Dalam beberapa hari ke depan, ibu Yusuf dan adik perempuannya juga akan datang untuk melihat bayi Yusuf yang baru lahir. Ini adalah acara tradisional khusus yang disebut “turun mandi”, di mana semua keluarga akan datang untuk ikut merayakan.
“Jadi kamu pesankan pada ibumu untuk membawakanku Lamang Tapai? Aku sudah cukup lama kangen dengan Lamang Tapai buatan ibumu,” kata Rayna pada suaminya
“Kamu tidak perlu khawatir. Membawakan Lamang Tapai untuk menantu sudah menjadi tradisi keluarga. Meski aku tidak memintanya, dia sendiri akan membawakannya untukmu,” jelas Yusuf.
Sementara itu, Bu Harmoko telah sukses menyebar kebenciannya terhadap Yusuf kepada kerabatnya yang lain. Terutama kepada ayahnya sendiri, Sutan Sati, dengan mengungkit isu soal pemberian nama anak, dengan memanas-manasi bahwa Yusuf terang-terangan mengatakan bahwa wejangannya itu sesuatu yang konyol. Tentu hal itu ikut mempengaruhi reaksi dari kerabatnya yang lain.
Di hari acara turun mandi itu, semua kerabat dari pihak keluarga Bu Harmoko terus memanggil anak Yusuf dengan nama Steven atau Steve. Mereka sengaja melakukannya dengan lantang di depan Yusuf. Terkadang terlihat seperti mencoba memanas-manasinya.
“Steve, nanti kalau sudah gede jangan seperti bapakmu, ya! Sudah enak tinggal nyaman di rumah mertua, tapi malah ngelunjak tak tahu berterima kasih,” goda Nesty, adik perempuan dari Bu Harmoko.
“Ya tak mungkin, laaah! Selama Steve dalam naungan neneknya, tinggal di rumah ini dan sekolah di sekolah terbaik, dia tak akan mungkin seperti itu. Lain soal kalau dia dididik dengan mindset dan pola pikir kampungan,” sela Bu Harmoko menimpali dengan dagu yang meninggi.
Rayna hanya menyipitkan mata, menatap dingin ke arah bibinya, dan tentu tak mungkin juga mengekspresikan ketidaksenangannya atas kata-kata sindiran dari ibunya sendiri. Sementara Yusuf hanya bisa diam menebalkan telinga, duduk tak begitu jauh dari Rayna dan anaknya.
Mereka tak ingin terlalu serius menanggapinya, mengingat banyaknya kerabat keluarga lain di rumah itu. Lagi pula, rata-rata dari mereka juga bersikap sama, dan Rayna sadar ini pasti karena pengaruh ibunya juga. Selama satu hari itu, bayi kecil tak berdosa itu telah menjadi senjata bagi mereka untuk menghina dan mengejek status Yusuf dalam keluarga.
Semua menjadi semakin berlarut-larut ketika ibunya Yusuf baru datang ke rumah tersebut. Beberapa bocah yang sibuk berlarian tanpa sengaja menabrak perempuan paruh baya itu di pintu depan, membuat bingkisan kue dan Lamang Tapai yang dipesankan Rayna berserakan di lantai. Bocah itu pun sudah terlanjur menangis duluan sebelum dimarahi.
Ibu Yusuf langsung menenangkannya dengan penuh kasih sayang, membelai rambut anak itu dengan ramah. “Tidak apa-apa. Itu hanya kecelakaan, bukan masalah,” jelasnya dengan senyum lembut dan menyeka air mata bocah tersebut.
Namun kemudian, Nesty yang merupakan ibu dari bocah itu, yang juga merupakan adik perempuan Bu Harmoko, datang dan menarik anaknya menjauh dari ibu Yusuf.
“Apa yang kau lakukan pada anakku? Jauhkan tangan kotormu darinya!” bentak wanita tersebut.
Hal itu mengejutkan ibu Yusuf, begitu juga dengan adik perempuan Yusuf yang baru kelas dua SMP. Gadis kecil itu langsung menyembunyikan dirinya di belakang ibunya dengan begitu ketakutan
“Siapa yang membiarkan pengemis ini masuk sejauh ini ke dalam rumah ini?” Wanita itu berteriak seolah mencoba memberi tahu yang lainnya. “Tidakkah ada yang sudi untuk mengusir pengemis ini dari rumah?!”
