“Si-siapa kau ini, Anak Muda ....?” tanya salah seorang Pendekar Penguji dengan wajah ketakutan.
Panji Jagat melangkah mendekat sembari menggerung seperti seekor macan yang marah. “Aku sudah mengatakannya tadi, bahwa namaku Panji Jagat. Ya, Panji jagat, murid sejati dari Ki Raksa Jagat. Hua ha ha ha ....”
“Haah ....?”
“Murid dari Raksa Jagat ....?”
Ketiga Pendekar Penguji serentak menyebut nama tokoh persilatan kelas wahid itu dengan mata membeliak, kaget.
“Jadi ...?” Ucap ketiganya lagi sambil saling menatap satu sama lain. “Di-dia adalah muridnya Pendekar Macan Tutul Jawadwipa?”
Wajah ketiganya makin terlihat ketakutan saat menyebut nama itu. Lalu, seperti dikomando, ketiganya langsung meloncat turun dari panggung pertarungan sebelum mengambil langkah seribu, melesat ke arah selatan.
***
MATAHARI telah condong ke lengkung barat cakrawala tatkala seekor kuda berbulu coklat berlari dengan kencang menuju arah selatan, membelah padang ilalang. Hentakan keempat kakinya yang kokoh menimbulkan debu-debu musim kering yang cukup tebal di belakangnya.
Kuda itu ditunggangi oleh seorang laki-laki. Dilihat dari gaya pakaian yang dikenakannya, mungkin seorang abdi dalem keraton. Ia seperti membawa sebuah kantong hitam besar yang berisi sesuatu yang diletakkan menjuntai di punggung kuda, di depannya.
Ketika memasuki kawasan hutan larangan yang lebat, laki-laki itu tak mengurangi pacu kudanya. Namun ketika sampai di tepian jurang curam yang melintang di hadapannya, laki-laki itu langsung menarik tali kekang kudanya dengan kuat. Sang kuda jantan besar itu sontak mengangkat kedua kaki depannya sembari mengeluarkan ringkikan kerasnya.
Setelah meloncat turun dari punggung kudanya, laki-laki itu sempat mengelus-elus benda yang ada dalam kantong hitam di punggung kuda dengan penuh kasih-sayang.
“Maafkan, Paman, Angger Sandaka,” gumamnya, seolah-olah pada kantong hitam di depannya. “Apa yang Paman lakukan hanya semata-mata menjalankan perintah Gusti Prabu. Jika Paman tidak melaksanakannya, bisa jadi Paman dan seluruh keluarga Paman yang akan dihabisi oleh Gusti Prabu.”
Saat ia mengangkat dan menaruh di pundaknya, kantong hitam yang rupanya berisi seorang bocah itu, cukup berat. Ia lantas melangkah ke mulut jurang. Sesaat ia menoleh ke kiri dan ke kanan sebelum mengintai ke dalam juram. Kedua matanya langsung ia tutup, seolah-olah ia merasa teramat sangat berat untuk berbuat biadab terhadap si bocah yang disebutnya “Angger Sandaka” itu.
Namun tiba-tiba ia mengangkat tubuh si bocah dalam kantong hitam tinggi-tinggi ke udara, lalu dengan segenap kekuatan yang dimilikinya, ia melemparkan tubuh dalam kantong hitam ke dalam jurang.
Mungkin karena tak mampu menanggung perasaan berdosanya yang teramat besar dan berat, laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu langsung berteriak sekuat-kuatnya sembari wajah mendongkak ke langit sehingga otot-otot leher dan wajahnya bertonjolan keluar.
Ketika gema dari teriakannya itu lenyap, ia menjatuhkan dirinya dan berlutut. Tubuhnya bergoncang-goncang. Ia tak mampu lagi menahan tangisnya.
“Ma-maafkan Paman, Angger Sandaka ...!” ucapnya lagi di sela-sela tangisnya. “Paman tak bisa melindungi Angger, bahkan harus tega membuang tubuh Angger ke dalam jurang. Duh, Gusti ... maafkan aku ...! Aku tak berdaya untuk menentang kehendak Gusti Prabu ...! Oh, betapa kejamnya dunia ini ....!”
“Aaaaaauuummmmm ... geeerrrgkk ...!”
