Share

Bab 005

last update Last Updated: 2024-10-15 09:26:32

"Sudah malam, Eyang. Kita akan istirahat di mana?"

"Kita makan jamur Suung dulu. Mari, cari tempat yang nyaman!"

Eyang Ismaya melangkah ke arah gubuk tempat tadi Bayu duduk. Walaupun gelap mereka berdua mampu melihat dalam kegelapan.

Kalau Eyang Ismaya menggunakan hawa sakti yang disalurkan ke mata, sedangkan Bayu sudah pembawaan dari lahir karena adanya tenaga petir dalam tubuhnya.

Sampai di gubuk, Bayu mengeluarkan jamur dari dalam buntalannya. Lalu tidak lama kemudian dia sudah mengumpulkan ranting-ranting kering untuk membuat pembakaran.

"Coba kau buatlah api dengan tenaga petirmu," suruh Eyang Ismaya.

Untuk hal-hal yang ringan seperti itu, Bayu memang sudah bisa melakukannya berkat bimbingan sang ayah. Anak ini hanya mengibas kecil ujung tangan sebatas pergelangan.

Praatt!

Keluar percikan petir kecil dari salah satu jari menimpa ranting-ranting yang telah ditumpuk di atas tanah, lalu timbul api yang langsung membakar ranting-ranting tersebut.

Seketika tempat itu jadi agak terang. Sementara Eyang Ismaya sudah membuat jamur-jamur tersusun dalam sebuah tusukan seperti sate.

Kemudian kakek ini memanggang jamur tersebut di atas api. Beberapa lama kemudian mereka sudah menyantap jamur panggang tersebut.

Namun, tiba-tiba saja Eyang Ismaya mengibaskan tangan ke bawah sehingga api yang membakar ranting padam seketika.

"Ada apa, Eyang?"

"Gunakan Rompi Halimunan dan pegang aku!"

Bayu langsung menuruti perintah eyangnya. Sekejap kemudian sosok mereka berdua tak terlihat oleh mata kasar. Setelah itu terdengar suara langkah kaki mendekat ke gubuk ini.

Ternyata mereka sekelompok pendekar yang sedang mencari Panji Saksana dan Paramita.

"Ada bekas pembakaran, masih panas pula. Sepertinya ada orang di gubuk ini sebelumnya," kata salah satu pendekar.

"Belum lama, seharusnya belum jauh, tapi tidak merasakan keberadaan orang itu," sahut yang lain.

"Mungkin bukan orang sakti, jadi tidak meninggalkan hawa sakti!"

"Kadang orang yang sudah kelewat sakti bisa menyembunyikan hawa saktinya."

"Sudahlah, kita tidak perlu mengurusi hal yang tidak penting. Kita terus cari dan tangkap Pendekar Angin Petir. Kita dari kalangan dunia persilatan hanya mencari dia saja."

"Benar, aku juga tidak setuju dengan pihak kerajaan yang menyeret anak dan istrinya juga!"

"Setuju, aku juga!"

"Tapi untuk menangkapnya, kita butuh bantuan tokoh yang lebih sakti dari dia. Sedangkan tokoh-tokoh Padepokan Cakrabuana sudah tiada."

"Hanya Gusti Prabu Jayadewata yang mampu menandingi Panji, tapi beliau malah mengutus beberapa senapati yang kepandaiannya setingkat dengan kita."

"Kita tunggu saja, beliau pasti turun tangan pada waktunya!"

"Ya, sudah kita lanjutkan saja!"

Rombongan yang terdiri dari tujuh orang pendekar ini kemudian meninggalkan tempat itu. Setelah benar-benar jauh dan tidak terasa lagi hawa saktinya, barulah Bayu mengusap bahu kiri.

"Kalau begitu, aku akan membawamu ke tempat paling aman yang tidak akan ditemukan siapa pun," kata Eyang Ismaya.

"Ke mana, Eyang?"

"Ke tempat leluhurku, sudah lama aku tidak pulang sejak memutuskan untuk berpetualang."

