Ajaibnya, sesaat kemudian si bocah yang bernama Sandaka pelan-pelan membuka kedua matanya. Saat ia melihat wajah seorang laki-laki asing di dekatnya, ia kaget lalu berusaha bangun. Namun ia hanya sedikit menegakkan tubuhnya sebatas yang mampu ditopang oleh kedua sikunya. Ia meringis karena merasakan sakit yang sangat pada bagian punggungnya.
“Siapa kau ...? Dan aku di mana ...? Oh ... kenapa aku bisa berada di tempat ini? Apakah aku sudah mati? Atau aku sedang ....”
“Syukurlah Angger telah siuman,” potong laki-laki berpakaian tutul dengan lembut sembari tersenyum. “Ayok, Angger duduk yang tegak, mari aku bantu,” lanjutnya lagi sembari membantu Sandaka untuk menegakkan punggungnya ke depan. “Perkenalkan, namaku Ki Raksa Jagat, penguni kawasan sepi ini. Aku kebetulan berada di sekitar sini ketika sebuah kantong hitam pembungkus tubuhmu dileparkan oleh seseorang dari atas mulut jurang.”
“Oh ... mengapa aku sampai diperlakukan seperti ini? Terima kasih, Ki, karena telah menyelamatkan aku,” ucap Angger Sandaka.
“Ya, ya. Adat manusia yang baik itu adalah saling tolong menolong, Ngger. Untungnya aku berada di tempat ini pada saat yang tepat, sehingga kau masih bisa diselamatkan. Tampaknya ada pihak yang merasa tak tenteram terhadap di Angger sehingga menginginkan Angger harus mati. Kalau boleh aku tahu, siapakah sesungguhnya Angger ini?”
Sesaat Sandaka diliputi keheranan. “Nama aku ... Sandaka, Ki,” ucapnya seperti kebingungan. “Aku adalah putra dari Prabu Natanala dari Kerajaan Gundala. Aku sendiri tak tau, siapa yang menginginkan aku celaka. Karena selama ini, hidupku dalam lingkungan istana baik-baik saja. Aku hidup sebagai putra dan putra Ayahanda Prabu lainnya.”
“Jadi kau ini putra dari Prabu Natanala?” Tampak sekali wajah Ki Raksa mengerut, yang menyiratkan keheranannya. “Sekarang umur Angger Sandaka sudah berapa?”
“Umur saya enam tahun, Ki. Ada apa, Ki? Apakah Ki Raksa mengenal ramaku?”
Dahi Ki Raksa makin mengerut. “Enam tahun ...? Oh, tentu, Ngger, siapa pun pasti tahu nama pemimpinnya, karena kawasan ini pun masih merupakan wilayahnya Kerajaan Gundala.
Ki Reksa seolah-olah masih melanjutkan keheranannya, sampai-sampai ia mengelus-elus dagunya yang tak berjanggut. Seingatnya, Prabu Nata naik tahta kan belum terlalu lama. Setelah menikahi mendiang permaisurinya mendiang Prabu Kertadana, Dewi Jayeswari, empat tahun yang lalu, Nayosoma, atau yang kini disebut Prabu Natanala, masih berstatus lajang. Prabu Natanala menikahi Dewi Jayeswari dan naik tahta empat tahun yang lalu, bagaimana mungkin memiliki anak berumur enam tahun? Atau jangan-jangan ... Angger Sandaka ini adalah putra dari mendiang Prabu Kertadana? Menurut kabar yang pernah beredar, mendiang Prabu Kertadana meninggalkan seorang permaisuri dan dua orang putra. Putra pertama berusia dua tahun, dan putra kedua masih berusia beberapa bulan. Hmm, berarti ...?”
“Maaf, Ki. Sepertinya Ki Raksa sedang memikirkan sesuatu?”
Ki Raksa dibuat kaget oleh pertanyaan Sandaka. “Oh, tak memikirkan apa-apa, Ngger,” sahutnya sambil tersenyum. “A ... begini saja. Demi keamanan dan keselamatan Angger sendiri, sebaiknya Angger Sandaka tinggal bersamaku di lembah yang sepi ini. Biarkan dulu orang-orang yang telah berbuat biadab terhadap Angger menganggap jika Angger telah tewas, sampai suatu saat Angger kembali untuk menuntut keadilan. Aku akan mendidik dan menggembleng Angger di sini sehingga Angger kelak menjadi seorang pendekar sejati. Aku bersumpah untuk menurunkan semua ilmu yang kumiliki. Yah, Angger harus menjadi pewarisku! Keangkaramurkaan dan kezaliman itu harus ditumpas agar keadilan bisa tegak!”