Pada saat itu, Yusuf berdiri tepat di belakangnya. Wanita itu mencoba untuk mendorong Yusuf seperti ingin melanjutkan panggilannya ke dalam rumah, memanggil seseorang untuk mengusir wanita kampung itu.
“Ros! Apa rumahmu tak ada satpamnya? Kok bisa-bisanya pengemis masuk sejauh ini? Lihatlah, lantai jadi kotor begini. Sampah apa lah yang dibawa orang tua ini ke sini,” teriak Nesty tanpa mengindahkan keberadaan Yusuf di dekatnya.
Yusuf pun jadi naik pitam. Tak mungkin rasanya, adik dari ibu mertuanya itu tak mengenal ibunya yang merupakan besanan di keluarga tersebut.
“Dia itu ibuku, bukan pengemis,” sergah Yusuf.
“Tapi kok kaya' pengemis gitu. Pede-pedenya masuk ke rumah besar ini. Apa ibumu tak tahu diri?" balasnya.
Sadar bahwa wanita itu sengaja menghina ibunya terang-terangan di depannya, sekonyong-konyong Yusuf langsung menampar wajahnya begitu keras karena tidak bisa lagi menahan amarahnya.
“Boleh saja kau menghinaku, tapi tidak ibuku!” bentak Yusuf.
Bocah kecil yang tadi sedang menangis itu sekarang menangis lebih keras melihat ibunya ditampar Yusuf. Hal itu menarik lebih banyak orang untuk datang. Satu remaja laki-laki berlarian ke ruang tengah menemui seorang pria yang kebetulan adalah suami dari Nesty tersebut.
Mengetahui Yusuf baru saja menampar istrinya, wajah pria itu memerah karena amarah, bergegas menuju ruangan depan sembari menyingsingkan lengan bajunya.
“Bangsat! Asalan saja menampar istri orang!” gerutu laki-laki itu menuju ruangan depan.
Keributan itu pun merembet ke Sutan Sati, ayah kandung dari Bu Harmoko yang kebetulan sedang duduk di ruang tengah. Begitu juga dengan menantunya dan juga dua orang laki-laki saudara kandung Bu Harmoko. Mereka bersama Bu Harmoko bergegas ke pintu depan hendak melihat keributan yang baru saja terjadi.
“Siapa yang membuat keributan di rumah ini? Apa dia tidak tahu siapa yang ada di rumah ini?” tanya Sutan Sati sambil melipat lengan bajunya seolah ingin memamerkan kebolehanya sebagai seorang pendekar silat.
Namun, ketika dia keluar untuk mengurai semua keributan itu, dia melihat dua orang menantunya dan salah satu putranya sendiri sudah terkapar di lantai tanpa daya. Ia masih berkesempatan melihat Yusuf membanting putra sulung dari lelaki tua itu. Yusuf menindih lehernya dengan satu lutut sambil memelintir pergelangan tangan pria itu.
Orang tua itu terdiam, tidak bisa menunjukkan nyali untuk meminta Yusuf berhenti. Saking ketakutannya, melihat wajah Yusuf yang sudah berlumuran darah dari anak dan menantunya yang sudah dihajar oleh laki-laki kampungan itu.
Hingga akhirnya Pak Harmoko datang dan membubarkan perkelahian tersebut.
“Yusuf! Apa yang kau lakukan? Apa kau sudah tidak memiliki rasa hormat untuk keluarga ini lagi?” bentak ayah mertuanya itu.
Yusuf melepaskan satu orang yang saat ini dia tindih di lantai. Dia mencoba menenangkan diri dan mengambil napas dalam-dalam, dan kemudian melepaskan kedua jari pria itu.
“Siapa lagi yang ingin menghina ibuku?!” tantangnya dengan menatap dingin ke arah Sutan Sati, ayah Bu Harmoko yang kebetulan satu-satunya pria yang masih berdiri di antara kerumunan pihak keluarga dari Bu Harmoko tersebut.
