Harmoko pun berdiri dan menuju teras rumah sembari mengeluarkan ponselnya untuk segera melakukan panggilan.
“Tunggulah sebentar. Kebetulan ada dua truk kita yang akan bertolak menuju kampungmu. Ayah akan memberitahu sopirnya, agar kalian bisa pergi bersama mereka,” jelas Harmoko bergegas keluar dari ruangan itu.
Tak lama setelah itu, Harmoko kembali dan memberitahu putri dan menantunya itu bahwa dua truk yang akan pergi itu sudah siap di depan. Yusuf hanya menyempatkan pamit pada ayah mertuanya. Namun hatinya tak kuasa untuk menampakkan muka di hadapan ibu mertuanya lagi.
Sementara itu, Bu Harmoko masih mencak-mencak di dapur ditemani oleh beberapa orang saudara iparnya, termasuk satu orang adik perempuannya yang sebelumnya digampar Yusuf.
“Awas saja! Memangnya bisa apa dia di rumah ini. Begitu semua acara ini selesai, dia dan ibunya yang kampungan itu tak akan kubiarkan bisa tenang berlama-lama di rumah ini,” geramnya.
Tepat di saat Rosdiana berkata seperti itu, suaminya datang ke dapur tersebut. “Anak kita sudah memutuskan untuk pergi bersama suaminya. Mereka tidak akan tinggal di rumah ini lagi. Apa kau puas sekarang?” potong Harmoko.
Wajah Bu Harmoko langsung mengkerut. Dia pun menyingsing sedikit roknya dan menggerakkan pinggulnya yang lebar itu begitu keras, bergegas menuju halaman depan. Tak mungkin dia akan membiarkan putri sulungnya itu, sebagai calon "Limpapeh" di Rumah Gadang, pergi begitu saja.
“Apa dia tak sadar juga, dia hanya akan membuat malu keluarga ini?” gerutunya.
Harmoko terus saja berusaha untuk menahan amarah istrinya itu. Namun tak diindahkannya. Hingga kembali Sutan Sati menghardiknya sebelum Bu Harmoko sempat keluar dari pintu rumah.
“Ros! Di luar sana masih ada sopir-sopir anak buah suamimu. Apa kau akan kembali ribut-ribut di depan orang banyak?” tegur Sutan Sati yang saat ini sedang sibuk mengurut pergelangan tangan anaknya.
Teguran itu memang sempat menghentikan Bu Harmoko sesaat. Namun tak lama dia bisa meredam rasa kesalnya. Begitu dia mendengar suara truk itu, dia pun bergegas keluar dari rumah hendak mencegah truk itu pergi.
“Rayna! Mau kemana kau? Segera turun dari truk itu!” teriaknya.
Rayna sama sekali tidak menjawab perkataan ibunya. Dia merasa serba salah, karena tak pernah sekalipun dia mengabaikan kata-kata dari ibunya itu karena rasa bakti sebagai seorang anak. Tapi dia tahu, tak mungkin lagi dia mendengarkan makian ibunya itu.
Harmoko pun bergegas menyusul istrinya, berusaha untuk menahannya untuk tidak menjadikan masalah itu berlarut-larut.
“Sudah, Ros! Bukankah kamu sendiri juga tidak senang dengan keberadaan Yusuf di rumah ini. Biarlah Rayna pergi bersama suaminya. Dia sudah bukan anak-anak lagi,” bujuk Harmoko.
“Enak saja. Kalau mau pergi juga, tak usah pakai truk ini. Cari saja kendaraan lain,” bentak Bu Harmoko melepaskan pegangan suaminya.
Dan seketika itu juga...
BAM!!!
Terdengar suara hempasan dari pintu truk. Rayna pun ternyata sudah turun dari truk itu. Wajah Bu Harmoko sedikit berubah lega karena sepertinya putri sulungnya itu tak jadi pergi.
Tapi Rayna turun bukannya untuk kembali ke rumah. Dia menatap dingin sesaat, kemudian terus berjalan menuju pagar depan dan berdiri di sana menantikan suami, ibu mertua serta adik iparnya untuk ikutan turun dari truk yang lainnya.
