Share

Bab 4 - Tak sabar.

"Sabar, Neng. Sabar ..."

Brak!!

Aku tendang dengan kuat pintu kamar Hella, mataku terbelalak saat melihat isi didalam kamar.

Suara nafasku terdengar begitu jelas, aku keblingsatan mencari keberadaan Hella.

"Dimana perempuan sialan itu!" pekikku keras. Nafas memburu, kemarahan ini benar-benar ada dipuncaknya.

"Kemana dia!!"

Aku mengedarkan pandangan, berjalan cepat menuju lemari dan membuka pintunya dengan kasar.

"Neng ..." Bik Narti menyentuh pundak belakangku. "Tenang, sabar." ucapnya.

"Tenang? Sabar? Bibik tidak tahu hancurnya hati ini. Apa aku harus sabar juga!" teriakku dengan air mata bercucuran.

Bik Narti terdiam, helaan nafas panjang terdengar dari mulutnya.

"Bibik ngerti, Bibik paham. Bibik tau betul perasaan Neng Rissa." ucapnya lembut. Aku mendecis, kepala terasa bagai terbakar.

"Bibik pernah mengalami apa yang Neng rasakan." ucapnya dengan suara bergetar.

Aku menatap nyalang, Bik Narti mengangguk dengan senyum getir yang tersemat dibibirnya.

"Sekarang, Bibik mau tanya. Neng masih sayang sama Pak Rudi?" tanyanya. Aku terdiam, lalu menggeleng samar.

Sayang ... untuk apa Bik Narti bicara omong kosong seperti itu.

"Biasanya orang yang selingkuh dia tidak akan menduga aksinya diketahui sama pasangan." Bik Narti menarik nafas. "Kalau pun sekarang Neng menyerang Hella, tanpa bukti mereka bisa mengelak. Dan yang lebih menjengkelkan mereka akan lebih hati-hati." ucap Bik Narti.

"Biasa mereka bisa melakukan aksi gila itu dirumah, tapi kalau Neng sudah curiga. Bisa saja mereka akan melakukannya diluar."

Aku menarik nafas, mencerna kalimat Bik Narti.

"Orang yang sudah kerasukan Iblis seperti mereka, tidak akan mau dihalangi. Mereka akan melakukan berbagai cara agar bisa bertemu berduaan." ucapnya lagi meyakinkan.

"Lalu a--ku harus bagaimana, Bik?" suaraku mulai lemah. Ucapan Bik Narti benar apanya. Aku tidak ada bukti, Mas Rudi akan mengelak dan menganggapku hanya cemburu. Kecuali aku memergoki adegan mesum mereka dengan mata kepalaku sendiri.

"Sesuai yang Neng katakan saja. Bibik akan mencari bukti, membawa bukti nyata dan membuat Dunia mereka berakhir." sahutnya tegas. Aku masih menatap Bik Narti, dia mengangguk pelan mencoba meyakinkan aku.

Deru suara motor besar Mas Rudi terdengar memasuki rumah, aku dan Bik Narti saling berpandangan lalu gegas keluar dari kamar Hella.

Melangkah menuju ruang keluarga, meraih remot menekan tombol merah menghadap televisi.

Suara Hella dan Mas Rudi terdengar, pintu terbuka lebar mereka masuk kedalam rumah beriringan. Sekilas mereka terlihat pasangan suami istri yang sangat serasi.

Dada kembali bergemuruh, mata memanas namun sekuat tenaga aku mencoba tegar dihadapan mereka. Seolah tak mengetahui apa-apa.

Mas Rudi tersenyum saat melihat kearahku, aku tersenyum tipis sambil menatapnya lekat.

"Tadi pas aku keluar Hamdan nangis mau ikut, jadi aku ajak mereka jalan-jalan." ucapnya tanpa aku minta. Hella tersenyum manis seperti biasa, benar-benar muak sekali aku melihatnya.

