“Mas pengen punya anak dari kamu, Dek,” ucap Tomi pada Wulan. Saat ini, mereka tengah berbincang di kamar sembari menatap langit-langit yang ada di dinding. “Sabar, ya, Mas. Maaf aku belum bisa kasih keturunan sama kamu. Tapi mudah-mudahan kedepannya aku bisa hamil nanti. Kita berdoa aja, ya,” ujar Wulan penuh harap. Dia berusaha meyakini suaminya—Tomi agar mau bersabar menunggu buah hati yang dia idam-idamkan dari rahim Wulan. “Tapi kapan, Dek?” Tomi menatap nanar wajah istrinya. Dia benar-benar sangat berharap Wulan hamil dan bisa memberikan keturunan untuknya. “Ntahlah, Mas. Lagipula Mas tahu sendiri aku sudah melahirkan empat orang anak, mungkin aku susah hamilnya karena itu.”Tomi menghela nafas berat, dia merasa sudah seharusnya menjadi ayah, pernikahannya sudah berjalan selama tiga tahun namun Wulan belum juga bisa memberikan keturunan kepadanya. Memang, Wulan sudah memiliki anak empat dengan pernikahan yang sebelumnya bersama Hilman. Akan tetapi, Tomi ingin memunyai anak b
“Tapi, kemarin Mama kaya lihat dia di penginapan ....” “Di penginapan?” tanyaku sedikit dengan nada terkejut. “Iya, benar. Persis seperti Bima. Waktu itu Mama pengen panggil dia tapi malah keburu masuk ke mobil.” Mama menjelaskan. Aku sedikit terkejut ketika mendengar ucapan Mama. Tetapi, aku nggak percaya. Sudah jelas satpam di rumahnya bilang kalau Bima meninggal dunia dan sudah di makamkan. Mana mungkin satpamnya berbohong. “Mungkin Mama salah lihat, jadi mikirnya dia Bima, padahal nyatanya Bima sudah meninggal dunia.”Mama terkekeh sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Iya mungkin ya, kayanya Mama salah lihat malah nyangka dia itu Bima.”“Iya, Ma, mungkin sudah nasib Bima harus seperti itu, aku juga masih belum menyangka dia pergi secepat itu,” lirihku dengan perasaan berkecamuk. Selama mengenal Bima dari dulu sampai sekarang, dia adalah laki-laki yang baik, punya rasa tanggung jawab yang tinggi, dan selama menjalin hubungan dengan dia pun aku selalu merasa tenang da
Aku melangkah pelan bergegas membuka pintu, dan .....''Mas Tomi?''Aku menatap wajah suamiku dengan sedikit terkejut, rupanya yang mengetuk pintu adalah suamiku sendiri bukan seperti apa yang aku bayangkan.''Kamu kenapa?'' Tanya Mas Tomi heran.''Ah, nggak kenapa-napa kok, Mas,'' ucapku sembari terkekeh.Mas Tomi terdiam, dia melenggang dari hadapanku dan segera mencuci wajahnya.''Aku izin pagi ini mau pergi ya, Sayang,'' ujar Mas Tomi meminta izin.''Memangnya mau kemana sepagi ini, Mas?'' Aku kembali bertanya karena penasaran akan kemana perginya suamiku sepagi ini. Terlebih malam tadi kami tidak melakukan malam pert4ma yang seharusnya dilakukan oleh sepasang suami istri yang baru saja melewati proses ijab qobul kemarin, dan malah sekarang meminta izin untuk pergi?''Temanku ada yang meninggal,'' jelasnya lagi sambil menatapku dengan wajah serius.''Temanmu yang mana?'' tanyaku sembari menatap dengan pandangan dingin. Entah kenapa firasatku malah tertuju pada Bima.Ya, siapa lag
Hingga pada akhirnya ....Selimut tebal yang menutupi seluruh tubuhku terbuka. Sorot mataku menerawang pada sosok laki-laki yang berdiri sembari melayangkan senyuman tipis di sudut bib1rnya.“Bi—bima ....”Aku terperanjat karena keterkejutan dengan apa yang sedang aku lihat saat ini. Untuk apa Bima berada di kamar ini? Mas Tomi? Dia kemana? Kenapa yang datang bukan suamiku. Ada apa ini sebenarnya? Pertanyaan itu seakan melayang di atas kepalaku. Entah mengapa Bima yang tadi tidak datang ke acara pernikahanku, dia malah terang-terangan datang ke kamar ini. Mau apa dia? “Kenapa kamu bisa masuk ke kamar ini, haa?” tanyaku seraya menaikan nada bicara. Aku tak suka dengan kedatangannya yang main nyolonong masuk tanpa permisi. Apa dia nggak tahu kalau kamar ini akan menjadi saksi m4l4m pert4ma aku bersama Mas Tomi, yang kini sudah resmi menjadi suamiku. Betul-betul tidak ada rasa malu. “Aku datang ke sini ingin melihat kamu betapa bahagianya menikah bersama laki-laki itu,” jelasnya sam
PoV Wulan“Bagaimana, Wulan, apakah kamu setuju dengan permintaan aku minggu lalu?” tanya seorang laki-laki, dia duduk sembari tersenyum berharap mendapat jawaban yang dia inginkan dari mulutku.Seminggu lalu, dia mencoba melamarku, lalu setelah itu, aku melakukan shalat istikhoroh agar mendapatkan jawaban atas apa yang aku doakan selama seminggu ini. Dan ternyata ....Akan tetapi, hatiku seakan tak mampu membohongi, aku takut menikah lagi dan gagal untuk yang kedua kalinya. Apalagi aku dan dia belum lama saling mengenal, aku tidak tahu karakternya seperti apa dan bagaimana. Aku selalu merasa bimbang menentukan pilihan.“Jawab, Ma, kenapa diam saja. Gadis sama adik-adik setuju kok kalau Mama mau menikah lagi,” pungkas anak pertamaku menimpali.“Iya, Wulan, mungkin sudah saatnya kamu mulai membuka hati dan menata kehidupan yang baru, Mama sangat berharap kamu bahagia, dan Mama pun setuju jika kamu menikah lagi,” ujar Mama menimpali, sama halnya seperti Gadis.Aku menatap ke sekeliling
Seketika itu, raut wajahku berubah, aku tak percaya dengan apa yang saat ini aku lihat. Ternyata ....“Dinar?” Dinar menatap tajam ke arahku, sorot matanya seakan menahan penuh kebencian.“Aku akan melaporkan ke polisi kalau kamu yang sudah mencelakaiku, Bima,” pungkasnya berucap. Aku tidak tahu sejak kapan Dinar sudah sadarkan diri dari koma, saat sebelum kedatangan polisi bahkan setelah polisi pergi pun aku masih melihat Dinar dengan kedua matanya yang masih tertutup rapat.Apakah dia mendengar ucapanku barusan? Sepertinya iya. Apalagi melihat Dinar yang sengaja menjatuhkan gelas dan berucap bahwa akan melaporkan aku ke pihak kepolisian. Nggak bisa. Dia nggak akan mungkin bisa melapor, untuk bangun saja dia pasti akan sulit, apalagi sampai melapor langsung ke kantor polisi.“Maafkan aku, Dinar, aku nggak sengaja. Ini salah faham. Aku menyesal.” Aku berusaha memohon agar dia memaafkan aku. “Nggak sengaja katamu, hah? Kamu hampir akan membunuh aku, Bima, demi Tuhan, aku nggak ridh