Untung tak teraih namun malang tak bisa ditolak, tubuh sang adipati pun terkena hantaman empat anak panah beracun. Keempat anak panah itu menancap di belakang lehernya, di lengannya, serta di bagian dadanya dua anak panah.
“Aaaah...! Para begal jahannaam...!!” teriak sang adipati baru Sendang Sewu itu.
“Tuan Putri, Tu-tuan Adipati kena...!!” bisik Sais Enda kepada Diajeng Sekar Laras.
Mendengar itu, wanita yang belum menginjak usia tiga puluh tahun itu langsung berteriak. Ia menarik tangan putranya, Raden Anom, untuk turun dari pedati. Sais Enda terlambat untuk menceganya.
“Kang Mas Wirajaya....!” Tangis Diajeng Sekar Laras pecah. Ia hendak memeluk tubuh suaminya, tapi Adipati Wirajaya menggapai-gapaikan tangannya untuk mencegahnya.
“Se-selamatkan dirimu dan putra kita Diajeeeng....,” ucap Adipati Wirajaya dengan nafas terengah-engah.
“Tidak Kang Mas...! Kita harus mati bersamaa...!” teriak Diajeng Sekar Laras dengan perasaan perih yang teramat sangat dalam hatinya saat melihat laki-laki yang sangat dicintainya sedang menjemput aja. Ia bersikeras hendak datang memeluk suaminya.
Tetapi tiba-tiba sebuah tangan kekar menariknya ke belakang dan melindunginya dengan tubuhnya dan Raden Anom. Ia adalah Sais Enda. “Ayo Tuan Putri, kita harus segera pergi dari sini. Tuan Putri dan Den Anom harus selamat!”
Walau dengan hati yang teriris dan teramat berat, wanita berparas ayu itu berlari di samping sais pedatinya. Sedangkan Raden Anom digendong oleh sang sais. Sang Sais berusaha menerobos masuk ke dalam belantara.
Pun malang yang didapat oleh Sais Enda, tiba-tiba ia menjerit kesakitan. Beberapa anak panah telah menancap di punggungnya. Namun ia tetap berusaha berusaha untuk memberikan perlindungan maksimal terhadap kedua tuannya. Namun sang tuan, Diajeng Sekar Laras, justru langsung menjerit ngeri saat melihat kondisinya. Dengan cepat ia mendekap mulut wanita yang dihormatinya dengan tangan kanannya agar jangan berteriak sembari berusaha untuk terus melangkahkan kakinya.
Tetapi karena racun dari beberapa anak panah itu adalah jenis racun yang sangat mematikan, membuat tubuh Sais Enda tak mampu bertahan lama. Baru beberapa puluh langkah mereka lari, tubuh kekar laki-laki itu langsung jatuh tersuruk ke depan. “Ma-maafkan hamba, Tuan Putri. Ha-hamba sudah tak bisa melindungi Tuan Putri dan Raden A-anom lagi. Se-lamatkan diri Tuan dan Putra Tu-an Mu-da....,” ucapnya terbata-batas sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.
Diajeng Sekar Laras dan si kecil Raden Anom hanya berdiri terpaku sesaat. Namun keduanya tersentak saat pimpinan begundal berteriak memerintahkan agar mengejar mereka, Diajeng Sekar Laras langsung menarik tangan putranya, Raden Anom untuk lari ke dalam hutan.
Tetapi mereka kalah cepat, beberapa anggota begal berloncatan dan langsung menghadang mereka. Ada juga yang berdiri di samping dan belakangnya. Keduanya terkurung. Diajeng Sekar Laras langsung mendekap tubuh putranya erat-erat.
“Mau lari ke mana kalian, heh!” bentak salah seorang dari anggota begal. “Daripada kaulari, lebih baik kamenjadi istri ke...sekian pimpinan kami, Cah Ayu...! Huahahaha....!”
