Rendy mendirikan motor itu, dan para pemuda itu membuka jalan, memberi ruang untuknya pergi. Namun Rendy menyempatkan sesaat berbicara pada Yusuf. “Perihal tanah itu, tak bisakah kau memberiku waktu lebih lama?” pintanya. Namun Yusuf diam saja menatapnya begitu dingin, tak satu pun jawaban yang keluar dari mulutnya. Rendy pun nampak kesal, sadar bahwa dia telah salah dalam membaca situasi. Akhirnya, dia pun mengengkol motor itu tanpa menjauhkan pandangannya dari Yusuf, sama sekali tak menyembunyikan kebenciannya. “Terserah kau, selama kau masih cukup jantan untuk tidak menarik kata-katamu tadi pagi. Jika tidak, ganti saja celanamu itu dengan rok perempuan,” ucap Rendy sebelum pergi dari tempat itu. Sejatinya Yusuf masih tak bisa melupakan apa yang telah diperbuat oleh Rendy padanya. Lagi pula, dia merasa tak ada sedikit pun kesan bahwa Rendy akan merubah sikapnya. Hanya karena amanah dari ayahnya, Yusuf biarkan Rendy membantu Mak Leni untuk menebus tanah tersebut. Setelah itu, Yu
Laki-laki bernama Bram itu masih saja menggeleng-geleng kepala, dengan sedikit celetuk tawa. Dia seakan meremehkan atau malah memandang rendah Rendy.Tentu saja, hal itu sedikit membuat Rendy tersinggung dan kesal. “Apa-apaan reaksimu itu? Tak usah sok suci kau. Aku tahu, dari sekian banyak kau mengurus urusan tanah orang sebagai notaris, sekali dua kali kau pun pasti pernah berbuat culas,” ujar Rendy dingin.Namun temannya yang bernama Bram itu masih saja tertawa enteng. “Bukan itu yang aku tertawakan,” balasnya.“Apa maksudmu?” tanya Rendy serius.“Sebelumnya aku ingin tanya, apa latar belakang pendidikan dari orang yang bernama Yusuf itu?” ujar Bram.“Setahuku dia seorang sarjana, tak tahu jurusan apa. Setelah itu dia sempat bekerja dengan mertuanya yang seorang pengusaha distributor hasil pertanian,” terang Rendy.“Dan kau berpikir ingin mengacanginya?” tanya temannya itu dengan raut wajah meremehkan. “Lupakan saja. Jelas dia lebih pintar darimu. Aku bisa pastikan itu.”Setelah it
Hari berikutnya, di suatu pagi menjelang siang, perhatian Yusuf yang sedang menanam bibit kentang teralihkan oleh aroma masakan dari arah rumahnya. Sudah biasanya dia tak makan pagi, dan baru akan makan ketika sudah zuhur. Namun kuatnya aroma “samba balado” khas buatan ibunya itu memancing seleranya. Aroma khas dari gorengan ikan teri basah dan biji petai pun sama kuatnya. Meski Yusuf ingin meneruskan penanaman bibit kentang itu hingga tuntas, namun air liurnya tak henti menggenang di rongga mulut. Sesaat sebelum masuk waktu zuhur, dia pun memilih untuk menghentikan pekerjaan. Gambaran telur puyuh berendam dalam semua aroma yang tadi diciumnya itu sekarang memenuhi isi kepala Yusuf. Hanya saja... “Eh, masakannya mau dibawa ke mana, Mak?” tanya Yusuf, dengan raut wajah sedikit kecewa. Saat ini, Yusuf melihat semua masakan yang dibuat ibunya itu, sekarang sudah dimasukkan ke dalam beberapa rantang. Ada gorengan ikan tongkol dengan sambal lado, gulai pangek masin, dan goreng telur bu
Kamar itu cukup gelap, karena jendela dan gordennya pun belum terbuka sejak pagi. Dia mengurung diri di sana, duduk bersandar di balik pintu sembari memagut kedua lutut. Pikirannya kalut, serba salah dan merasa tidak nyaman. “Apa lagi yang dicarinya ke sini?” gumamnya membatin menggigit-gigit ujung kuku jempolnya. Namun Mila tak bisa juga menyalahkan Yusuf datang bersilaturahmi ke rumah bako. Memang sudah seharusnya juga Yusuf datang mengunjungi Ande-nya itu setelah lama tak pulang. Dia terus saja menggigit-gigit ujung kukunya itu karena kesal dan rasa tak nyamannya. Hingga tiba-tiba suara Yusuf terdengar dari ruang tengah memancing perhatiannya. “Ini anak-anaknya Mila ya, Nde? Sudah besar-besar ya,” tutur Yusuf. “Iya, ini yang bungsu namanya Ridwan. Sementara kakaknya Adi, sudah masuk sekolah tahun ini,” terang Mak Leni. “Orang tuanya mana, Ande?” tiba-tiba Rayna bertanya dengan polosnya, sebuah pertanyaan yang sejatinya ingin dihindari oleh Mak Leni maupun Yusuf. “Papa belum p
