu tidak punya pilihan lain selain menyuruh anaknya itu berhenti.

  

“Rosdiana! Cukup!” sergah Sutan Sati.

  

“Bagaimana mungkin aku diam saja! Anak petani itu sudah mulai kurang ajar di rumah ini. Lihat apa yang sudah diperbuatnya. Anjing saja tak akan mau menggigit tangan tuannya," bantah Bu Harmoko. 

  

Yusuf hanya bisa menunduk. Dia mencoba menahan amarahnya, mengingat Bu Harmoko masih ibu kandung dari Rayna, merasa tak enak jika harus mendebat balik padanya.

  

Pak Harmoko bergegas membawa Yusuf dan keluarganya, bersama Rayna dan putranya ke rumah lain yang ditinggali Cindy.

  

“Heh?! Aku belum selesai!" teriak Rosdiana.

  

Namun Harmoko mengabaikannya dan segera menjauhkan Yusuf dan keluarganya untuk segera menghentikan keributan tersebut.

  

“Nes, tahan kakakmu!" seru Sutan Sati.

  

Namun Nesty malah memperlihatkan raut wajah kesal dan berjalan menuju dapur. Sutan Sati mencoba menegur atas sikapnya itu, namun tetap tak diindahkan. Bu Harmoko ikut mengabaikan ayahnya itu dan menyusul adiknya.

  

Beruntung bagi mereka, semua teman Cindy yang ngekos di rumah itu selalu pulang ke kampung masing-masing setiap akhir pekan. Setidaknya, apa yang baru saja terjadi dalam keluarga itu tidak sampai diketahui oleh orang luar.

  

Cindy yang kebetulan menyaksikan seluruh kejadian itu dari awal hingga akhir hanya bisa bersimpati pada Yusuf dan keluarganya yang baru datang dari kampung. Namun, dia tahu bagaimana ibunya sendiri membenci Yusuf, dan tidak memiliki keberanian untuk berada di sisi buruk ibunya tersebut.

  

Cindy terus mengelus dan mengusap bahu adik perempuan Yusuf yang masih remaja yang sampai saat ini masih gemetaran karena rasa takut.

  

Tak tahan dengan kondisi adiknya itu, Yusuf pun memutuskan untuk segera angkat kaki dari rumah itu.

  

“Rayna, bisakah kamu mengambilkan semua pakaianku? Tidak perlu membawa semuanya, cukup beberapa baju yang dulu aku bawa saat datang ke rumah ini saja,” pinta Yusuf.

  

Hal itu membuat semua orang yang ada di ruangan itu sedikit terkejut. Semua sadar bahwa Yusuf telah mengambil keputusan untuk tidak akan menginjakkan kakinya lagi di Rumah Gadang tersebut.

  

Rayna menitipkan putranya kepada ibu Yusuf dan buru-buru kembali ke rumah. Sementara itu, Yusuf berbicara kepada Pak Harmoko, menyampaikan niatnya untuk tidak lagi bekerja dengannya.

  

Hal itu mengubah wajah Pak Harmoko secara drastis. Dia terdiam cukup lama, nampak begitu kecewa. Tapi lebih dari itu, dia begitu serba salah jika harus membiarkan Yusuf meninggalkan bisnisnya.

  

“Kau seharusnya sudah mengetahuinya. Jika kau pergi sekarang, kita tidak akan mampu bersaing dengan Mahzar dan komplotannya. Tidak mungkin aku bisa menyerahkan ini semua pada David sendirian. Aku bukan satu-satunya orang yang akan terpengaruh oleh ini. Kalau aku biarkan Mahzar menguasai pasar, semua petani pun akan terkena dampaknya,” jelas Pak Harmoko.

  

“Maafkan aku, Ayah. Pantang bagiku untuk kembali ke Rumah Gadang itu. Dan mengenai bisnis ini…”

  

“Aku sendiri yang meminta Yusuf untuk meninggalkan bisnis ini, Ayah!” Rayna memasuki ruangan, sudah siap dengan segala sesuatunya untuk meninggalkan rumah. “Maafkan aku, tapi aku tidak ingin memberikan makan kepada anakku dengan uang yang kita dapatkan dengan memeras tangisan para petani.”

  

Harmoko tersentak kaget dengan kata-kata dari putri sulungnya itu. “Apa yang kau bicarakan? Jangan mengatakannya seolah-olah Ayah tidak peduli dengan kehidupan petani. Ayah sudah mencoba yang terbaik untuk menjaga harga cukup tinggi bagi mereka. Tapi tetap saja, Ayah tidak bisa melakukan lebih, dalam situasi di mana distributor lain memainkan harga seperti itu,” jelas Pak Harmoko.

