Nada suara Cung Sin terdengar meninggi ketika ia mengatakan itu pada Cang Sin. Cung Sin bersandiwara bahwa ia merasa tersinggung meskipun apa yang dikatakan oleh Cang Sin itu adalah benar adanya.
Namun, karena ia sekarang sedang menjalankan rencana, ia tidak mau siapapun mengetahui apa yang sekarang dilakukannya. Merasa kakaknya seperti tersinggung dengan apa yang dikatakannya, Cang Sin tersadar, tidak seharusnya ia bersikap demikian. Bagaimanapun, Cung Sin adalah kakaknya, ia tetap harus bersikap hormat pada pria tersebut meskipun ia sedang marah sekalipun. "Maaf, aku tidak bermaksud seperti itu, aku hanya menyampaikan keraguan hatiku saja, aku minta maaf jika itu menyinggung perasaanmu." Dengan nada suara merendah, Cang Sin mengucapkan kalimat tersebut tapi itu tidak membuat Cung Sin merasa puas, ia merasa perlu memberikan pelajaran pada sang adik agar adiknya itu tidak berani berpikir berlebihan tentangnya. "Minta maaf boleh, tapi karena kau kurang ajar padaku, maka, kau harus aku berikan pelajaran terlebih dahulu karena semua itu!" Setelah bicara demikian, Cung Sin menyerang Cang Sin dengan serangan yang sangat gencar. Meskipun tahu ilmu kepandaiannya tidak setara dengan Cang Sin. Cung Sin tetap melakukan hal itu pada Cang Sin karena ingin bersandiwara penuh dengan memainkan peran bahwa ia kakak yang sedang tersinggung lantaran kesimpulan yang dibuat oleh Cang Sin. Diserang seperti itu oleh sang kakak, membuat Cang Sin terkejut. Bukan pertarungan yang ia inginkan buah dari apa yang ia pertanyakan tadi, tapi sebuah penjelasan karena ia memang merasa aneh, sang kakak tiba-tiba muncul ketika sang kakak justru ditugaskan ke tempat lain oleh sang ayah. "Kak! Hentikan pertarungan ini! Kita bisa bicara baik-baik, bukan? Kita tidak perlu melakukan hal ini!" teriak Cang Sin sambil terus menangkis serangan yang dilakukan oleh Cung Sin. "Bicara baik-baik? Kau tidak sedang melakukan itu, Cang Sin! Kau menghakimiku! Kau itu adik! Walaupun hanya beberapa menit tapi tetap saja kau adik! Kau, tidak boleh bersikap seperti itu pada kakakmu sendiri!" Cung Sin membalas teriakan Cang Sin dengan teriakan pula. Ia semakin meningkatkan serangannya hingga Cang Sin yang tidak mau meladeni apa yang dilakukan oleh sang kakak terpaksa melakukan serangan balasan meskipun itu tidak memakai kekuatannya secara penuh. BRUKK!! Tubuh Cung Sin terpental dan menerobos semak belukar ketika Cang Sin membalas serangan yang dilakukannya beberapa saat yang lalu. Cang Sin mampu membalikkan serangan sang kakak dalam sekejap setelah tadi ia hanya menghindar dan menangkis saja serangan sang kakak. Awalnya, Cung Sin ingin segera bangkit ketika ia terpental karena serangan yang dilakukan oleh Cang Sin. Akan tetapi ia tidak mampu hingga ia hanya terbaring sambil memegangi dadanya yang terasa sakit. Melihat sang kakak demikian, Cang Sin buru-buru mendekati kakaknya, dan berjongkok di samping sang kakak. "Kak! Kau tidak apa-apa?" tanya Cang Sin sambil membantu kakaknya untuk bangun. Cung Sin menepis tangan Cang Sin dari bahunya, tidak mau menerima pertolongan yang dilakukan oleh sang adik. "Kurang ajar, kau! Sudah menuduh yang tidak-tidak, kau juga menyakitiku!" katanya dengan nada yang terdengar sangat marah. Kali