Sutan Sati diam, selirik dua lirik ke arah Lamang Tapai yang berserakan di lantai, serta ke arah Ibu Yusuf dan adik perempuannya yang gemetar ketakutan. Dari sedikit kata-kata Yusuf itu, dia sedikit bisa meraba-raba penyebab kegaduhan tersebut.
“Di mana rasa malumu, orang tua? Apa ini caramu mengajarkan anak dan kepokananmu? Aku mungkin hanya anak petani. Tapi ayahku tidak pernah mengajariku untuk menghina tamu yang datang ke rumah, apalagi jika tamu tersebut adalah ibu dari Urang Sumando sendiri. Apakah sudah hilang “Minang” dalam diri kalian dan menjadikan kalian seperti Kabau (Kerbau) saja?”
Di situ Sutan Sati semakin yakin dengan dugaannya, bahwa seseorang telah menghina tamu yang sejatinya masih besan di Rumah Gadang tersebut.
Sutan Sati yang merupakan orang yang beradab dan beradat, terdiam tak bisa menyela. Apa yang baru saja dikatakan Yusuf adalah tentang etika menjadi orang Minangkabau. Sebagai seorang pria terhormat dan ahli silat, Sutan Sati tentu tahu betul maksud sindiran dari kata-katanya tersebut.
Namun, Rosdiana - istri Harmoko, yang tidak mengerti sedikit pun makna mendalam dari kata-kata Yusuf, mulai mencak-mencak. “Dasar mantu kurang ajar! Tak usah kau sok mengajari ayahku. Kau pun hanya Urang Sumando di rumah ini. Hadir kau di sini cuma jadi benalu. Lagak sok bermartabat. Kau cuma petani kampung, tahu apa kau soal martabat?”
Selang beberapa minggu, kepolisian masih saja belum menemukan keberadaan satu preman yang jadi buronan tersebut. Tentu mereka sadar juga, satu preman itu pasti sudah melarikan diri keluar dari provinsi. Atau mungkin keluar dari pulau Sumatera. Begitu juga dengan laporan orang hilang atas David dan Rani, sampai sekarang belum juga mendapatkan kabar. Kehilangan mereka berdua, sedikit banyak telah memancing dugaan dari tim penyelidik. Pasalnya, mereka masih satu keluarga. Pihak kepolisian menduga hilangnya dua orang tersebut mungkin karena mereka juga telah menjadi target dari orang yang sama yang ingin mencelakai Yusuf. Namun Harmoko meyakinkan polisi bahwa itu tak mungkin ada hubungannya dengan insiden yang menimpa Yusuf. “Kami masih sedang mengusahakannya dalam dua minggu ini. Apa Bapak yakin ini tak ada hubungannya dengan hal yang menimpa menantu Bapak yang seorang lagi?” tanya polisi pada Harmoko. Harmoko pun mendekatkan duduknya pada petugas polisi itu, seperti ingin berkata se
Sore harinya, dua orang petugas dari kepolisian mendatangi rumah sakit di mana Yusuf di rawat. Salah satu dari mereka langsung meminta untuk melepaskan borgol Bobby.“Kenapa di borgol?” tanyanya.“Lah tadi katanya suruh tahan dulu di sini.”Petugas itu hanya memasang wajah memelas dan kemudian masuk ke dalam ruang perawatan untuk mendatangi Yusuf. Kebetulan pada saat itu Yusuf sudah kembali bangun dan sedang makan disuapi ibunya.Polisi yang baru datang itu juga meminta petugas yang menjaga untuk melepaskan borgol di tangan Yusuf. Setelah itu, dia kemudian memberikan sedikit keterangan mengenai kasus yang sedang mereka selidiki.“Kami menemukan luka-luka di bagian kaki. Otot-otot di belakang tumit mereka putus. Begitu juga di bagian lutut dan pangkal lengan. Apa saudara yang melakukannya?”Mak Sannah terdiam mendengar pertanyaan polisi terhadap anaknya itu, dan langsung meletakkan piring makanan di atas meja. Yusuf menepuk lembut lengan ibunya, dan tersenyum seakan mengatakan tak perl
