Ternyata di atas batu besar di belakangnya ada dua lembar jarik untuk pengganti dan selembar baju wanita dari bahan sutera yang juga terlimpit rapi.
“Ini pasti Ki Jagad yang antarkan,” ucap Diajeng Sekar Laras dalam hati. “Tapi kapan dia mengantarkan ini?” Dan tak mau berpikir panjang, ia pun hanya tersenyum. Ia tak perlu terlalu heran tentang laki-laki berilmu sangat tinggi itu. Namun, ada hal lain yang membuat perasaannya heran, yaitu tentang dua jarik dan selembar baju wanita dari bahan sutera itu sendiri. Tentu pakaian-pakaian itu bukanlah pakaian baru, tapi pernah dipakai oleh pemilik sebelumnya. Apakah ini milik istrinya Ki Jagad? Tapi di mana dia?
Pada saat yang sama, jauh di ibukota Kerajaan Palingga suasana terjadi kegemparan akibat terbunuhnya Adipati Wirajaya dan seluruh pengawalnya. Namun yang paling merasakan duka-nestapa atas peristiwa itu adalah keluarga keraton. Maheswari Ratu Ageng Sekar Arum tak habis-habisnya menangis di pembaringannya. Sang maheswari adalah kakak kandung daripada Diajeng Sekar Laras. Wajah antara keduanya memiliki kemiripan dan juga kecantikan yang setaraf, tentu saja.
“Kakang telah menebar banyak pasukan dan telik sandi untuk menjelajahi seluruh negeri ini, Nimas. Semoga keberadaan Adinda Diajeng Sekar Laras dan kemenakan kita Raden Anom cepat diketahui keberadaannya. Kita harus tetap yakin, bahkan mereka berdua masih hidup, walau kemungkinan besarnya mereka berada dalam tawanan penyamun atau begal Alas Ketangga. Sebab dari laporan para prajurit, di antara mayat-mayat itu tak tampak mayat Adinda Diajeng Sekar Laras dan Raden Anom. Kita harus bersikap sabar. Perbanyak berharap kepada Sang Hyang Maha Agung agar Diajeng Sekar Laras dan Raden Anom terlindungi,”Baginda Nararyawardhana (Paduka Nara) terus membesarkan hati sang permaisurinya.
“Adinda tidak bisa membayangkan nasib Adinda Diajeng Sekar Laras dan Raden Anom hidung dalam penzoliman para manusia-manusia yang tak beradab itu, Kangmas. Kangmas harus mengumumkan perang terhadap kelompok-kelompok pengacau negara itu!” ucap Ratu Ageng Sekar Arum.
“Kita tidak perlu berlebihan dalam menyikapi setiap keadaan, Nimas. Ada banyak bentuk dan cara bhayangkara kita untuk melawan kutu-kutu yang bersarang di berbagai tempat di kerajaan kita, termasuk dengan cara gerakan senyap, tanpa perlu Kakanda mengumumkan secara resmi. Itu yang pertama. Yang kedua, seburuk-buruknya mereka tetap rakayat kita juga. Kita harus berusaha untuk menyadarkan mereka. Sebab semua manusia pasti ada sisi baik dan sisi buruknya. Dan semua sisi itu bisa jadi dipengaruhi oleh keadaan hidup dan kebutuhan perut. Jadi, Kakanda harus bersikap bijaksana dan penuh perhitungan, dan menghindari untuk bertindak dengan mengedepankan sikap adidang, adigung, adiguna. Kakanda tidak ingin tercatat dalam sejarah sebagai seorang raja yang lalim, Nimas.”
***
Sore hari Diajeng Sekar Laras dan Raden Anom duduk menemani Ki Jagadita di teras padepokannya sembari menyaksikan Diandra dan Gayatri berlatih jurus-jurus silat. Gerakan sepasang bocah itu demikian lincah dan amat cepat dan lihai.
“Heaatt...!!”
“Heaatt...!!”
“Angger Anom kelak cita-citanya apa?” bertanya Ki Jagadita kepada bocah laki-laki yang berada di pangkuan ibundanya.
“Saya hanya ingin membalas dendam terhadap orang-orang yang telah membunuh ramanya Anom...!”
