Share

PENDEKAR MACAN TUTUL
PENDEKAR MACAN TUTUL
Penulis: Aura Kisah

PART 01

   

     “Si-siapa kau ini, Anak Muda ....?” tanya salah seorang Pendekar Penguji dengan wajah ketakutan.

      Panji Jagat melangkah mendekat sembari menggerung seperti seekor macan yang marah. “Aku sudah mengatakannya tadi, bahwa namaku Panji Jagat. Ya, Panji jagat, murid sejati dari Ki Raksa Jagat. Hua ha ha ha ....”

      “Haah ....?”

     “Murid dari Raksa Jagat ....?”

     Ketiga Pendekar Penguji serentak menyebut nama tokoh persilatan kelas wahid itu dengan mata membeliak, kaget.

      “Jadi ...?” Ucap ketiganya lagi sambil saling menatap satu sama lain. “Di-dia adalah muridnya Pendekar Macan Tutul Jawadwipa?”

      Wajah ketiganya makin terlihat ketakutan saat menyebut nama itu. Lalu, seperti dikomando, ketiganya langsung meloncat turun dari panggung pertarungan  sebelum mengambil langkah seribu, melesat ke arah selatan.

***

  MATAHARI telah condong ke lengkung barat cakrawala tatkala seekor kuda berbulu coklat berlari dengan kencang menuju arah selatan, membelah padang ilalang. Hentakan keempat kakinya yang kokoh menimbulkan debu-debu musim kering yang cukup tebal di belakangnya.

      Kuda itu ditunggangi oleh seorang laki-laki. Dilihat dari gaya pakaian yang dikenakannya, mungkin seorang abdi dalem keraton. Ia seperti membawa sebuah kantong hitam besar yang berisi sesuatu yang diletakkan menjuntai di punggung kuda, di depannya.

      Ketika memasuki kawasan hutan larangan yang lebat, laki-laki itu tak mengurangi pacu kudanya. Namun ketika sampai di tepian jurang curam yang melintang di hadapannya, laki-laki itu langsung menarik tali kekang kudanya dengan kuat. Sang kuda jantan besar itu sontak mengangkat kedua kaki depannya sembari mengeluarkan ringkikan kerasnya.

       Setelah meloncat turun dari punggung kudanya, laki-laki itu sempat mengelus-elus benda yang ada dalam kantong hitam di punggung kuda dengan penuh kasih-sayang.

     “Maafkan, Paman, Angger Sandaka,” gumamnya, seolah-olah pada kantong hitam di depannya. “Apa yang Paman lakukan hanya semata-mata menjalankan perintah Gusti Prabu. Jika Paman tidak melaksanakannya, bisa jadi Paman dan seluruh keluarga Paman yang akan dihabisi oleh Gusti Prabu.”

        Saat ia mengangkat dan menaruh di pundaknya, kantong hitam yang rupanya berisi seorang bocah itu, cukup berat. Ia lantas melangkah ke mulut jurang.  Sesaat ia menoleh ke kiri dan ke kanan sebelum mengintai ke dalam juram. Kedua matanya langsung ia tutup, seolah-olah ia merasa teramat sangat berat untuk berbuat biadab terhadap si bocah yang disebutnya “Angger Sandaka”  itu.

       Namun tiba-tiba ia mengangkat tubuh si bocah dalam kantong hitam tinggi-tinggi ke udara, lalu dengan segenap kekuatan yang dimilikinya, ia melemparkan tubuh dalam kantong hitam ke dalam jurang.

      Mungkin karena tak mampu menanggung perasaan berdosanya yang teramat besar dan berat, laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu langsung berteriak sekuat-kuatnya sembari wajah mendongkak ke langit sehingga otot-otot leher dan wajahnya bertonjolan keluar.

      Ketika gema dari teriakannya itu lenyap, ia menjatuhkan dirinya dan berlutut. Tubuhnya bergoncang-goncang. Ia tak mampu lagi menahan tangisnya.

      “Ma-maafkan Paman, Angger Sandaka ...!” ucapnya lagi di sela-sela tangisnya.  “Paman tak bisa melindungi Angger, bahkan harus tega membuang tubuh Angger ke dalam jurang. Duh, Gusti ... maafkan aku ...! Aku tak berdaya untuk menentang kehendak Gusti Prabu ...! Oh, betapa kejamnya dunia ini ....!”

      “Aaaaaauuummmmm ... geeerrrgkk ...!”

      “Hmm ...??”

      Laki-laki itu tak melanjutkan ucapannya. Wajahnya yang sedih sontak berubah kaget, tegang, dan panik. Suara auman itu begitu membahana dan mengerikan, seolah-olah merasuk ke dalam segenap indra dan saraf-sarafnya. Bahkan kudanya langsung meringkik keras mendengar suara auman itu sembari menghentak-hentakkan keempat kakinya, seolah-olah meminta kepada tuannya agar segera pergi dari tempat itu.

      “Pasti macam itu sudah menemukan tubuhnya Angger Sandaka! Se-sebaiknya aku harus segera meninggalkan tempat ini ...!”

      Hanya dengan satu hentakan kaki, laki-laki itu sudah berada di atas punggung kudanya, lalu tanpa membuang waktu ia segera memacu kudanya, kembali  ke arah utara.

      Pada saat yang sama, di sisi jurang, satu sosok bayang berkelebat dengan gerakan yang sangat cepat, meloncat ke sana ke mari dan menjadikan tebing jurang dan pepohonan sebagai titik tolak loncatakannya. Sementara tangan kanannya melingkar di tubuh kantong hitam yang dipanggulkan. Kantong hitam itu tak lain adalah yang tadi dijatuhkan oleh laki-laki berkuda. Sosok misterius itu membawanya menuju ke dasar jurang.

        Sesampai di atas sebuah batu besar dan ceper yang ada di tengah-tengah aliran sungai, sosok sakti meletakkan kantung hitam yang berisi tubuh manusia itu dengan hati-hati.

      Wujud sosok misterius itu adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar lima puluhan tahun. Tubuhnya yang masih terlihat sangat kekar hanya tertutup dengan sejenis baju copot yang berwarna tutul. Mungkin terbuat dari kulit macan tutul. Rambutnya yang panjang sebahu diikatnya dengan secara kain yang juga bercorak tutul. Namun wajahnya klimis, tak ada selembar bulu kumis atau jenggot pun yang tumbuh di sekitar mulutnya.

      Saat laki-laki sakti itu membuka tali yang mengikat kantong besar hitam di hadapannya, tampaklah wajah bocah yang berusia sekitar enam atau tujuh tahun dalam kondisi tak sadarkan diri.

      “Hmm ... malang sekali bocah ini,” gumamnya dengan wajah prihatin. “Siapa pun manusia yang telah tega memperlakukannya seperti ini, tentulah ia adalah iblis yang berwujud manusia!”

       Tiba-tiba ia menggerakan tangan kanannya ke depan dengan gerakan tertentu yang amat cepat, dan sembari menarik nafas panjang dan menahannya, ia menarik kembali tangannnya secara perlahan dan meletakkan tangannya di depan dadanya dengan posisi menebas ke depan.

      Pada detik-detik berikutnya ia kembali melepaskan nafas panjangnya. Dan pada ujung nafasnya  tangan kananya dengan cepat menggenggam, seolah-olah ia menangkap nafas yang barusan dihembuskannya. Tampaknya ia sedang mengumpulkan energi murni yang dihasilkan melalui olah nafasnya. Genggaman itu dibukanya saat tangannya digerakkan di atas tubuh bocah malang, mulai dari kepala hingga perutnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status