Suara tawa dari para anggota begal langsung menggegerkan jagat malam di rimba itu. Namun tawa mereka sontak berhenti ketika anggota begal yang berkata tadi diludahi wajahnya oleh Diajeng Sekar Laras dan berkata, "Tidak sudi! Lebih baik kalian bunuh saja kami daripada kami harus ikut dengan kalian!”
Laki-laki yang wajahnya dipenuhi cambang bawuk itu langsung naik pitam. Ia mengusap air ludah yang menempel di wajahnya. “Kurang ajar! Dikasih kesempatan hidup malah minta mati! Dasar wanita jalang...!!” Ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi agar mampu membelah tubuh Diajeng Sekar Laras.
Akan tetapi...
Crasshh...!!!
Crasshh...!!!
Glegarr...!!!
Gleggar...!!!
Terasa ada halilintar yang menyambar berkali-kali. Pohon-pohon bertumbangan. Lalu disusul oleh jeritan-jeritan meregang nyawa dari para anggota begal yang mengepung Diajeng Sekar Laras dan Raden Anom.
Diajeng Sekar Laras dan Raden Anom sama-sama menjerit dan memekik ketakutan. Namun tiba-tiba sesosok bayangan putih menghampiri mereka. Sebelum mereka mengenali siapa sosok berjubah putih itu, tiba-tiba tubuh keduanya sudah dibopong dan dibawa lari dengan kecepatan yang sungguh luar biasa. Diajeng Sekar Laras dan Radem Anom merasa seperti tengah diterbangkan oleh sebuah kekuatan angin yang sangat kencang.
“Siapakah Engkau? Apakah mahluk jahat atau mahluk baik...?!” bertanya Diajeng Sekar Laras sambil berusaha melepaskan dirinya.
“Diamlah, Nisanak. Kalau aku mahluk jahat terhadap kalian tentu kalian sudah aku binasakan bersama para penjahat tadi,”terdengar jawaban dari sosok yang berjubah putih. Tapi ajaibnya, tak tampak oleh Diajeng Sekar Laras mulut sosok yang membopong tubuhnya dan putranya, Raden Anom, bergerak.
“Tapi Kisanak hendak membawa kami ke mana?”
“Sejauh mungkin agar kelompok jahannam itu tidak menemukan kalian lagi.”
Diajeng Sekar Laras mencoba tenang dan memasrahkan nasibnya, kendati sosok yang membopong tubuhnya dan buah hatinya dengan gerakan yang sangat cepat itu masih sangat misterisu baginya. Wajahnya pun tak begitu jelas karena selalu tertutup oleh rambutnya yang panjang meriap dihembus angin.
Sementara itu, puluhan kelompok begal atau penyamun yang datang mengikuti keenam teman mereka yang mengejar Diajeng Sekar Laras dan Putranya Raden Anom tadi, sangat kaget setelah mengetahui bahwa keenam teman mereka telah tewas dengan tubuh dalam keadaan gosong mengenaskan.
“Keparat kurang ajar! Siapa yang melakukan ini!” berkata pimpinan kelompok itu dengan suaranya yang tinggi akibat kemarahan yang memuncak. Dia laki-laki yang memiliki tubuh yang putih tinggi dengan wajah klimis dan rambut panjang sebahu yang dibiarkan meriap tanpa diikat dengan kain. Gentala Seta namanya. Dan kelompok begal yang dipimpinnya dikenal dengan nama Macan Ireng.
“Saya yakin yang melakukan ini adalah seseorang yang menolong garwa dari Adipati Wirajaya dan putranya, ketua! Pastilah ia seorang yang berilmu sangat tinggi,” sahut salah seorang anak buahnya.
“Tentu saja, Bhanu Ireng!” ucap Gentala Seta setengah membentak. “Yang bisa melakukan hal yang luar biasa seperti ini hanyalah manusia yang berilmu sangat tinggi. Tapi siapakah dia...!?”