“Be-benarkah, Ki ? Benarkah Ki Raksa Jagat mau menggembleng aku sebagai muridnya?!”
“Tentu! Sejak saat ini Angger telah kuangkat menjadi muridku!”
Mendengar itu, Sandaka langsung mengucapkan terima kasih berkali-kali sembari menjatuhkan kepalanya di depan Ki Raksa Jagat yang saat itu telah menjadi gurunya.
“Ya, ya, ya ....,” ucap Ki Raksa Jagat sambil mengelus-elus kepala muridnya. “Sejak saat ini aku pun telah memilihkan nama baru buatmu, Ngger.”
“Nama baru?”
“Hm. Aku memberimu nama baru dengan Panji Jagat.”
“Panji Jagat ...?”
“Iya. Sejak saat ini namamu menjadi Panji Jagat!”
“Baiklah, Guru, aku akan menyandang nama itu dengan senang hati. Pan-ji Ja-gat ...! Ya, aku Panji Jagat, bersumpah kelak akan menuntut balas atas kezaliman yang luar biasa ini terhadapku! Siapa pun dia atau mereka, harus menuai balasannya!”
Ki Raksa Jagat tersenyum dan mengangguk pelan mendengar ikrar sumpah yang keluar dari mulut calon pewarisnya.
Perlu diketahui, dulu, di jagat persilatan, Ki Raksa Jagat adalah seorang pendekar beraliran putih yang sangat digdaya, sakti mandraguna, serta pilih tanding. Ia disegani oleh segenap pendekar beraliran putih, dan sangat dihindari oleh para pendekar beraliran putih untuk mencari perkara dengannya. Ia masyhur dengan gelar Pendekar Macan Tutul Jawadwipa.
Kesaktimandragunaannya sangat sulit ditandingi oleh pendekar mana pun di jagat persilatan. Gelar Pendekar Macan Tutul Jawadwipa bukan sekedar gelar, namun memang sesuai dengan bentuk kesaktian yang dimilikinya. Jika ia bertarung berapa pun lawannya akan menemui ajal dengan kondisi tubuh yang mengenaskan, tercabik-cakik seperti terkena cakaran seeokor macan yang sedang mengamuk. Gerakannya sangat cepat, lihai, sehingga sangat sulit ditanggulangi oleh musuh-musuhnya. Ia mampu bertarung di siang dan malam hari dengan sama baiknya. Daya penglihatan macan tutulnya mampu melihat dengan jelas walau di kelamnya malam.
Seperti layaknya seekor macan tutul, Ki Jagat reksa juga mampu menguasai segala medan. Tak ada tempat yang tak mampu dikuasainya. Ia juga dikenal sebagai seorang pendekar yang tak mempan oleh jenis senjata apa pun. Setelah menginjak umur empat puluhan tahun, sang pendekar sejati ini pun tiba-tiba lenyap bak ditelan bumi, tak pernah lagi menampakkan dirinya di jagat persilatan.