“Hmm ...??”
Laki-laki itu tak melanjutkan ucapannya. Wajahnya yang sedih sontak berubah kaget, tegang, dan panik. Suara auman itu begitu membahana dan mengerikan, seolah-olah merasuk ke dalam segenap indra dan saraf-sarafnya. Bahkan kudanya langsung meringkik keras mendengar suara auman itu sembari menghentak-hentakkan keempat kakinya, seolah-olah meminta kepada tuannya agar segera pergi dari tempat itu.
“Pasti macam itu sudah menemukan tubuhnya Angger Sandaka! Se-sebaiknya aku harus segera meninggalkan tempat ini ...!”
Hanya dengan satu hentakan kaki, laki-laki itu sudah berada di atas punggung kudanya, lalu tanpa membuang waktu ia segera memacu kudanya, kembali ke arah utara.
Pada saat yang sama, di sisi jurang, satu sosok bayang berkelebat dengan gerakan yang sangat cepat, meloncat ke sana ke mari dan menjadikan tebing jurang dan pepohonan sebagai titik tolak loncatakannya. Sementara tangan kanannya melingkar di tubuh kantong hitam yang dipanggulkan. Kantong hitam itu tak lain adalah yang tadi dijatuhkan oleh laki-laki berkuda. Sosok misterius itu membawanya menuju ke dasar jurang.
Sesampai di atas sebuah batu besar dan ceper yang ada di tengah-tengah aliran sungai, sosok sakti meletakkan kantung hitam yang berisi tubuh manusia itu dengan hati-hati.
Wujud sosok misterius itu adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar lima puluhan tahun. Tubuhnya yang masih terlihat sangat kekar hanya tertutup dengan sejenis baju copot yang berwarna tutul. Mungkin terbuat dari kulit macan tutul. Rambutnya yang panjang sebahu diikatnya dengan secara kain yang juga bercorak tutul. Namun wajahnya klimis, tak ada selembar bulu kumis atau jenggot pun yang tumbuh di sekitar mulutnya.
Saat laki-laki sakti itu membuka tali yang mengikat kantong besar hitam di hadapannya, tampaklah wajah bocah yang berusia sekitar enam atau tujuh tahun dalam kondisi tak sadarkan diri.
“Hmm ... malang sekali bocah ini,” gumamnya dengan wajah prihatin. “Siapa pun manusia yang telah tega memperlakukannya seperti ini, tentulah ia adalah iblis yang berwujud manusia!”
Tiba-tiba ia menggerakan tangan kanannya ke depan dengan gerakan tertentu yang amat cepat, dan sembari menarik nafas panjang dan menahannya, ia menarik kembali tangannnya secara perlahan dan meletakkan tangannya di depan dadanya dengan posisi menebas ke depan.
Pada detik-detik berikutnya ia kembali melepaskan nafas panjangnya. Dan pada ujung nafasnya tangan kananya dengan cepat menggenggam, seolah-olah ia menangkap nafas yang barusan dihembuskannya. Tampaknya ia sedang mengumpulkan energi murni yang dihasilkan melalui olah nafasnya. Genggaman itu dibukanya saat tangannya digerakkan di atas tubuh bocah malang, mulai dari kepala hingga perutnya.