Leher dan rahang Rosdiana pun semakin mengembang dan menegang karena emosi dan rasa kecewa.
“Ya sudah! Kalau mau pergi, minggat saja sekalian, dasar anak durhaka. Pergi saja kau dengan suami kampunganmu itu. Tak usah saja kembali ke rumah ini. Kau pikir kau satu-satunya anak di rumah ini?” teriak Rosdiana penuh rasa kecewa, dengan dada yang membuncah.
Hal itu membuat mata Rayna semakin berkaca-kaca. Namun ditahannya hingga tak setetes pun yang keluar dari lubuk bola matanya. Hingga tangisan itu pun jatuh ke dalam lubuk hati, karena rasa takut telah disumpahi sebagai anak durhaka oleh ibu kandung. Namun pilihan apa yang tersisa untuknya saat ini?
Ibu Yusuf semakin ketakutan dengan jari-jari nampak begitu lemah memegangi barang bawaannya. Dia diliputi perasaan bersalah, merasa dirinya jadi pemicu ribut-ribut dua orang ibu dan anak itu. Rayna pun mencoba menenangkan mertuanya itu dan mengajaknya keluar dari perkarangan rumah.
Sementara itu, Yusuf langsung melakukan panggilan, meminta bantuan Bobby, teman terdekatnya, untuk mengantarkan dia dan keluarganya kembali ke kampung.
“Bobby! Apa mobil Bapakmu sedang nganggur di rumah? Bisa tolong antarkan aku ke kampung?” tanya Yusuf.
[Sekarang?!]
Tiba-tiba Rayna langsung merebut ponsel itu dan memutus panggilannya. “Jangan libatkan Bobby. Aku takut nanti dia ikutan jadi sasaran kekesalan ibuku. Kita cari mobil travel saja,” jelasnya sembari menarik lengan suaminya itu untuk terus menjauh dari rumah.
Cukup lama juga mereka menunggu di pinggir jalan raya, menantikan ada mobil travel yang lewat. Tanpa sepengetahuan Rayna, kenyataannya Yusuf jauh-jauh hari sudah sering juga berbagi cerita pada sahabatnya tersebut. Dan benar saja, meski Rayna sempat memotong teleponnya, sekarang Bobby sudah datang menghampiri mereka dengan sebuah mobil Toyota kijang keluaran 90an.
Tanpa banyak basa-basi, hanya dengan sedikit tersenyum pada Yusuf, Bobby langsung mengangkut barang bawaan ibu Yusuf ke dalam mobil. Rayna hanya bisa menghela nafas sesaat, merasa tak enak juga menolak bantuannya. Siang hari itu juga, mereka pergi untuk tinggal di kampung halaman Yusuf.
“Apa tidak apa-apa kau berbuat sejauh ini?” tanya Rayna pada Bobby.
“Kenapa emangnya?” balas Bobby, berlagak polos tak tahu situasinya.
“Bisa-bisa kau pun kena getahnya dimaki-maki sama ibuku.”
“Tak usah khawatir. Pak Harmoko sendiri yang meneleponku,” jelas Bobby.
Rayna pun sedikit terkejut, tak menyangka ternyata ayahnya sudah berbuat sejauh itu untuk membelanya. Sekarang dia hanya bisa memikirkan kondisi ayahnya menjadi sasaran kemarahan ibunya di rumah.
Situasi di mobil itu hening cukup lama. Hingga tiba-tiba Bobby mencoba memancing cerita untuk mengurai kebuntuan mereka.
“Ngomong-ngomong, Yusuf! Apa rencanamu setelah ini?” tanyanya.
Yusuf pun masih terdiam beribu bahasa, masih larut dengan pilihan-pilihan yang mungkin tersedia untuknya.
Bobby hanya bisa menghela nafas memikirkan kondisi sahabatnya tersebut. Meski begitu, tak banyak juga yang bisa dilakukannya, karena nasibnya saat ini juga bergantung pada keluarga Harmoko.
“Aku cuma mau bilang, kalau mau balik jadi petani juga di kampung, kau tahu sendiri kondisinya saat ini. Hampir semua touke makin gila-gilaan mencekik harga sekarang. Sudah tidak jarang petani membuang panennya ke tengah jalan sebagai bentuk protes. Sebagian malah nekat mengangkut barang mereka sendiri ke kota dan ikut jualan di pinggir jalanan pasar raya. Tapi kau pasti tahu, kondisi seperti itu tak akan baik bagi petani seperti mereka.”
