Share

Bab 3 - Tak Tahan.

"Baiklah. Hal pertama yang harus Bibik lakukan adalah ..."

Bik Narti menarik nafas, mengangguk tegas saat aku menyelesaikan kalimat.

Suara salam terdengar dari ruang tamu, Bik Narti sedikit menjauh lalu berjalan keluar lewat pintu belakang.

"Huh ... panas." suara Hella terdengar derap langkah semakin jelas mendekat.

"Mbak," Hella menyapa saat melihat kearahku, lalu berlalu menuju lemari pendingin.

"Mamah ..." anak cantikku berlari, lalu menyodorkan tangan didepanku.

"Gimana pestanya, ramai yang datang?" tanyaku sambil menyambut uluran tangannya. Dila begitu anggun, dengan rambut panjang berponi dan balutan dress selutut berwarna pink.

"Ramai, Mah. Nanti kalau Dila ulang tahun undang semua teman sekolah sama teman ngaji ya, Mah." jawabnya riang.

Aku mengangguk, melebarkan senyum. Menyetujui ucapannya. Dila memang belum pernah merayakan ulang tahun mengundang teman, setiap tahun aku hanya membeli kue tart dan membawanya ketempat bermain atau sekedar mengajaknya berwisata.

Dila menaruh dua paper bag ulang tahun diatas meja, lalu mendekati Hella.

"Mau minum dingin, Tant." ucapnya.

"Dila boleh minum dingin, Mbak?" tanya Hella sambil menoleh.

Aku bergeming sesaat, menatap wajah culasnya lalu mengangguk singkat.

Aish ... susah sekali berpura-pura tidak mengetahui kebejatan mereka. Pintar sekali dia, bisa bersikap normal padaku tanpa rasa bersalah sedikit pun.

"Acaranya meriah sekali, Mbak. Ada badut dan atraksinya juga." Hella bercerita begitu antusias matanya berbinar sambil menoleh kearah Hamdan.

"Bentar lagi Hamdan, pas dua tahun ..." kalimatnya tergantung, dia menoleh kearahku dengan senyum simpul yang tersemat dibibirnya. Aku berpura tak mendengar mengangkat minuman lalu meneguknya.

Hella menautkan alis, heran melihat sikapku yang tak acuh padanya. Ya ... biasanya aku adalah orang yang paling peka terhadapnya, apa lagi jika menyangkut tentang Hamdan.

"Wah banyak ya makanannya," aku mengalihkan perhatian, tersenyum manis saat Dila membongkar paperbag oleh-oleh dari pesta temannya.

"Iya, Mah." sahut Dila penuh semangat. "Aku boleh makan semuanya kan, Mah?" tanyanya penuh harap.

"Boleh sayang, tapi jangan banyak-banyak ya. Buat besok-besok lagi, nanti giginya sakit kebanyakan makan yang manis-manis." sahutku sambil membelai pucuk kepalanya. Dila mengangguk senang, tangan mungilnya menyerahkan satu paperbag pada Hamdan.

Hmm ... andai kamu tahu, Nak. Anak manis yang ada disampingmu akan merebut Ayahmu, cepat atau lambat.

Miris sekali.

Repleks aku mendecis, Hella menoleh dengan tatapan aneh.

"Bawa masuk kamar makanannya sayang, kalau sudah dibuka segera habiskan ya." ucapku sambil memasukan bungkusan makanan ringan itu kedalam paperbag, lalu menuntun Dila masuk kedalam kamar.

"Sudah siang, bobo dulu ya ... Hamdan," ucapku dengan senyum ramah. Senyum palsu lebih tepatnya.

"Cuci kaki, sama cuci tangan. Tuh sudah mau jam setengah tiga. Dila belum bobo, nanti pusing kepalanya," ucapku sambil menunjuk jam dinding yang ada diruang tamu. Dila berlari kecil menuju toilet, tak lama terdengar aktifitasnya.

Pukul lima sore, motor besar Mas Rudi memasuki rumah. Aku sengaja menunggunya diteras, sambil sesekali mengamati bunga yang bermekaran ditaman kecilku.