“Hahh...!”Ki Jagadita sampe terkaget mendengar suara Raden Anom yang tinggi dan tiba-tiba. Naga-naganya itu disebabkan oleh ledakan kemarahannya yang besar di dalam dada kecilnya. “Hahaha...itu tandanya engkau adalah seorang anak yang sangat mencintai kedua orang tuamu. Tapi Ngger, engkau tidak boleh membunuh orang hanya atas dasar dendam semata. Sebab jika kekerasan kita di atas landaskan sebuah dendam kesumat, itu tidak akan pernah membawa kebaikan dan ketenangan dalam hidup kita. Dendam kesumat hanya akan menimbulkan dendam kesumat baru dari pihak-pihak lain yang kita balas. Entah itu dari saudara-saudara dari orang yang kita bunuh, atau anak-anaknya, seperti yang Angger Anom rasakan sekarang.”
“Tapi mereka sangat kejam, Ki! Kelak aku ingin tuntut balas karena telah bunuh romo saya!”ucap Raden Anom tegas. Wajah kecilnya memancarkan amarah yang kuat. Namun di sisi lain, pancaran mata bocah kecil itu adalah pancaran mata seorang anak yang cerdas. Pola pikirnya bisa jadi sudah berada di atas anak-anak seusianya.
“Boleh!Kauboleh menuntut balas, tapi tidak semata atas dasar untuk membalas dendam. Kezoliman di atas muka bumi memang harus dibasmi, Cah bagus, agar kebenaran bisa ditegak setegak-tegaknya!”jawab Ki Jagadita sambil bertatapan dengan Raden Anom.
“Berarti saya boleh menuntut balas, Ki?”
“Benar! Tapi dengan dua syarat!”jawab Ki Jagadita.
“Apa dua syarat itu, Ki?”
“Orang yang pantas dibasmi adalah orang-orang yang suka membuat kerusakan, kemungkaran, dan kezoliman di atas muka bumi. Mereka pantas tak ada di atas muka bumi demi untuk menyelamatkan hidup banyak orang.”
“berarti seperti orang-orang yang telah membunuh romo!?”
“Iya!” Ki Jagadita tersenyum. “Orang-orang seperti mereka. Tetapi tujuannya ya tadi, hanya untuk menyelamatkan dunia dari kerusakan akibat perilaku mereka, untuk menegakkan kebenaran, agar kehidupan manusia-manusia lain bisa tenteram dan wajar. Tapi...tidak boleh atas dasar perasaan dendam. Ingat itu! Dendam kesumat itu bisa membunuhmu pelan-pelan, Cah Bagus! Bukan ragamu yang terbunuh, tapi...,”Ki Jagat menyentuh dada Raden Anom dengan ujung telunjuk tangan kanannya, “hatimu yang mati...!”
Raden Anom terdiam dan mengangguk-angguk. Rupanya pikirannya menyerap apa yang dinasihatkan oleh Ki jagadita. “Lalu...syarat yang kedua apa, Ki?”
“Syarat yang kedua, ini yang paling penting, dan tanpa kaumemiliki syarat yang kedua ini maka mustahil kaudapat menuntut balas atas kematian romomu.”
“Apa syarat itu, Ki?”
Ki Jagadita mengarahkan telunjuknya ke arah Diandra dan Gayatri yang tengah giat melatih jurus-jurus silatnya. “Angger Anom harus belajar ilmu beladiri seperti mereka!”
“Memang saya boleh ikut berlatih seperti mereka, Ki?”Wajah Raden Anom tampak penuh harap.
“Tentu saja boleh, Cah Bagus!”
“Bunda...bolehkah Anom ikut berlatih seperti Mas Diandra dan Dik Gayatri?” Raden Anom mendongak ke wajah ibundanya.
“Tentu saja boleh, Sayang...?!”ucap Diajeng Sekar Laras dengan suara lembut dan penuh kasih sayang sembari membelai rambut jantung hatinya. Ia tentu sangat berharap, bahwa kelak putra semata wayangnya itu akan menjadi seorang pemuda yang kuat jiwa dan raganya. Syukur-syukur menjadi seorang pendekar besar yang bisa menolong sesama manusia dan memberantas segala bentuk kemungkaran, seperti calon gurunya, Ki Jagadita.
