Di malam pertama itu Diajeng Sekar Laras disuguhi makan malam dengan lauk ikan bakar dan masak kuah. Dan yang menjadi juru masaknya adalah Ki Jagadita sendiri dan dibantu oleh Diandra dan Gayatri.
Sebenarnya, Diajeng Sekar Laras Sama sekali tak merasakan lapar. Selera makannya hilang sama sekali, akibat kedukaannya yang mendalam atas kematian suaminya dengan cara yang mengenaskan. Bayangan wajah suaminya di saat-saat terakhir hidupnya, tergambar nyata dalam benaknya dan membuat air matanya terus menetes.
“Menangis itu salah satu cara terbaik untuk mengurangi rasa sesak dan duka di hati,”nasihat Ki Jagadita, tanpa melihat ke wajah Diajeng Sekar Laras karena saat itu ia sedang menyeduk ikan masak kuah dalam periuk tanah.“Tetapi Nimas Sekar jangan mengabaikan kesehatan sendiri. Makanlah dulu, nanti baru teruskan menangisnya. Kasihan juga buah hatimu, pasti dia sangat lapar. Jika melihat Nimas menangis di depannya, tentu selera makannya pun akan hilang. Bisa-bisa kesehatannya pun akan terganggu.”
Dengan anggukan kecilnya, mengisyaratkan bahwa ia menerima baik nasihat bijak dari laki-laki yang telah menolongnya dengan mempertaruhnya nyawanya itu. Baginya sejak saat itu, tak ada manusia yang paling ia anggap berjasa bagi hidupnya dan buah hatinya selain dari Ki Jagadita. Karena itu, ia tak ingin membuat perasaan laki-laki itu jadi ikut susah dan terbebani batinnya. Ia pun lantas mengangkat nasi dan lauknya ke mulutnya. Raden Anom pun jadi tak ragu lagi untuk makan. Bocah itu mengikutinya ketika memasukkan makanan di mulutnya. Artinya, jika ia sering memasukkan makanan dalam mulutnya, makan buah hatinya itu pun akan sering memasukkan makanan di mulutnya.
Ki Jagadita jadi tersenyum lega. “Beginilah makanan kami di tempat terpencil ini, Nimas Sekar,”ucapnya. “Semuanya berasal dari alam. Beras hasil berladang sendiri, sayur-sayuran ditanam sendiri, dan ikan tinggal ditangkap di kali. Diandra dan Gayatri jika malam terang bulan seperti ini suka menombak ikan-ikan itu. Ya, dimasak sederhana. Masakan bapak-bapak, hehehe.”
“Tapi masakannya Ki Jagadita sangat lezat,” ucap Diajeng Sekar Laras dengan suara pelan tapi jelas terdengar, tanpa bermaksud memuji. Karena cara masak ikan laki-laki itu memang lezat. Walau dalam kondisi berduka, tak terasa ia mampu makan yang banyak. Demikian juga Raden Anom.
Habis makan, karena malam sudah mulai larut, Ki Jagadita mempersilakan Diajeng Sekar Laras dan Raden Anom untuk merehatkan tubuhnya di sebuah kamar dalam padepokan, bersatu dengan Diandra dan Gayatri. “Esok hari lagi kita bisa cerita-cerita lagi, Nimas Sekar,”ucap Ki Jagadita.
Dalam kamar itu tad ada tempat tidurnya. Tidur langsung di atas lantai papan kayu yang diberi alas beberapa lapis kloso (tikar dari daun pandan). Bantal-bantal kepala dan bantal guling dari kapuk tersusun rapi di rak yang dibuat khusus untuk itu, dan tinggal diambil.
Baru kali ini Diajeng Sekar Laras dan buah hatinya merasakan hidup seperti kehidupan masyarakat desa pada umumnya. Makan, tidur, berpakaian, dan lain-lain apa adanya dan tak ada yang berlebih-lebihan. Semua serba sederhana. Tentu sangat berbeda jika dibandingkan dengan gaya hidup mereka dalam kemewahan istana yang penuh dengan para pelayan. Namun mungkin karena kepenatan yang sangat, dia dan Raden Anom pun dalam waktu tak lama sudah terlelap, melupakan segala kedukaan yang sangat menyesakkan dadanya.
Keesokan harinya, ia sangat kaget, ternyata hari sudah sangat siang. Matahari sudah di atas kening. Tidurnya sangat lelap. Bahkan Raden Anom saat itu masih terlelap. Dia tak membangunkannya, dan ditinggalkannya.