Di gerbang, Rani sempat berpas-pasan dengan Cindy yang kembali dengan motor maticnya. Cindy langsung berhenti di gerbang itu, dan bertanya pada Rani.“Ran, mau ke rumah sakit?” tanyanya.Namun Rani tak menyahut dan terus berlalu.Cindy mengerutkan wajahnya sedikit. Dia tak yakin kalau raut wajah Rani yang tengah diliputi kepiluan itu karena rasa simpati soal apa yang terjadi dengan Yusuf.Sesaat dia berpikir, apa mungkin Rani seperti itu karena mendapatkan kabar buruk. Namun dia tak juga bisa menerima kemungkinan itu, karena baru saja dia sudah mendapatkan berita dari Rayna soal kondisi Yusuf.Dia pun berlalu, dan kembali mengarak motor maticnya itu memasuki perkarangan rumah. Hingga kemudian perhatiannya tertuju pada pintu rumah Rani yang dibiarkan terbuka. Dari situ, baru Cindy menyadari ibunya yang sudah tergeletak di teras rumah.“Buu!”Dia langsung menelantarkan motor, dan bergegas ke teras rumah tersebut. Dia sempat mendapati sebelah lengan ibunya bergerak seperti orang ayan. Ha
Kebetulan, daun pintu itu sedikit terbuka. Dan Rosdiana langsung saja mendorong pintu itu lebar-lebar, kemudian berlagak pinggang di sana. Anehnya, David dan Rani sama sekali tak menunjukkan wajah bersalahnya. Gelak tawa mereka hanya terurai sedikit saja, dan menoleh ke arah Rosdiana dengan sedikit kesan pangling. Toh, pikir mereka selama ini Rosdiana sangat membenci Yusuf sebenci-bencinya sampai tak memiliki empati lagi. Setidaknya itu dipikiran mereka. Namun tidak, Rosdiana langsung membentak David begitu keras. “Dasar setan! Keluar kau dari rumah ini!” Rani terkejut, dan wajahnya pun langsung pucat. Dia bergegas menghampiri ibunya dengan kegamangan tergambar di wajahnya. “Bu, kenapa Ibu tiba-tiba...” “Diam kau!” bentak Rosdiana. Rani pun terkenjut, bahkan tergerak mundur menerima semprotan amarah dari ibunya itu. Dia sudah sering melihat ibunya itu marah-marah. Tapi baru kali ini dia yang dimarahi. Satu tangan Rosdiana pun bergemetaran menunjuk ke arah David. Emosinya begitu
Harmoko yang menyadari kedatangan istrinya itu, langsung bergegas keluar. Dia berlalu sesaat melewati Rayna dengan tatapan tak senang.Tentu Rayna pun diliputi perasaan bersalah. Karena bagaimanapun, Rosdiana tetap ibu kandunganya. Dia pun kembali masuk menghampiri suaminya dengan perasaan campur aduk.Hingga tiba-tiba, si petugas polisi yang sedang berjaga di sana mengatakan sesuatu yang cukup penting untuk Rayna.“Aku pikir mungkin Ibu dan keluarga perlu mencari pengacara. Ini hanya saran saya secara pribadi saja untuk berjaga-jaga, siapa tahu masalah ini akan lebih rumit untuk suami Ibu nantinya.”Rayna hanya menoleh sesaat, dan memberikan satu anggukan tanpa mengatakan sepatah katapun. Dia masih tak senang dengan petugas tersebut karena telah memborgol suaminya.Meski begitu, sepertinya sekarang dia mulai sedikit bisa memahami kalau polisi tersebut sama sekali tak memiliki pandangan buruk terhadap Yusuf.Di koridor, Harmoko mencoba menyusul istrinya. Dia menahan bahu Rosdiana dari
Polisi pun datang, namun tak seorang di sana kecuali beberapa mayat yang tergeletak di semak-semak. Satu petugas langsung melakukan panggilan dan meminta bantuan ke Polres Kota Padang.Tak hanya itu, dia juga melakukan panggilan pada satu rekannya yang masih berada di rumah sakit menjaga Yusuf dan Bobby.“Apa laki-laki itu masih bersamamu?”[Ya!]“Tahan dulu dia untuk sementara waktu. Kami menemukan mayat di sini. Orang-orang yang katanya sempat mereka lumpuhkan ternyata sudah mati.”Tanpa melakukan penyelidikan lebih jauh, tentu masih terlalu dini bagi mereka untuk menilai kalau Bobby dan Yusuf lah pembunuhnya. Namun tetap saja, mereka berdua saat ini menjadi satu-satunya tersangka. Karena Bobby sendiri telah mengaku bahwa mereka yang melumpuhkan preman-preman tersebut.Satu petugas polisi mencoba mengamati mayat-mayat tersebut secara seksama tanpa menyentuhnya. Dia mendapati tubuh-tubuh preman itu penuh luka, baik di bagian lengan maupun kaki..Namun satu luka yang jelas fatal yang
