Tak terasa, dua tahun Diajeng Sekar Laras dan putranya, Raden Anom, tinggal bersama Ki Jagadita. Sepanjang waktu itu, keduanya digembleng oleh sang pendekar besar super sakti itu siang dan malam, bersama Diandra dan Gayatri.
Untuk ukuran dan pandangan awam, ilmu dan kesaktian mereka sudahlah sangat tinggi. Namun bagi pandangan seorang pendekar besar seperti Ki Jagadita, para muridnya itu baru berada pada taraf menengah untuk ukuran seorang pendekar besar seperti dirinya, walaupun keempat muridnya itu telah menguasai jurus-jurus tingkat rendah, menengah, hingga jurus-jurus pamungkas darinya. Sebab, keempatnya baru menguasai ilmu benteng luar saja, jurus-jurus ilmu kanuragan, tetapi belum digembleng dengan ilmu benteng dalam berupa jurus-jurus ilmu tenaga dalam dan kelinuwihan.
Saat keduanya memasuki ruangan goa yang luas itu, mereka disambut oleh cahaya kerlap-kerlip dari sejenis batu-baru kristal yang menempel di dinding-dinding goa. Cahaya dari batu-batu itu menjadi alat penerang alami bagi ruangan luas yang seharusnya gelap pekat itu. Diajeng Sekar Laras sangat takjub melihat pemandangan dalam gua itu. Sehingga saat masuk dalam ruangan alam itu tak membuat perasaan Diajeng Sekar Laras merasa was-was. Bahkan ia seolah-olah sedang berada di sebuah taman khayalan yang indah. “Mari, Nimas, kita ke ruangan goa yang dalam lagi,”ucap Ki Jagadita langsung melangkah ke ujung ruangan pertama goa lalu melewati sebuah jalan berupa pintu masuk. Diajeng Sekar Laras langat kaget, karena ternyata dalam ruangan kedua itu lebih luas lagi dan sang
Dalam waktu sekejap keduanya pun telah sampai di belakang padepokan. Saat itu Diandra, Gayatri, dan Raden Anom sedang menyiapkan makan malam untuk mereka. Berbagai ikan air tawar bakar dan berkuah terhidangkan di atas tikar pandan sebagai lauknya. Aroma makanan yang disiapkan oleh para juru masak cilik itu langsung membuat perut Diajeng Sekar Laras dan Ki Jagadita terasa lapar. “Kalian bertiga benar-benar anak-anak yang pintar,” puji Diajeng Sekar Laras sembari mengambil tempat duduk di atas tikar makan. “Berarti kalian bertiga menangkap ikan di sungai ya tadi?” “Iya, Biung,” jawab Gayatri. “Dan semua ikan-ikan ini hasil tangkapan Dik Anom. Dia sudah selihat kamu untuk mengejar ikan-ikan di dasar lubuk.” “Bag
Ternyata di atas batu besar itu ada empat orang yang sedang duduk dan tiduran sambil ngombrol. “Siapa mereka, Kang Mas..?” desis Diajeng Sekar Laras. “Untuk memastikannya, kita dekati saja mereka untuk mendengarkan perbincangan mereka,” Ki Jagadita melangkah mendekati batu besar itu sambil memegang tangan istrinya. Karena orang-orang itu tak bisa melihat mereka karena wilayah sekitar itu hingga padepokannya sudah dilindungi dengan ilmu Halimun Jagat. “Apakah kauyakin yang membawa lari istri dan anak dari mendiang Adipati Wirajaya itu adalah sosok manusia? Jika dia manusia, lantas di mana ia membawa pergi wanita dan anaknya itu...?” bertanya salah seorang dari keempat laki-laki itu entah kepa
Hanya sepeminum kopi Diajeng Sekar Laras telah memasuki kota raja. Ibu kota Kerajaan Palingga merupakan sebuah kota yang yang sangat ramai dan luas. Denyut kehidupan masyarakat kotanya berlangsung di hampir setiap sudut kota. Sebelum melanjutkan perjalanannya menuju istana raja, Diajeng Sekar Laras akan beristirahat dulu barang sesaat sembari membasahi tenggorokannya dengan minuman yang segar dan mengisi perutnya dengan makanan. Tadi di padepokan ia sampai lupa untuk mengisi perutnya dulu, sebagai imbas dari keresahan hatinya akibat memikirkan kakaknya, Ratu Ageng Sekar Arum, yang sedang sakit keras. Tetapi saat ini, ia benar-benar merasakan sangat haus dan lapar. Maka ia harus menemukan sebuah warung makan dulu. Tetapi sebelum itu ia tak lupa merubah sedikit penampilannya dengan Ilmu Malih Rupo. Tampilan wajah dan perawakannya l