Saat keluar di beranda padepokan, ia melihat makanan sudah tersedia, tertutup dengan tutup saji besar yang terbuat dari anyaman rotan. Diandra dan Gayatri langsung mempersilakannya untuk makan. Dia merasa sangat tak enak hati. Ia melihat saat itu di bagunan kecil sejenis gazebo zaman sekarang, Ki Jagadita sedang sibuk membuat sesuatu dari kayu. Laki-laki itu tiba-tiba sessat menoleh dan tersenyum. “Nimas Sekar makan saja dulu, sudah itu rasakanlah kesegaran air sungai. Nanti biar diantar oleh Gayatri dan Diandra.”
“Ki Jagad sudah makan?” Diajeng Sekar Laras malah balik bertanya dengan wajah agak tersipu malu.
“Pastilah...,”sahut Ki Jagadita tanpa menoleh karena sedang memusatkan perhatiannya pada pekerjaannya.
Sehabis makan, Diajeng Sekar Laras turun dari padepokan dan berjalan ke arah Ki Jagadita. “Ki Jagad sedang bikin apa...?”
Ki Jagadita tak menjawab tetapi memberikan sepasang terompah yang baru dibuatkan sembari berkata, “Coba Nimas Sekar pakai ini. Mudah-mudahan pas?”
Wajah Diajeng Sekar Laras sangat kaget namun senang menerima pemberian itu. Ternyata laki-laki itu benar-benar orang yang baik hati dan perhatian. Ia pun mencobanya. Terompah yang talinya dibuat dari rajutan serat kayu yang halus itu begitu pas dengan kedua tapak kakinya dan ringan. Untuk ukuran alas kaki darurat, terompah itu sangat terasa nyaman di kakinya. “Pas sekali, Ki Jagad. Dan terasa nyaman di kaki. Terima kasih sekali, Ki Jagad.”
“Untuk sementara. Kelak kalau Nimas sudah kembali ke kota, tentu akan lain lagi ceritanya. Ya, sama-sama,”ujar Ki Jagadita sembari merapikan peralatan yang baru digunakannya.
Siang itu, bersama buah hatinya, Raden Anom, untuk pertama kali merasakan mandi di sungai alamnya yang airnya sangat jernih. Mereka ditemani oleh Gayatri dan Diandra. Oleh Diandra dan Gayatri mereka diajak berkelakar dan tertawa-tawa sambil mandi dan berenang.
Raden Anom yang belum pernah merasakan mandi dan berenang di lubuk alam seperti itu masih takut-takut ketika diajak oleh Diandra dan Gayatri untuk berenang di tepian lubuk. Diajeng Sekar Laras hanya menyaksikan dari lubuk kecil tempatnya berendam. Air matanya langsung mengalir keluar dari kedua sudut matanya. Ia membayangkan, andaikata semalam Ki Jagadita tak datang menolongnya, tentu nasib ia dan buah hatinya itu tak akan akan pernah lagi merasakan suasana seperti saat ini. Bahkan bisa jadi nasib mereka akan mengenaskan, sekalipun mereka masih dibiarkan untuk hidup. Dan bisa jadi pula ia atau sang buah hatinya itu akan dipisahkan secara paksa karena tentu pimpinan begal itu tak akan mau diganggu saat bersamanya di tempat tidur. Mengingat itu, perasaannya langsung bergidik. “Terima kasih Ki Jagadita..., karena kautelah menyelamatkan hidupku dan buah hatiku,”gumamnya pelan. “Engkau kuanggap sebagai sang dewa penyelamat bagi kami berdua...!”
“Biung...! Biung...! Biung menangis, ya?”
Panggilan Gayatri membuat Diajeng Sekar Laras seperti tersadarkan. “Iya, kenapa, sayang...?”sahutnya, sembari membasahi wajahnya dengan air untuk menyamarkan air matanya.
Gayatri tak menjawab, namun keluar dari lubukan besar untuk bergabung dengan wanita yang baru dipanggilnya “biung” itu di lubukan kecil, lalu memeluk dan menciumnya. “Bolehkah Gayatri memanggilmu dengan panggilan Biung?”
Diajeng Sekar Laras menatap wajah manis gadis kecil itu, lalu tersenyum dan mengangguk. “Boleh, Sayang...,” jawabnya dengan suara yang lembut.
Mendengar itu Diandra olangsung menarik tangan Raden Anom untuk ikut bergabung di lubuk kecil. “Berarti aku juga boleh memanggilmu dengan Biung...?”teriaknya.
“Iya, kalian panggillah aku dengan biung,” jawab Diajeng Sekar Laras sambil tersenyum dan memejamkan matanya sesaat.
“Horeeeee....kita berdua punya biuuung....!”teriak Diandra dengan sangat senangnya. Dan, “Biung, aku akan menangkap beberapa ikan besar untuk biung, ya?”
“Boleh...!”