Yusuf hanya bisa terdiam mendengarkan penjelasan temannya itu. Sedikit banyak, tentu dia tahu juga kondisinya. Karena dia sendiri sudah cukup jauh dan cukup lama juga terlibat dalam bisnis tersebut.
“Jangan lupa, temanmu ini juga orang kepercayaan ayahku,” ucap Rayna sedikit menyela.
“Ya kali saja dia lupa atau tak memikirkannya sejauh itu,” sanggah Bobby menyela. “Lagi pula, apa yang selama ini kita lihat sebagai pedagang, mungkin akan berbeda dari apa yang dilihat dari mata seorang petani. Aku tak tahu pasti, karena aku sendiri tak pernah merasakan hidup jadi seorang petani.”
Dan memang seperti yang diucapkan Bobby, sekarang setelah Yusuf sudah memutuskan keluar, perspektifnya benar-benar jauh berubah. Saat mobil itu sudah mulai memasuki kawasan pedesaan di kampung halamannya, memang benar ada beberapa petani yang menelantarkan tomat-tomat mereka membusuk di pinggir jalan. Apa yang sudah susah payah mereka tanam dari tanah, terpaksa mereka biarkan kembali membusuk ke tanah.
Bukan pertama kalinya juga Yusuf menemukan pemandangan seperti itu. Hanya saja, sekarang Yusuf tak lagi melihat itu semua dari kaca mata seorang pedagang. Karena mulai hari itu juga dia akan menjadi bagian dari mereka, kembali menjadi petani di desa pelosok kabupaten tersebut.
Note :
"Limpapeh" bisa ditujukan untuk kupu-kupu. Tapi juga bisa ditujukan untuk tiang tengah penumpu Rumah Gadang.
Ungkapan "Limpapeh di Rumah Gadang" secara harfiah ditujukan pada wanita tertua yang akan menerima amanah merawat Rumah Gadang. Wanita yang menerima amanah ini akan selalu menetap di sana, setidaknya hingga amanah itu diserahkan ke "Limpapeh" generasi selanjutnya, seperti posisi Rayna saat ini.Karena ini juga, di sebagian daerah ada juga yang menyebut kupu-kupu sebagai "Limpapeh", sebagai gambaran keelokan budi seorang wanita penerima amanah di Rumah Gadang.Saat sampai di rumah, kedatangan Yusuf dan keluarganya menjadi perhatian para tetangga. Satu tetangga ramah yang terdekat, Bi Minah, datang dengan sedikit ekspresi linglung tergambar di wajahnya. “Sudah pulang saja, Mak Sannah?” tanyanya pada Ibu Yusuf. Ibu Yusuf mengangguk sedikit, dan Bi Minah pun juga ikutan manggut-manggut dengan senyuman canggungnya. Ibunya Yusuf tak tahu harus bagaimana bercerita, karena kenyataannya dia tak sampai satu jam menginjakkan kaki di Rumah Gadang besannya di kota. “Dah selesai saja acara “turun mandi” anak si Yusuf?” tanyanya lagi. “Itu si Yusuf dan istrinya datang ke sini bersama anak mereka,” balas Ibu Yusuf sembari tetap sibuk menurunkan barang bawaannya dari mobil Bobby. Yusuf pun lewat sembari membawa barangnya ke dalam. Dia menyempatkan diri menyapa tetangga yang saat ini sedang berdiri di teras rumahnya itu. “Sore, Bi Minah!” sapa Yusuf sedikit menundukkan kepala sambil lalu. “Ah, Iya!” balasnya. Bi Minah nampak semakin pangling menyaksi