Sesampai di depan pintu gerbang utama Istana Kerajaan Palingga, Diajeng Sekar Laras langsung dihadang oleh prajurit pengawal istana dengan saling menyilangkan tombak satu sama lain di tangan mereka secara berlapis. “Nisanak mau ke mana...!”bertanya salah seorang prajurit pengawal. Lebih tepatnya sebagai sebuah bentakan. “Saya seorang tabib dari negeri seberang, hendak mencoba mengobati sakitnya Sang Permaisuri. Ijinkah saya untuk masuk,” sahut Diajeng Sekar Laras. Sekarang suaranya sudah berubah menjadi suara seorang wanita berusia baya. “Apakah Nisanak bisa memberi kami jaminan mampu menyembuhkan Sang Permaisuri...!?”bertanya prajurit pengawal lain dengan wajah tak kalah tak ramahnya.
Bukan saja permaisuri yang kaget, Prabu Nara dan Patih Wiranata pun kaget dengan pengakuan dari sang tabib misterius itu. “Apa maksud Ninik mengaku-ngaku sebagai Diajeng Sekar Laras...? Adik ipar saya itu masih muda dan cantik, sedangkan Ninik ini, maaf, sudah tua...?!”bertanya Prabu Nara dengan sorot mata heran bercampur curiga. “Benar, Ninik,”Patih Wiratama menimpali. “Saya juga bisa marah jika....” “Diam kau, Dikmas Wiratama...!” potong Diajeng Sekjar Laras. Setelah berkata demikian, Diajeng Sekar Laras memejamkan matanya, mulutnya komat kamit karena sedang merapal sebuah mantra. Tiba-tiba cahaya putih yang disertai asal tipis membungkus tubuhnya. Lalu sesaat kemudian, si ninik-ninik peot lenya
“Laki-laki yang bernama Ki Jagadita itu pastilah seorang yang berilmu sangat tinggi,”ucap Prabu Nara kepada permaisurinya Ratu Ageng Sekar Arum sembari melangkah masuk ke dalam istananya. “Benar sekali, Kangmas...!”sahut Permaisuri Ratu Ageng Sekar Arum. “Bagaimana seorang Sekar Laras yang dulu hanya seorang wanita yang lemah lembut kini telah menjelma sebagai seorang sakti mandraguna seperti itu. Bisa jadi, setahun atau dua tahun lagi ia telah menjadi seorang pendekar besar yang amat sulit ditandingi oleh siapa pun lawannya, Kangmas.” “Kanda setuju, Nimas!” sahut Prabu Nara sembari meletakkan pantatnya di singgasananya. Saat itu Patih Wiratama memasuki istana dan menghaturkan tabik
Setelah kehadiran Diajeng Sekar Laras ke istana, maka dengan Baginda Raja Prabu Nararyawardhana mengumumkan bahwa pencarian keberadaan Diajeng Sekar Laras dan putranya dinyatakan berakhir, karena dua orang itu telah ditemukan. Dengan diberhentikannya sayembara berhadiah besar yang sudah diberlakukannya hampir tiga tahun itu, jelas mengecewakan banyak pihak yang selama ini telah bersusah payah mengerahkan segala daya dan upaya untuk memenangkan hadiah sayembara itu. Mereka adalah kelompok-kelompok jahat yang sangat berambisi untuk keluar jadi pemenang sayembara. Selama mereka mengikuti sayembara, adakalanya mereka harus tega untuk menyingkirkan pesaingnya dari kelompok-kelompok lain. Dan salah satu kelompok yang paling gigih dan bernafsu untuk memenangkan sayembara itu adalah kelompok begal Macan Ireng di bawah pimpinan Ki Jantaka alias Gentala Seta yang sekaligus lurah dari D