“Horeeee...aku boleh berlatih bela dirii...,” seru Raden Anom dengan sangat girangnya, membuat ibundanya dan Ki Jagadita tertawa. “Lantas kapan aku mulai boleh berlatih, Ki...?”
Ki Jagadita tidak menjawab pertanyaan Raden Anom, melainkan memanggil Diandra dan Gayatri. “Kalian berdua berikan latihan dasar kepada Anom. Mulai sekarang kalian menjadi tiga saudara seperguruan. Dan kau Diandra, pinjamkan pakaian latihanmu yang lain untuk saudaramu Anom.”
“Baik, Eyang...!” Jawab Diandra dan Gayatri dengan wajah senang. “Mari, Anom...!”
Maka, sejak saat itu Raden Anom mulai ikut berlatih dengan kedua saudara angkatnya itu, Diandra dan Gayatri. Wajah cantik Diajeng Sekar Laras terlihat senang saat melihat buah hatinya ikut berlatih dengan kedua saudara angkatnya.
“Saya punya keyakinan, Anom bisa dengan cepat menyerap semua ilmu yang akan aku turunkan kelak. Dia anak yang cerdas,”puji Ki Jagadita tanpa menoleh kepada wanita yang ada di sampingnya.
Kelak? Berarti Ki Jagad mengharapkan kami untuk tinggal lama dulu di sini? Membatin Diajeng Sekar Laras. Tetapi jika dipikirkan demi putranya, Raden Anom, ia merasa itu pilihan yang terbaik. Ia ingin putranya kelak menjadi seorang laki-laki yang tangguh jiwa dan raganya, dan bukan menjadi laki-laki yang lemah secara fisik maupun mentalnya. Dan ilmu olah kanuragan, mengolah kedua elemen itu, jiwa dan raga. Sejak saat ini, ia harus lebih mencurahkan perhatian pada masa depan buah hatinya itu.
“Entah dengan cara apa saya membalas kemurahan hati Ki Jagad. Saya merasa, Ki Jagad adalah seorang dewa penyelamat bagi saya dan putra saya,” ucap Diajeng Sekar Laras dengan penuh rasa haru.
“Nimas tak perlu merasa berhutang budi kepada saya. Budi saya biarlah menjadi urusan Sang Hyang Maha Agung yang akan membalasnya. Yang penting, Nimas Sekar Laras bisa menentramkan perasaannya di sini, walau hidup dalam keadaan yang serba terbatas bersama kami,”ujar Ki Jagadita dengan wajah yang selalu tampak tersenyum. “Ya sudah, saya tinggal dulu. Saya mau melihat dulu tanaman di kebun belakang. Sudah beberapa hari saya tidak ke sana.”
“Saya ikut, Ki Jagad. Saya ingin merasakan suasana alam yang damai,”pinta Diajeng Sekar Laras.
Sesaat Ki Jagadita menatap wajah Diajeng Sekar Laras. “Hm. Tapi pakai kasutmu, Nimas. Takut kaki halusmu terkena duri dan kerikil-kerikil runcing.”
“Baik, Ki...!”
Karena jalan yang menuju ke sana hanya berupa jalan setapak yang tak begitu mulus dan banyak batu-batu kecil yang bertonjolan di sepanjang jalan, maka Ki Jagadita harus berjalan duluan sambil tangan kirinya menggenggam jemari tangan kiri Diajeng Sekar Laras.
Karena kebun itu tak terlalu jauh dari Padepokan, tak butuh waktu lama keduanya sudah sampai. Kebun yang dimaksud terletak di sebelah selatan padepokan, berada di bawah kaki bukit selatan. “Inilah kebun yang kami urus bertiga, Nimas,” ucap Ki Jagadita tanpa menoleh kepada lawan bicaranya.
Kebun itu terhampar cukup luas dengan tanaman padi yang ditanam tumpangsari dengan jagung yang tumbuh subur menghijau. Di beberapa tempat Ki Jagadita juga menanam berbagai tanaman sayur-sayuran dan dan berbagai jenis tanaman obat-obatan.