ini, kemarahan Cung Sin bukan sebuah sandiwara. Tetapi sebuah kenyataan, karena ia memang merasakan sakit akibat serangan yang dilakukan oleh Cang Sin padanya. "Kak! Aku tidak bermaksud untuk menyakitimu, kau sendiri yang menyerangku secara mendadak, aku hanya mengimbangi, tidak mau melakukan serangan balik, tapi karena tadi kau menyerang titik penting dalam tubuhku, aku terpaksa, Kak...." BUKKK!! Tubuh Cang Sin terpental ke belakang ketika dengan penuh perasaan marah, Cung Sin menendangnya meskipun ia sekarang hanya duduk setelah tadi Cang Sin membantunya untuk bangun. Cang Sin yang tidak siap dengan serangan itu tergeletak di atas tanah berumput. Dadanya berdenyut sakit. Namun bukan itu saja yang dirasakan oleh Cang Sin. Tiba-tiba saja, bagian bawah perutnya terasa sakit pula padahal tendangan yang dilakukan oleh Cung Sin bukan mengarah ke bagian vitalnya. "Akh! Kenapa rasanya sangat sakit? Padahal, Kak Cung Sin hanya menendang dadaku, tidak menendang bagian bawah perutku, tapi kenapa rasanya sangat sakit?" gumam Cang Sin sambil berusaha untuk mengerahkan tenaganya agar ia bisa menahan rasa sakit itu sekuat yang ia bisa. Sementara itu, Cung Sin yang merasa puas sudah membalas serangan yang dilakukan oleh Cang Sin berdiri, walaupun rasa sakit pada bagian dadanya masih terasa, dan setiap ia melakukan pergerakan, rasanya ia sangat sulit untuk sekedar hanya bernapas. "Bangun! Kita harus pulang sekarang! Ayah sudah menunggu!" teriak Cung Sin pada Cang Sin. Sebenarnya, Cung Sin masih ingin menghajar Cang Sin karena ada banyak alasan untuknya melakukan itu pada sang adik kembar, tapi ia khawatir jika ia terlalu berlebihan, ayahnya akan curiga hingga rencananya tidak akan berjalan dengan baik. Sebab itulah, Cung Sin berusaha untuk menahan diri menyalurkan kemarahan untuk adik kembarnya tersebut. Masih ada lain waktu, begitu pikirnya. Namun, Cang Sin tidak bergerak sama sekali meskipun sang kakak memintanya untuk bangun. Membuat Cung Sin segera melangkah mendekati sang adik dan berjongkok di samping tubuh adiknya tersebut untuk mengetahui mengapa Cang Sin terlihat sangat kesakitan seperti itu padahal ia tadi tidak terlalu mengerahkan kekuatannya saat ia menendang Cang Sin? Lagipula, sekelas Cang Sin yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tidak mungkin sangat mudah dirobohkan hanya dengan satu serangan saja, tapi mengapa sekarang Cang Sin seperti kepayahan seperti itu? "Hei! Kau ini sedang apa? Kau bersandiwara di hadapanku? Apakah kau benar-benar sedang kesakitan?" Kembali Cung Sin melontarkan pertanyaan, satu tangannya membalik tubuh adik kembarnya, agar ia tahu Cang Sin sedang bersandiwara atau tidak. Dia punya ilmu kepandaian yang tinggi, jika hanya satu tendanganku saja dia jadi seperti ini, apakah itu berarti, kekuatanku yang bertambah? Hati Cung Sin bicara demikian sambil terus memperhatikan sang adik yang masih sibuk mengerahkan kekuatannya untuk mengatasi rasa sakit pada bagian bawah perutnya. "Aku tidak sedang bersandiwara! Aku benar-benar merasa sakit, Kak!" sahut Cang Sin sambil terus menekap bagian bawah perutnya, dan ini membuat Cung Sin semakin heran. "Aku tadi menendangmu di dada, kau kesakitan di bagian vitalmu, kau sedang mengejekku, Cang Sin?" Karena