Share

PENDEKAR CAMBUK HALILINTAR
PENDEKAR CAMBUK HALILINTAR
Penulis: Emde Mallaow

PART 01

       MALAM itu bulan purnama menerangi jagat malam. Langit demikian bersih, sehingga bintang-gemintang tampak bertaburan bak jutaan berlian.

       Di sebuah jalan raya yang membelah lembah yang bernama Padang Kara, terlihat rombongan tiga pedati berbentuk rumah kecil  yang masing-masing ditarik oleh dua elor lembu putih yang besar-besar dan kuat. Ketiga pedati itu dikawal oleh  puluhan pengawal berkuda yang berjalan mendahului di depan dan sebagian mengikuti dari belakang. Bisa dipastikan, bahwa para pengawal berkuda itu merupakan para pendekar pilihan. Rata-rata di punggung mereka menyandang sepasang sepadang. Suatu isyarat, bahwa orang-orang yang ada dalam gerobak merupakan orang-orang yang tak sembarangan. Jika bukan keluarga juragan kaya raya, tentulah keluarga kalangan wong agung.

        Pedati yang belakang berisi perbekalan, sedangkan pedati yang bagian depan berisi peti-peti dengan tutup yang berbentuk melengkung. Peti-peti itu berisi harta yang berharga milik sang adipati, berupa uang emas dan perak serta permata yang sangat mahal harganya. Yang ditumpangi manusia yang dikawal adalah pedati yang tengah. Yang ada dalam pedati itu ada tiga orang, suami istri, pasangan yang masih relatif muda, mungkin berusia yang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun, sedangnya istrinya mungkin baru menginjak kepala tiga. Di antara keduanya ada seorang anak laki-laki, putra mereka, yang berusia sekitar tujuh tahun. Mereka adalah Adipati Raden Wirajaya dan garwanya, Diajeng Sekar Laras, serta putra mereka yang bernama Raden Anom. Ketiganya dalam keadaan terlelap dalam tidurnya. Mereka sama sekali tak terusik oleh goncangan demi goncangan dari pedati yang ditumpanginya akibat melewati jalan yang tak selalu mulus. Mungkin perjalanan yang cukup panjang menjadikan tubuh mereka sangat penat.

       Tak ada suara apa pun dalam perjalanan itu selain suara ladam-ladam kuda yang berantukan dengan batu-batu jalanan serta  bunyi berdenyit ketiga pedati akibat goncangan. Sebuah perjalanan malam yang begitu tenang.

       Akan tetapi, baru saja mereka melewati sebuah kecil yang tak terlalu luas namun penuh dengan pohon-pohon yang besar, tiba-tiba mereka mendapat serangan puluhan anak panah yang tak jelas arah datangnya.

      Siuutt...!!!

      Siuutt...!!!

      Siuutt...!!!

     “Semua waspadaa...!! Kita sedang diseraang...!!” teriak kepala pengawal yang menunggang kuda paling depan, sembari menghentikan jalan kudanya secara mendadak. Dia bernama Senapati Yuda Wijaya. Kepanikan pun langsung terjadi. Kuda-kuda meringkik seraya mengangkat kedua kaki depannya. Dan beberapa ekor di antaranya langsung rubuh dan melempar penunggangnya akibat terkena anak panah.

        “Aaaakhh...!!”

        “Aaaakhh...!!”

         Dua jeritan menjemput ajal terdengar menyayat malam. Mereka adalah dua pengawal yang berada di barisan belakang. Adipati Wirajaya dan Diajeng Sekar Laras sontak terbangun. “Ada apa, Kangmas?”tanya Diajeng Sekar Laras kepada suaminya.

        Namun Adipati Wirajaya justru bertanya kepada sais pedatinya, “Apa yang terjadi, Sais Enda..?!”

       “Rombongan kita sedang diserang, Tuan Adipati. Dua jeritan barusan berasal dari dua pengawal yang di belakang,”lapor Sais Enda dengan tubuh merunduk dengan wajah sangat panik.

        “Kurang ajar!” geram Adipadi Wirajaya. “Mana Senapati Yuda Wijaya...!”

       “Ada di depan, Tuan Adipati. Dia sedang menghalau serangan anak panah yang terus-menerus datang dari segala arah.”

        “Hmm, naga-naganya manusia-manusia iblis itu sedang menyasar para pengawal terlebih dahulu!”Adipadi Wirajaya menggeretakkan giginya. “Baiklah, aku akan turun...!”

          Namun niatnya tertahan oleh suara jeritan kematian dari salah seorang pengawal di depan yang disusul oleh bunyi gedebug tubuhnya yang jatuh dari punggung kuda tunggangannya.