Ki Jagadita mengajak Diajeng Sekar Laras untuk duduk di atas punggung sebuah batu hitam besar yang dinaungi oleh sebuah pohon asam yang rindang. Angin sepoi-sepoi membelai wajah keduanya.
“Indah sekali pemandangan di sini, Ki,”ucap Diajeng Sekar Laras. Suasana itu membuat duka dalam hatinya terasa sedikit berkurang dan terobati. “Sudah berapa lama usia tanaman itu, Ki?”
“Kami tanam dua purnama yang lalu, Nimas. Untuk padi, dua purnama lagi sudah dipanen. Jagungnya satu purnama lagi sudah bisa dipanen,” sahut Ki Jagadita. “Beginilah kehidupan kami di sini, Nimas. Semuanya alami. Kebutuhan hidup kami sudah tersediakan oleh alam dan hasil kerja kami sendiri.”
“Kedengarannya sangat menyenangkan sekali, Ki Jagad. Rasa-rasanya saya akan betah tinggal di sini,” ucap Diajeng Sekar Laras seraya menebarkan pandangannya. Ia tak menyadari saat itu Ki Jagadita menatap wajahnya sebelum mengalihkan pandangannya juga ke arah lain sambil tersenyum.
Di pelaminan yang cukup megah, pengantin laki-lakinya senantiasa menebarkan senyum bahagia. Sementara pengantin wanitanya, Nilamsari, nyaris tak ada senyuman yang menghiasi wajah cantiknya. Justru ia lebih banyak menunduk dengan wajah sedih. Ia tak henti-hentinya mengusap air matanya yang menetes dengan ujung kain yang menutup kepalanya. Namun suasana bahagia bagi Ki Wisesa Nararya itu tiba-tiba berubah gaduh. Para undangan yang hadir dalam malam bahagia itu tiba-tiba panik dan berlarian setelah sebuah ledakan bak gemuruh petir langsung menghancurkan tempat berlangsuntgnya acara. Puluhan anak buah Ki Wisesa Nararya yang sedang mengamankan berlangsungnya acara malam itu langsung bersiaga untuk menjaga kedua mempelai dari kemungkinan buruk. Sebab mereka tahu, bahwa ledakan yang menghancurkan itu bukanlah gemuruh dan sambaran petir yang sesungguhnya, tetapi adalah serangan dadakan dari seseorang. Dan benar saja. Seorang yang mengenakan cadar hitam adalah pelakunya. Puluh
“Ya, ya, duduklah,” ucap Raden Anom. “Apakah kamu benar-benar mencintai kekasihmu itu?” “Tentu, Kakang Pendekar. Andaikata saya ada pada saat Nilamsari dibawa paksa oleh para anak buahnya Ki Lurah Darka itu, tentu saya akan melawan para keparat itu, walau nyawa taruhannya!” papar Yodha dengan wajah marah dan geram. “Hum,” Raden Anom tertawa tertahan mendengar ucapan pemuda di sampingnya. “Jika nyawamu telah melayang, lantas siapa lagi yang akan menjadi calon suaminya Nilamsari? Kamu kan sudah mati konyol?!” Yodha menunjukkan wajah kagetnya. Satu tegukan air liurnya ditelannya dengan susah payah, karena saluran tenggorakannya tiba-tiba menjadi sempit. “Ya, kalau nyawa saya me-la-yang, tentu yang akan menjadi suaminya Nilamsari adalah ... Ki Lurah keparat itu, Kakang Pendekar.” Sontak Pendekar Cambuk Halilintar tertawa terbahak-bahak. “Jadi manusia itu harus cerdas, Yodha. Jika kamu hendak melakukan sebuah tindakan, maka pertimbangkan dulu untung dan
Pada saat yang bersamaan Nilamsari sedang menangis tiada henti-hentinya di kamar sekapan di rumahnya Ki Lurah Darka. Selama beberapa hari disekap di kamar itu, ia dilayani oleh ketiga istri Ki Lurah Darka secara bergantian. Baik untuk melap tubuhnya dengan air hangat, luluran, pakaian, dan keperluan makannya. Ki Lurah Darka melakukan semua itu agar gadis itu tidak merasa diculik atau sejenis itu, justru merasa disenangkan. Namun itu tak membuat Nilamsari terkecoh. Ia tetap menangis saban waktu hingga membuat tubuh dan wajahnya menjadi sedikit kurus dan tirus. Ia hanya mau makan hanya karena mengingat orang tuanya, juga kekasihnya Yodha. Jika ia tak makan, maka nasibnya akan makin tragis. Ia bisa mati dan hati orang-orang yang dicintanya akan sangat bersedih. Ki Lurah Darka berencana untuk menjadikannya sebagai istrinya yang keempat, makanya ia tidak akan menyentuh tubuh gadis itu sebelum ia mensahkannya menjadi istrinya. Hanya sekali-sekali ia datang ke kamar hanya sekedar u
