Saat sampai di rumah, kedatangan Yusuf dan keluarganya menjadi perhatian para tetangga. Satu tetangga ramah yang terdekat, Bi Minah, datang dengan sedikit ekspresi linglung tergambar di wajahnya.
“Sudah pulang saja, Mak Sannah?” tanyanya pada Ibu Yusuf.
Ibu Yusuf mengangguk sedikit, dan Bi Minah pun juga ikutan manggut-manggut dengan senyuman canggungnya. Ibunya Yusuf tak tahu harus bagaimana bercerita, karena kenyataannya dia tak sampai satu jam menginjakkan kaki di Rumah Gadang besannya di kota.
“Dah selesai saja acara “turun mandi” anak si Yusuf?” tanyanya lagi.
“Itu si Yusuf dan istrinya datang ke sini bersama anak mereka,” balas Ibu Yusuf sembari tetap sibuk menurunkan barang bawaannya dari mobil Bobby.
Yusuf pun lewat sembari membawa barangnya ke dalam. Dia menyempatkan diri menyapa tetangga yang saat ini sedang berdiri di teras rumahnya itu.
“Sore, Bi Minah!” sapa Yusuf sedikit menundukkan kepala sambil lalu.
“Ah, Iya!” balasnya.
Bi Minah nampak semakin pangling menyaksikan mereka sibuk menurunkan barang. Masalahnya banyak juga barang yang diturunkan dari mobil, yang memang kebanyakan adalah barangnya Rayna serta bayinya. Bi Minah pun mulai berpikir, sepasang suami istri ini tak ubahnya seperti orang yang pindah rumah.
Sekali perhatiannya tertuju pada bayi yang digendong Rayna, dan dia pun datang sebagai ganti basa-basi, menggoda bayi mungil tersebut.
“Sudah lama juga ya, Rayna tak main ke sini,” sapanya.
Rayna tersenyum. Dia tahu tak ada gunanya juga mengelak dari perhatian tetangga, karena bagaimana pun dia akan menetap lama di sana.
“Iya, Bu! Sudah kangen juga dengan suasana di sini. Aku dan Yusuf berencana untuk menetap di sini karena suka dengan lingkungannya,” balas Rayna.
“Eeeh, mau pindah untuk tinggal di sini toh? Iya, iya. Emang banyak juga orang-orang kota yang bilang kalau mereka suka dengan keindahan di kampung ini,” sahut Bi Minah manggut-manggut.
Kenyataannya, kampung halaman Yusuf memang terkenal asri dengan suasana pedesaan yang terletak di antara dua danau yang berdekatan di daerah ketinggian. Terlebih lagi, posisi rumah mereka saat ini berada di sebuah lereng bukit, di mana di bagian puncaknya mereka bisa melihat kedua danau.
Meski rumah Yusuf terbilang cukup sederhana, terletak di tengah-tengah hamparan ladang milik keluarga, namun pemandangannya benar-benar memanjakan mata.
Belum lagi dengan udaranya yang segar, sejuk dan juga bersih. Sesuatu yang tak akan pernah bisa dirasakan oleh Rayna di lingkungan rumah megahnya di tengah kota.
“Ngomong-ngomong, siapa nama bayinya?”
“Namanya Taufiqul Hakim, Bi Minah,” sahut Aisyah, adiknya Yusuf, menyempatkan diri nimbrung dalam obrolan mereka.
“Oh, nama yang bagus,” balasnya.
“Nama pemberian Yusuf,” terang Rayna.
Bi Minah pun kembali manggut-manggut. “Nama anak mengandung harapan orang tua. Semoga senantiasa mendapat bimbingan Allah,” balas Bi Minah.
Rayna pun hanya ikut mengaminkan, dengan sedikit senyuman panglingnya. Setelah itu, tetangga yang ramah itu pamitan pada Rayna dan menepuk sesaat bahu Aisyah sebelum kembali ke rumahnya.
Namun berbeda dengan Bi Minah, beberapa tetangga lain memperhatikan dengan bisik-bisik dari kejauhan.
