Share

5 - Jijik.

"Gaji cuma habis buat bayar hutang, gaya-gayaan mau makan enak!" cebikku lalu meneguk sisa air minum didalam gelas.

"Punya suami tidak ada otak. Gengsi saja di besarkan. Motor lama dijual, malah kridit motor baru. Mana cicilannya bikin nyecik tenggorokan!" aku hempas gelas kaca dengan kasar, meraih tisu dengan kasar pula lalu menyeka sudut bibir.

"Hanya mengandalkan istri, gajinya habis untuk kebutuhannya sendiri. Tidak mikir untuk biaya hidup sehari-hari."

Sengaja aku bicara di depan Hella, biar dia tahu bahwa selingkuhannya itu cuma laki-laki KERE yang numpang makan sama istrinya. Benalu. Sama seperti dirinya.

"Bibik mau masak apa itu?" tanyaku.

"Masak sup bakso sama tetelan, Neng." jawabnya.

"Tidak perlu pakai tetelan, sup bakso saja. Hemat, Bik. Ingat!" tegasku.

"Tempe buat besok saja, Bik. Tidak perlu ikut digoreng. Boros!"

"Siap, Neng." jawab Bik Narti. Aku langsung berjalan menuju lemari pendingin, membawa buah pir dan apel yang aku beli sekitar tiga hari lalu. Lebih baik aku bawa ke kantor dari pada habis di makan para lelembu itu, aku lebih ikhlas makananku habis dimakan teman-teman.

"Mau dibawa kemana, Mbak. Buahnya?" tanya Hella pelan. Dia paling suka buah pir, sebenarnya aku beli buah ini untuk dia. Tapi untuk sekarang jangan harap. Di kasih buah biar sehat, setelah sehat jiwa dan otaknya dia malah menyuguhkan bangkai di wajahku.

Jijik! sikapnya bahkan lebih kejam dari binatang.

"Mau aku jual, buat beli beras!" jawabku ketus. Entah kemana sikap lemah lembutku, hilang tak berbekas begitu saja. Pengkhianatan memang bisa merubah segalanya, termasuk perasaanku.

Hella hanya bisa diam, terpaku ditempatnya.

Pasti mereka bingung dengan perubahan ini, aku yang biasa mereka kenal berhati baik dan penyayang kini berubah 180 derajat.

"Habis masak, jangan lupa antar Dila kesekolah ya, Bik. Uang jajan ada diatas meja." ucapku sebelum berlalu dari dapur.

Seperti biasa sebelum pergi kerja, aku menyempatkan diri untuk singgah kekamar Dila.

Hmm ... menghela nafas panjang, lagi-lagi hati ini berdenyut ngilu melihat wajah polos, Dila.

'Sabar sayang, kamu tidak perlu cemas. Kita tidak butuh laki-laki pendosa seperti dia.' jerit batinku.

Aku melirik sinis saat melihat, Mas Rudi berdiri di balik pintu kamar Dila.

"Bensin abis, ada uang tidak?" ucapnya tak acuh, wajahnya bahkan tidak menoleh kearahku.

Ck! Tidak tahu malu. Butuh uang, tapi sikapnya begitu.

"Tidak ada!" jawabku sambil melewatinya.

"Riss ...."

Aku menghentikan langkah, bergeming ditempat.

"Pleace ... kamu kenapa? Hanya karna aku ingin membuat syukuran untuk Hamdan, kamu jadi berubah ketus seperti ini?" pasrah nada suaranya.

"Rissa ..." panggilnya lagi, karna aku tetap bergeming membelakanginya.

"Sudahlah, tidak perlu dibahas. Aku sudah telat." ucapku sambil kembali melangkah.

"Lalu aku bagaimana? Aku tidak ada uang buat beli bensin?" tanyanya.

"Sudah tahu uang bensin tak punya, masih mau buang-buang uang buat syukuran yang tidak penting." desisku. Aku kembali berlalu, suara derap langkah terdengar cepat tak lama tubuhku berputar oleh dorongan, Mas Rudi.