Ajaibnya, sesaat kemudian si bocah yang bernama Sandaka pelan-pelan membuka kedua matanya. Saat ia melihat wajah seorang laki-laki asing di dekatnya, ia kaget lalu berusaha bangun. Namun ia hanya sedikit menegakkan tubuhnya sebatas yang mampu ditopang oleh kedua sikunya. Ia meringis karena merasakan sakit yang sangat pada bagian punggungnya. “Siapa kau ...? Dan aku di mana ...? Oh ... kenapa aku bisa berada di tempat ini? Apakah aku sudah mati? Atau aku sedang ....” “Syukurlah Angger telah siuman,” potong laki-laki berpakaian tutul dengan lembut sembari tersenyum. “Ayok, Angger duduk yang tegak, mari aku bantu,” lanjutnya lagi sembari membantu Sandaka untuk menegakkan punggungnya ke depan. “Perkenalkan, namaku Ki Raksa Jagat, penguni kawasan sepi ini. Aku kebetulan berada di sekitar sini ketika sebuah kantong hitam pembungkus tubuhmu dileparkan oleh seseorang dari atas mulut jurang.” “Oh ... mengapa aku sampai diperlakukan seperti ini? Terima kasih, Ki, kare
Lima belas tahun kemudian... “Auummmm .... geeaarrkgk ...! Heaaaaat ...!” Wuuss ... !! Wuuss ... !! Sesosok bayangan meloncat ke sana ke mari ke dinding tebing dan ke beberapa batang dan cabang-cabang dengan amat gesit dan cepatnya. Sosok itu yang tampaknya seorang pemuda itu naga-naganya sedang berlatih untuk mempertajam serangan jurus-jurus yang dimilikinya. Berbagai serangan dahsyat dan mengerikan ia peragakan berupa pukulan cepat berantai, tendangan-tendangan, dan sekali-sekali melakukan serangkaian sergapan dan cakaran dengan kedua jari-jari tangannya yang kuat laksana jari-jari baja. Sekali-sekali ia menghantam dinding jurang berbatu cadas maupun pepohonan dengan pukulan angin panas yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi, sehingga benda-benda sasarannya menjadi hancur atau meninggalkan bekas yang menganga dan menghitam. Suara teriakan yang diselingi dengan auman dan gerungannya yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi sekali-kali te
Jarak padepokan Ki Permana Jagat dengan Krajan kuwu setempat cukup jauh sebenarnya, karena setelah mendakit jurang curam dan tinggi mereka harus melewati sebuah bukit lalu melintasi sebuah lembah yang cukup luas. Namun karena menggunakan kecepatan lari yang mengandung kekuatan ilmu meringankan tubuh, ketiga calon Pendekar Macan Tutul itu mampu mencapai kalangan pertarungan dalam waktu yang tak lama. Saat itu sedang berlangsung antara tiga Pendekar Penguji selaku pendekar tertantang dengan lima orang pendekar penantang. Pertarungan itu terlihat sangat seru, walau jika dilihat oleh orang-orang dunia kependekaran, tampak jelas sekali jika pertarungan itu tak seimbang. Lima pendekar memang sekali-sekali berhasil memasukkan pukulan maupun tendangan keras mereka ke tubuh ketiga pendekar penguji. Namun ketiga pendekar penguji berhasil membalas dengan serangan dan mengirimkan pukulan serta tendangan secara bertubi-tubi ke berbagai titik di tubuh kelima lawan mereka. “Kenapa ket
Tendangan dan hantaman keras dari ketiga Pendekar Penguji terjadi secara beruntun dan amat keras, membuat tubuh kelima pendekar penantang langsung terlempar dan mencelat ke luar panggung. Kelimanya jatuh dengan punggung membentur bumi, sehingga saat benturan itu terjadi dari mulut mereka menyembur darah segar. Para penonton dengan suka rela segera membantu kelima pendekar itu membantu menegakkan tubuh kelima pendekar malang itu. Ada juga di antara mereka segera memberinya air minum. Seorang laki-laki yang bertindah sebagai juru acara melompat ke atas panggung dan mengumumkan akan kemenangan dari ketiga Pendekar Penguji. Sambutan dengan tepuk tangan yang disertai teriakan-teriakan langsung membahana di sekeliling panggung pertarungan. “Yak, dengan kekalahan dari kelima pendekar penantang barusan,” lanjut sang juru acara lagi, “adalah akhir dari Sayembara Wibawa untuk tahun ini. Karena itu, Sayembara Wibawa tahun ini masih dimenangkan oleh para Pendekar Peng
