Share

Bab 2 - Sakit.

Dila juga pernah lihat, Ayah mimik s*su sama Tante. Kata Ayah, dikulkas stok susu habis. Padahal mimik itu kan buat Dedek Hamdan. Iya kan Mah?"

Tubuh ini meremang, nafas tersenggal dengan kepala yang terasa berdenyut-denyut. Kusandarkan tubuh yang begitu lemas, menyentak kepala secara kasar dengan tembok.

Tidak!

Tidak mungkin mereka mengkhianatiku. Tidak mungkin!

Aku berusaha menghalau fikiran buruk, yang membuat kepala semakin berdenyut-denyut. Kepala terasa mau pecah memikirkan kegilaan ini.

Tapi Dila ... anak sekecil itu tidak mungkin berbohong. Dila bicara begitu lugas, tak ada tekanan atau kebohongan sedikit pun. Lagi pula untuk apa Dila bicara bohong?

Astaga. Ada apa ini?

"Mah, kok melamun?" Dila menyentuh wajahku. Wajah ini terasa begitu panas, pun dengan mata dan tubuhku.

"Mamah sakit, kok pucat?" Dila menempelkan telapak tangannya diwajahku.

"Eh--itu, anu. I-ya Mamah tidak enak badan." ucapku dengan tubuh menggigil, tangan memijit pelipis dengan pelan.

Ingin kembali melontar kata dan memastikan, namun, hati seakan tidak sanggup. Aku begitu shock dengan apa yang diucapkan oleh Dila.

Aku atur nafas yang terasa sesak, memukul dada sambil membuang nafas panjang. Aku harus berfikir dengan jernih. Ucapan Dila tidak bisa aku telan dengan mentah, jika memang kedua manusia itu bermain curang dibelakangku. Aku sendiri yang akan mencari buktinya.

Menelan saliva dengan susah payah, kedua tanganku terangkat menyentuh pundak Dila.

"Sayang ..." aku menatapnya lurus-lurus, agar Dila berfokus melihat dan mendengar ucapanku dengan jelas.

"Iya, Mah?" sahut anak perempuan pemilik mata sipit itu.

"Dila kalau Ayah dan Tante sedang pijit-pijit, telepon Mamah ya."

Dila terlihat bingung, wajah polosnya tak bereaksi apa-apa.

Aisshhh ... aku bicara apa sih!

Huhhh

Aku kembali membuang nafas panjang. Bagaimana mungkin Dila aku suruh yang tidak-tidak.

Berfikirlah, Larissa.

"Mm ... biasanya Ayah pijit Tante jam berapa, sayang?" tanyaku sambil memasang senyum. Sekedar membuat Dila merasa nyaman.

Gadis cantik itu menempelkan telunjuknya dibibir, matanya melihat keatas seakan berfikir.

"Jam berapa ya ..."

"Tidak tahu, Mah." ucapnya.

Aku menghela nafas gusar, menggigit bibir mencoba berfikir kembali.

Bik Narti ... oh iya. Bik Narti, kenapa aku tidak kefikiran.

"Bik Narti ada tidak, kalau Tante minta pijit sama Ayah," ucapku dengan suara berbisik.

"Bik Narti naik keatas, Mah. Sholat. Terus nyiram tamanan," ucap Dila.

"Siang atau sore?" tanyaku. Dila menggelengkan kepala.

Aku mendesah frustasi, Dila masih terlalu kecil. Sulit untuk bertanya lebih banyak.

"Kakak Dilaa ..." suara Hella terdengar dari luar, tak lama pintu kamar terbuka pelan. Hella masuk kedalam kamar dengan senyum sumringah sambil menuntun Hamdan ditangan kirinya.

Senyum itu ... entah mengapa aku muak melihatnya.

Debaran dada bertalu-talu, jika ingin mengikut hawa nafsu. Ingin sekali aku memb3nturkan kepalanya pada sudut meja.

"Eh ada Mamah Rissa." ucapnya saat melihat kearahku. Wajahku menegang, aku ingin memaksakan senyum tapi entah kenapa terasa sulit untuk digerakan.

Hamdan ... bocah mungil itu berjalan dengan langkah berat, lalu terjatuh diatas lantai.

"Ayok, bangun lagi, Dek." seru Hella menyemangati anaknya. Hamdan memegangi tangan Hella, perlahan bangun dan kembali berdiri satu dua langkah berhasil dia lakukan.

Hella bersorak riang, mencium dengan gemas anak laki-lakinya.

"Pintar, anak Bunda." ucapnya senang.

Entah mengapa aku hanya diam, tak bereaksi apapun melihat kebahagiaan mereka. Wajahku datar, kepalaku bahkan semakin terasa panas.

"Ayok, Kak Dila main keluar. Sudah mandi, sudah cantik. Ayok kita jalan-jalan," tangan Hella terulur, ingin meraih tubuh anakku.

Dikompleks perumahan ini, sore hari sangat ramai. Banyak anak kecil bermain diluar rumah, kebetulan ditengah-tengah gang ada lapangan besar. Ibu-Ibu penghuni kompleks rata-rata keluar menemani atau mengawasi Putra dan Putri nya bermain.

"Jangan!" ujarku. Kening Hella mengkerut, menatap heran kearahku.

"Kenapa?" tanyanya. Aku menatap lurus tampangnya, pengakuan Dila tentu saja membuat aku merasa marah dan jij*k padanya.