"Risaa, sudahlah ... kamu ini kenapa? Apa aku melakukan kesalahan? Kenapa kamu jadi jutek begini." wajah itu terlihat bingung bercampur cemas.

Dia bahkan masih berani bertanya apa kesalahannya. Benar-benar otak udang! Kesalahan sebesar gunung masih tidak sadar juga.

Aku hanya diam, menepis tangannya dengan kasar.

"Awas! Aku mau kerja. Nyari duit, buat kasih makan orang-orang." ucapku dingin. Mas Rudi menghela nafas kasar, wajahnya masih menampakkan kebingungan.

"Terus aku gimana? Motor tidak bisa jalan!" Aku melibaskan tangan diudara, lalu berjalan cepat keluar rumah.

Terserah mau kerja atau tidak, toh jika dia dipecat aku tidak masalah.

Ekor mataku menangkap kesudut ruangan, terlihat Hella yang berdiri mematung memperhatikan perdebatan kami.

***Ofd

"Kenapa lo, kusut bingit muka." Tania teman satu ruangan kerja terkekeh geli sambil mengamati wajahku.

Aku tersenyum kecut, menghempaskan tas kesayanganku diatas meja kerja lalu menduduki kursi kebesaranku.

"Biasa tanggal tua. Mumet dia," timpal Yuli ikut terkekeh.

"Gajian masih dua hari lagi, duit sudah ludes." jawab Nilu tak kalah rempong.

"Jangan kebanyakan cicilan. Pusingkan kaya gue!" jawab Yuli sambil menepuk jidat.

"Sudah siang ... sana kemeja masing-masing. Bentar lagi Pak Bowo datang, kena SP luh kalau ketahuan ngobrol." ucapku ketus sambil menyalakan laptop.

"Lu sih datangnya kesiangan. Jadi tidak bisa rumpa-rumpi dulu, ye kan." cebik Tania.

"Maklum, istri sholekha. Pasti melayani suami dulu sebelum jalan kerja." jawab Yuli sambil cengingisan.

Aku hanya menggelengkan kepala, kalau sudah bertemu mereka pasti suasana jadi ramai. Kami kerja sudah lama, membuat candaan kami sudah tak canggung dan merepet kemana-mana.

Suasana hati mempengaruhi pekerjaan, aku jadi tidak fokus dengan laporan yang menunpuk diatas meja. Fikiranku terbagi, bercabang-cabang membuat otak terasa sakit berdenyut-denyut.

"Lin ... tolong belikan obat sakit kepala ya," aku menyodorkan selembar uang berwarna hijau pada Lina, office girl kantor ini.

"Baik, Mbak." jawabnya sambil meraih uang dari tanganku.

Kuhembuskan nafas panjang dengan mata terpejam, tanganku terangkat memijit pelipis yang uratnya terasa menegang. Sulit sekali menghilangkan kemelut ini, ditambah aku hanya menyimpan masalah sendiri. Membuat hati merasa sesak tiba-tiba.

"Astagfirulloh ...."

Aish, kenapa pedih sekali rasanya. Tempat ternyamanku kini tidak lagi sama, aku kah yang bersalah karna sudah membawa masuk biang masalah kedalam rumah. Andai Hella tak datang, mungkin rumah tangga ini baik-baik saja.

"Kenapa sih? Gue perhatiin kok kaya pusing banget?" Tania menggeser kursi kerjanya disampingku.

"Tidak apa kok, Tan. Gue cuma kurang istirahat." jawabku.

"Beneran?" Tania memperhatikan wajahku dengan serius.

"Bener, minum obat istirahat sebentar. Nanti juga sembuh," sahutku sambil menyungging senyum.

"Ya udah." balas Tania, lalu menggeser kursinya menuju meja kerjanya.

Jam istirahat, aku tak keluar kantor. Selesai mengerjakan sholat zuhur aku kembali menduduki kursi kerjaku. Menyandarkan tubuh pada punggung kursi, pikiranku menerawang menatap lurus kearah laptop yang layarnya menghitam dan menampilan bayangan wajahku.