"Memang berapa lama, Eyang?"

"Ketika keluar dari perkampungan leluhur, aku berusia dua puluh tahun, sekarang aku sudah berumur seratus tahun lebih. Ya, selama itu aku tidak pulang lagi dan sekarang akhirnya aku harus kembali ke sana."

"Di mana tempatnya, Eyang. Apakah masih jauh?"

Eyang Ismaya berdiri, tangannya merogoh sesuatu dari balik bajunya. Sebuah batu bening berwarna biru sebesar ujung ibu jari.

"Tempat ini bisa dikunjungi dari mana saja karena aku membawa kuncinya." Kemudian Eyang Ismaya menekan batu tersebut dengan dua jari.

Tiba-tiba di hadapan kakek ini muncul sebuah cahaya biru berbentuk persegi memanjang ke atas. Seperti sebuah pintu.

"Ini pintu masuknya," kata Eyang Ismaya. "Mari kita masuk!"

Eyang Ismaya melangkah duluan, masuk menembus ke dalam cahaya biru itu. Bayu segera menyusul karena takut ketinggalan.

Setelah di dalam, cahaya biru persegi tadi lenyap. Bayu menemukan sebuah tempat berupa hutan belantara dengan cahaya terang di atasnya sehingga terasa seperti siang hari.

Tempat ini sangat asing. Berbeda dengan tempat tadi. Walaupun malam, tapi udaranya tidak begitu dingin apalagi sampai menusuk tulang.

Secara sekilas memang seperti hutan biasa saja. Namun, hawa yang dirasakan sungguh berbeda. Terasa nyaman dan bikin betah.

"Tempat apa ini? Bisakah Eyang ceritakan padaku?"

Akhirnya Eyang Ismaya menceritakan semuanya sambil berjalan menelusuri jalan setapak dalam hutan yang lebat itu.

"Diawali dari kakekku yang memiliki pusaka Pedang Pembelah Langit, Batu Permata Biru dan Kitab Gerbang Langit. Kakekku ingin mewariskan semuanya kepada ayahku, tapi waktu itu ayah tidak berminat menjadi pendekar."

Bayu mendengarkan di belakang sambil mengikuti langkah Eyang Ismaya.

"Namun, melalui perjalanan yang rumit akhirnya ayahku mewarisinya juga, tapi tidak terpaksa. Itu karena secara tidak sengaja ayah menemukan Kitab Aksara Sakti."

"Siapa nama kakek dan ayahnya Eyang?" tanya Bayu memotong.

"Nanti dulu," sanggah Eyang Ismaya.

"Baiklah, teruskan cerita Eyang."

"Singkat cerita setelah melewati banyak perjalanan dan pada waktu itu tidak ada lagi tokoh golongan hitam yang berbahaya. Akhirnya ayahku memutuskan untuk menyepikan diri menyusul kakek."

Kemudian Eyang Ismaya menjelaskan tentang Batu Permata Biru yang didapat kakeknya dari makhluk cantik berwujud duyung dari Karatuan Duyung Lor di pantai utara sebelah timur.

Batu permata itu selain bisa memanggil sang Ratu, juga bisa digunakan untuk membuat ruangan gaib. Alam yang sedang dimasuki Bayu inilah ruangan gaib itu yang diperluas oleh ayahnya Eyang Ismaya.

"Alam inilah yang digunakan ayah dan kakekku untuk menyepi agar tidak terganggu oleh orang-orang dari luar. Selain mereka ada juga orang-orang yang menjadi pengikut kakekku ikut menyepi, tapi hanya sedikit."

Di tempat inilah, kata Eyang Ismaya. Para penghuninya beranak pinak.

"Kakekku bernama Dharma Satya, nenekku namanya Purdita. Memiliki anak tunggal yaitu ayahku bernama Kameswara. Ayahku memiliki istri dua ..."

"Wah!" Bayu langsung menyela.