“Itu Si Yusuf mau bawa istri tinggal di rumah ibunya?”
“Iya kali. Seperti orang minggat saja.”
“Lah, bukannya dia itu jadi menantu dari keluarga kaya. Masuk akal kalau dia beli rumah baru dan ajak istrinya untuk hidup mandiri. Tapi kok ya meninggalkan rumah mertua yang kaya, malah untuk dibawa ke rumah ibu sendiri?”
“Apa ga malu bawa istri tinggal di rumah orang tua?”
Bagi sebagian orang minang di kampung itu, situasi Yusuf ini dianggap cukup memalukan untuk membawa istri pulang ke rumah ibunya. Memberikan gambaran kalau dia gagal jadi Urang Sumando di kampung orang.
“Jangan-jangan terjadi sesuatu di rumah mereka. Soalnya kan baru pagi ini Mak Sannah pergi ke kota. Tahu-tahu sekarang sudah kembali membawa anak, mantu dan juga cucunya.”
“Iya juga. Minimal, nginap dulu kek satu malam. Tak mungkin kan pergi ke rumah mantu langsung balik kaya’ gini.”
“Pasti ada apa-apanya itu si Yusuf di rumah mertuanya. Kalau ga, mana mau dia pulang-pulang bawa istri numpang di rumah orang tua seperti itu. Kesannya, sudah dewasa masih tidur di ketiak ibu juga baru.”
“Udah, itu urusan rumah tangga orang, tak baik terlalu dicampuri,” sahut salah seorang dari mereka mencoba menghentikan ghibahan ibu-ibu itu.
Meski ghibahan mereka tak sampai ke kuping Rayna, tetap saja Rayna tak bisa untuk tidak curiga soal apa yang mereka bisik-bisikan. Dia pun masuk ke dalam rumah dengan raut wajah cemberut dan masamnya. Yusuf yang sempat berpas-pasan dengannya sempat menangkap reaksi kesalnya.
Yusuf pun mengalihkan perhatiannya ke arah para tetangga yang saat ini masih melirik-lirik ke rumahnya. Ibu-ibu itu pun langsung membubarkan diri.
“Ini kenapa dulu aku bilang, kenapa tak ngontrak saja. Aku tahu kau masih punya cukup uang simpanan hasil kerja dengan Pak Harmoko,” ujar Bobby menghampiri Yusuf.
“Aku dan Rayna datang ke sini juga untuk memperbaiki kondisi petani di sini, Bob. Istilah kata orang, nak mencoba membangkit batang terendam,” jelas Yusuf.
“Mau jadi pahlawan sekarang? Terus terang saja, nasibmu sendiri sedang tak jelas juga, Suf!”
“Bukan soal jadi pahlawan. Rayna terbeban dengan rasa bersalah atas apa yang diperbuat oleh ibunya dan komplotan Mahzar. Aku sebagai suami ingin mendukungnya, karena selama ini dia juga selalu membelaku,” terang Yusuf.
“Mau berurusan dengan orangnya Mahzar tak semudah membalikkan telapak tangan. Lagi pula, belum tentu kamu dapat dukungan dari para petani di sini. Lihat saja, kamu sekarang jadi gunjingan tetangga. Paling mereka anggap kamu pulang kampung karena gagal hidup di kota,” jelas Bobby dengan sedikit berceletuk.
Yusuf hanya bisa menaikkan bahunya dengan sedikit geleng-geleng kepala pelan nampak tak bersemangat.
“Mau bagaimana lagi,” balasnya.
“Begini jadinya kalau kamu membawa istri pulang ke rumah ibumu. Mau tak mau kamu akan jadi bahan gosip. Kaya’ ga kenal watak ibu-ibu saja,” lanjut Bobby dengan senyum jenakanya.
“Setidaknya ini masih lebih baik dari pada harus makan hati dengan perlakuan ibunya Rayna,” balas Yusuf.
