Melihat apa yang terjadi pada adik kembarnya, Cung Sin diam-diam tersenyum puas.
Bukan tanpa alasan, Cung Sin bersikap demikian pada sang adik kembar. Ilmu inti yang akan diwariskan oleh ayah mereka-lah alasannya. Cung Sin menganggap, Cang Sin adalah saingan beratnya untuk mendapatkan ilmu tersebut lantaran bagi sang ayah, hanya ada satu pewaris ilmu inti darinya yang akan diwariskan pada sang anak. Yaitu, anak yang benar-benar ahli dalam ilmu bela diri juga tenaga dalam serta ilmu ketuhanannya yang juga bisa diperhitungkan, sementara Cung Sin merasa tertinggal jauh oleh Cang Sin yang gemar melakukan semedi jika kemarahan sedang menyelimuti hati dan pikirannya, hingga Cang Sin dianggap ayahnya memiliki ilmu tenaga dalam yang tinggi juga spritual yang baik dibandingkan dengan sang kakak kembarnya. Ketika asap hitam yang keluar dari tongkat yang diarahkan pada Cang Sin sudah lenyap, Cung Sin mengira, tubuh Cang Sin akan tersungkur atau terluka, tapi ternyata Cang Sin terlihat baik-baik saja, hingga Cung Sin mengarahkan pandangannya pada perempuan berjubah hitam itu untuk meminta penjelasan. "Apa yang terjadi pada adikku, Dewi Lembah Seribu Obat?" tanyanya seolah ia khawatir pada sang adik kembar, padahal itu hanya muslihatnya saja, karena ia ingin tahu apakah sang adik kembar memang mendapatkan hukuman. "Dia sudah aku kutuk!" jawab perempuan berjubah hitam itu pada Cung Sin. "Aku melihat, dia tidak kurang sedikitpun, kutukan macam apa yang Dewi berikan padanya?" "Kutukan yang akan membuat masa depannya suram. Sekarang, pergilah! Jangan datang lagi sebelum kutukan itu lepas darinya!" Perempuan berjubah hitam itu tidak mau menerangkan apa yang dimaksudnya secara jelas tentang kutukan yang dikatakannya membuat masa depan Cang Sin akan suram. Ini membuat Cung Sin penasaran. "Dewi, mohon katakan, apa yang Dewi lakukan pada adikku, aku ingin tahu apa yang terjadi padanya, apakah adikku bisa lepas dari kutukan itu?" "Kau manusia terlalu banyak bertanya! Cari sendiri saja kutukan apa yang aku berikan padanya! Ayahmu ahli obat, bukan? Tanyakan saja padanya, ingat, tempat ini terkutuk untuk kalian, serta anak cucu kalian! Jangan pernah datang ke sini lagi atas alasan apapun!" Setelah bicara demikian, tangan perempuan berjubah hitam itu mengarahkan kembali tongkat yang ia pegang ke arah Cung Sin dan Cang Sin. Sekonyong-konyong, seberkas sinar hitam menyerang dan menyelimuti mereka tanpa mampu dicegah keduanya. Sinar hitam itu membungkus tubuh keduanya dan menggulungnya lalu melemparkannya keluar dari tempat itu hingga tubuh Cang Sin dan Cung Sin terlempar jauh keluar dan terguling di atas tanah berumput! Kedua saudara kembar itu berusaha untuk bangkit. Darah menetes dari sudut bibir keduanya tapi cepat diseka oleh keduanya karena mereka segera saling mendekati diri mereka satu sama lain. "Kau belum menjawab pertanyaan dariku, Kak, kenapa kau juga ada di sini? Bukannya kau bertugas di perbatasan? Mengapa kau ada di tempat ini padahal ayah menugaskan aku ke sini untuk mengambil beberapa jenis tanaman obat?" Bertubi-tubi, Cang Sin melontarkan pertanyaan, dan itu tidak membuat Cung Sin segera menjawab. Ia justru meneliti adiknya dari ujung rambut sampai ujung kaki, seolah-olah