Puluhan anak buahnya yang bertampang rata-rata sangar sesaat pada terdiam untuk berpikir. Namun tiba-tiba Gentala Seta berkata, “Ah, sudahlah, tak usah kalian berpura-pura berpikir! Ayok, kita tinggalkan tempat ini! Biarlah bangkai manusia-manusia yang tak berguna ini jadi santapan hewan buas penguni rimba ini! Kita akan menikmati hasil kerja kita yang luar biasa malam ini. Huahahaha...!”
Tampa diminta untuk kedua kalinya, seluruh begal yang bejumlah sekitar tiga puluh orang itu langsung mengikuti pimpinan mereka. Suara tawa mereka membahana menggemparkan memecahkan kesunyian rimba malam. Mereka kembali ke pedati-pedati yang berisi harta rampasan mereka. Tentu saja, malam ini adalah aksi pembegalan mereka yang sangat sukses.
***
Setelah melewati dua lembah dan dua bebukitan di sebelah selatan, sosok misterius berjubah putih itu menurunkan tubuh Diajeng Sekar Laras dan putranya, Raden Anom, dari bopongannya. “Kita sudah sampai, Nisanak. Inilah kediamanku,” ucapnya lalu tertawa ringan.
Ternyata sosok putih yang memiliki kepandaian tinggi itu adalah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun. Fisiknya masih terlihat kekar dengan wajah yang putih bersih. Dilihat dari perawakan dan wajahnya, dia seperti orang yang berasal dari kalangan bangsawan.
Tempat tinggal yang dimaksudnya adalah sebuah bangunan sejenis padepokan yang cukup luas dan rapi. Tempat itu berada di pinggir sebuah aliran bengawan yang berair deras dan jernih. Di sebelah barat timur dan selatannya daerah itu dilindungi oleh sebuah bukit yang melengkung berbentuk tapal kuda.
“Diandra...Gayatri...., di mana kalian...?!” tiba-tiba laki-laki itu memanggil nama dua orang. “Mari Nisanak, Angger, masuk ke dalam padepokanku.”
“Terima kasih banyak, Kisanak,” ucap Diajeng Sekar Laras. “Bolehkah saya tahu dulu, siapakah Kisanak ini?”
Tiba-tiba dua orang anak, laki-laki dan perempuan, datang dari belakang bangunan padepokan. Di bahu anak yang laki-laki memikul ikan air tawar yang besar-besar.
“Hm, rupanya kalian main di kali?” ucap laki-laki berjubah putih itu sembari menarik lembut tangan anak yang perempuan ke dekatnya dan mengelus-elus rambutnya. Lalu memperkenalkan kedua bocah itu kepada Diajeng Sekar Laras,“ Ini namanya Gayatri, dan yang laki-laki namanya Diandra. Gayatri usianya enam tahun, dan Diandra tujuh tahun lewat. Diandra sini, ini kalian dapat teman baru. Ayo kenalan dan ajak dia bermain...!”
“Iya, Eyang...!” Bocah yang bernama Diandra datang menghampiri Raden Anom. “Namamu siapa? Nama saya Diandra dan adik saya ini namanya Gayatri.”
“Na-nama saya Anom...,” Raden Anom memperkenalkan namanya. Kegugupan dalam hatinya yang tampak di wajahnya belum langsung menghilang.
Setelah ketiga bocah itu bermain di belakang padepokan, laki-laki berjubah putih itu berkata, “Nama saya Ki Jagadita. Saya ikut berbela sungkawa atas peristiwa pilu yang menimpa suaminya Nisanak. Saya seharusnya menyesali diri saya sendiri karena terlambat datang memberikan pertolongan. Tapi, rupanya Sang Hyang Maha Agung memang sudah menggariskan peristiwa itu harus berlaku. Karena tak ada satu pun peristiwa di atas jagat ini boleh terjadi begitu saja tanpa atas ijin Sang Hyang Maha Agung. Sebaiknya untuk sementara waktu, kalian tinggallah dulu di sini, sembari untuk menenangkan diri. Ya, semoga di tempat kami ini Nisanak dan Angger Anom bisa betah.”