Sekarang sudah berani jalan berduaan, hebat sekali kedua musang ini.

"Oh ya?" aku tersenyum miring. Mataku menyorot pada jam dinding yang menunjukan pukul delapan malam. "Ini sudah malam loh, La. Tidak baik Hamdan keluar malam pakai motor, dia tidak terbiasa. Nanti kalau sakit gimana?" aku mencoba ramah.

"Iya, Mbak. Sesekali saja. Sepertinya Hamdan bosan dirumah terus," jawabnya.

"Loh tadi sore kan keluar, main. Iya kan?" tanyaku.

"Iya sih. Cuma kan disini-sini saja, jalan kaki." balasnya. Aku tersenyum miring, jengah mendengar suaranya.

"Urusan bisnisnya sudah selesai, Mas?" tanyaku.

"Belum ... Mas ga jadi kerumah Toni. Tadi muter-muter aja bawa Hamdan jalan-jalan." jawabnya semakin membuat kemarahanku meletup-letup.

Aku mendecis sinis, mengarahkan remot televisi didepan layar lalu mengganti canel. Tangaku sampai bergetar, menahan degup jantung yang semakin bertalu-talu.

***Ofd.

"Tadi kata Hella, ulang tahun Hamdan sebentar lagi ya?" aku yang sedang mengoles cream wajah langsung menoleh, gerakan tangan melambat menatapnya penuh tanda tanya.

"Kita rayakan ulang tahunnya ya. Hamdan pasti senang." ucapnya dengan senyum lebar. Menjijikan!

Rupanya Hella mau membuat pesta, dan dia tidak bicara padaku. Benar-benar sampah! 

Tanganku mengepal, kemarahan ini kembali tersulut.

"Emang kamu ada uang?" tanyaku. Mas Rudi malah terkekeh lalu jalan mendekat.

"Semua uang ku, kan kamu yang pegang." ucapnya. Aku memutar bola mata dengan malas, mengerti maksud dan tujuannya yang ujung-ujung nya harus memakai uang ku.

"Ya. Gajimu memang aku yang pegang, tapi semua habis tak tersisa untuk membayar cicilan." sahutku. Mas Rudi mengkerutkan alis, mungkin tak menyangka dengan ucapanku.

"Gajimu akhir bulan cair, tiga hari kemudian juga langsung ludes. Kamu tidak memberi semua gajimu padaku, tapi hanya MENITIPKAN!" ucapku tegas menekan kalimat terakhir.

Mas Rudi terlonjak kaget, mungkin tak menyangka dengan ucapanku yang pedas ini. Tidak masalah kalau dia mau tersinggung, toh itu semua memang benar adanya. Harusnya dia berkaca, gaji kecil berani-beraninya bermain api dibelakangku.

"Kok jadi merembet kemana-mana." ucapnya tak terima. "Aku cuma berniat mau selamatan kecil-kecilan untuk keponakanmu, kalau tidak setuju ya sudah, jangan segala gajiku dibawa-bawa." suara Mas Rudi naik satu oktaf.

"Keuangan kita sedang pas-pasan. Harusnya kamu mikir dulu sebelum bicara. Dikira bikin selamatan tidak pakai uang!" aku ikut melotot.

"Kamu kenapa sih. Aneh banget!" Mas Rudi beranjak lalu keluar dari kamar.

Cih! Pergi sanah. Bilang sama selingkuhanmu, aku tidak setuju dengan rencananya.

Aku segera menyelesaikan aktifitas, lalu menaiki ranjang dan menarik selimut. Terserah kalau dia mau macam-macam sama Hella, aku yakin Bik Narti tidak akan tinggal diam. Aku malah berharap, dia akan macam-macam saat ini. Biar aku bisa secepatnya mendepak mereka.

***Ofd

"Gimana, Bik? Ada lihat sesuatu semalam?" tanyaku sambil berbisik, takut ada telinga lain yang mendengar.