ada yang ingin dipastikannya. "Kak! Apakah kau tidak mendengar apa yang aku tanyakan? Aku sedang bertanya! Mengapa kau hanya diam saja?!" Kembali Cang Sin bicara, dan itu membuat Cung Sin langsung mengarahkan pandangannya pada sang adik tepat ke bola mata adiknya. "Apa yang sekarang kau rasakan, Cang Sin?" Bukannya menjawab pertanyaan sang adik, Cung Sin justru melontarkan pertanyaan pula pada adik kembarnya tersebut hingga membuat Cang Sin mengerutkan keningnya. "Apa yang aku rasakan?" ulang Cang Sin sambil memandang dirinya sendiri seperti sadar ia tidak merasakan apapun setelah tadi perempuan berjubah hitam itu menyerangnya. Bukankah ia sedang dikutuk? Tapi, mengapa ia tidak merasakan sesuatu yang aneh dari dalam tubuhnya? "Ya, kau terkena kutukan dari Dewi Lembah Seribu Obat, apa yang kau rasakan sekarang?" ulang Cung Sin dengan nada suara yang sangat tegas daripada yang tadi. "Aku ... Tidak merasakan apapun...." Cang Sin menjawab tegas meskipun ada sedikit keraguan di dalam hatinya saat menjawab pertanyaan dari sang kakak. "Benarkah? Kau yakin?" tanya Cung Sin lagi tidak percaya dengan pengakuan sang adik. "Benar. Aku tidak merasakan apapun, Kak. Aku juga tidak tahu apa yang tadi dilakukan oleh perempuan itu." "Aneh, kenapa dia tidak memberikan kau hukuman?" Gumaman Cung Sin sampai ke telinga Cang Sin meskipun kalimat itu diucapkan Cung Sin dengan sangat perlahan, tapi pendengaran Cang Sin yang tajam membuat pria itu bisa mendengar dengan jelas apa yang diucapkan oleh Cung Sin meskipun itu hanya sebuah kalimat yang lirih. "Kenapa ekspresimu seperti itu, Kak? Kelihatan, kau seolah tahu aku memang seharusnya dihukum?" Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Cang Sin, Cung Sin menyeringai, namun seringai itu ia sembunyikan dengan cara telapak tangannya mengusap pelan wajahnya. "Tidak. Kau sudah melanggar aturan mereka, kau harus dihukum, itu ketentuan mereka." "Aku tidak pernah ke lembah seribu obat, ayah hanya bilang aku harus berhati-hati saat bicara tidak merusak tanaman yang ada di sana, tidak mengatakan bahwa tempat itu ada kutukannya, lagipula...." Cang Sin menggantung kalimatnya seolah memikirkan sesuatu yang tiba-tiba terlintas dalam pikirannya. Ini membuat Cung Sin mengarahkan pandangannya pada sang adik setelah tadi ia tidak mau beradu pandang dengan adiknya tersebut khawatir hal yang ia sembunyikan dari Cang Sin diketahui oleh adik kembarnya. "Lagipula apa?" tanya Cung Sin saat Cang Sin tidak kunjung melanjutkan ucapannya. Pria berambut panjang itu justru menatapnya dengan tatapan mata menyelidik, seolah sedang memastikan sesuatu yang baru saja ia pikirkan. "Ada yang aneh dari dirimu. Kau tiba-tiba datang ke sini, padahal ayah mengatakan padaku, kau sedang bertugas ke perbatasan, setelah itu, tiba-tiba saja, patung perempuan itu berubah menjadi Im Kwan, apakah kau sedang berusaha untuk mencelakakan aku, Kak?" Pertanyaan Cang Sin membuat telapak tangan Cung Sin mengepal. Tidak menyangka, sang adik bisa menebak dengan benar padahal ia berusaha untuk bersikap tidak terlalu menonjol, tapi Cang Sin masih saja mampu mengendusnya. Hanya saja, Cung Sin jelas tidak mau menjelaskan apa yang sedang ia rencanakan. Ilmu kepandaiannya sekarang