"Istri pertama yaitu ibuku dan yang kedua adalah janda dari temannya. Teman ayah terbunuh dan meninggalkan istri yang sedang mengandung. Jadi ayah menikahinya agar anak yang dikandungnya mempunyai ayah."

"Oh, begitu!" Prasangka Bayu ternyata salah. "Berarti Eyang punya kakak tiri?"

"Benar, tapi tidak tahu apakah dia masih hidup. Dia menyayangiku seperti adik sendiri. Dia seorang perempuan baik hati. Lalu menikah dengan salah satu anak pengikut kakek."

Langkah Eyang Ismaya berhenti di depan sebuah gerbang kecil yang terbuat dari tumbuhan bunga-bunga. Baru juga hendak melewati gerbang tersebut, satu suara sudah menyapa lebih dulu.

"Ismaya, tidak salah lagi. Itu pasti kau karena tidak ada yang lain lagi!"

Lalu muncullah seorang nenek yang rambutnya sudah memutih semua, tetapi badannya masih tegak dan hanya ada sedikit kerutan di wajahnya.

"Tidak salah, Euceu. Tidak kusangka Euceu masih hidup padahal lebih tua dariku," sahut Eyang Ismaya.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PENGENDALI ANGIN PETIR   Bab 191

    Bayu keluarkan semua ilmu yang dimiliki satu persatu dilepaskan menghajar Buta Koneng. Terutama dari kesaktian Dewa Petir dan Dewa Angin. Sett! Derr! Dimulai dari Ilmu Tinju Bayu. Pukulan yang terbentuk dari angin yang dipadatkan. Tinju ini bisa merobohkan bukit. Namun, sosok Buta Koneng tak sedikit pun goyah. Yang terjadi malah tercipta serangan balik serupa mengancam si pemiliknya. Bayu bukannya tidak tahu hal tersebut. Dia memang sengaja dan tentunya sudah punya antisipasi agar serangan balik itu tidak mengenai dirinya seperti yang dialami empat pemimpin kelompok. Di saat yang tepat, Rompi Halimunan langsung aktif. Sosok Bayu tiba-tiba lenyap sehingga serangan balik tersebut hanya menemui sasaran kosong. "Hah!" Buta Koneng terkejut bukan main. Padahal dia memperkirakan lawannya akan hancur oleh ilmunya sendiri, tapi mengapa bisa begitu? Bayu sudah muncul lagi. Dia melepasliark

  • PENGENDALI ANGIN PETIR   Bab 190

    Hawa sakti sangat kuat menebar di seantero tempat. Ki Sela Waru bersama pengikutnya beringsut mundur hingga cukup jauh.Begitu pula empat pemimpin kelompok walaupun dalam keadaan terluka berat, mereka berusaha menjauh dari arena pertarungan.Termasuk Panji Saksana, tapi tidak jauh seperti yang lainnya. Sedangkan di tempat lain, para pendekar golongan putih menantikan pertarungan yang pasti akan sengit.Hawa sakti tersebut berasal dari Bayu yang mengerahkan seluruh kesaktian yang dimiliki. Tenaga Angin, Petir, Bintang, kesaktian Kitab Aksara Sakti dan Kitab Buana Sampurna."Keluarkan semua kekuatan yang kau punya, Bocah!" teriak Buta Koneng masih percaya diri dengan Ilmu Raga Waja yang belum terkalahkan.Namun, setelah memamerkan kekuatannya, Bayu masih tampak berdiri tenang, sepertinya tidak akan melakukan serangan."Apa maksud anak ini?" batin Panji Saksana.Sebelum ke pertarungan antara Bayu dengan Buta Koneng. Tampak

