Ki Lurah dan istri serta kedua anaknya datang mendekat dan memeluk tubuh La Mudu sembari menyampaikan ucapan terima kasih berkali-kali.
“Ki Lurah simpan cincin ini. Saya percaya, jika benda semacam ini dipegang oleh orang yang punya watak baik, maka dapat menjadi sarana menuju kebaikan juga.”
Ki Lurah Wisesa tertegun sesaat. Tangannya seperti bergetar menerima cincin kuning yang bermatakan batu mirah delima itu. Cincin yang selama ini membuat mendiang Juragan Tuwuh sangat kebal senjata dan ditakuti oleh lawan-lawannya.
“Ba-baik, Pendekar. Saya akan menyimpan cincin ini. Terima kasih,” ucap Ki Lurah Wisesa lalu kembali memeluk tubuh La Mudu.
“Terima kasih, Cah Bagus nan gagah perkasa,” giliran
Saat matahari sudah berada di sepertiga bola langit di belahan barat, ketiganya sudah berada di sebuah wilayah yang bernama Gedong. Menurut Logro, mereka sudah berada separuh jalan. “Mudah-mudahan kita bisa mencapai tujuan masih terang hari,”ucap Klowor. “Mudah-mudahan,” sahut Lorgo. La Mudu mendadak menarik tali kekang kudanya. “Kenapa Pendekar berhenti...?” bertanya Lorgo. La Mudu mengangkat dagunya. “Di depan ada seorang laki-laki tua. Mungkin seorang pengemis.”&n
Kesepuluh laki-laki sontak menoleh. Namun mereka dibuat nyaris jantungan, karena di saat yang bersamaan La Mudu melempar kedua golok di tangannya secara bersamaan dan langsung menancap di sela-sela kaki laki-laki bercodet di pipi dan di sela-sela sang ketua gerombolan. Wajah kedua laki-laki langsung pucat. Dengan cepat pula keduanya mencabut goloknya itu, lalu mereka pun meninggalkan tempat itu tanpa mengatakan apa pun. Tak lama kemudian, La Mudu dan kedua penunjuk jalannya melanjutkan perjalanan ke arah barat. Wilayah yang menuju ke arah barat merupakan daerah bebukitan. Namanya Bukit Kapur. Mengikuti petunjuk sang penunjuk jalan, Logro, mereka mengambil jalan melingkar dan melalui sebuah pinggiran lembah yang cukup luas. Menurut Logro, dia dan beberapa orang dari Desa Pringkuning pernah datang di tempat itu untuk b
“Syarat untuk memasuki agama ini tentu yang pertama adalah niat yang kuat, tulus, dan tanpa paksaan, sebelum berikrar dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu dua kalimat kesaksian dalam bahasa arab, yang bunyinya,“ashaduʾanlailahaʾillallāh, w* ashadu anna Muhammadan Rasulullah, yang artinya “aku bersaksi bahw* tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah”. Apa maksudnya? Bukan hanya berucap. Berucap itu gampang, Angger. Kesaksian di sini adalah di mana kita sebagai seorang hamba bersaksi, bahw* yang mencipta langit, bumi, dan segala mahluk yang ada di dalamnya, menghidupkan dan yang mematikan manusia, memberi rejeki kepada segala mahluk, serta yang disembah oleh sekalian ala
“Benar sekali, Dato. Karena itu kami hanya membawa satu kapal saja barang dagangan, agar cepat habis sembari menunggu keluarga kami dijemput.” “Menurut aku ya, kalian berangkat sebagian atau berangkat semuanya sama baiknya, agar masing-masing kalian dapat menjemput keluarga kalian masing-masing. Hanya saja, agar pelayaran kalian terarah kalian sewa para nakhoda sekaligus pembaca arah yang dulunya pernah disewa oleh La Mudu, termasuk sepuluh atau dua puluh orang sebagai anak buah kapalnya.” “Baiklah, Dato. Kami juga sudah merencakan seperti itu,” sahut Kangjian. “Jangan lupa, saat kalian turun di daratan, kalian tetap mengenakan pakaian adat Mbojo, agar penyamaran kalian makin kuat. Ohya, rencanan
Karena untuk sekedar menghormati undangan dari keenam laki-laki bulai itu, selebihnya ingin sedikit mengetahui mereka dari dekat, La Mudu pun bersedia ikut ke tempat yang mereka sebut markas itu. Di markas La Mudu benar-benar disambut bak seorang pahlawan besar, lebih-lebih setelah mendengar cerita dari keenam teman mereka yang seakan-akan sangat tak masuk akal. Karena salah satu dari keenam pria bule, yaitu Sergeant Ruben Van Douwe, merupakan salah satu pemimpin sebagian besar serdadu, maka mereka mempercayai cerita itu, dan mereka pun sangat kagum dan menghormati La Mudu. “Sergeant Ruben, komandan kita sedang menderita sakit panas tinggi akibat kakinya yang patah, apa kira-kira Strijder Mudu bisa menyembuhkannya?”berkata salah seorang serdadu kepada Sergeant Ruben Van Do
Malam itu juga La Mudu pamit kepada Sergeant Ruben Van Douwe untuk melanjutkan perjalanannya. “Jika kami ke Pulau Sumbawa, di manakah kami bisa menemui Strijder Mudu?” bertanya Sergeant Ruben. “Tuan Ruben dapat mencari saya di sebuah desa yang bernama Tanaru. Tempatnya di penghujung timur Pulau Sumbawa,”jawab La Mudu. “Ta-na-ru. Korporaal Berend, tolong kaucatat nama desanya Strijder Mudu.” “Klaar, Sergeant!” “Baiklah, saya pamit, Tuan Ruben. Assalamualaikum.”&nbs
Ketika layar utama digulung, laju perahu langsung berkurang sehingga kapal perompak yang disebut kapal lanun langsung mendekat. Kapal lanun yang lumayan besar itu langsung memepeti perahu yang ditumpangi oleh La Mudu. Para perompak yang jumlahnya puluhan orang itu menatap ke arah perahu dan melihat seorang pemuda yang berdiri dengan sikap santai di pinggir perahu. La Mudu tak akan membiarkan para perampok di lautan itu untuk turun ke bawah perahu yang ditumpanginya. Dengan satu gerakan menyentak kecil, tubuhnya langsung melenting ke atas kapal lanun dan berdiri di haluan kapal. Para anggota lanun yang sebelumnya tak menyangka si pemuda tiba-tiba akan melakukan tindakan yang luar biasa seperti itu, sangat tercekat, kaget, dan sekaligus geram karena merasa ditantang. Serentak pula puluhan a
Keesokan harinya La Mudu melanjutkan perjalanan ke arah timur lalu menyeberang ke Pulau Sumbawa. Begitu ia menginjakkan kakinya di pulau itu, dengan karomah yang dimilikinya, ia mampu mencapai ujung timur pulau itu, Desa Tanaru, dalam waktu yang singkat. Saat melihat kemunculannya yang tiba-tiba, seluruh penduduk desanya bersortak-sorai. Yang paling berbahagia tentulah seisi Istana Sandaka (Uma Na’e), terutama kedua istrinya, Meilin dan Ming Wei, serta kedua buah hatinya, Indra Kala dan Dewi Samudera. Dewi Samudera saat diambil dan digendong oleh ayahnya, langsung menangis dan minta kembali kepada ibunya. Tapi tatapannya tak beralih dari wajah sang ayah. Semua orang dibuat tertawa. Hampir setengah hari La Mudu menggunakan waktunya untuk bercengkerama den