La Mudu mempersilakan Lalu Rinde untuk ikut bergabung menikmati ikan bakar. Namun selama menikmati kelezatan ikan bakar itu laki-laki itu seolah-olah tak berani untuk mengangkat wajahnya dan terlihat tak mampu untuk memperlihatkan wajah cerahnya.
Dalam keadaan seperti itu, La Mudu tiba-tiba menghentikan makannya lalu berdiri.
Ia menebarkan pandangan kepada segenap warga Sera Guar sembari tersenyum. “Sembari terus menikmati kelezatan ikan bakar, saya minta kepada kalian semua untuk mendengarkan apa yang hendak saya sampaikan,” ucap La Mudu dengan suaranya yang datar penuh wibawa. “Dalam kesempatan ini, ada di seorang warga yang merupakan saudara kalian sendiri yang ingin menyampaikan sesuatu hal yang sangat penting bagi hidupnya. Dia adalah Lalu Rinde.”
Semua wajah langsung menoleh kepada Lalu Rinde dengan wajah menyiratk
Setelah suara hiruk pikuk itu usai, Lalu Rinde pun berdiri dan berkata, “Dengarkan semuanya. Hal yang paling bahagia yang saya rasakan dalam hidup ini adalah saat ini. Maaf dari Lalu Rinde adalah pemberian terbesar bagi kehidupan saya. Seolah-olah beban berat yang menggencet punggung saya langsung lenyap seketika. Terima kasih, sahabat masa kecilku, Lalu Ruteng.” “Sama-sama, sahabatku. Tekadmu yang kuat untuk kembali menjadi manusia yang baik sudah cukup membuat hati saya senang mendengarnya,” sahut Lalu Ruteng dengan tulus dan jiwa besar. Kembali warga memberikan tepukan tangan riuh-rimpah mereka kepada Lalu Rinde. “Lalu yang kedua...!” lanjut Lalu Rinde setelah tepuk tangan usai, “Di hadapan kalian semua aku telah bersumpah pada diri saya, bahwa saya akan menyerahkan sebagian dari harta ya
Malam baru saja berlabuh, para warga Desa Sera Guar sudah berdatangan di halaman depan rumahnya Lalu Museng. Melihat kedatangan warga desa itu membuat Lalu Museng sekeluarga sedikit panik dan kebingungan. Sementara saat itu La Mudu masih terus melakukan tafakur dan wirid sehabis melaksanakan sholat isya’ dan sholat sunat dua rakaat. Di hadapannya ia letakkan batu kerikil yang masih terbungkus dengan sorbannya. Lalu Museng yang dibantu oleh putranya, Lalu Galising, juga Lalu Rinde berusaha mengatur orang-orang yang berkumpul di halaman depan rumah itu, dan meminta agar mereka tidak ribut karena Datu Mudu sedang sembahyang. Ketika La Mudu telah menyelesaikan wirid dan doanya, Lalu Museng datang dan duduk di dekatnya dan memberitahukan bahwa warga sudah berdatangan di bawah halaman. “Hm, baiklah, Lalu Museng. Kira-kira berapa jumlah me
Sesungguhnya laki-laki yang dipanggil Ketua itu adalah adalah Lalu Lojang yang merupakan kepala desa dari Desa Sera Guar. Tanpa dinyana oleh siapa pun di kalangan masyarakat Ropang Ulu maupun orang-orang di kerajaan, bahwa Lalu Lojang merupakan seorang penghianat dan memimpin gerombolan perampok yang bernama Dewa Lenge. Sebuah gerombolan perampok malam yang sangat meresahkan di wilayah Ropang Ulu dalam beberapa bulan terakhir ini. Padahal bagi kerajaan dia adalah salah seorang pejabat di wilayah yang cukup dipercaya oleh pihak pusat kerajaan. Jika pihak kerajaan tahu jika pemimpin perampok malam yang menamakan dirinya Dewa Lenge yang sangat meresahkan rakyat dan kerajaan itu adalah Lalu Lojang, orang yang cukup dipercaya di kerjaaan, tentu sang Baginda Raja sangat murka, dan Lalu Lojang dapat dijatuhi hukuman berat. Tak tertutup kemungkinan sang pemimpin gerombolan jahat Dewa Lenge yang menamakan dirinya sebagai Gondan
