PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRI
Part 7
Dengan bantuan dua orang tetanggaku, mereka bisa menggeserkan lemari ke samping. Terlihat, keramik putih yang dengan sengaja aku letakkan untuk menutupi brankas tidak lecek sama sekali. Dengan segara aku meraih keramik dan terlihat sebuah brankas terkubur di dalamnya. Secara hati-hati aku membuka brankas itu dengan pasword tanggal kelahiranku. Hingga pada akhirnya kotak itu berhasil terbuka.
Akan tetapi, rasa tak percaya merasuk ke dalam jiwa dan ragaku. Seluruh sertifikat rumah beserta barang berharga lainnya telah menghilang. Aku terkejut, kenapa semua barang berharga milikku menghilang? Apa jangan-jangan Mas Hilman yang mengambilnya? Bukankah dia tidak mengetahui di mana aku meletakan sertifikat rumah?
Jika memang Mas Hilman yang mengambil, apa mungkin betul yang dikatakannya mengenai tentang kepindahan nama kepemilikan rumah menjadi atas namanya dan dia juga mengatakan bahwa rumah ini sudah digadaikan?
Astagfirullah ... kenapa aku bisa teledor begini? Sekarang apa yang harus aku perbuat? Aku nggak menyangka Mas Hilman ternyata sudah bertindak lebih awal dari apa yang aku kira. Gumamku dalam hati.
''Wulan ....''
Terdengar teriakan dari luar memanggil namaku, aku memalingkan pandangan dengan heran. Lalu keluar melangkah menemui orang yang memanggil.
''Ada perlu apa kemari?'' tanyaku terkejut ketika mengetahui bahwa yang datang adalah juragan Amir.
Juragan Amir adalah orang yang paling kaya di desa ini. Dia rentenir berhati iblis yang selalu membuat resah warga.
''Rumah ini saya sita karena saya sudah membeli rumah ini kepada Hilman—suamimu,'' ujar Juragan Amir sembari memperlihatkan sertifikat rumah ini.
Dadaku bergemuruh hebat, seluruh anggota tubuh ini seakan remuk ketika mendengar kenyataan pahit ini. Sertifikat yang tidak aku temukan di gudang rupanya berada di tangan Juragan Amir. Rupanya apa yang dikatakan oleh Mas Hilman betul bahwa ia sudah menggadaikan bahkan mungkin sudah menjualnya sehingga Juragan Amir ingin menyita rumah ini.
''Kamu tidak berhak menyita rumah ini, karena sampai kapan pun juga rumah ini adalah milik saya!'' sentakku kesal. Aku sama sekali tidak ridho jika harus kehilangan rumah satu-satunya yang aku milikki ini. Ini adalah hasil dari kerja kerasku sebelum menikah bersama Mas Hilman.
''Sudah jelas-jelas sertifikat rumah ini berada di tangan saya masih mau mengelak. Sekarang anda tinggal pilih lebih baik pergi tanpa paksaan atau diusir dengan cara kasar?'' ucapnya dengan tegas.
''Saya tidak akan pergi meninggalkan rumah ini walau bagaimana pun caranya. Apa kamu mau masuk penjara karena berani mengusirku dari rumahku sendiri?'' ancamku pada Juragan Amir. Namun, dia malah tertawa terbahak-bahak.
''Silahkan jika anda mau melaporkan saya ke polisi yang jelas saya sudah membayar lunas rumah ini kepada Hilman. Dan, dalam sertifikat ini tertulis nama Hilman Putra, bukan nama anda. Jadi sudah jelas anda harus keluar dari rumah ini!'' Sorot kedua mata Juragan Amir tajam seakan hendak menerkamku hidup-hidup.
Aku bergeming. Berdiam diri dengan perasaan sesak yang teramat sakit di dada. Aku sama sekali belum pernah membayangi kejadian ini akan terjadi menimpaku. Seharusnya hari ini menjadi hari-hari yang indah karena itu adalah keinginanku. Bukan kejadian seperti ini yang aku harapkan. Apalagi Via sekarang berada di rumah sakit karena ulah Mas Hilman yang sudah mencelakai anaknya sendiri.
Tuhan ... kenapa ini semua bisa terjadi menimpaku? Aku sama sekali tidak sanggup menjalani takdir ini. Rasanya aku ingin mati, tapi jika aku pergi bagaimana dengan nasib anak-anakku nanti. Gumamku dalam hati.
Dengan terpaksa, aku mengalah membiarkan Juragan Amir menyita rumahku. Tangisku semakin pecah, aku merasa sakit hati sekali. Kedua kakiku melangkah pergi menyusuri jalanan setapak yang dipenuhi dengan banyak kendaraan roda tiga dan empat. Aku menundukkan kepala sembari menahan tangisan.