belum seberapa. Jika Cang Sin marah dan menyerangnya, ia khawatir tidak bisa mengimbangi hal itu dan ia akan kalah. Akan tetapi, karena ia adalah kakak meski hanya terpaut beberapa menit saja, Cung Sin tidak mau hilang harga diri. Ia tetap harus marah atas apa yang dikatakan oleh Cang Sin tadi padanya. "Apa kau sekarang sedang curiga padaku, Cang Sin? Atas dasar apa aku mencelakakan dirimu yang sedang melakukan tugas dari ayah? Kau ingin mengajakku bertarung?"Mendengar sang anak mendesaknya sedemikian rupa, Cang San menatap wajah Cung Sin dengan tatapan mata serius seolah ia tidak mau apa yang dikatakannya nanti dianggap tidak bersungguh-sungguh."Jika kau dan Cang Sin tidak memenuhi syarat, untuk sementara, aku yang akan terus memimpin perguruan ini sampai ada salah satu dari kalian yang bisa melakukannya.""Apa? Ayah tidak salah?"Cung Sin sangat terkejut dengan apa yang ia dengar dari sang ayah, hingga ia menatap ayahnya dengan dua mata melotot berharap ayahnya tidak bersungguh-sungguh saat mengucapkan kalimat tadi.Namun, dari sorot mata sampai wajahnya, Cung Sin bisa melihat, ayahnya benar-benar serius. Hingga ia murka dengan semua yang dikatakan oleh ayahnya meskipun ia masih berusaha untuk menahan kemarahannya tersebut."Ayah! Ayah jangan asal ambil keputusan. Kaisar ingin perguruan kita memimpin penyerangan dan penumpasan pada sekelompok orang-orang di aliran hitam itu, kesehatan Ayah sudah tidak baik, tidak akan bisa melakukan itu
Cang San menarik napas ketika mendengar apa yang diucapkan oleh Cung Sin, ia tidak mungkin mengatakan pada Cung Sin bahwa ia menunda pertemuan karena menunggu Cang Sin. Karena sampai saat ini pun, Cung Sin tidak tahu kalau sang adik kembar sebenarnya sedang keluar perguruan bukan di ruang khusus untuk melakukan perenungan seperti yang dikatakan olehnya.Cung Sin memang banyak mengalami perubahan, tapi secara emosional dia masih sangat meledak-ledak, berbeda dengan Cang Sin bisa mengendalikan diri, meskipun sedang marah, hal ini yang membuat aku sedikit ragu, apakah Cung Sin bisa menjadi pemimpin inti. Andai saja Cang Sin tidak terkutuk, alangkah baiknya....Hati Cang San bicara demikian sembari mengusap wajahnya dengan kasar."Keluarlah, persiapkan diri untuk pertemuan darurat."Cang San meminta Cung Sin untuk keluar dari ruangannya agar ia bisa sedikit menenangkan diri, namun, Cung Sin justru tidak bergerak sama sekali."Masih ada yang ingin kau sampaikan?" tanya Cang San pada Cung S
"Kenapa tidak bisa?" Kedua mata Cang Sin yang tadi terpejam mendadak terbuka kembali karena heran saat ia berusaha untuk melakukan komunikasi batin dengan Im Kwan ia gagal. Ini membuat Dewi Lembah Seribu Obat yang mengikutinya tersenyum."Bukankah tadi aku sudah bilang padamu, dia tidak mau lagi menunggumu?" katanya dan itu membuat Cang Sin mengeratkan kepalan tangannya mendengar semuanya.Akan tetapi, Cang Sin tidak menanggapi hal itu, melainkan kembali berusaha untuk menghubungi lagi Im Kwan secara batin.Kali ini pun, Cang Sin gagal, sehingga ia segera beralih untuk melakukan komunikasi dengan ayahnya. (Ayah, kau mendengar suaraku?)Cang Sin langsung melontarkan pertanyaan itu ketika usahanya untuk menghubungi sang ayah secara batin berhasil.(Ya. Ada apa?)Cang Sin menarik napas lega ketika ia mendengar suara ayahnya merespon perkataannya. Ia segera menceritakan semua yang ia alami termasuk situasi desa yang kacau karena diserang para perampok.Semua diceritakan oleh Cang Sin