"Aku mau ajak Dila keluar, ada yang mau dibeli." ucapku. Hella menyunggingkan senyum lalu menganggukkan kepalanya.

"Dedek Hamdan main dulu ya, Kakak.Dila." Hella tersenyum kearah anakku. Aku hanya mematung, memandanginya yang keluar dari pintu.

Jika benar apa yang dikatakan Dila, berarti Hella benar-benar ular berkepala dua. Awas saja jika aku menemukan bukti, aku tidak akan mengampuni mereka berdua.

Dasar Ibl**s!

Tanganku mengepal kuat, gigiku bergelutukan menahan amarah.

"Kita mau kemana, Mah?" Dila menelisik wajahku.

"Kita ke supermarket, beli ice cream." ucapku sambil memasang senyum.

***Ofd.

Jika diperhatikan wajah Hella lebih cerah, dia pun terlihat memakai lipstik walau hanya didalam rumah. Berbeda dari yang aku kenal sebelumnya, Hella bahkan sangat cuek dengan penampilannya.

"Makan disini aja, Bik. Mau kemana sih?" ucapku saat melihat Bik Narti ingin beranjak dari kursi.

Bik Narti tersenyum lalu kembali duduk ditempat semula.

Aku berjalan melewatinya, membuka lemari pendingin dan mengambil air mineral dari dalam. Aku duduk tepat didepan Bik Narti, Bik Narti terlihat salah tingkah sesekali mencuri pandang kearahku.

"Kenapa, Bik?" tanyaku setelah meneguk air dingin itu, lalu menaruhnya didepanku.

"Eh, tidak apa, Neng." jawab Bik Narti, lalu mempercepat santapannya.

Bik Narti bergegas bangkit, menaruh piring bekas makan dan mencucinya.

"Duduk, Bik. Ada yang mau saya tanyakan." ucapku begitu melihatnya mengelap tangan pada celemek.

Wajah Bik Narti terlihat tegang, cenderung takut saat berhadapan denganku.

Sepertinya ada yang aneh.

Bik Narti sudah bekerja padaku saat Dila berusia tiga bulan. Tentu saja aku sudah menganggapnya keluarga sendiri, pun dengan Bik Narti selama ini dia terlihat santai dan menikmati pekerjaannya. Tidak ada kecanggungan atau takut yang terlihat sejauh ini.

"Ada yang ingin Bibik sampaikan?" tanyaku dengan suara tenang. Bik Narti yang semula menunduk, kini mendongkakkan wajah menatap ragu kearahku.

"Mereka bermain g*la dibelakangku, bukan?" tanyaku dengan wajah datar. Bik Narti nampak terkejut, pupil matanya melebar mendengar ucapanku.

"Si-siapa, Neng?" tanya Bik Narti sambil mengalihkan pandangan.

"Siapa lagi ..." aku bersedakap dada. Bik Narti semakin menundukan wajah.

"Kenapa Bibik tidak cerita, Bibik ada dipihak mereka?"

Bibik mendongkak kaget, menggeleng dengan cepat.

"Lalu?"

"Pak Rudi ... dia mengancam saya, Neng." ucapnya dengan suara pelan, wajahnya terlihat semakin menegang.

Aku menghela nafas panjang, menyenderkan tubuh dipunggung kursi.

"Mengancam gimana?" tanyaku datar. Sejujurnya aku kecewa pada Bik Narti.

"Pak Rudi, mengancam akan memecat jika mengadu. Bibik tidak ada pilihan, suami Bibik sedang sakit sudah dua bulan tidak bisa jalan, dia butuh obat dan berobat. Anak-anak pun masih kecil, jika Bibik tidak kerja mau makan apa anak-anak." ucapnya dengan mata berkaca-kaca, raut penyesalan tergambar jelas diwajahnya.

Aku bergeming, mengingat ucapan Mas Rudi yang menyarankan agar aku meliburkan Bik Narti.

Sepertinya dia takut, Bik Narti akan membongkar rahasianya. Tapi sekarang, dia tidak akan bisa mengelak.

"Saya kecewa sama, Bibik. Saya sudah menganggap Bibik bagian dari keluarga. Bibik tega menutupi semuanya dari saya." ucapku dengan suara pelan penuh kecewa.

Bik Narti menggelengkan kepala, air mata mengalir deras dari matanya.

Ahh ... aku tahu ini semua bukan sepenuhnya salah Bik Narti.

"Maafkan Bibik, Neng. Sungguh ... tidak ada maksud Bibik menyembunyikan ini semua." ucapnya sambil sesegukan. Tak ada sedikit pun rasa iba dihati, yang ada hanya rasa marah dan kesal pada diri sendiri.

"Maaf, Neng. Maafin Bibik ..." Bik Narti semakin menangis tersedu-sedu. Aku tahu dia sangat menyesal dengan perbuatannya.

"Baiklah, saya akan memaafkan Bibik." ucapku setelah beberapa saat terdiam.

"Tapi ... bisakah Bibik melakukan sesuatu untuk menebus kesalahan Bibik?" tanyaku intens.

"Bisa, Bibik akan melakukan apapun, agar Neng Rissa kembali percaya sama Bibik." jawabnya cepat, penuh keyakinan.

"Baiklah. Hal pertama yang harus Bibik lakukan adalah ..."

Bik Narti menarik nafas, mengangguk tegas saat aku menyelesaikan kalimat.

***Ofd.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status