merasa apa yang ia lihat tidak masuk akal, Cung Sin justru tersinggung hingga ia emosi kembali setelah tadi ia berusaha untuk menahannya karena ingin menyudahi apa yang ia mulai khawatir Cang Sin curiga. "Aku tidak sedang berbohong, Kak! Aku merasa sakit di sini, aku tidak bisa bangun sekarang!" kata Cang Sin dan penjelasannya tidak membuat Cung Sin puas. "Kau benar-benar ingin mengejekku ternyata, kau mau masa depanmu sebagai lelaki aku musnahkan, baik? Aku akan menendangmu di bagian vitalmu itu agar kau puas!""Kau yakin Cang Sin mengalami rasa sakit di bagian bawah perut?" tanya Tabib Wu seolah ingin apa yang. dikatakan oleh Cang San adalah sebuah kekeliruan."Dia sendiri yang mengatakannya, dan ketika aku memeriksa suhu tubuh juga denyut nadinya, semuanya memang benar.""Aku akan memeriksanya!""Lakukan saja, Tabib Wu. Aku akan menyusul setelah menangani sakit ibu hamil.""Pergilah!"Cang San meninggalkan Tabib Wu setelah sebelumnya pria itu menjura hormat pada pria berusia lanjut tersebut.Sepeninggal Cang San, Tabib Wu meminta salah satu murid Perguruan Angsa Putih untuk mengantarkan dirinya ke ruang bawah tanah.Penjelasan Cang San sungguh tidak ingin dipercaya oleh Tabib Wu. Akan tetapi, tidak mungkin pemimpin Perguruan Angsa Putih akan bicara sembarangan hingga Tabib Wu tergesa-gesa ingin membuktikannya sendiri.Pintu ruang bawah tanah dibuka oleh murid perguruan yang berjaga di sekitar tempat itu.Tabib Wu segera masuk dan ia melihat Cang Sin terduduk di sudut ruangan sembari berusa
"Apa yang sudah kau lakukan, Cang Sin?" Cang Sin terkejut ketika pertanyaan itu dilontarkan oleh sang ayah dengan nada suara meninggi, ditambah raut wajah yang terlihat sangat terkejut.Ia menatap ayahnya dengan tatapan mata ingin tahu, sementara ayahnya menatapnya dengan sorot mata tajam menyelidik."Apa yang sudah aku lakukan? Memangnya apa yang aku lakukan, Ayah? Aku tidak mengerti!""Jangan berpura-pura! Apa yang sudah kau lakukan di Lembah Seribu Obat? Apakah kau melanggar larangan yang sudah aku katakan padamu untuk tidak dilanggar?!"Cang San melontarkan pertanyaan, tidak menyangka anaknya akan melakukan sesuatu yang dinilainya tidak mungkin dilakukan oleh Cang Sin lantaran Cang Sin adalah anaknya yang sangat memperhatikan aturan dan batasan dengan benar.Cang Sin adalah harapan Cang San untuk menjadi pewaris Perguruan Angsa Putih. Meskipun masih ada kakak kembar Cang Sin, yaitu Cung Sin, namun kepandaian olah kanuragan Cang Sin lebih memungkinkan adik kembar Cung Sin itu unt
"Jika kau bisa mewarisi ilmu itu dengan baik dan bisa bertanggung jawab atas segalanya, aku tidak keberatan." "Aku pegang kata-katamu, Cang Sin!" Setelah bicara seperti itu, Cung Sin berbalik dan bergerak melangkah ke arah kuda yang mereka tambatkan di bawah pohon tidak jauh dari lokasi Lembah Seribu Obat. Namun, ketika ia ingin naik ke atas pelana kudanya, ia jadi teringat, ia tidak boleh meninggalkan Cang Sin begitu saja di tempat itu. Ayahnya akan curiga. Cung Sin berbalik, dan menatap Cang Sin yang perlahan bangkit berusaha untuk berdiri meskipun wajahnya terlihat masih menyimpan perasaan sakit tersebut. "Apa kau bisa berjalan?" tanya Cung Sin, sekedar memastikan saja, tidak benar-benar khawatir. "Aku akan berusaha." Cung Sin mengawasi gerakan Cang Sin yang perlahan melangkah ke arah di mana ia menunggu. Langkah Cang Sin terlihat sedikit berbeda dari biasanya, seperti sedang menahan rasa sakit, dan Cung Sin penasaran apa yang sebenarnya terjadi pada Cang Sin. "Ap