Perempuan dari alam gaib itu menampakkan wujud di hadapan Cang Sin hingga Cang Sin sadar, Dewi Lembah Seribu Obat pasti sedang ingin berdebat dengannya. Apakah dia masih marah karena aku mengabaikan apa yang dia mau?Ada pertanyaan seperti itu dibisikkan Cang Sin di dalam hati.Meskipun heran dengan kemunculan sang perempuan gaib tersebut, Cang Sin tetap berusaha untuk bersikap tenang."Ada apa, Dewi?" tanyanya, tanpa peduli, saat ini wujud perempuan itu bisa dilihat orang lain atau hanya matanya saja. Toh, itu urusan Dewi Lembah Seribu Obat, Cang Sin tidak akan ikut campur masalah orang lain."Hentikan semua usahamu, Cang Sin!" Tanpa basa-basi, Dewi Lembah Seribu Obat langsung mengucapkan hal itu pada Cang Sin.Mendengar apa yang diucapkan oleh Dewi Lembah Seribu Obat, Cang Sin mengerutkan keningnya, merasa heran apakah perempuan dari alam gaib itu bicara seperti itu karena perdebatan mereka beberapa saat yang lalu?"Dewi, aku tahu kau sedang marah, tapi aku juga punya pikiran sen
"Siap, Kek!" sahut Cang Sin dan Yi Wen secara bersamaan.Sang kakek berjanggut panjang itu segera mengambil pisau yang sudah disiapkan untuk membuat ujung jari pasangan yang sudah ia nikahkan itu bisa dilukai."Lakukanlah sendiri!" perintahnya pada Cang Sin. Cang Sin mengangguk. Ia lalu menggoreskan ujung lancip pisau itu ke jarinya hingga jarinya terluka. Darah keluar dari sana dan sang kakek meminta Yi Wen melakukan hal yang sama pada jarinya.Tanpa banyak membantah, Yi Wen juga melakukan hal yang sama pada ujung jarinya seperti yang dilakukan oleh Cang Sin tadi. Setelah itu, ia dan Cang Sin menyatukan darah yang keluar dari luka gores dijari mereka sebelum darah itu menetes ke lantai.Terlihat mulut kakek berjanggut panjang itu komat-kamit. Setelah itu, ia membuka matanya yang tadi terpejam."Selesai!" katanya sambil menatap ke arah Cang Sin dan juga Yi Wen. Ketua kelompok Yi Wen yang sejak tadi melihat proses pernikahan antara Cang Sin dan juga Yi Wen mendekat ke arah sang kake
"Maaf, apakah aku salah dengar?" Karena tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh ketua kelompok Yi Wen, Cang Sin melontarkan pertanyaan itu pada perempuan paruh baya tersebut, sekedar untuk meyakinkan saja. "Tidak. Kau tidak salah dengar."Dengan wajah yang masih serius, sang ketua kelompok Pendekar Panah Beracun menjawab pertanyaan Cang Sin."Aku tidak bisa memberikan pernikahan seperti itu, Kak. Aku melakukan hal ini hanya ingin menekan resiko yang terjadi jika orang memberikan ilmu inti padaku."Karena Cang Sin bingung memanggil dengan sebutan apa ketua kelompok Yi Wen, sebab, beberapa kali perempuan itu protes saat Cang Sin memanggilnya dengan panggilan tertentu, Cang Sin akhirnya memanggil perempuan itu dengan sebutan kakak, dan ketua kelompok Yi Wen tidak melancarkan aksi protes seperti sebelumnya, hingga Cang Sin merasa sebutan itu mungkin diterima oleh wanita tersebut."Aku tahu, kau penganut yang menikah harus dengan seseorang yang dicintai, tapi, cinta itu akan datang