       “Jangan ke mana-mana, Kang Mas...! Diajeng Sekar Laras melarang dengan suara bergetar ketakutan sembari menarik ujung baju suaminya dari belakang.  Wajah wanita yang tetap memelihara kecantikan dari masa mudanya itu terlihat sangat panik.

      “Jangan khawatir....”

        Belum sempat Adipati Wirajaya menyelesaikan ucapannya, mendadak sebuah anak panas menembus dinding pedatinya  yang terbuat dari kulit hewan.

        Wiitt...!!

     “Awas Diajeng...!!”

        Adipadi Wirajaya secara spontan menarik punggung istrinya. Anak panah langsung lewat di atas punggung istrinya lalu menembus dinding pedati yang sebelah. Dan...

   “Aaaaakh...!!”

     Satu jeritan kematian terdengar di sebelah pedati justru mengagetkan mereka. Rupanya anak panah beracun barusan justru menancap tepat di leher salah seorang pengawal yang berada di samping pedati.

       Setelah itu terdengar teriakan orang-orang yang keluar dari segala penjuru. Rupanya sebagian dari para begundal itu telah datang melakukan penyerangan langsung. Serbuan mendadak dari segala arah itu membuat pengawal Adipadi Wirajaya hanya mampu memberikan pertahanan dan serangan balasan yang sama sekali tak beraturan. Sehingga dalam waktu yang singkat terdengar jeritan-jeritan kematian dari para pengawal.

       “Sais Enda, kamu jaga Tuan Putri dan Tuan Mudamu! Diajeng, lindungi putra kita, dan tetaplah menunduk seperti itu! Aku akan segera kembali! Para bedebah itu harus dilenyapkan!”

         Sehabis berkata demikian, Adipati Wirajaya langsung meraih pedangnya yang ada di dekat tubuhnya dan langsung berkelebat turun. “Pada begundal jahannaaam...!” teriaknya penuh amarah.

        Pertempuran yang tak seimbang pun berlangsung malam itu. Cahaya bulan purnama yang sangat tenrang membantu para Adipati dan pengawalnya untuk mengenal lawan-lawannya, karena sebagian besar mereka telah turun dari punggung kudanya masing-masing.

       Karena Adipati Wirajaya juga adalah seorang yang berilmu tinggi dan sakti mandraguna, langsung melakukan serangan gencar dan amat cepat. Beberapa anggota begundal langsung berjatuhan meregang nyawa dengan leher menganga akibat sabetan-sabetan pedangnya. Daun-daun di sekitar areal pertempuran beguguran oleh kerahan tenaga dalam dari para petarung.

         Tetapi kesaktian sang Adipati tidaklah menyurutkan nyali para penyerangnya. Dengan jumlah mereka yang lebih banyak serta pasukan panah yang terus membidik dari segala arah dari tempat-tempat yang tersembunyi, membuat para pengawal terus berguguran, baik yang masih berada di atas punggung kuda mereka maupun yang sudah bertempur saling berhadapan di bawah dengan musuh yang sama sekali tak tahu mereka tahu itu.

       Lama-kelamaan pasukan pengawal Adipati Wirajaya pun habis berjatuhan. Yang tertinggal dari mereka hanyalah pimpinannya, yaitu Senapati Yuda Wijaya. Walau seluruh anggotanya sudah berguguran, namun adipati yang memiliki ilmu kesaktian yang cukup tinggi dengan pengalaman tarungnya yang sudah banyak, tak sedikit pun surut untuk memberikan perklawanan. Ia begitu gigih menghalau serangan bertubi-tubi dilancarkan oleh musuh-musuhnya. Lalu pada kesempatan yang tepat ia pun melancarkan balas melakukan serangan-serangan yang sangat cepat dan berbahaya, mendampingi tuannya, Adipati Wirajaya. Entah sudah berapa orang begundal yang berhasil ia tewaskan.

        Akan tetapi....

        Siittt....!!!

        Siittt...!!!

        Siittt....!!!

        Tiga anak panah tiba-tiba meluncur dengan amat cepat dari arah belakang dan langsung menancap di punggung sang adipati. Laki-laki itu menjerit setinggi langit merasakan kesakitan yang amat sangat. Tubuhnya langsung oleng dan pandangannya berkunang-kunang.

     “Senapati Yuda Wijaya...!!” teriak Adipati Wirajaya dan bergerak cepat untuk menahan tubuh Senapatinya.

      Akan tetapi, lagi-lagi...

      Siittt...!!

      Siittt...!!!

      Siittt...!!!

      Siittt...!!!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Zul Adah
xde bab baru ke thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status