Share

Bima memang yang bisa diandalkan

PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRI 

Part 8

''Br3ngs3k! Keterlaluan si Hilman! Dia sangat kurang 4jar sudah berbuat hal itu kepada kamu!'' Papa marah, raut wajahnya kecewa. 

Aku hanya bisa diam, aku sendiri pun bingung sekarang mau melakukan apa. Terlebih, sertifikat sudah berada di tangan Juragan Amir. 

Tiba-tiba, Papa merasakan jantungnya sakit. Beliau meringis kesakitan. Tubuhnya pun terlihat lemah. 

''Papa kenapa?'' 

Aku terkejut melihat Papa seperti itu, dengan cepat aku langsung memanggil dokter dan membawa Papa ke ruang perawatan untuk di cek kondisinya. 

''Bagaimana kondisi Papa saya, Dok?'' tanyaku sesaat Dokter selesai memeriksa keadaan Papa.

''Jantung Papa anda melemah, sepertinya beliau harus dirawat inap di rumah sakit ini agar kondisinya membaik,'' saran Dokter.

''Lakukan apapun asalkan Papa saya sembuh, Dok.'' Aku memasrahkan Papa untuk dirawat di Rumah sakit ini. Aku tak ingin jika didiamkan keadaan Papa akan semakin memburuk mengingat Papa memiliki penyakit jantung. 

''Baik.''

Dokter mengangguk, suster yang berada di sebelahnya lantas mengambil infusan dan langsung menyuntikkan ke pergelangan tangan Papa. 

Aku keluar dan menghampiri Via. Sekarang kondisinya agak membaik, sudah bisa makan walaupun hanya sedikit. Aku yang melihat Via disuapi oleh suster tersenyum bahagia. 

''Makan yang banyak sayang agar kondisi kamu semakin membaik dan kita bisa pulang,'' ujarku pada Via.

Via mengangguk sembari tersenyum.

Aku bingung setelah kami pulang dari rumah sakit kami akan pulang ke mana. Aku ingin rumahku kembali, tapi bagaimana caranya? 

Apa yang harus aku lakukan?

Dalam keheningan, terdengar suara pintu terbuka. Aku melirik ke arah pintu dengan heran. Ternyata seseorang datang tanpa diundang. 

''Wulan, maaf aku nggak tahu kalau anakmu dirawat di Rumah sakit ini," ujarnya penuh penyesalan.

''Untuk apa kamu tahu? Kamu bukan ayahnya.'' Aku melirik sinis tak suka dengan kedatangannya. 

Dia adalah Bima. Dia terlihat sedih mendengar perkataan yang aku ucapkan. Kedua tangannya menjinjing beberapa kantong belanjaan. Sepertinya dia ingin memberikan kepada Via.

''Aku memang bukan ayahnya, tapi aku perduli dengan anakmu.'' Dia sekarang terlihat dingin. Kemudian memalingkan pandangan ke arah Via dan mendekati anak bungsuku.

''Sayang, maaf datang terlambat. Seharusnya Om tahu bahwa kamu sedang di Rumah sakit. Ini Om bawakan oleh-oleh untukmu, semoga kamu cepat sehat kembali, ya.'' 

Bima tersenyum sembari menyerahkan kantong yang dibawanya. 

''Hore ... oke, Om. Terima kasih banyak, ya.'' Via terlihat gembira ketika menerima kantung yang ternyata berisikan banyak sekali mainan anak perempuan. 

Mereka terlihat akrab sekali seakan sering bertemu. Tapi kenapa aku baru tahu bahwa Bima mengenal dekat dengan anakku? Apa jangan-jangan sebelum aku bertemu kembali dengan Bima, Via sudah kenal dengan dia?

''Sejak kapan kamu kenal dengan Via?'' tanyaku pada Bima.

Bima terperanjat, dia menatapku. ''Satu tahun lalu, saat berada di taman. Waktu itu aku tidak tahu bahwa Via adalah anakmu. Tetapi sesaat papamu mengatakan yang sesungguhnya aku baru tanya bahwa Via adalah anakmu.''

Selama itu? Kenapa aku baru tahu?

Sekarang aku terdiam tak menjawab ataupun mempertanyakan lagi soal apapun. 

''Sejak tadi aku telepon papamu, kenapa susah sekali dihubunginya?'' tanya Bima.

''Papa dirawat di Rumah sakit ini. Ruangannya berada di sebelah ruangan ini.'' Aku menjawab pertanyaannya acuh.

''Di rawat? Kenapa kamu nggak bilang?'' 

Aku menatapnya tajam, Bima terlihat aneh. Dia lalu pergi dari ruangan ini. Dan, mungkin dia ke ruangan Papa dirawat. 

''Laki-laki aneh!'' gerutuku.

''Om Bima nggak aneh, Ma. Dia baik.'' Seru Via.

''Baik apanya?'' Aku mengurutkan kening.

''Buktinya dia memberikan Via banyak mainan mahal ini,'' celotehnya memuji.

''Dia sama sekali nggak baik, Via. Kamu jangan lagi dekat-dekat dengan dia.'' Aku melarangnya untuk tak lagi dekat dengan Bima karena aku tak ingin Bima mempengaruhi Via dengan hal yang tidak baik.

''Dia baik, Mama.'' Rengeknya.

Aku mendesah. Jika aku menekan Via, ia pasti akan sedih. Apalagi sekarang keadaannya barusaja sembuh. 

''Mama mau ke luar dulu, ya, sayang. Kamu sama Tante suster dulu.'' 

Aku memilih pergi dan menitipkan Via ke suster yang sedang menyuapi anakku. Aku ingin mengikuti perginya Bima.

Di depan pintu ruang rawat Papa, aku menatap sekilas Bima yang tengah sibuk mengobrol dengan Papa. Obrolan mereka terlihat serius. Aku ingin sekali mengetahui obrolan mereka.

Pintu kubuka. Papa dan Bima menatap ke arahku. 

''Kalian sedang membicarakan apa?'' tanyaku melirik ke arah Papa dan Bima.

''Kami sama sekali nggak membicarakan apapun. Aku hanya tanya kondisi papamu bagaimana,'' jelas Bima. 

Aku menghela nafas, aku fikir Bima dan Papa tengah membicarakan hal serius.

''Wulan, Papa ingin bicara serius terhadapmu, mumpung kamu ada di sini. Papa berharap kamu akan mengabulkan apapun yang Papa inginkan.'' Papa menatapku serius.

''Apapun itu, aku pasti akan mengabulkan apa yang Papa inginkan. Asalkan Papa sembuh tidak mengalami sakit jantung lagi.'' Dengan percaya diri aku menjawab demi kesembuhan Papa.

''Sebelum—

Bersambung

Aduh ... kira-kira Papa Wulan punya keinginan apa ya, kayanya serius banget? Dari pada penasaran mendingan buka bab selanjutnya yuk🤭🙏

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status