Diusia yang baru saja menginjak kepala tiga, orang bilang aku masih terlihat cantik bahkan lebih muda dari usiaku saat ini. Tubuh pun selalu aku jaga, apa lagi penampilan yang menurutku adalah nomer satu.

Apa kekuranganku, sampai bisa diselingkuhi. Aku wanita mandiri, bahkan bisa membantu suami secara finalsial.

Perih kembali menjalar, persendian terasa lemas untuk digerakan. Aku tidak bisa terus-terusan terpuruk sendiri seperti ini. Jiwaku tersiksa, hati merana sementara dua musang itu bahagia dan bercinta diatas penderitaanku.

Aku akan mengakhiri segalanya, sepertinya terlalu lama jika menunggu, Bik Narti mendapatkan bukti. Aku harus bergerak cepat, sebelum mereka tahu kalau aku sudah mengendus kebusukannya.

***Ofd

Hari sudah mulai gelap, saat mobil memasuki garasi. Langkahku berat untuk masuk kedalam rumah. Enam minggu sudah, Bik Narti mengintai pergerakan mereka. Namun kedua musang itu seolah tahu jika sedang dimata-matai, dan sangat apik menyembunyikan peran mereka.

Mas Rudi pun sudah tidak membasah apapun, dia bahkan tak mengeluh dengan sikap ketusku dan menu makanan sederhana sehari-hari. Bahkan dia lebih sabar dan perhatian lebih dari biasanya. Pun dengan Hella, dia masih bersikap biasa saja. Bahkan jika ada Mas Rudi dia tak banyak bicara, cenderung menghindar.

Ada apa? Apa mereka sudah memutuskan hubungan, atau ...

Aah. Sial! Tingkah mereka benar-benar membuatku gila.

Menurutku ini terlalu aneh, aku yakin mereka sedang merencanakan sesuatu.

Tapi apa?

"Tidur, Mah. Sudah malam," tegur Mas Rudi saat melihatku yang masih duduk terpaku diatas pembaringan. Matanya menatap lembut, senyum manis tercipta dibibirnya. Aku mengejrap, lalu menghela nafas berat.

"Mikirin apa sih. Akhir-akhir ini, Mas perhatikan kamu selalu melamun. Hmm?" Mas Rudi perlahan menjatuhkan bobot disisi ranjang tepat disampingku.

"Tidak apa, hanya sedikit pusing memikirkan pekerjaan." sahutku.

"Oh begitu," ucapnya pelan. Tangan kekarnya terangkat mendekati wajah ini. Aku sedikit menghindar, Mas Rudi sedikit heran lalu tersenyum dan melanjutkan gerakan tangannya membelai rambutku.

"Maaf ya, sudah membuatmu lelah. Aku akan bekerja semaksimal mungkin, agar keuangan kita kembali membaik dan keluarga kita tidak pernah kekurangan." ucapnya lembut.

Saat bibirnya ingin mendarat dibibirku, aku segera menghindar memalingkan wajah.

"Kenapa? Masih halangan?" tanyanya.

"Aku capek, pun masih belum bersih." jawabku memberi alasan. Entah kapan terakhir kami melakukannya. Seingatku sejak Dila mengungkap penglihatannya, aku sudah merasa jijik jika bersentuhan dengan Mas Rudi. Aku selalu menghindar dan memberi alasan.

"Kamu pasti terlalu capek, hingga hormonnya jadi tak jelas seperti ini." ucapnya sambil meraih daguku dan mendekati bibirnya kembali.

Tubuhku bergidik, jantung bertalu-talu saat melihat bibir Mas Rudi. Hati kembali terremas-remas saat mengingat ucapan Dila, tentang mimik s*su.

***Ofd.

siang Mak. Masih tegang dulu yak. Tidak mudah mengungkap basah perselingkuhan. Ditambah Larissa hanya seorang diri.

Next kilat, kuy. Jangan lupa tinggalkan jejak ya ❤️❤️

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Dede Apriyatno
bikin penasaran n geregetan
goodnovel comment avatar
Ima Bangun
bagus banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status