"Mereka hanya ngobrol biasa diruang tamu, Neng. Saya tunggu-tunggu sampai jam sebelas malam, tapi Hella masuk kamar sendirian. Terus tidak keluar lagi," terang Bik Narti.

"Oh ..."

Bik Narti sedikit menghindar saat mendengar suara celoteh Hamdan, tak lama Hella terlihat berjalan mendekati kami sambil menuntun Hamdan ditagannya.

Wajahnya sedikit muram, dia bahkan tidak menoleh kearahku. Dasar tak tahu diri!

"Oh iya, Bik. Nanti belanja bulanan nunggu gaji Mas Rudi ya, makan seadanya saja saat ini. Pakai garam juga tidak masalah yang penting masih bisa makan." ucapku. Hella terlihat bergiming, gerakan tangannya pelan membuka lemari pendingin.

"Baik, Neng." sahut Bik Narti yang sedang sibuk memotong wortel.

"Untuk lauk, mulai hari ini masaknya satu menu saja ya. Kalau ada tempe, tempe saja. Sayur-sayur saja, jangan boros. Saya pusing mikirin cicilan belum lagi banyak mulut yang harus diberi makan." ucapku pelan. Namun tentu saja Hella bisa mendengar.

"Yang lain kan tidak mau tahu, tahu nya makan saja. Tidak peduli dengan kepeningan saya mengatur keuangan. Dia fikir uang saya banyak kali yah." ucapku tak acuh sambil memasukan roti tawar kedalam mulut.

"Kamu bicara apa sih pagi-pagi. Masa iya makan cuma lauk tempe. Kamu mau kurang gizi." tiba-tiba Mas Rudi masuk keruangan dapur.

"Loh apa salahnya. Tempe itu bergizi, banyak proteinnya." sahutku tak mau kalah.

"Masa iya tiap hari makan satu menu, bisa hilang selera makanku." jawabnya.

"Ya terserah. Gajimu hanya mampu membeli itu, masa iya dipaksakan." sahutku tak mau kalah.

Rasanya aku sudah tidak bisa mengontrol kesabaranku. Melihat dua manusia ini ada didepanku, membuat darah ini terasa bergolak-golak. Rasanya ingin sekali mengubur mereka hidup-hidup.

Mata Mas Rudi mendelik, sepertinya ucapanku berhasil menyulut emosinya. Terserah, aku tidak peduli!

"Ya kan ada uangmu. Buat apa kamu kerja kalau tidak mau bantu suami." ucapnya sambil berkacak pinggang. Matanya melotot seakan ingin menerkamku.

"Uang istri sepenuhnya hak istri, jika aku mau membantu suami itu termasuk bersedakah. Tapi sepertinya aku sudah capek, bersedekah untuk suami."

'Apalagi suaminya tukang selingkuh, tidak tahu diri' sambungku dalam hati.

"Rissa!!" bentak Mas Rudi begitu murka. Aku balas menatap tajam kearahnya, untuk sekian detik kami saling beradu pandang dengan kilatan tajam masing-masing.

Mas Rudi mengusap kasar wajah, menggeleng frustasi.

"Kamu kenapa sih. Aneh begini sikapnya dari semalam." desahnya dengan wajah muram lalu pergi dari hadapanku.

Aku tersenyum sinis, lalu menatap Hella yang terpaku ditempatnya.

Biar saja, Mas Rudi pasti akan menemui Hella dimalam hari melepaskan segala kekesalannya. Selepas itu aku tahu betul apa yang akan Mas Rudi lakukan pada Hella.

Aku akan pastikan, aku sendiri yang akan menangkap basah keduanya.

Aku ingin melihat wajah panik keduanya, dan tentu saja itu akan terasa menyenangkan.

***Ofd

Pagi Mak ... Kira-kira apa rencana Larissa, sepertinya Larissa tidak sanggup selalu berpura-pura.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status