Spontan pula ketiga Pendekar Penguji membalikkan tubuhnya hendak menangkap bagian tubuh Panji Jagat lalu menghajarnya secara berbarengan. Akan tetapi, bukan saja maksud ketiganya tak berhasil, bahkan di luar dugaan mereka Panji Jagat telah mendahului dengan gerakan mencakar yang amat cepat dan mematikan. Dan ... Creesshh ....!! Creesshh ...!! Cressshh ...!! “Aaauuuww ...!!” Bagian dada ketiga Pendekar Penguji langsung koyak dan mengeluarkan darah segar akibat cakaran cepat daroi kedua jari tangan Panji Jagat. Ketiganya pun menjerit tinggi nyaris bersamaan. Bukan saja ketiga Pendekar Penguji itu yang dibuat sangat kaget plus menderita, seluruh penonton pun langsung dibuat terbelalak dan berteriak tertahan. Demikian juga reaksi Ki Lurah Cokro Setiaji dan putranya, Jan Tole alias Pendekar Tangan Maut. Ayah beranak itu sontak berdiri dari kursinya dengan wajah terperangah. Di atas Panggung, Panji Jagat berdiri tegak sembari melemparkan senyum sinis
Panji Jagat menangkap sekantong keping emas yang dilemparkan oleh Ki Luar Cokro dan berkata, “Terima kasih, Ki Lurah. Ki Lurah adalah seorang pemimpin yang bijaksana. Saya sangat menghormati itu.” “Hm, sama-sama, Anak Muda yang hebat. Sampaikan salamku pada gurumu, Ki Raksa Jagat. Walaupun aku belum bernah melihat wajahnya, tetapi beliau adalah seorang pendekar besar yang sangat aku kagumi.” “Baik, Ki Lurah, salam Ki Lurah akan saya sampaikan kepada guru saya,” sahut Panji Jagat. Lalu berkata kepada Jan Tole, “Hai, Sobat. Kita lupakan masa lalu kita. Anggap itu sebagai cerita kita yang menyenangkan. Berlatihlah lebih keras lagi.” Bagi Jan Tole, kalimat itu tetap terasa sebagai sindiran tajam baginya. Ia mendengus kesal. Romonya, hanya melihatnya sesaat sebelum melangkah meninggalkannya untuk turun dari panggung. Jan Tole rupanya masih sangat penasaran. Ia juga merasa sakit hati karena diremehkan oleh romonya sendiri. Di luar dugaan siapa pu, tubuhnya m
Ki Raksa Jagat memerintahkan sang murid untuk mengambil sikap semedi dalam sebuah sendang kecil yang terletak di sebelah barat candi semedi. Golong dan Kerta hanya menyaksikan dari jarak yang cukup jauh prosesi penurunan ilmu pamungkas itu. Ki Raksa Jagat duduk di tepian sendang dengan sikap seperti sedang bersemedi setelah ia mengerahkan seluruh energi alam dan energi murni dari dalam dirinya lalu menyatukannya di kedua pelah tangannya. Kedua tangannyanya digerakkan ke depan dengan gerakan secara pelan dan indah yang juga diikuti oleh gerakan tubuhnya. Sekilas ia seperti orang yang sedang mengaduk masakan dalam belanga dengan tongkat ke depan. Air sendang yang direndami oleh Panji Jagat pun pelan-pelan ikut berputar, juga bergolak serta mulai mengepulkan asap. Ketika makin lama Ki Raksa Jagat menggerakkan gerakan berputar tangannya, maka makin cepat juga gerak berpusing air sendang berikut tubuh Panji Jagat. Lalu beberapa detik kemudian putaran air sendang yang dise
Tiba-tiba Panji memejamkan matanya. Ada sesuatu hal yang ia rasakan saat itu. “Dan ... Guru, mengapa aku seolah-olah bisa mendengarkan semua bahasa hewan? Oh, dunia tiba-tiba terasa ramai ...!” “Benar, Muridku. Karena dalam tubuhmu, dalam darah dan dagingmu, hingga tarik nafasmu, telah tertanam berbagai ilmu kesaktian. Kau mampu memahami bahasa binatang karena kau memiliki Ilmu Ajian Ginem, tubuhmu akan seperti baja dan tak akan ada yang mampu melukaimu karena dalam tubuhmu juga telah tertanama Ajian Brojomusti, kau akan mampu membelah wujudmu menjadi wujud yang banyak karena kau telah menyimpan Ajian Belah Rogo. Bahkan kau pun mampu berubah penampakan wujudmu dari pandangan orang lain dengan wujud apa pun karena engkau memiliki Ajian Malih Rupa. Namun karena kamu adalah Pendekar Macan Tutul, wujudmu akan terlihat seperti seekor macan tutul, baik oleh hewan maupun oleh musuh-musuhmu. Saat amarahmu menguasai dirimu, maka kau seakan-akan menjelma bagai seekor macan dengan ber