Sementara itu, Rayna hanya bisa menguping dari dalam rumah, mendengarkan curhatan suaminya itu bersama sahabatnya. Selama ini dia tak memikirkan sejauh itu. Sekarang dia baru sadar. Dia yang ngotot mengajak Yusuf pulang ke kampung malah memberikan kesan kalau suaminya itu jadi orang gagal hidup di kota, dan membuatnya jadi direndahkan.
Dia pun melirik kondisi rumah ibu Yusuf yang begitu sederhana. Memang berbeda jauh dengan kondisi rumahnya dulu.
“Apa aku bisa kuat dengan ini?” gundahnya membatin.
Rayna khawatir sifat manjanya yang dibesarkan sebagai anak orang kaya akan menyusahkan suaminya itu. Dia pun menghirup nafas cukup dalam, mencoba untuk menguatkan diri, berharap mereka akan bisa hidup tenang di rumah sederhana itu.
Selang beberapa minggu, kepolisian masih saja belum menemukan keberadaan satu preman yang jadi buronan tersebut. Tentu mereka sadar juga, satu preman itu pasti sudah melarikan diri keluar dari provinsi. Atau mungkin keluar dari pulau Sumatera. Begitu juga dengan laporan orang hilang atas David dan Rani, sampai sekarang belum juga mendapatkan kabar. Kehilangan mereka berdua, sedikit banyak telah memancing dugaan dari tim penyelidik. Pasalnya, mereka masih satu keluarga. Pihak kepolisian menduga hilangnya dua orang tersebut mungkin karena mereka juga telah menjadi target dari orang yang sama yang ingin mencelakai Yusuf. Namun Harmoko meyakinkan polisi bahwa itu tak mungkin ada hubungannya dengan insiden yang menimpa Yusuf. “Kami masih sedang mengusahakannya dalam dua minggu ini. Apa Bapak yakin ini tak ada hubungannya dengan hal yang menimpa menantu Bapak yang seorang lagi?” tanya polisi pada Harmoko. Harmoko pun mendekatkan duduknya pada petugas polisi itu, seperti ingin berkata se
Sore harinya, dua orang petugas dari kepolisian mendatangi rumah sakit di mana Yusuf di rawat. Salah satu dari mereka langsung meminta untuk melepaskan borgol Bobby.“Kenapa di borgol?” tanyanya.“Lah tadi katanya suruh tahan dulu di sini.”Petugas itu hanya memasang wajah memelas dan kemudian masuk ke dalam ruang perawatan untuk mendatangi Yusuf. Kebetulan pada saat itu Yusuf sudah kembali bangun dan sedang makan disuapi ibunya.Polisi yang baru datang itu juga meminta petugas yang menjaga untuk melepaskan borgol di tangan Yusuf. Setelah itu, dia kemudian memberikan sedikit keterangan mengenai kasus yang sedang mereka selidiki.“Kami menemukan luka-luka di bagian kaki. Otot-otot di belakang tumit mereka putus. Begitu juga di bagian lutut dan pangkal lengan. Apa saudara yang melakukannya?”Mak Sannah terdiam mendengar pertanyaan polisi terhadap anaknya itu, dan langsung meletakkan piring makanan di atas meja. Yusuf menepuk lembut lengan ibunya, dan tersenyum seakan mengatakan tak perl
Di gerbang, Rani sempat berpas-pasan dengan Cindy yang kembali dengan motor maticnya. Cindy langsung berhenti di gerbang itu, dan bertanya pada Rani.“Ran, mau ke rumah sakit?” tanyanya.Namun Rani tak menyahut dan terus berlalu.Cindy mengerutkan wajahnya sedikit. Dia tak yakin kalau raut wajah Rani yang tengah diliputi kepiluan itu karena rasa simpati soal apa yang terjadi dengan Yusuf.Sesaat dia berpikir, apa mungkin Rani seperti itu karena mendapatkan kabar buruk. Namun dia tak juga bisa menerima kemungkinan itu, karena baru saja dia sudah mendapatkan berita dari Rayna soal kondisi Yusuf.Dia pun berlalu, dan kembali mengarak motor maticnya itu memasuki perkarangan rumah. Hingga kemudian perhatiannya tertuju pada pintu rumah Rani yang dibiarkan terbuka. Dari situ, baru Cindy menyadari ibunya yang sudah tergeletak di teras rumah.“Buu!”Dia langsung menelantarkan motor, dan bergegas ke teras rumah tersebut. Dia sempat mendapati sebelah lengan ibunya bergerak seperti orang ayan. Ha