Tanpa membuang-buang waktu, bocah riang itu langsung meloncat masuk ke dalam lubuk besar. Ia menyelam cukup lama. Dan tau-tau ia muncul di permukaan air sembari mengangkat seekor ikan gabus besar yang berhasil ditangkapnya. Ikan itu dibawa keluar dan dibantingnya berkali-kali hingga mati. Perilakunya itu membuat sang biung tertawa terkekeh-kekeh.
Tak cukup satu ekor, Diandra kembali menceburkan dirinya ke dalam lubukan dan menyelam. Tak lama kemudia ia muncul lagi dengan tangannya kirinya mencengkeram mulut seekor mua (sidat) sebesar pahanya sendiri. Sementara tangan kanannya telah masuk ke dalam mulut hewan yang licin itu. Diajeng Sekar Laras merasa ngeri. Tapi karena melihat perilaku bocah kecil itu dalam memperlakukan tangkapannya, tak urung membuatnya kembali tertawa terkekeh-kekeh. Firasatnya berkata, bahwa kedua bocah itu bukanlah bocah biasa seperti putranya, tapi bocah-bocah yang sudah memiliki ilmu kesaktian yang sudah cukup tinggi. Tentu yang bisa melakukan hal yang sulit seperti itu hanya orang-orang yang memiliki kesaktian. Tapi ia tak merasa heran, karena mereka tinggal dengan seorang yang sangat sakti mandraguna. Tentu saja kedua bocah itu sudah diajarkan ilmu-ilmu kesaktian itu.
“Sudah, cukup dua ekor itu saja, Angger Diandra!”pinta Diajeng Sekar Laras kemudian. “Ayo kita pulang. Biung sampai kedinginan karena terlalu lama mandinya.”
“Baik, Biung. Besok-besok kami akan mengajarkan Dik Anom sampai pintar berenang dan menangkap ikan seperti kami!”ucap Diandra dengan suara setengah berteriak.
“Boleh!” jawab Diajeng Sekar laras, “Yang penting kalian harus menjaga keselamatan adikmu Anom.”
“Pasti kami jaga, Biung!” ucap Gayatri.
Wajah Diajeng Sekar Laras seolah-olah mengingat sesuatu sembari meraba badannya. Ternyata ia lupa membawa jarik untuk salin. Karena ia memang tak memiliki pakaian lagi selain yang menempel di badannya. Semua pakaiannya ada di pedatinya semalam.
Akan tetapi, saat ia membalikkan badannya...
“Haah...??”
Di pelaminan yang cukup megah, pengantin laki-lakinya senantiasa menebarkan senyum bahagia. Sementara pengantin wanitanya, Nilamsari, nyaris tak ada senyuman yang menghiasi wajah cantiknya. Justru ia lebih banyak menunduk dengan wajah sedih. Ia tak henti-hentinya mengusap air matanya yang menetes dengan ujung kain yang menutup kepalanya. Namun suasana bahagia bagi Ki Wisesa Nararya itu tiba-tiba berubah gaduh. Para undangan yang hadir dalam malam bahagia itu tiba-tiba panik dan berlarian setelah sebuah ledakan bak gemuruh petir langsung menghancurkan tempat berlangsuntgnya acara. Puluhan anak buah Ki Wisesa Nararya yang sedang mengamankan berlangsungnya acara malam itu langsung bersiaga untuk menjaga kedua mempelai dari kemungkinan buruk. Sebab mereka tahu, bahwa ledakan yang menghancurkan itu bukanlah gemuruh dan sambaran petir yang sesungguhnya, tetapi adalah serangan dadakan dari seseorang. Dan benar saja. Seorang yang mengenakan cadar hitam adalah pelakunya. Puluh
“Ya, ya, duduklah,” ucap Raden Anom. “Apakah kamu benar-benar mencintai kekasihmu itu?” “Tentu, Kakang Pendekar. Andaikata saya ada pada saat Nilamsari dibawa paksa oleh para anak buahnya Ki Lurah Darka itu, tentu saya akan melawan para keparat itu, walau nyawa taruhannya!” papar Yodha dengan wajah marah dan geram. “Hum,” Raden Anom tertawa tertahan mendengar ucapan pemuda di sampingnya. “Jika nyawamu telah melayang, lantas siapa lagi yang akan menjadi calon suaminya Nilamsari? Kamu kan sudah mati konyol?!” Yodha menunjukkan wajah kagetnya. Satu tegukan air liurnya ditelannya dengan susah payah, karena saluran tenggorakannya tiba-tiba menjadi sempit. “Ya, kalau nyawa saya me-la-yang, tentu yang akan menjadi suaminya Nilamsari adalah ... Ki Lurah keparat itu, Kakang Pendekar.” Sontak Pendekar Cambuk Halilintar tertawa terbahak-bahak. “Jadi manusia itu harus cerdas, Yodha. Jika kamu hendak melakukan sebuah tindakan, maka pertimbangkan dulu untung dan