Sebenarnya, selama dua tahun lebih ikut dalam bisnis Harmoko, Yusuf lumayan bisa menyimpan uang. Dia bukan tipe orang yang konsumtif. Sementara biaya hidup selama ini ditanggung kelurga Harmoko karena mereka tinggal bersama. Dengan itu juga dia selalu bisa membantu ibu dan juga adiknya di kampung. Begitu juga dengan Rayna yang memiliki simpanan yang lumayan cukup. Meskipun begitu, dua orang suami istri ini berpikir jauh ke depan. Mereka tak mungkin menunggu semua simpanan itu habis duluan baru mencari solusi saat kepepet. “Rayna, kamu balik saja ke rumah dulu bawa Taufiq. Tak baik berpanas-panas di sini,” teriak Yusuf dari balik semak-semak. “Dingin begini dibilang panas,” balas Rayna yang saat ini menggendong bayinya, menemani Yusuf yang sibuk mengurus ladang yang sudah lama ditelantarkan. Yusuf pun berdiri, namun hanya terlihat sedikit kepalanya diantara tingginya semak-semak. “Dingin karena kita berada di ketinggian. Begitu juga dengan anginnya. Tapi terpaan sinar matahari langs
Sesaat kemudian, Rayna nampak sedikit kaget, menemukan sudah cukup banyak kentang terkumpul di ladang yang baru selesai dirambah Yusuf. “Lho, dapat dari mana kentang-kentang ini?” tanyanya. “Dari semak-semak yang dirambah tadi,” jawab Yusuf. “Waaah, bisa dibikin Potato Chips?” tanya Rayna dengan wajah sumringah. Yusuf mengangguk pelan dengan sedikit senyuman. Namun, melihat Rayna yang bersemangat itu, Yusuf malah terpikirkan akan sesuatu yang konyol. Sore itu, Yusuf menghentikan pekerjaannya, dan seluruh kentang-kentang itu diangkut ke rumah dengan dibantu istrinya. Namun sesampainya di rumah, Yusuf malah menebar kentang-kentang itu di lantai di salah satu sudut ruangan. Sementara dia sibuk dengan kentang itu, Rayna datang dengan membawa pisau dan sebuah baskom. “Mau apa?” tanya Yusuf. “Mau mengupas kentangnya,” balas Rayna. “Jangan. Kentang-kentang ini bagus untuk dijadikan bibit,” jelas Yusuf. “Eeeh? Jangan-jangan?” “Melihat kamu semangat begitu, sayang kalau tak dimanfaatka
Namun tiba-tiba Aisyah terpikirkan sesuatu. “Oh? Kalau begitu, masak juga tanggung jawab Abang dong? Trus kenapa Abang serahkan kentangnya ke Emak, sementara Abang ngotot tak bolehkan Aisyah bantu nyuci?” balasnya beretorika. Yusuf pun berdiri menghentikan kucekan cuciannya, sedikit mengerutkan dahi dengan wajah pangling. Tak disangkanya, adiknya itu sudah makin jeli dalam beradu argumen. Dia bingung apa harus kesal atau bangga dengan perkembangannya itu. “Sudah! Kamu bantu Mak saja di dapur sana,” timpal Yusuf, mencoba menolak kekalahannya beradu argumen dengan adiknya itu. “Eh, Bang. Kalau sampai ada yang datang lihat Abang nyuci, bisa-bisa Abang diejek lagi lho. Atau mungkin seisi rumah ini jadi gunjingan orang, seolah tak ada lagi perempuan di rumah ini,” gerutu Aisyah meninggalkannya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Apa yang dikhawatirkan Aisyah pun datang menghampiri rumah mereka. Baru saja dia meninggalkan Yusuf, sudah terdengar suara laki-laki mengucap salam di pintu depan. A
Yusuf mungkin sudah terbiasa dipandang rendah orang. Tapi dia tak pernah bisa tahan menerima ibunya dipermalukan. Apa lagi setelah melihat ibunya menangis seperti itu. Semua pengunjung warung kopi pun langsung tersentak. Begitu juga dengan Rendy yang langsung gamang melihat Yusuf dengan wajah yang begitu mengerikan. Dia sadar, tak mungkin lagi situati seperti itu akan selesai dengan pembicaraan baik-baik. “Yusuf!” tegur Joni panik. Namun dia dan juga Andra nampak terlambat untuk menghentikan Yusuf karena berada di balik meja. Untungnya dua orang pria lain sudah lebih dulu menahan Yusuf. Mereka nampak kesulitan menahannya. Sementara Yusuf tak juga berkata apa-apa. Dia sama sekali tak meminta orang-orang itu melepaskannya, hanya terus meronta berusaha membebaskan diri. “Sabar, Suf! Sabar! Jangan bikin gaduh di warung orang. Tak enak sama Pak Saidi, Suf.” Yusuf masih tak menjawab. Hanya ada suara erangan nafas yang begitu berat terdengar, karena emosi yang sudah begitu memuncak. Ke