“Nama saya Sekar Laras...,” Dianjeng Sekar Laras memperkenalkan dirinya. “ Ya...semua sudah terjadi, Kisanak. Kami hanya bisa pasrah saja atas semuanya. Nasib sudah digariskan oleh Sang Hyang Maha Agung. Saya dan putra saya entah dengan cara untuk membalas pertolongan dan kebaikan hati Ki Jagadita.” Kedua bola matanya langsung berkaca-kaca.
“Ah, tak perlu dipikirkan semua itu,” ucap Ki Jagadita dengan suara berat dan berwibawa. “Itu sudah kewajiban hidup kita manusia yang harus saling tolong-menolong. Mari, Nimas Sekar, naiklah di padepokan kami.”
Di pelaminan yang cukup megah, pengantin laki-lakinya senantiasa menebarkan senyum bahagia. Sementara pengantin wanitanya, Nilamsari, nyaris tak ada senyuman yang menghiasi wajah cantiknya. Justru ia lebih banyak menunduk dengan wajah sedih. Ia tak henti-hentinya mengusap air matanya yang menetes dengan ujung kain yang menutup kepalanya. Namun suasana bahagia bagi Ki Wisesa Nararya itu tiba-tiba berubah gaduh. Para undangan yang hadir dalam malam bahagia itu tiba-tiba panik dan berlarian setelah sebuah ledakan bak gemuruh petir langsung menghancurkan tempat berlangsuntgnya acara. Puluhan anak buah Ki Wisesa Nararya yang sedang mengamankan berlangsungnya acara malam itu langsung bersiaga untuk menjaga kedua mempelai dari kemungkinan buruk. Sebab mereka tahu, bahwa ledakan yang menghancurkan itu bukanlah gemuruh dan sambaran petir yang sesungguhnya, tetapi adalah serangan dadakan dari seseorang. Dan benar saja. Seorang yang mengenakan cadar hitam adalah pelakunya. Puluh
“Ya, ya, duduklah,” ucap Raden Anom. “Apakah kamu benar-benar mencintai kekasihmu itu?” “Tentu, Kakang Pendekar. Andaikata saya ada pada saat Nilamsari dibawa paksa oleh para anak buahnya Ki Lurah Darka itu, tentu saya akan melawan para keparat itu, walau nyawa taruhannya!” papar Yodha dengan wajah marah dan geram. “Hum,” Raden Anom tertawa tertahan mendengar ucapan pemuda di sampingnya. “Jika nyawamu telah melayang, lantas siapa lagi yang akan menjadi calon suaminya Nilamsari? Kamu kan sudah mati konyol?!” Yodha menunjukkan wajah kagetnya. Satu tegukan air liurnya ditelannya dengan susah payah, karena saluran tenggorakannya tiba-tiba menjadi sempit. “Ya, kalau nyawa saya me-la-yang, tentu yang akan menjadi suaminya Nilamsari adalah ... Ki Lurah keparat itu, Kakang Pendekar.” Sontak Pendekar Cambuk Halilintar tertawa terbahak-bahak. “Jadi manusia itu harus cerdas, Yodha. Jika kamu hendak melakukan sebuah tindakan, maka pertimbangkan dulu untung dan
Pada saat yang bersamaan Nilamsari sedang menangis tiada henti-hentinya di kamar sekapan di rumahnya Ki Lurah Darka. Selama beberapa hari disekap di kamar itu, ia dilayani oleh ketiga istri Ki Lurah Darka secara bergantian. Baik untuk melap tubuhnya dengan air hangat, luluran, pakaian, dan keperluan makannya. Ki Lurah Darka melakukan semua itu agar gadis itu tidak merasa diculik atau sejenis itu, justru merasa disenangkan. Namun itu tak membuat Nilamsari terkecoh. Ia tetap menangis saban waktu hingga membuat tubuh dan wajahnya menjadi sedikit kurus dan tirus. Ia hanya mau makan hanya karena mengingat orang tuanya, juga kekasihnya Yodha. Jika ia tak makan, maka nasibnya akan makin tragis. Ia bisa mati dan hati orang-orang yang dicintanya akan sangat bersedih. Ki Lurah Darka berencana untuk menjadikannya sebagai istrinya yang keempat, makanya ia tidak akan menyentuh tubuh gadis itu sebelum ia mensahkannya menjadi istrinya. Hanya sekali-sekali ia datang ke kamar hanya sekedar u
