Tepos, Gobang, dan Jolang serentak menyanggupi. “Bagus! Aku berharap, dari Wulan aku akan mendapatkan keturunan yang tak aku dapatkan dari kesembilan istriku itu. Payah mereka!” ucap Ki Barong Seta sembari kembali melanjutkan perkalanan. Kelima anggotanya tak mau menanggapi omongan perihal anak itu, karena mereka tahu bahwa sang ketua mereka itu tak mungkin bisa punya anak. Penyakit Raja Singa yang dideritanya sejak masih muda masih sering kambuh dan membuatnya menjerit kesakitan ketika tengah malam. “Aku yakin,” lanjut Ki Barong Seta lagi, “rombongan kerajaan tadi membawa perhiasan yang banyak, baik dari para prajurit maupun dari para gadis calon dayang istana itu. Sebab para gadis itu bukanlah putri dari warga sembarangan. Mereka rata-rata berasal dari keluarga yang berada, tentu saja orang tua mereka membekali mereka dengan perhiasan yang mahal dan banyak. Bagaimana menurutmu, Jarot?” “Saya selalu percaya dengan firasatnya Ketua. Selama ini tak pernah
Belum lagi usai rasa kaget mereka, mereka malah dibuat kaget lanjutan karena tiba-tiba sosok di hadapan mereka tertawa kecil yang membuat tubuhnya bergoncang-gincang. “Haahh??” Kelima anggota begal mendesahh kaget sembari mundur ke belakang dengan golok siap menebas. Pendekar Macan Tutul tiba-tiba mengangkat wajahnya, dan langsung mennatap tajam ke depan sembari mengaum dan menggerung keras. Pada saat yang sama kesepuluh ujung jari tangannya bermunculan kuku-kuku tajam dan melengkung seperti cakar seekor macan. “Hati-hati!” Ki Gobang memperingatkan keempat temannya. “Naga-naganya kita sedang berhadapan dengan sesosok siluman harimau! Kita harus... eh, awaaas!!” Belum selesai Ki Gobang berucap, Panji Jagat tiba-tiba bergerak menyerang ke depan dengan sebuah gerakan menyergab yang sangat cepat. Tak ada waktu bagi kelima anak buahnya Ki Barong Seta untuk menyerang, dan hendak membuat formasi bertahan pun gagal. Cakaran cepat dari kedua tangan sang lawan den
PENDEKA Habis berkata demikian, murid Ki Raksa Jagat langsung melesat ke arah barat sembari meninggalkan suara gerungannya laksana seekor macan. “Siapakah gerangan dia? Seumur-umur, baru kali ini aku melihat manusia yang sangat sakti mandraguna seperti itu?” ucap Jarot. “Apakah dia sesosok siluman?” tanya Ki Jolang pula tanpa ditujukan pada siapa pun. “Siapa pun dia, kita sudah berjanji padanya!” tandas Ki Jolang. “Kita harus memenuhi janji kita untuk menjadi manusia yang baik. Sejak saat ini, kita harus bubar dan kembali mengurus keluarga masing-masing.” Ucapan Ki Jolang itu langsung disetujui oleh keempat temannya.*** Ketika matahari sudah condong ke arah barat, Panji Jagat baru dapat melihat dari kejauhan rombongan pedati kerajaan yang dilihat tadi siang. Ia tidak mengikut jalan untuk menyusul rombongan itu, tetapi berlari dengan kecepatan tinggi melalui sisi hutam yang cukup lebat di kiri kanan jalan itu. Ketika telah berada sejajar dengan rombon
Ki Arya Bendut memerintahkan seluruh rombongan untuk turun dan menikmati daging dan ikan panggang yang telah disiapkan oleh Panji Jagat. “Nanti saja dirikan tendanya. Kalian nikmati dulu daging rusa dan ikan-ikan panggang ini,” seru Ki Arya Bendut. “Oh ya, perkenalkan pemuda dermawan ini, namanya Panji Jagat. Katanya dia memang sengaja menyiapkan semua ini buat kita semua. Terima kasih, sekali lagi, Panji Jagat.” “Sama-sama, Ki Arya,” sahut Panji Jagat, lalu kepada para segenap anggota rombongan ia berkata, “Silakan Tuan dan Ni semuanya, nikmati sajian sederhana saya ini.” Mungkin karena memang sudah lapar atau karena makanan itu memang makanan yang lezat, semua rombongan, baik para prajurit pengawal maupun para gadis calon dayang istana menikmati daging dan ikan panggang itu dengan lahapnya. Setelah semuanya merasa kenyang semuanya duduk santai di atas hamparan pinggiran sungai yang terdiri dari hamparan bebatuan. “Jadi, Dik Panji ini hendak mengadu nasib ke