  

“Tidak, Ayah. Tentu ayah tidak akan pernah bisa menyaingi Mahzar dan komplotannya. Tidak akan, selama semuanya masih diatur oleh Ibu,” balas Rayna dengan tatapan dingin.

  

“Apa maksudmu bicara seperti itu?” Harmoko tertegun.

  

Baik Harmoko maupun Yusuf terlihat begitu bingung dengan kata-kata Rayna. Sepertinya Rayna tahu sesuatu yang tidak mereka ketahui selama ini, mengenai campur tangan Rosdiana, istrinya Harmoko, terhadap bisnis yang sedang mereka jalankan.

  

Kenyataannya, Rayna sudah lama curiga, bahwa selama ini ibunya memanfaatkan David untuk jadi perantara, bukan memenangkan negosiasi untuk Ayahnya. Sebaliknya, menjadi perantara ibunya, agar para distributor itu menjalankan skema bisnis yang dia rancang. Sebuah skema yang menguntungkan mereka para distributor dengan memeras para petani, sesuatu yang hanya bisa dijalankan jika semuanya sepakat memainkan model yang sama.

  

Hanya saja, Bu Harmoko tahu bahwa suaminya tak akan mau menggunakan pendekatan tersebut. Namun jika distributor lain kompak dengan itu, mau tak mau tentu Harmoko akan terpaksa mengikuti skema pasar jika masih ingin bertahan.

  

Rayna cukup menyadarinya dengan apa yang selama ini dia amati di rumah. Akan tetapi, dia tak mau menceritakan hal itu pada ayahnya, karena takut hal itu akan memicu keretakan hubungan dari kedua orang tuanya itu.

  

“Ayah terlalu sibuk mengurus lawan bisnis Ayah di pasar, sampai luput kalau ancaman itu datang dari rumah sendiri,” lanjut Rayna yang semakin membuat ayahnya itu kebingungan.

  

Harmoko pun terdiam mencoba membaca ujung dari kata-kata anaknya itu. Namun Rayna langsung membuang muka, merasa sedikit menyesal karena sudah terlanjur mengungkit kata-kata itu. Sebisanya, dia tak ingin menceritakan itu pada yang lain, dan berharap dia dan suaminya bisa pergi meninggalkan rumah itu tanpa harus mengungkit kecurigaannya itu.

  

Namun Harmoko tak bisa mengabaikan saja hal tersebut. Dia tahu anaknya itu, seseorang yang bergelar master dalam manajemen bisnis, tentu tak akan sembarangan mengeluarkan kata-kata tersebut. Apa lagi dengan kesan seperti sedang mencurigai ibu kandungnya sendiri.

  

“Apa kau mengetahui sesuatu yang tak Ayah ketahui selama ini?” tanya Harmoko.

  

Rayna masih membuang muka, nampak begitu berat untuk menceritakannya. Namun hal itu justru membuat ayahnya semakin sadar. Begitu juga dengan Yusuf, yang mulai bisa meraba-raba alasan kenapa istrinya itu begitu ngotot untuk memintanya berhenti ikut terlibat dalam bisnis keluarganya itu.

  

“Maafkan aku, Ayah. Sebagai seorang petani kampung, aku tak bisa meneruskan ini semua. Lagi pula, tak mungkin bagiku untuk kembali menginjakkan kaki ke Rumah Gadang itu lagi,” kata Yusuf.

  

“Bukankah kamu juga anak petani? Apakah kamu akan diam saja membiarkan ini semua terjadi pada mereka?” Harmoko menyela. “Sejauh ini, hanya kita satu-satunya yang masih memikirkan nasib mereka dan menawarkan harga yang sedikit lebih wajar.” 

  

“Mungkin ini akan terdengar naif, tapi aku akan melawan mereka dengan caraku sendiri,” jawab Yusuf.

  

“Caramu sendiri? Memangnya apa yang akan kau lakukan?”

  

“Memang aku hanya dibesarkan sebagai petani. Tapi, bukankah Ayah juga sudah mengajariku menjadi pengusaha yang baik selama ini,” jawab Yusuf.

  

“Dan lagi, bukan berarti dia akan melakukannya sendirian kan,” lanjut Rayna menimpali, nampak mantap bahwa dia akan selalu mendukung suaminya itu.

  

Harmoko pun menghela nafas sesaat, mulai menyadari kalau keputusan anak dan menantunya itu sudah bulat untuk pergi meninggalkan rumah serta bisnis keluarga yang dijalankannya.

  

Dia melirik sesaat ke arah ibunya Yusuf dan juga adiknya. Melihat kondisi mereka yang masih gemetar ketakutan seperti itu, tak mungkin juga rasanya dia menahan mereka lebih lama lagi di rumah itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status