Dengan didampingin oleh lima orang laki-laki lain, Lalu Rinde melaksanakan perintah La Mudu. Seperti katanya, ia memang sudah dikenal baik oleh banyak petinggi pasukan bhayangkara kerajaan yang bertugas di wilayah Ropang Ulu. Itu berkat kesaktiannya yang tinggi dalam hal ilmu ke-sandro-an. Lalu Rinde memang dikenal sebagai seorang sandro (dukun) yang berilmu sangat tinggi dan nyata, dan jasanya sering dimintai oleh petinggi bhayangkara wilayah itu untuk menyelesaikan suatu perkara-perkara yang bersifat gaib yang terjadi di wilayah itu. Pemimpin tertinggi pasukan bhayangkara wilayah yang bernama Lalu Sampara menyambutnya dengan hangat penuh penghormatan kepada Lalu Rinde dan rombongannya. “Saya punya firasat akan ada sebuah peristiwa yang cukup besar dan mendesak sehingga Sandr
Daeng Sampara dan seluruh anak buahnya yang berjumlah sekitar dua ratus orang dijamu seadanya oleh segenap warga di pinggir kali itu dengan nasi berlaukkan ikan bakar dan bumbu jeruk secada darurat. Karena dinikmati dalam suasana malam di bawah sinar rembulan dan gemerincik aliran sungai, maka makanan itu terasa nikmat dan sangat istimewa. Setelah menikmati hidangan ‘istimewa’ malam itu, seluruh pasukan bhayangkara kerajaan yang hadir beserta seluruh laki-laki desa duduk melingkari La Mudu yang duduk bersebelahan dengan Daeng Sampara. Mereka membicarakan tindakan-tindakan yang akan dilakukan terhadap gerombolan Dewa Lenge. “Gerombolan itu akan saya kurung dalam desa sehingga mereka tak akan dapat keluar dari desa. Baru ketika hari mulai terang, seluruh pasukan bhayangkara yang dibantu oleh segenap laki-laki di desa ini mengepung dan m
Tentu saja mereka tak akan mendapatkan sahutan, karena rumah-rumah itu telah ditinggalkan oleh penghuninya. “Rumah ini kosong! Ke mana para penghuninya...!?” Rata-rata demikian pertanyaan spontan yang terlontar dari mulut para anggota gerombolan itu. Namun anehnya, saat mereka menyalakan obor di tangannya masing-masing, mereka menemukan butir-butir emas yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Dan tanpa ragu-ragu mereka mengambil butir-butir emas itu dan memasukkannya di kantong dalam pakaian mereka. “Bagaimana, apakah kalian keluar dari rumah-rumah warga dengan membawa hasil?” Itu yang bertanya adalah Gumang Lanang, ketika seluruh anggota gerombolan telah berkumpul kembali di sebuah tanah yang kosong dalam de
Pendekar Tapak Dewa bersama seluruh warga Desa Sera Guar mengantarkan rombongan pasukan bhayangkara yang akan membawa seluruh anggota penyamun Dewa Lenge itu ke kota raja di batas desa. Ada kelegaan namun juga perasaan rihatin serta kecewa yang dalam di dada setiap orang saat itu. Lega karena gerombolan yang sangat meresahkan itu telah berhasil dibekuk, dan prihatin serta kecewa yang dalam karena kenyataan bahwa pemimpin gerombolan penyamun malam itu ternyata adalah pemimpin mereka sendiri, Lalu Lojang, orang yang sangat mereka percaya, hormati, dan kagumi selama ini. Namun demikian, mereka hanya berharap, semoga Baginda Raja tidak sampai menjatuhkan hukuman gantung kepada pemimpin mereka itu. Mereka yakin, Lalu Lojang hanya sedang tersesat dan terjerumus. Mereka sangat tahu, sebelum kemunculan gerombolan penyamun malam di bawah pimpinannya itu, sang kepala desa itu adalah orang yang sangat baik, pen
Kepulangan La Mudu menjadi kebahagiaan bagi segenap rakyat Tanaru. Keberadaannya sebagai seorang pemimpin di tengah-tengah mereka merupakan kekuatan tersendiri bagi mereka. Lebih-lebih yang merasakan kebahagiaannya itu adalah seisi Uma Na’e (Istana Sandaka), yaitu kedua istri dan anak-anak mereka, juga kedua pasang mertuanya. Indra Kelana (anak La Mudu dengan istrinya Meilin) dan Dewi Samudra (Anak La Mudu dengan istrinya Ming Wei) menyambut kehadiran ayah mereka dengan sangat riang gembira. Keduanya langsung menggelayut dalam gendongan di kedua sisi rusuk sang ayah. Lalu kedua bocah itu mendominasi cerita apa pun tentang mereka terhadap ayahnya, termasuk tentang ilmu beladiri yang mereka miliki makin tinggi serta hafalan Al Quran mereka yang sama-sama mencapai beberapa juz. “Luar biasa kedua anak-anak Ayah,” puji La Mudu sembari mencium pipi kedua buah hatinya. “Kalian harus terus belajar sama K