Kebetulan, daun pintu itu sedikit terbuka. Dan Rosdiana langsung saja mendorong pintu itu lebar-lebar, kemudian berlagak pinggang di sana. Anehnya, David dan Rani sama sekali tak menunjukkan wajah bersalahnya. Gelak tawa mereka hanya terurai sedikit saja, dan menoleh ke arah Rosdiana dengan sedikit kesan pangling. Toh, pikir mereka selama ini Rosdiana sangat membenci Yusuf sebenci-bencinya sampai tak memiliki empati lagi. Setidaknya itu dipikiran mereka. Namun tidak, Rosdiana langsung membentak David begitu keras. “Dasar setan! Keluar kau dari rumah ini!” Rani terkejut, dan wajahnya pun langsung pucat. Dia bergegas menghampiri ibunya dengan kegamangan tergambar di wajahnya. “Bu, kenapa Ibu tiba-tiba...” “Diam kau!” bentak Rosdiana. Rani pun terkenjut, bahkan tergerak mundur menerima semprotan amarah dari ibunya itu. Dia sudah sering melihat ibunya itu marah-marah. Tapi baru kali ini dia yang dimarahi. Satu tangan Rosdiana pun bergemetaran menunjuk ke arah David. Emosinya begitu
Harmoko yang menyadari kedatangan istrinya itu, langsung bergegas keluar. Dia berlalu sesaat melewati Rayna dengan tatapan tak senang.Tentu Rayna pun diliputi perasaan bersalah. Karena bagaimanapun, Rosdiana tetap ibu kandunganya. Dia pun kembali masuk menghampiri suaminya dengan perasaan campur aduk.Hingga tiba-tiba, si petugas polisi yang sedang berjaga di sana mengatakan sesuatu yang cukup penting untuk Rayna.“Aku pikir mungkin Ibu dan keluarga perlu mencari pengacara. Ini hanya saran saya secara pribadi saja untuk berjaga-jaga, siapa tahu masalah ini akan lebih rumit untuk suami Ibu nantinya.”Rayna hanya menoleh sesaat, dan memberikan satu anggukan tanpa mengatakan sepatah katapun. Dia masih tak senang dengan petugas tersebut karena telah memborgol suaminya.Meski begitu, sepertinya sekarang dia mulai sedikit bisa memahami kalau polisi tersebut sama sekali tak memiliki pandangan buruk terhadap Yusuf.Di koridor, Harmoko mencoba menyusul istrinya. Dia menahan bahu Rosdiana dari
Polisi pun datang, namun tak seorang di sana kecuali beberapa mayat yang tergeletak di semak-semak. Satu petugas langsung melakukan panggilan dan meminta bantuan ke Polres Kota Padang.Tak hanya itu, dia juga melakukan panggilan pada satu rekannya yang masih berada di rumah sakit menjaga Yusuf dan Bobby.“Apa laki-laki itu masih bersamamu?”[Ya!]“Tahan dulu dia untuk sementara waktu. Kami menemukan mayat di sini. Orang-orang yang katanya sempat mereka lumpuhkan ternyata sudah mati.”Tanpa melakukan penyelidikan lebih jauh, tentu masih terlalu dini bagi mereka untuk menilai kalau Bobby dan Yusuf lah pembunuhnya. Namun tetap saja, mereka berdua saat ini menjadi satu-satunya tersangka. Karena Bobby sendiri telah mengaku bahwa mereka yang melumpuhkan preman-preman tersebut.Satu petugas polisi mencoba mengamati mayat-mayat tersebut secara seksama tanpa menyentuhnya. Dia mendapati tubuh-tubuh preman itu penuh luka, baik di bagian lengan maupun kaki..Namun satu luka yang jelas fatal yang