Setelah bicara seperti itu pada Cang Sin, Cung Sin segera berdiri dan bersiap untuk menendang bagian bawah perut adiknya karena ia tersinggung dengan apa yang dilakukan oleh Cang Sin, yang mengatakan bahwa bagian bawah perutnya yang sakit padahal ia menendang adiknya itu di dada. "Aku tidak sedang bercanda, Kak! Bagian ini memang sakit, aku tidak tahu apa sebabnya!" teriak Cang Sin, seraya berguling untuk menghindari apa yang sekiranya akan dilakukan oleh sang kakak kembar. Aneh. Sepertinya dia tidak sedang berbohong. Wajahnya terlihat sangat kesakitan, artinya ia memang sedang merasa sakit, tapi kenapa? Apa karena seranganku tadi? Hati Cung Sin bicara demikian sambil melangkah mendekati posisi Cang Sin agar ia bisa melihat kembali apa yang sebenarnya terjadi pada sang adik. "Kau suka berhubungan intim dengan perempuan di belakang Im Kwan, jadi kau sepertinya kena penyakit raja singa!" tuduh Cung Sin dan Cang Sin tidak terima mendengar tuduhan sang kakak. "Aku tidak pernah
Nada suara Cung Sin terdengar meninggi ketika ia mengatakan itu pada Cang Sin. Cung Sin bersandiwara bahwa ia merasa tersinggung meskipun apa yang dikatakan oleh Cang Sin itu adalah benar adanya.Namun, karena ia sekarang sedang menjalankan rencana, ia tidak mau siapapun mengetahui apa yang sekarang dilakukannya.Merasa kakaknya seperti tersinggung dengan apa yang dikatakannya, Cang Sin tersadar, tidak seharusnya ia bersikap demikian. Bagaimanapun, Cung Sin adalah kakaknya, ia tetap harus bersikap hormat pada pria tersebut meskipun ia sedang marah sekalipun."Maaf, aku tidak bermaksud seperti itu, aku hanya menyampaikan keraguan hatiku saja, aku minta maaf jika itu menyinggung perasaanmu."Dengan nada suara merendah, Cang Sin mengucapkan kalimat tersebut tapi itu tidak membuat Cung Sin merasa puas, ia merasa perlu memberikan pelajaran pada sang adik agar adiknya itu tidak berani berpikir berlebihan tentangnya."Minta maaf boleh, tapi karena kau kurang ajar padaku, maka, kau harus aku
Melihat apa yang terjadi pada adik kembarnya, Cung Sin diam-diam tersenyum puas. Bukan tanpa alasan, Cung Sin bersikap demikian pada sang adik kembar. Ilmu inti yang akan diwariskan oleh ayah mereka-lah alasannya. Cung Sin menganggap, Cang Sin adalah saingan beratnya untuk mendapatkan ilmu tersebut lantaran bagi sang ayah, hanya ada satu pewaris ilmu inti darinya yang akan diwariskan pada sang anak. Yaitu, anak yang benar-benar ahli dalam ilmu bela diri juga tenaga dalam serta ilmu ketuhanannya yang juga bisa diperhitungkan, sementara Cung Sin merasa tertinggal jauh oleh Cang Sin yang gemar melakukan semedi jika kemarahan sedang menyelimuti hati dan pikirannya, hingga Cang Sin dianggap ayahnya memiliki ilmu tenaga dalam yang tinggi juga spritual yang baik dibandingkan dengan sang kakak kembarnya.Ketika asap hitam yang keluar dari tongkat yang diarahkan pada Cang Sin sudah lenyap, Cung Sin mengira, tubuh Cang Sin akan tersungkur atau terluka, tapi ternyata Cang Sin terlihat baik-ba