Kening Rendy berkerut. Pada hal sudah berkali-kali juga dia mencoba mengingatkan dirinya untuk menahan diri menjelang bisa menebus tanah itu. Namun tetap saja, emosinya selalu memuncak setiap kali melihat wajah Yusuf.“Apa lagi yang kau inginkan? Ini urusan keluargaku, tak ada hubungannya denganmu. Minggir!” bentaknya, mencoba mendorong Yusuf ke samping.Namun dia hanya bisa membuat tubuh Yusuh sedikit bergerak ke kanan. Sementara Yusuf bergeming di sana, tak sedikit pun kedua kakinya beranjak dari tempat itu.Tentu saja hal itu membuat kerutan di kening Rendy semakin menebal dengan tatapan binar yang mulai sedikit berair karena amarah. Namun tak sempat dia kembali membentak, Yusuf mendorongnya begitu kasar hingga Rendy terhuyung cukup jauh ke luar dari batas teras rumah.Rendy pun emosi dan menggulung lengan bajunya. “Pant*k! Mau cari lawan lagi kau! Hah?!”Namun Yusuf bergerak cepat dan kembali mendorong dadanya dengan sedikit mengganggu keseimbangan di kaki kiri Rendy. Rendy tak si
Mila tahu keributan ini karena keangkuhan suaminya menghina Yusuf dan keluarganya di warung orang. Dia juga sadar, ini masih merupakan sisa-sisa konflik sejak mereka SMA. Namun sekarang dia merasa menjadi satu-satunya orang yang paling digencet habis-habisan oleh konflik tersebut. Jelas dia tak bisa lagi memihak pada suaminya. Bayangan akan wajah geram si suami yang hampir memukul ibunya yang sudah tua itu tak kunjung hilang dari benaknya. Begitu juga saat suaminya itu menggamparnya begitu sadis di depan kedua anak mereka. Tak mungkin lagi baginya untuk kembali pada Rendy. Sebagai wanita yang lemah, dia hanya bisa menangisi ketidakberdayaannya. Hingga kemudian, tangisannya yang lirih itu terhenti begitu ada yang mengetuk pintu dengan pelan. “Mila!” panggil ibunya berbisik lirih dari balik pintu. Mila pun bersegera menyembunyikan tangisnya, merapikan pakaian dan nampak bersiap-siap untuk membukakan pintu. “Mila! Kamu baik-baik saja, Nak?” tanya Mak Leni lagi penuh kekhawatiran. “
Sikap Bobby yang mengabaikan HP itu berdering terlalu lama, memancing perhatian dari Dani yang kebetulan datang berkunjung ke rumahnya.“Dilihat dari reaksimu, aku tahu itu dari Yusuf. Kenapa kamu tidak mau mengangkatnya?” tanya Dani.“Aku tahu maksud dia tiba-tiba menelepon. Tapi aku tak tahu harus berkata apa nanti jika ditanya soal ini,” balas Bobby.Kenyataannya, tak lama setelah mengantarkan Yusuf pulang ke kampung, dua kali Bobby menjadi korban tindak kekerasan.Pertama kali tepat setelah dia mengantarkan Yusuf pulang ke kampungnya. Tak jelas siapa yang menghadangnya di tengah jalan. Namun mobil kijang milik bapaknya itu rusak parah oleh tindakan vandalisme dari sekelompok orang tak dikenal. Yang jelas, mereka meninggalkan ancaman untuk tidak lagi mendekati rumah Bu Harmoko.Kedua kalinya, beberapa hari yang lalu, setelah Pak Harmoko mencoba menghubungi dan menanyakan kabar, serta memintanya kembali bekerja. Malamnya Bobby kembali dicegat oleh beberapa orang tak dikenal dengan w
Sungguh beruntung orang-orang yang beriman. Di saat mereka susah, mereka akan bersabar dan itu baik baginya. Di saat mereka senang, mereka akan bersyukur dan itu juga baik baginya Namun sebaliknya, ada sebagian orang menampilkan sisi buruknya di saat terjepit di bawah. Ada juga sebagian lagi yang justru memperlihatkan sisi buruknya di saat sedang berada di atas. Dan yang terburuk dari itu semua, adalah dia yang selalu memperlihatkan sisi buruknya, entah itu di saat susah atau pun senang. Di hari kelima sejak peringatan yang ditinggalkan Yusuf, pada akhirnya Rendy berhasil mengumpulkan dana sebanyak Rp. 270 juta tersebut. Entah dari mana saja dia berhasil mengumpulkan sebanyak itu. Yang jelas, hari jum’at itu dia memutuskan untuk pulang lebih cepat agar bisa bersegera menebus tanah milik Yusuf. “Mila! Apa kau masih tetap akan berdiam diri di rumah ibumu itu!” bentaknya berteriak dari pintu rumahnya. Mila diam saja di kamarnya. Sementara itu, Mak Leni sibuk di ladang sembari mengawas