Raden Anom tak menangapi pertanyaan itu, ia hanya tersenyum sungging namun sinis sembari melangkah ke arah Ki Jumari. Dan sembari melirik kepada keenam penjahat ia berkata pada Jamuri, “Ini kepeng emasnya, Ki. Bahkan saya menambahnya lagi hingga menjadi tiga puluh keping.” Setelah berkata demikian, Raden Anom mengajak Yodha untuk pergi dari situ. Namun pemuda itu menahan tubuh sang pendekar dengan menarik pergelangan tangannya. Saat itu ia melihat keenam penjahat itu ramai-ramai merampas keping-keping emas di genggaman tangan Ki Jumari. Namun tiba-tiba keenam penjahat itu berteriak sembari berusaha membuang keping-keping emas dalam genggamannya masing-masing. Tetapi keping-keping itu tetap lengket di tapak tangan mereka. Bahkan terlihat tangan-tangan mereka mengeluarkan kepulan dan bau daging terbakar. Jeritan keenamnya pun makin memilukan. Raden Anom menggeleng-geleng. “Itulah ganjaran buat manusia jahat dan serakah seperti mereka,” gumamnya pelan. Dan tanpa
“Apakah Yodha tidak punya keinginan untuk menjadi bagian dari pasukan kerajaan?” tanya raden Anom tampa menoleh kepada lawan bicaranya, karena pandangannya ditebarkan pada kondisi perkampungan yang terlihat semrawut di sana sini. “Keinginan itu ada, Kang Anom, tapi kasihan Biung dan Bopo jika saya meninggalkan mereka. Bopo sudah tak terlalu kuat lagi jika harus terus mengurus sawah dan kebun,” sahut Yodha. “Tapi Yodha pernah menimba ilmu di suatu perguruan, mungkin?” “Pernah, Kang. Dari usia sepuluh hingga dua puluh tiga tahun saya pernah menjadi murid sebuah padepan di Watek.” “Ilmu apa saja yang Yodha dapatkan dalam padepokan?” “Lumayan banyak. Ya seperti mislanya ilmu budi pekerti, ilmu seni bela negara, ilmu kependekaran, dan lain-lain. Tapi ya, masih bersifat dasar, Kang. Saya terpaksa tak melanjutkan ke perguruan yang lebih tinggi lagi di kota raja karena usaha Bopo ditutup.” “Tapi ilmu dasar yang telah kamu pelajari tetap bisa jadi modal da
Raden Anom yang kebetulan hendak menuju desa tersebut, sempat menyaksikan iring-iringan puluhan laki-laki berkuda dan beberapa gerobak lembu dari atas sebuah bukit kecil yang berada di belakang desa. Lamat-lamat telinganya bisa menangkap suara jeritan minta tolong yang diselingi dengan kata-kata makian yang tiada hentinya dari gadis yang diangkut dengan salah satu gerobak. “Hm, tampaknya sedang terjadi sesuatu yang tak beres di sana,” gumamnya seolah-olah kepada dirinya sendiri. “Siapakah orang-orang itu? Apakah mereka gerombolan begal? Jika pembegalan terjadi di siang hari bolong seperti ini, betapa buruknya keadaan kerajaan ini. Tapi apakah benar mereka kelompok begal? Sebaiknya aku masuk ke desa itu untuk mencari tahu.” “Hupp ...!!” Hanya dalam waktu sekejap, murid Ki Jagadita telah berada dalam desa itu. Ia masih menyaksikan para warga desa berkerumun di jalan desa sambil membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi. Di wajah mereka menggambarkan raut-raut kep