Pada saat yang bersamaan Nilamsari sedang menangis tiada henti-hentinya di kamar sekapan di rumahnya Ki Lurah Darka. Selama beberapa hari disekap di kamar itu, ia dilayani oleh ketiga istri Ki Lurah Darka secara bergantian. Baik untuk melap tubuhnya dengan air hangat, luluran, pakaian, dan keperluan makannya. Ki Lurah Darka melakukan semua itu agar gadis itu tidak merasa diculik atau sejenis itu, justru merasa disenangkan. Namun itu tak membuat Nilamsari terkecoh. Ia tetap menangis saban waktu hingga membuat tubuh dan wajahnya menjadi sedikit kurus dan tirus. Ia hanya mau makan hanya karena mengingat orang tuanya, juga kekasihnya Yodha. Jika ia tak makan, maka nasibnya akan makin tragis. Ia bisa mati dan hati orang-orang yang dicintanya akan sangat bersedih. Ki Lurah Darka berencana untuk menjadikannya sebagai istrinya yang keempat, makanya ia tidak akan menyentuh tubuh gadis itu sebelum ia mensahkannya menjadi istrinya. Hanya sekali-sekali ia datang ke kamar hanya sekedar u
Raden Anom tak menangapi pertanyaan itu, ia hanya tersenyum sungging namun sinis sembari melangkah ke arah Ki Jumari. Dan sembari melirik kepada keenam penjahat ia berkata pada Jamuri, “Ini kepeng emasnya, Ki. Bahkan saya menambahnya lagi hingga menjadi tiga puluh keping.” Setelah berkata demikian, Raden Anom mengajak Yodha untuk pergi dari situ. Namun pemuda itu menahan tubuh sang pendekar dengan menarik pergelangan tangannya. Saat itu ia melihat keenam penjahat itu ramai-ramai merampas keping-keping emas di genggaman tangan Ki Jumari. Namun tiba-tiba keenam penjahat itu berteriak sembari berusaha membuang keping-keping emas dalam genggamannya masing-masing. Tetapi keping-keping itu tetap lengket di tapak tangan mereka. Bahkan terlihat tangan-tangan mereka mengeluarkan kepulan dan bau daging terbakar. Jeritan keenamnya pun makin memilukan. Raden Anom menggeleng-geleng. “Itulah ganjaran buat manusia jahat dan serakah seperti mereka,” gumamnya pelan. Dan tanpa
“Apakah Yodha tidak punya keinginan untuk menjadi bagian dari pasukan kerajaan?” tanya raden Anom tampa menoleh kepada lawan bicaranya, karena pandangannya ditebarkan pada kondisi perkampungan yang terlihat semrawut di sana sini. “Keinginan itu ada, Kang Anom, tapi kasihan Biung dan Bopo jika saya meninggalkan mereka. Bopo sudah tak terlalu kuat lagi jika harus terus mengurus sawah dan kebun,” sahut Yodha. “Tapi Yodha pernah menimba ilmu di suatu perguruan, mungkin?” “Pernah, Kang. Dari usia sepuluh hingga dua puluh tiga tahun saya pernah menjadi murid sebuah padepan di Watek.” “Ilmu apa saja yang Yodha dapatkan dalam padepokan?” “Lumayan banyak. Ya seperti mislanya ilmu budi pekerti, ilmu seni bela negara, ilmu kependekaran, dan lain-lain. Tapi ya, masih bersifat dasar, Kang. Saya terpaksa tak melanjutkan ke perguruan yang lebih tinggi lagi di kota raja karena usaha Bopo ditutup.” “Tapi ilmu dasar yang telah kamu pelajari tetap bisa jadi modal da
Raden Anom yang kebetulan hendak menuju desa tersebut, sempat menyaksikan iring-iringan puluhan laki-laki berkuda dan beberapa gerobak lembu dari atas sebuah bukit kecil yang berada di belakang desa. Lamat-lamat telinganya bisa menangkap suara jeritan minta tolong yang diselingi dengan kata-kata makian yang tiada hentinya dari gadis yang diangkut dengan salah satu gerobak. “Hm, tampaknya sedang terjadi sesuatu yang tak beres di sana,” gumamnya seolah-olah kepada dirinya sendiri. “Siapakah orang-orang itu? Apakah mereka gerombolan begal? Jika pembegalan terjadi di siang hari bolong seperti ini, betapa buruknya keadaan kerajaan ini. Tapi apakah benar mereka kelompok begal? Sebaiknya aku masuk ke desa itu untuk mencari tahu.” “Hupp ...!!” Hanya dalam waktu sekejap, murid Ki Jagadita telah berada dalam desa itu. Ia masih menyaksikan para warga desa berkerumun di jalan desa sambil membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi. Di wajah mereka menggambarkan raut-raut kep