Tiba-tiba sebuah mobil mendarat tepat berada di sampingku, aku memalingkan pandangan ke arah mobil BMW yang berwarna hitam. Tak lama, seorang laki-laki dengan pakaian kemeja mewah serta kacamata hitam yang melekat di kedua matanya keluar dari mobil dan langsung menghampiriku.
''Hai, Wulan ....''
Dia melepaskan kaca mata yang melekat di kedua matanya. Dia ternyata Bima.
''Ada apa? Apa kamu mau mentertawakan aku hah?'' sinisku tak suka dengan kedatanganya.
Bima mengurutkan kening. ''Maksudmu apa, Wulan? Untuk apa aku mentertawakan kamu. Memangnya apa yang sudah terjadi?''
''Tidak ada apa-apa, kamu tidak berhak tahu dengan apa yang terjadi menimpaku.'' Aku membuang muka. Lalu melangkah hendak pergi meninggalkannya.
''Tunggu, Wulan! Kenapa kamu sekarang keras kepala? Aku hanya bertanya kamu kenapa dan kenapa bilang aku akan mentertawakan kamu?'' Bima mencekal pergelangan tanganku.
''Aku harus pergi sekarang, aku nggak mau berbasa-basi dengan hal yang nggak penting!'' acuhku membuat Bima menghela nafas.
''Aku antar kamu, ya. Kamu memangnya mau ke mana?'' tanyanya berbaik hati.
''Aku mau ke rumah sakit, tapi kamu nggak perlu mengantar aku ke sana. Aku naik taksi saja.'' Aku buru-buru melangkah pergi, aku tak ingin berlama-lama mengobrol dengan Bima. Entah kenapa kejadian di masa lalu masih membekas di hati.
Tanpa sadari, sebuah mobil taksi melewati jalan ini. Dengan cepat aku menghentikan taksi, lalu segera masuk ke dalam mobil.
Helaan nafas terasa begitu memilukan. Aku pergi dari rumah sakit meninggalkan Via bermaksud mengambil sertifikat rumah di dalam gudang. Tapi ternyata, aku kembali dengan tangan kosong. Melihat pemandangan jalan lewat kaca, sorot kedua mataku berkaca-kaca lalu perlahan menetes dengan sendirinya.
Papa, mungkin beliau pasti akan marah ketika tahu aku tidak mendapatkan sertifikat yang aku inginkan. Aku tidak tahu lagi selepas meninggalkan rumah sakit mau tinggal di mana, aku tidak ingin merepotkan kedua orang tuaku dengan tinggal di rumah mereka. Walaupun mereka adalah kedua orang tua kandungku.
***
''Mana sertifikatnya, bukannya kamu pulang ke rumah hendak mengambil sertifikat dan barang berharga lainnya?'' tanya Papa. Aku sudah berada di Rumah sakit.
Aku tertunduk lesu. Benar saja, Papa menanyakan sertifikat. Aku bingung harus menjawab apa.
''Wulan, kenapa kamu diam saja?'' tanya Papa lagi.
''A—aku tidak berhasil mengambil sertifikat beserta barang berharga lainnya, Pa.'' Nada suaraku melemah tak berani menatap Papa.
''Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?'' tanya Papa heran.
''Ternyata Mas Hilman sudah menjual rumah kepada Juragan Amir, Pa. Dan, dia yang sudah merubah nama kepemilikan sertifikat menjadi namanya. Tadi Juragan Amir datang dan dia menyita rumahku serta mengusir aku dari rumah.'' Aku menjelaskan kepada Papa.
Terlihat, raut wajah Papa berubah 180°. Papa terkejut mendengar penjelasanku.
''APA?''
Aku menangis dan langsung memeluk tubuh Papa. Aku khawatir jantung Papa kambuh dan mengakibatkan serangan jantung.
''Papa maafkan Wulan karena tidak bisa menjaga dengan baik barang berharga itu,'' lirihku tak kuasa menahan tangis.
''Br3ngs3k! Keterlaluan si Hilman! Dia sangat kurang 4jar sudah berbuat hal itu kepada kamu!'' Papa marah, raut wajahnya kecewa.
Aku hanya bisa diam, aku sendiri pun bingung sekarang mau melakukan apa. Terlebih, sertifikat sudah berada di tangan Juragan Amir.Tiba-tiba, Papa merasakan jantungnya sakit. Beliau meringis kesakitan. Tubuhnya pun terlihat lemah.
''Papa kenapa?''
Bersambung
Hilman lagi dan lagi, entah kenapa dia selalu begitu. Menurut kalian Human gimana?
PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRI Part 8 ''Br3ngs3k! Keterlaluan si Hilman! Dia sangat kurang 4jar sudah berbuat hal itu kepada kamu!'' Papa marah, raut wajahnya kecewa. Aku hanya bisa diam, aku sendiri pun bingung sekarang mau melakukan apa. Terlebih, sertifikat sudah berada di tangan Juragan Amir. Tiba-tiba, Papa merasakan jantungnya sakit. Beliau meringis kesakitan. Tubuhnya pun terlihat lemah. ''Papa kenapa?'' Aku terkejut melihat Papa seperti itu, dengan cepat aku langsung memanggil dokter dan membawa Papa ke ruang perawatan untuk di cek kondisinya. ''Bagaimana kondisi Papa saya, Dok?'' tanyaku sesaat Dokter selesai memeriksa keadaan Papa. ''Jantung Papa anda melemah, sepertinya beliau harus dirawat inap di rumah sakit ini agar kondisinya membaik,'' saran Dokter. ''Lakukan apapun asalkan Papa saya sembuh, Dok.'' Aku memasrahkan Papa untuk dirawat di Rumah sakit ini. Aku tak ingin jika didiamkan keadaan Papa akan semakin memburuk mengingat Papa memiliki penyakit
PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRIPart 9''Ada sesuatu hal yang ingin aku tanyakan terhadap kamu, Wulan,'' ucap Bima serius.''Sesuatu apa?'' ''Apa betul yang kamu katakan barusan kamu dan Hilman sudah bercerai? Ada masalah apa?'' tanya Bima penasaran. Aku menyunggingkan senyuman sinis, lalu melepaskan tangannya yang mencekal pergelangan tanganku. Rupanya itu yang ingin ia ucapkan. Hah, aku kira sesuatu yang penting!''Kamu nggak usah tahu mengenai permasalahanku, Bima. Hidupku aku yang menjalani, kamu jangan pernah mencampuri dengan menanyakan soal kandasnya rumah tanggaku,'' sentakku membuat Bima terdiam. Setelah mengatakan hal itu, aku berlalu pergi dari hadapan Bima. Dia hanya diam terpaku memandangku seolah-olah hatinya terasa sakit. Biarlah, biar dia menyadari dari kesalahan yang dulu ia lakukan. Mungkin dengan begitu, Bima nggak akan lagi mengusikku dan meminta aku untuk berhubungan lagi dengannya. Aku sadar, aku wanita lemah yang banyak sekali kekurangannya. Tetapi ak
PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRI (10)Hinggapada akhirnya mobil yang kami tumpangi memasuki halaman rumah dua lantai. Aku tersenyum bahagia, sama halnya dengan ketiga anakku. Akan tetapi, perlahan raut wajahku berubah 180° ketika kedua mataku menangkap dua orang laki-laki dengan tubuh gagah berdiri seakan menunggu kedatangan kami. Siapa mereka?Mobil berhenti, kami bergegas keluar dari kendaraan roda empat ini. Dua orang yang bertubuh gagah itu pun langsung menghampiri kami.''Saya ingin bertemu dengan Pak Sanusi, apakah betul ini rumahnya?'' tanyanya berwajah sangar. ''Betul. Saya sendiri. Kalian siapa?'' tanya Papa.''Kami dari pihak bank diperintahkan untuk menagih cicilan uang yang belum anda bayarkan. Dimohon sekarang anda membayar atau rumah ini akan kami sita,'' ujarnya membuat kami terkejut. Jantungku berdetak lebih cepat tidak seperti sebelumnya. Aku nggak percaya Papa pernah meminjam uang ke bank sehingga debkolektor datang menagih ke rumah. Setahuku Papa sangat ant
PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRI (11)Tanpa menaruh curiga, aku membuka pintu dengan lebar dan menatap orang yang berada di hadapanku.''Papa sudah pul—'' Seketika raut wajahku berubah ketika mengetahui sosok yang ada di hadapanku. Ternyata laki-laki brengsek yang sama sekali nggak punya hati. Dia datang ke rumah ini tanpa merasa bersalah. ''Ada apa kamu datang ke sini, hah?'' Kedua tanganku berdecak pinggang dan menatapnya penuh amarah. Ingin sekali kucabik wajahnya dan kubunuh secara membabi buta sampai daging dan tulangnya terpotong menjadi beberapa bagian. ''Santai, dong! Jangan marah! Aku datang ke sini hanya ingin memberikan ini terhadap kamu,'' ujarnya sembari menyerahkan dua amplop besar berwarna cokelat kepadaku. ''Nggak sudi aku menerima apapun dari kamu setelah apa yang sudah kamu lakukan terhadapku!'' Dengan amarah aku langsung membuang amplop cokelat ke dalam tong sampah. Lalu, menatap nyalang mantan suamiku.''KEMBALIKAN SERTIFIKAT RUMAHKU! AKU MAU RUMAHKU KE
PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRI (12)''Saya punya buktinya!''Tiba-tiba, seseorang datang menghampiri kami. Dia menyerahkan semua bukti-bukti yang dibawanya kepada polisi yang ada di hadapan kami. ''Bi—bima ... kamu mendapatkan bukti itu dari mana?'' tanyaku terbata-bata. Aku sampai lupa bahwa Bima sama sekali nggak masuk ke kantor polisi bersamaku. Dia lebih memilih pergi tanpa ikut serta mendampingi kami masuk ke dalam.''Aku mendapatkan bukti-bukti ini tepat sesaat Pak Sanusi berada di rumah sakit. Beliau menyuruhku untuk mengumpulkan bukti-bukti agar bisa menjebloskan Hilman ke penjara,'' jelasnya memberitahu. Aku tertegun mendengar ucapannya.Terlihat, polisi membaca dengan seksama bukti yang diserahkan oleh Bima. Sementara Mas Hilman, dia membuang muka seakan menyimpan penuh amarah kepadaku. ''Bukti ini sudah selesai saya baca. Di dalamnya juga tertulis bahwa saudari Wulan Widya menggugat saudara Hilman Saputra—mantan suaminya, karena sudah menjual tanah beserta rumah d
PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRI (13) PoV Hilman ''Bagaimana sayang si Wulan sudah kamu ceraikan belum?'' tanya Dewi. Dia menatap lekat wajahku seakan penuh harapan. ''Tentunya, sayang. Aku sudah menceraikan si Wulan. Lagipula untuk apa aku mempertahankannya, dia sama sekali nggak secantik kamu,'' ujarku bangga. ''Kalau begitu, kapan kamu akan menikahi aku?'' Sepertinya dia menagih janjiku, karena sebelumnya aku pernah menjanjikan bahwa setelah nanti aku dan Wulan bercerai aku akan segera menikahi Dewi. Awalnya memang aku berniat ingin segera menikahinya dalam waktu dekat, tapi entah kenapa aku mengurungkan niat dan belum ingin menjadikan Dewi sebagai istri. ''Nanti kalau uang tabungan sudah banyak, kita akan segera menikah. Kamu yang sabar, ya,'' ucapku tanpa memastikan kapan hari yang tepat untuk menikahinya. ''Kita nikah sirih saja dulu, aku sudah nggak kuat ingin setiap saat bersamamu, sayang.'' Dewi memohon, wajahnya menekuk memperlihatkan kesedihan yang dirasakan
PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRI (14)''Ke mana?''''Ke rumah sakit. Barusan pihak rumah sakit telepon dan mengatakan Ibu dirawat dan menyuruhku untuk secepatnya ke sana.'' Aku menjelaskan.''Aku nggak mau!'' Tolaknya tanpa memberi alasan. Dia terlihat acuh dan sama sekali nggak punya rasa kasihan. ''Kenapa?''''Ya untuk apa bertemu ibumu, nanti malah aku lagi yang harus ngejaga ibumu selama di sana,'' tuturnya.''Memangnya kenapa? Kan sebentar lagi juga kita akan menikah, kamu harus menghormati ibuku selayaknya ibumu juga. Termasuk merawat ibuku jika sakit.'' Aku mencoba memberi pengertian terhadap Dewi, walaubagaimana pun ibuku juga pastinya akan menjadi ibu mertuanya. Dia harus paham bahwa merawat ibuku yang sakit adalah pahala yang akan membawanya masuk ke surga. Bukan hanya berbakti kepada suami saja, sama halnya seperti yang dilakukan oleh Wulan ketika setiap Ibu sakit. Apalagi aku sudah mempercayakan semua uang hasil penjualan rumah kepada Dewi. Otomatis, dia harus menu
PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRI (15)Aku nggak memberitahu tentang mimpi yang barusaja aku alami. Kenyataannya seakan nyata, tapi aku lebih memilih mengabaikan karena sama sekali nggak penting.Ibu menghela nafas. ''Oh iya, Hilman. Ibu mau tanya, penceraian kalian gimana, apakah sudah diproses?'' ''Belum, Bu.''''Kenapa? Bukankah lebih cepat lebih baik?'' tanya Ibu heran.''Aku nggak mau ngurusin penceraian, Bu. Karena Ibu tahu sendiri 'kan biaya pengacara serta pengadilan agama sangat mahal. Nanti saja kalau si Wulan sudah mengajukannya sendiri kan aku nggak perlu ngeluarin uang banyak.'' Aku menolak permintaan Ibu. Lagipula, aku nggak sudi ngeluarin uang untuk hal seperti itu. Bukankah laki-laki gampang menikah kembali nggak seperti perempuan?''Ya sudah, terserah kamu saja Ibu hanya tanya,'' ujar Ibu.***''Apa kamu nggak salah beli rumah ini yang akan menjadi tempat tinggal kita?'' tanya Ibu heran. Saat ini, kami tengah berada di depan rumah berlantai satu. Rumah ini namp