Raden Anom tak menangapi pertanyaan itu, ia hanya tersenyum sungging namun sinis sembari melangkah ke arah Ki Jumari. Dan sembari melirik kepada keenam penjahat ia berkata pada Jamuri, “Ini kepeng emasnya, Ki. Bahkan saya menambahnya lagi hingga menjadi tiga puluh keping.” Setelah berkata demikian, Raden Anom mengajak Yodha untuk pergi dari situ. Namun pemuda itu menahan tubuh sang pendekar dengan menarik pergelangan tangannya. Saat itu ia melihat keenam penjahat itu ramai-ramai merampas keping-keping emas di genggaman tangan Ki Jumari. Namun tiba-tiba keenam penjahat itu berteriak sembari berusaha membuang keping-keping emas dalam genggamannya masing-masing. Tetapi keping-keping itu tetap lengket di tapak tangan mereka. Bahkan terlihat tangan-tangan mereka mengeluarkan kepulan dan bau daging terbakar. Jeritan keenamnya pun makin memilukan. Raden Anom menggeleng-geleng. “Itulah ganjaran buat manusia jahat dan serakah seperti mereka,” gumamnya pelan. Dan tanpa
“Apakah Yodha tidak punya keinginan untuk menjadi bagian dari pasukan kerajaan?” tanya raden Anom tampa menoleh kepada lawan bicaranya, karena pandangannya ditebarkan pada kondisi perkampungan yang terlihat semrawut di sana sini. “Keinginan itu ada, Kang Anom, tapi kasihan Biung dan Bopo jika saya meninggalkan mereka. Bopo sudah tak terlalu kuat lagi jika harus terus mengurus sawah dan kebun,” sahut Yodha. “Tapi Yodha pernah menimba ilmu di suatu perguruan, mungkin?” “Pernah, Kang. Dari usia sepuluh hingga dua puluh tiga tahun saya pernah menjadi murid sebuah padepan di Watek.” “Ilmu apa saja yang Yodha dapatkan dalam padepokan?” “Lumayan banyak. Ya seperti mislanya ilmu budi pekerti, ilmu seni bela negara, ilmu kependekaran, dan lain-lain. Tapi ya, masih bersifat dasar, Kang. Saya terpaksa tak melanjutkan ke perguruan yang lebih tinggi lagi di kota raja karena usaha Bopo ditutup.” “Tapi ilmu dasar yang telah kamu pelajari tetap bisa jadi modal da
Raden Anom yang kebetulan hendak menuju desa tersebut, sempat menyaksikan iring-iringan puluhan laki-laki berkuda dan beberapa gerobak lembu dari atas sebuah bukit kecil yang berada di belakang desa. Lamat-lamat telinganya bisa menangkap suara jeritan minta tolong yang diselingi dengan kata-kata makian yang tiada hentinya dari gadis yang diangkut dengan salah satu gerobak. “Hm, tampaknya sedang terjadi sesuatu yang tak beres di sana,” gumamnya seolah-olah kepada dirinya sendiri. “Siapakah orang-orang itu? Apakah mereka gerombolan begal? Jika pembegalan terjadi di siang hari bolong seperti ini, betapa buruknya keadaan kerajaan ini. Tapi apakah benar mereka kelompok begal? Sebaiknya aku masuk ke desa itu untuk mencari tahu.” “Hupp ...!!” Hanya dalam waktu sekejap, murid Ki Jagadita telah berada dalam desa itu. Ia masih menyaksikan para warga desa berkerumun di jalan desa sambil membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi. Di wajah mereka menggambarkan raut-raut kep