Ketika di beranda depan istana muncul dua laki-laki muda, puluhan prajurit kawal istana segera berdiri berbaris menyambut keduanya. Kedua pemuda itu tentu saja dua pangeran istana itu. Panji Jagat terkagum-kagum melihat penampilan kedua putra Sang Prabu Nata itu. Dan betapa senangnya jika kelak ia bisa mengenal lebih dekat dengan kedua pangeran dan calon raja itu. Pangeran yang berjalan di depan berusia mungkin dua puluh tahun, sementara pemuda yang berjalan di belakang tampak sedikit lebih tua, namun wajahnya lebih tampan dan posturnya lebih tinggi dan kekar. Wajah keduanya tampan namun namun keangkuhannya sebagai putra bangsawan terlihat sekali. Saat hendak hendak mengambil alih tali kekang kuda yang akan ditunggamnginya, pandangan mata sang pangeran yang di depan melihat ke arah Panji Jagat yang saat itu kebetulan sedang menatap tak berkedip ke arahnya. “Siapa dia?” tanyanya tanpa ditujukan khusus pada salah satu prajutir kawal istana. “Oh, kami
Ki Arya Dhanu menatap wajah Panji Jagat. “Apa kaupunya semacam keahlian khusus, Anak Muda?” “Ampun, Gusti,” sahut Panji, “saya hanya seorang pemuda desa. Saya hanya memiliki keahlian sebagai anak desa seperti berburu dan bertani.” “Hm. Tapi pernah mengurus kuda?” “Bisa dikata belum terlalu berpengalaman, Gusti, karena kakek saya tak memiliki peternakan kuda. Tetapi saya sudah terbiasa membantu teman-teman saya yang punya kuda untuk memandikan kuda-kuda mereka, termasuk melatih kuda untuk berpacu.” “Hm, itu berarti kamu pernah menangani kuda, walau hanya sekali-sekali,” ucap Ki Arya Dhanu. “Benar, Gusti. Jika saya diberi kesempatan untuk bekerja, saya berjanji untuk bekerja sambil belajar untuk menjadi pengurus kuda yang baik.” “Ya, ya, ya. Memang, semua orang itu bisa menjadi pekerja yang baik bahkan ahli di suatu pekerjaan setelah ia menekuninya,” ucap Ki Arya Dhanu bijak. “Baiklah, aku akan memberimu kesempatan bekerja di sini. Aku ingin melih
Saat melihat kehadiran Panji dan Ki Lugana, kuda-kuda itu tiba-tiba serentak meringkik dan berusaha untuk melepaskan diri dari kandang. Hal itu membuat para pengurusnya menjadi heran dan kebingungan. Bahkan Ki Arya Dhanu melihat kejadian itu langsung datang mendekat dan bertanya kepada para pengrus kuda kenapa tiba-tiba kuda seperti ingin berontak seperti itu? “Kami juga tahu, Ki Arya. Tiba-tiba mereka seperti itu.” Tanpa sepengetahuan siapa pun, saat itu Panji Jagat sengara memunculkan Ilmu Malih Rupanya, sehingga kuda-kuda itu melihat sosoknya sebagai seeokor macan tutul yang siap menerkam mereka. “Ki Arya,” ucap Panji Jagat, “bolehkan saya mendekat ke kandang itu? Mungkin saya dapat menenangkan kuda-kuda itu.” “Hm?” Ki Arya Dhanu menoleh kepada Panji Jagat dan menatapnya sesaat dengan dahi mengerut. “Kamu pernah memelihara kuda juga, Panji?” “Belum pernah memelihara dalam bentuk dikandang seperti ini, Ki, hanya dilepas umbar begitu saja di padang lal
Tepuk tangan pun makin menggemuruh. Pegawai istana pun makin banyak yang berkerumun karena ingin menyaksikan peristiwa yang langka itu. “Baiklah, Sahabatku, sekarang angkat kedua kaki depanmu tinggi-tinggi sembari meringkik yang keras!” pinta Panji lagi, yang lagi-lagi diikuti oleh sang kuda. Kuda itu pun mengangkat tinggi-tinggi kedua kaki depannya sembari mengeluarkan ringkikan yang yang keras. Untuk yang kesekian kalinya tepuk tangan kembali bergemuruh. Kali ini malah diselingi dengan teriakan-teriakan yang menyebutkan nama Panji Jagat. Panji turun dari punggung sang kuda dan memintanya dengan bahasa pikiran agar ia kembali ke dalam kandang. Kuda itu pun patuh dan kembali masuk ke dalam kandang dengan sendirinya. Selesai menyajikan kepiwaiannya yang luar biasa itu, Panji Jagat menghadap ke seluruh orang-orang yang menyaksikan lalu memberi tabik hormat sembari menundukkan kepalanya. Tepuk tangan yang disertai teriakan-teriakan menyebut namanya kembali memb