Bobby memberanikan diri keluar dari persembunyian dan menyerang sisanya dengan membabi buta. Tiga orang begal itu semakin panik, karena satu temannya masih meirntih dengan luka di lengannya.Pada akhirnya mereka pun memilih kabur. Sementara sisa begal lainnya yang sudah dilumpuhkan Yusuf, masih terdengar merintih di beberapa tempat.Bobby terkesima dengan apa yang sudah diperbuat Yusuf, sementara sahabatnya itu masih berdiri seorang diri. Dia pun menghampirinya dari belakang.Namun belum beberapa langkah Bobby berjalan, Yusuf langsung nampak lunglai. Bobby bergegas menghampirinya dan memapah Yusuf seketika.“Suf! Kau baik-baik saja?”Namun Yusuf tak menjawab, hanya berusaha tetap bertahan dengan satu lutut tertekuk di tanah. Hanya suara nafasnya saja yang begitu berat terdengar.Bobby pun memeriksa kondisinya dengan senter, hingga dia menyadari obeng yang masih tertancap di perut Yusuf.“Andeh, Suuuuf!”“Bagaimana dengan mereka?” tanya Yusuf.“Mereka sudah kabur. Sebaiknya biarkan saj
Dalam perjalanan pulang, Yusuf masih belum lepas dari rasa kesalnya. Bobby sesekali melirik, dan mendapati Yusuf masih membuang muka ke sisi kiri. "Kau seharusnya sudah mengerti dari jauh hari, cepat atau lambat kita pasti akan berurusan dengan Mahzar. Jadi apapun yang mau kau lakukan, harusnya kamu lakukan dengan penuh perhitungan," ucap Bobby. "Ya aku tak mungkin dia saja, Bob!" sanggah Yusuf. "Aku tak menyalahkan tindakanmu. Tapi sebisanya, jangan sampai tindakanmu itu hanya karena dorongan emosi. Aku khawatir nanti kau malah membuat keputusan yang justru akan merugikan kita semua." Yusuf menghela nafas dan mengangguk pelan menerima saran temannya itu. Karena memang ada kebijakan dari kata-katanya tersebut. Dia pun mencoba menenangkan dirinya, khawatir jika sampai moodnya yang jelek itu bertahan sampai di rumah malah akan mendatangkan masalah lain. Memang sebagai laki-laki, tak seharunya dia membawa masalah yang dia temui di luar ke rumah. Namun sesaat menjelang mobil pick up
Gara-gara kejadian di beberapa hari belakangan, kembali Harmoko meminta Yusuf untuk duduk bersama dengan beberapa tauke lainnya. Ini sesuatu yang sama sekali tanpa sepengetahuan Yusuf. Namun tentu saja dia tak bisa menolak permintaan dari mertuanya tersebut. “Dani, kamu kembali saja dulu. Tak enak juga dengan Pak Salman kalau anaknya pulang kemalaman,” jelas Yusuf. Dani mengangguk dan kembali ke mobil di mana anak Pak Salman masih menunggu. Satu mobil itu pun kembali, sementara Yusuf terpaksa harus bertahan dulu ditemani Bobby. Kembali warung sate itu penuh, dan rata-rata yang duduk di sana adalah para juragan besar di Pasar Raya. Sebagian besar dari mereka menatap tak ramah dengan kedatangan Yusuf. Dan seperti biasa, Harmoko menawarkannya dan juga Bobby sate. Namun Mahzar langsung menyela. “Maaf, aku sibuk dan masih ada lebih banyak hal yang harus aku urus. Tolong, Pak Bos kalau memang ada hal penting yang ingin dibicarakan, langsung saja pada pointnya.” Harmoko pun menghelas na