***
Lima belas tahun kemudian... “Auummmm .... geeaarrkgk ...! Heaaaaat ...!” Wuuss ... !! Wuuss ... !! Sesosok bayangan meloncat ke sana ke mari ke dinding tebing dan ke beberapa batang dan cabang-cabang dengan amat gesit dan cepatnya. Sosok itu yang tampaknya seorang pemuda itu naga-naganya sedang berlatih untuk mempertajam serangan jurus-jurus yang dimilikinya. Berbagai serangan dahsyat dan mengerikan ia peragakan berupa pukulan cepat berantai, tendangan-tendangan, dan sekali-sekali melakukan serangkaian sergapan dan cakaran dengan kedua jari-jari tangannya yang kuat laksana jari-jari baja. Sekali-sekali ia menghantam dinding jurang berbatu cadas maupun pepohonan dengan pukulan angin panas yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi, sehingga benda-benda sasarannya menjadi hancur atau meninggalkan bekas yang menganga dan menghitam. Suara teriakan yang diselingi dengan auman dan gerungannya yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi sekali-kali te
Jarak padepokan Ki Permana Jagat dengan Krajan kuwu setempat cukup jauh sebenarnya, karena setelah mendakit jurang curam dan tinggi mereka harus melewati sebuah bukit lalu melintasi sebuah lembah yang cukup luas. Namun karena menggunakan kecepatan lari yang mengandung kekuatan ilmu meringankan tubuh, ketiga calon Pendekar Macan Tutul itu mampu mencapai kalangan pertarungan dalam waktu yang tak lama. Saat itu sedang berlangsung antara tiga Pendekar Penguji selaku pendekar tertantang dengan lima orang pendekar penantang. Pertarungan itu terlihat sangat seru, walau jika dilihat oleh orang-orang dunia kependekaran, tampak jelas sekali jika pertarungan itu tak seimbang. Lima pendekar memang sekali-sekali berhasil memasukkan pukulan maupun tendangan keras mereka ke tubuh ketiga pendekar penguji. Namun ketiga pendekar penguji berhasil membalas dengan serangan dan mengirimkan pukulan serta tendangan secara bertubi-tubi ke berbagai titik di tubuh kelima lawan mereka. “Kenapa ket
Tendangan dan hantaman keras dari ketiga Pendekar Penguji terjadi secara beruntun dan amat keras, membuat tubuh kelima pendekar penantang langsung terlempar dan mencelat ke luar panggung. Kelimanya jatuh dengan punggung membentur bumi, sehingga saat benturan itu terjadi dari mulut mereka menyembur darah segar. Para penonton dengan suka rela segera membantu kelima pendekar itu membantu menegakkan tubuh kelima pendekar malang itu. Ada juga di antara mereka segera memberinya air minum. Seorang laki-laki yang bertindah sebagai juru acara melompat ke atas panggung dan mengumumkan akan kemenangan dari ketiga Pendekar Penguji. Sambutan dengan tepuk tangan yang disertai teriakan-teriakan langsung membahana di sekeliling panggung pertarungan. “Yak, dengan kekalahan dari kelima pendekar penantang barusan,” lanjut sang juru acara lagi, “adalah akhir dari Sayembara Wibawa untuk tahun ini. Karena itu, Sayembara Wibawa tahun ini masih dimenangkan oleh para Pendekar Peng
Spontan pula ketiga Pendekar Penguji membalikkan tubuhnya hendak menangkap bagian tubuh Panji Jagat lalu menghajarnya secara berbarengan. Akan tetapi, bukan saja maksud ketiganya tak berhasil, bahkan di luar dugaan mereka Panji Jagat telah mendahului dengan gerakan mencakar yang amat cepat dan mematikan. Dan ... Creesshh ....!! Creesshh ...!! Cressshh ...!! “Aaauuuww ...!!” Bagian dada ketiga Pendekar Penguji langsung koyak dan mengeluarkan darah segar akibat cakaran cepat daroi kedua jari tangan Panji Jagat. Ketiganya pun menjerit tinggi nyaris bersamaan. Bukan saja ketiga Pendekar Penguji itu yang dibuat sangat kaget plus menderita, seluruh penonton pun langsung dibuat terbelalak dan berteriak tertahan. Demikian juga reaksi Ki Lurah Cokro Setiaji dan putranya, Jan Tole alias Pendekar Tangan Maut. Ayah beranak itu sontak berdiri dari kursinya dengan wajah terperangah. Di atas Panggung, Panji Jagat berdiri tegak sembari melemparkan senyum sinis