Seperti kebanyakan laki-laki, tidur semalaman tak cukup meredakan semua rasa kesal dalam diri Yusuf. Dia masih belum bisa lepas dari apa yang terjadi di warung Pak Saidi.Sesaat sebelum habis waktu subuh, Yusuf berdiri di teras rumah di saat kabut putih masih cukup tebal menutupi pandangan. Dia berdiri di sana menatapi ladang. Meski udara di luar begitu dingin, namun dadanya masih panas.“Sudah hampir satu jam kamu berdiri sendirian di sini,” ujar Rayna tiba-tiba dari belakang.Pikiran Yusuf tersentak dan sedikit menoleh ke belakang. Namun setelah itu dia kembali menatap lurus ke arah ladang.“Aku tahu ada yang sedang kamu pikirkan. Apa terjadi sesuatu?” tanya Rayna.Yusuf pun menghela nafas sesaat. “Aku sedang memikirkan untuk membuat greenhouse untuk ladang ini. Tapi ragu, apa hitung-hitungannya masuk nanti.” Yusuf mencoba mengalihkan perhatian Rayna.“Ladang seluas ini? Bisa makan banyak biaya juga ini,” balas Rayna menimpali.“Itulah. Aku masih punya dana simpanan untuk itu. Aku p
Harmoko terkejut, nampak sangat tidak senang. Namun Rosdiana memasang wajah cuek bebeknya. HP itu kembali berdering dan tentu saja langsung ditolak oleh Rosdiana. “Kenapa kau tutup teleponnya?” tanya Harmoko lirih berbisik. “Kita sudah tak ada hubungan lagi dengannya,” jawab Rosdiana ketus memasukkan HP suaminya itu ke dalam tas. “Kita? Terserah jika kau berpikir tak ada hubungannya. Jangan bawa-bawa aku juga,” sergah Harmoko dengan suara tertahan, mencoba mengambil kembali HP itu. Rosdiana menjauhkan tasnya, dan dua orang suami istri itu mulai nampak sibuk seperti dua remaja sejoli yang sedang ribut. Begitu berhasil merebut HP itu, Harmoko langsung pergi menjauhkan dirinya dari istrinya itu. Nampak dia bersegera melakukan panggilan sembari berjalan cepat di antara keramaian di gedung pasar inpres tersebut. Tinggallah Rosdiana bersama dua orang anak buahnya yang mengiringi di belakang. Sejak Yusuf tak lagi bekerja dengan mereka, David cukup sering terpaksa ikut turun ke ladang-la
Yusuf yang kaget tak siap bereaksi, menjadi kehilangan keseimbangan. Dia tak sempat menahan gerobak yang penuh itu. Dua orang suami-istri itu, gerobak beserta muatannya, terjatuh di pinggir jalan. Beberapa ibu-ibu yang kebetulan ada di sekitar lokasi kejadian begitu terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. “Hoi, Anak Setan! Siampa! Asal saja kau bawa motor! “Tak lihat kau jalanan sempit, ramai orang berjalan kaki!” Mereka beramai-ramai meneriaki si pengendara motor. Namun tak satu pun yang tahu kalau sebenarnya si pengendara itu benar-benar sengaja menendang gerobak Yusuf. Yusuf bersegera menghampiri Rayna dan membantunya berdiri. Kedua telapak tangan Rayna lecet karena refleks untuk menahan diri saat terjatuh. Yusuf murka dan mengalihkan perhatiannya pada motor yang baru saja lewat. Motor yang sangat begitu familiar baginya. Apa lagi, si pengendar menyempatkan menoleh ke belakang, memperlihatkan seringai buruk yang penuh rasa kepuasan. “Dia lagi? Dasar kunyuk tak tahu diuntu