Mas Rudi melepas helm, berjalan kearahku dengan tentengan plastik putih ditangannya.

"Nih, Mas bawain martabak." dia menaruh plastik itu diatas meja. Aku hanya menoleh, menganggukkan kepala.

"Aku perhatikan setiap hari sabtu lembur terus ya, Mas." ucapku.

"Iya. Alhamdulillah, Mah." ucapnya sambil menghempaskan bokong dikursi sebelahku. Mas Rudi menyodorkan tangan, aku bergeming sesaat lalu menyambut uluran dan menciumnya.

"Lumayanlah ya. Buat bayar cicilan rumah sama motor," ucapku dengan senyum lepas.

"Iya. Lumayan," sahutnya. Senyumku menghilang, aku menarik nafas dalam-dalam.

Gaji Mas Rudi sebagai operator disebuah pabrik tidak sampai menyentuh dua digit. Jika dihitung-hitung, gajinya hanya cukup untuk bayar cicilan rumah dan motor besarnya saja.

Cicilan rumah cluster dua lantai kami, 3.525.000 selama lima belas tahun. Sekarang sudah masuk tahun keempat. Cicilan motor besarnya selama 36 bulan 2.300.000. Saat ini cicilan belum ada satu tahun. Belum lagi uang bensin, uang dansos, uang pegangannya dan cicilan kecil lainnya.

Aishh ... pusing menghitungnya.

Selebihnya urusan dapur dan segala tetek bengeknya menggunakan uang gajiku. Gajinya mana bisa menutupi semuanya. Sungguh aku ikhlas dan Ridho membantu meringankan segala bebannya.

Untung saja, aku sudah mempunyai mobil sebelum menikah. Jadi aku tidak perlu memikirkan tagihannya.

"Kenapa, Mah? Kok melamun?" Mas Rudi memperhatikan wajahku.

"Tidak apa. Hanya sedikit lelah," ucapku.

"Istirahat yuk," ajaknya lalu bangkit dari kursi. Aku mengangguk, berjalan mendahuluinya.

"Yah yah, yah yah ..." Hamdan berjalan tertatih, melangkah berat menghampiri Mas Rudi. Aku hanya mengamati, tak berniat menyentuh bocah mungil itu. Entahlah, sejak aku tahu Bunda anak itu bermain gila. Anak yang tak bersalah pun, kini aku enggan melihatnya.

Celoteh Hamdan semakin riang saat Mas Rudi membawanya kedalam gendongan. Membuat hati berdenyut ngilu melihatnya.

"Eh, jangan. Pakde habis pulang kerja, capek." Hella jalan tergesah menuju suamiku.

"Tidak apa, La." jawab Mas Rudi. Bibirku melengkung miring, malas melihat keduanya. Aku memilih untuk pergi, jalan menuju kamarku. Terserah mereka mau apa, aku tidak peduli.

Aku jatuhkan bobot ini ditepi ranjang, menghembuskan nafas sekuat-kuatnya. Ada yang bergemuruh didalam dada, membuat nafas sesak dan sakit kepala. Aku pijit kening ini dengan pelan, perbuatan mereka tentu saja sangat merusak fikiranku.

Aku masih tidak menyangka, orang yang aku sayangi dengan setulus hati bisa mencabik-cabik relung jiwaku.

Ahh ... kalian sungguh tega.

"Kamu kenapa, Mah?" aku sedikit terlonjak saat kedua tangan menyentuh pundakku. Aku menghela nafas, tersenyum tipis sambil menggeliatkan badan mencoba melepas pegangan Mas Rudi dengan halus.

Aku sampai tidak mengetahui kapan dia masuk, aku fikir dia akan mampir kekamar Hella.

"Wajahmu pucat, Mah. Kamu sakit?" aku menepis tangannya yang hendak mendarat dikeningku.

"Sedikit lelah, tadi aku sudah bilang, kan?" ucapku.

"Ke Dokter ya, minta vitamin." tatapannya begitu lembut, biasanya aku akan luluh dan patuh. Tapi saat ini aku malah muak melihatnya.