Panji Jagat menangkap sekantong keping emas yang dilemparkan oleh Ki Luar Cokro dan berkata, “Terima kasih, Ki Lurah. Ki Lurah adalah seorang pemimpin yang bijaksana. Saya sangat menghormati itu.” “Hm, sama-sama, Anak Muda yang hebat. Sampaikan salamku pada gurumu, Ki Raksa Jagat. Walaupun aku belum bernah melihat wajahnya, tetapi beliau adalah seorang pendekar besar yang sangat aku kagumi.” “Baik, Ki Lurah, salam Ki Lurah akan saya sampaikan kepada guru saya,” sahut Panji Jagat. Lalu berkata kepada Jan Tole, “Hai, Sobat. Kita lupakan masa lalu kita. Anggap itu sebagai cerita kita yang menyenangkan. Berlatihlah lebih keras lagi.” Bagi Jan Tole, kalimat itu tetap terasa sebagai sindiran tajam baginya. Ia mendengus kesal. Romonya, hanya melihatnya sesaat sebelum melangkah meninggalkannya untuk turun dari panggung. Jan Tole rupanya masih sangat penasaran. Ia juga merasa sakit hati karena diremehkan oleh romonya sendiri. Di luar dugaan siapa pu, tubuhnya m
Ki Raksa Jagat memerintahkan sang murid untuk mengambil sikap semedi dalam sebuah sendang kecil yang terletak di sebelah barat candi semedi. Golong dan Kerta hanya menyaksikan dari jarak yang cukup jauh prosesi penurunan ilmu pamungkas itu. Ki Raksa Jagat duduk di tepian sendang dengan sikap seperti sedang bersemedi setelah ia mengerahkan seluruh energi alam dan energi murni dari dalam dirinya lalu menyatukannya di kedua pelah tangannya. Kedua tangannyanya digerakkan ke depan dengan gerakan secara pelan dan indah yang juga diikuti oleh gerakan tubuhnya. Sekilas ia seperti orang yang sedang mengaduk masakan dalam belanga dengan tongkat ke depan. Air sendang yang direndami oleh Panji Jagat pun pelan-pelan ikut berputar, juga bergolak serta mulai mengepulkan asap. Ketika makin lama Ki Raksa Jagat menggerakkan gerakan berputar tangannya, maka makin cepat juga gerak berpusing air sendang berikut tubuh Panji Jagat. Lalu beberapa detik kemudian putaran air sendang yang dise
Tiba-tiba Panji memejamkan matanya. Ada sesuatu hal yang ia rasakan saat itu. “Dan ... Guru, mengapa aku seolah-olah bisa mendengarkan semua bahasa hewan? Oh, dunia tiba-tiba terasa ramai ...!” “Benar, Muridku. Karena dalam tubuhmu, dalam darah dan dagingmu, hingga tarik nafasmu, telah tertanam berbagai ilmu kesaktian. Kau mampu memahami bahasa binatang karena kau memiliki Ilmu Ajian Ginem, tubuhmu akan seperti baja dan tak akan ada yang mampu melukaimu karena dalam tubuhmu juga telah tertanama Ajian Brojomusti, kau akan mampu membelah wujudmu menjadi wujud yang banyak karena kau telah menyimpan Ajian Belah Rogo. Bahkan kau pun mampu berubah penampakan wujudmu dari pandangan orang lain dengan wujud apa pun karena engkau memiliki Ajian Malih Rupa. Namun karena kamu adalah Pendekar Macan Tutul, wujudmu akan terlihat seperti seekor macan tutul, baik oleh hewan maupun oleh musuh-musuhmu. Saat amarahmu menguasai dirimu, maka kau seakan-akan menjelma bagai seekor macan dengan ber
Panji Jagat tak mampu menatap wajah gurunya. Air matanya keluar begitu saja tanpa mampu ia bendung. “Seorang laki-laki sejati tak pantas untuk meneteskan air mata, apa pun pedihnya hal yang tengah kita hadapi, Muridku,” Ki Raksa Jagat mengigatkan. “Jika pun air matamu harus tumpah, maka tumpahkan saja ke dalam, jangan keluar. Air mata seorang laki-laki bisa melemahkan orang-orang di sekitarmu, terlebih kau kelak tentu akan menjadi seseorang sebagai tempat bersandarnya banyak orang.” “Ma-maafkan aku, Guru!” ucap Panji Jagat sembari menghapus air matanya dengan jari-jari tanganya. “Hm. Sekarang kaudengarkan aku. Aku pernah melakukan penyelidikan ke kota raja. Kondisi kehidupan di Kerajaan Gundala saat ini tidak sedang baik-baik saja. Pemerintahan Prabu Natanala seakan-akan berjalan tanpa arah yang jelas. Rakyat sendiri dicekik batang leher mereka dengan pajak yang tinggi. Pungutan haram yang dilakukan oleh para petinggi kerajaan makin membuat kehidupan rakyat Gundal