"Tidak perlu, aku mau berbaring saja." sahutku. Mas Rudi menghela nafas, menatap sedih kearahku.

Cih! Apa maksudnya tatapan itu.

Terdengar lagi hela nafasnya lalu dia beranjak dari sisiku dan berjalan menuju toilet.

Selesai menunaikan sholat tiga rakaat, aku kembali bersandar dipunggung ranjang. Ucapan Dila kembali terngiang dikepala.

Tubuh bergetar hebat, nafasku tersendat dengan air mata yang menggalir deras. Hati ini pilu, aku merasa manusia paling bodoh yang ada dimuka bumi ini.

Entah kemana perginya Mas Rudi, sehabis mandi tadi dia pamit keluar ingin kerumah teman untuk membicarakan sesuatu.

"Neng ..." suara Bik Narti terdengar dari luar pintu.

Aku beringsut dengan malas, menghapus jejak air mata berjalan menuju pintu. Sengaja aku mengunci pintu, takut Mas Rudi memergoki aku sedang menangis.

"Apa, Bik?"

"Boleh Bibik masuk?" ucapnya sambil celingukan.

 Aku membuka pintu lebih lebar, setelah Bik Narti masuk aku segera menutupnya.

"Kenapa?" tanyaku.

"Itu ... maaf sebelumnya." Bik Nar terlihat ragu.

"Bicara aja, Bik." ucapku. Bik Nar terlihat menarik nafas panjang.

"Biasanya Pak Rudi dan Hella pergi keteras belakang jam sebelas malam," ucap Bik Narti dengan suara pelan.

Hatiku berdenyut, kepala langsung panas mendengar ucapannya.

"Sejak kepan mereka ..." 

Hhaaahh ... nafasku tercekat. Tak bisa melanjutkan pertanyaan.

Bik Narti menatap iba, aku memejamkan mata dengan hati yang berkecamuk.

Pedih. Sakit kecewa dan marah bercampur menjadi satu.

Apa aku harus membunuh keduanya?

Perbuatan mereka sungguh melukai hati dan harga diriku.

"Bibik memergoki mereka sekitar tiga minggu yang lalu, saat itu Bibik ingin buang air dan melihat pintu belakang masih terbuka setengah ..." Bik Nar menghentikan kalimat, dia menggenggam tanganku dengan erat.

"Lanjutkan saja, Bik. Aku mau mendengarkan," lirihku dengan suara bergetar. Bik Narti menarik nafas, menatapku lurus-lurus.

"Saat saya mau menutup pintu, saya melihat Bapak dan Hella sedang berci*man ..."

Aisshh ...

Runtuh sudah pertahanan ini, aku tersungkur terjatuh diatas lantai dengan isakan tertahan didalam tenggorokan.

Perselingkuhan mereka memang benar adanya, celoteh Dila bukan isapan jempol belaka.

Aku mulai menangis sesegukan, sekuat apapun hati seorang wanita aku yakin jika mereka ada diposisiku saat ini mereka pasti menjerit juga. Tubuhku menggigil tak sanggup membayangkan perbuatan bejat mereka.

"Siaalan kamu, Mas. Huhu ..."

"Sudah, Neng. Sudah ... jangan ditangisi manusia tak punya hati seperti mereka." Bik Narti memeluk mengusap-usap punggung belakangku.

Cukup! Cukup sudah kalian memb*d*hiku selama ini.

Aku tidak akan tinggal diam, akan aku buat mereka menyesal sudah membuatku menangis saat ini.

Aku seka secara kasar wajah dan pipi ini, aku bangkit dan membuka pintu dengan kasar.

Awas kau perempuan binaal. Akan aku buat kau menjadi gelandangan malam ini juga!!

Aku turuni anak tangga dengan langkah lebar, Bik Narti mengikuti dari belakang dengan suara cemas.

"Sabar, Neng. Sabar ..."

Brak!!

Aku tendang dengan kuat pintu kamar Hella, mataku terbelalak saat melihat isi didalam kamar.

***Ofd.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status