  • PENGENDALI ANGIN PETIR   Bab 189

    Pertarungan empat pemimpin kelompok melawan Buta Koneng terus berlangsung. Tokoh masa lalu yang bangkit lagi ini tampak sangat percaya diri dengan ilmunya.Buta Koneng membiarkan dirinya diserang sedemikian rupa. Ilmu Raga Waja membuat badannya kebal seperti baja.Ilmu ini memang mirip dengan ilmu yang dimiliki Soca Srenggi dulu setelah memakan telur badak siluman. Ilmu ini juga membuat pemiliknya hidup abadi sampai dunia kiamat.Yang pertama Ki Mandu Reksa melepaskan pukulan dengan tenaga dalam besar, menggunakan ilmu yang baru saja di dapat dari janin milik Nindya Saroya.Wutt!Segelombang angin kuat melesat menghantam dada Buta Koneng laksana tinju raksasa yang hendak mendobrak gunung.Dess! Wutt!Ki Mandu Reksa kaget bukan main, serangannya tidak mempan terhadap tubuh lawan. Malah seperti berbalik menghantam diri sendiri sampai tubuhnya terpental lalu jatuh.Brukk!"Uakh! Sialan keparat!"K

  • PENGENDALI ANGIN PETIR   Bab 188

    Kaki gunung Salak sebelah barat.Malam hari terasa mencekam. Hawa membunuh berkeliaran. Satu persatu kelompok yang berambisi ingin menjadi yang terkuat di dunia persilatan telah sampai di sana.Mereka tidak meneruskan naik ke lereng. Terlalu dekat dengan sarang musuh akan sangat berbahaya. Empat kelompok tersebut akan memancing Buta Koneng turun.Kalau memang merasa paling kuat pasti akan turun. Jika ingin menjaga harga diri, maka harus menyongsong musuh ke depan. Bukan menunggu.Hal ini disadari oleh Buta Koneng sendiri. Walau dianjurkan untuk tetap menunggu di markas oleh anak buahnya, sosok tinggi besar ini tidak ingin kehilangan muka."Kita akan hadapi mereka di bawah. Semua bersiap, saat menggenggam dunia persilatan!"Maka Buta Koneng segera memimpin pengikutnya untuk turun gunung.Sebelum sampai ke kaki gunung, masih di lereng yang agak tinggi, kelompok Buta Koneng mengawasi ke bawah.Meski malam gelap, ta

  • PENGENDALI ANGIN PETIR   Bab 187

    Buta Koneng menoleh kepada orang yang berbicara tadi. Lelaki setengah baya. Setelah dipindai, tenaga dalam orang ini masih di bawah Ki Sela Waru.Bahkan Ki Sela Waru sendiri tampak heran mendengarnya. Jelas raut wajahnya menunjukkan tidak suka."Kau jangan lancang bicara!" sentak Ki Sela Waru, tapi dengan suara pelan dan ditekan hampir berbisik."Siapa yang kau maksud orang yang akan merintangi langkahku?" tanya Buta Koneng. Suara hempasan napasnya bagai tiupan angin keras."Saya mendapatkan keterangan bahwa ada beberapa kelompok yang berhasil mendapatkan kekuatan sakti dari janin anak-anaknya Bayu Bentar," jawab lelaki setengah baya salah satu anak buah Ki Sela Waru tadi."Maksudmu kesaktian alami yang dimiliki calon anak-anaknya Bayu Bentar?" tanya Ki Sela Waru karena dia juga sempat mendengar kabar tersebut.Bahkan dia juga telah merencanakan akan menculik tiga istri Bayu setelah berhasil membangkitkan Buta Koneng, tapi ternya

  • PENGENDALI ANGIN PETIR   Bab 186

    Orang tua berpakaian serba hitam ini memiliki rambut keriting diikat kepala warna merah. Wajahnya kelimis tirus dan keriput. Kedua matanya tampak cekung, tapi sorotnya sangat tajam."Usia kandungannya masih muda. Nanti kalau sudah lebih dari empat purnama, baru aku bisa menyedot kesaktian alami yang ada dalam janinnya. Masukkan dia ke kamarku!"Dua orang yang tadi membawa Nindya Saroya segera memindahkan wanita yang sudah tak sadarkan diri itu ke dalam kamar lelaki serba hitam ini.Kamar yang dimaksud ternyata berada di balik ruangan ini. Di belakang lelaki tua tersebut, tepat pada sudut ruangan ternyata ada sebuah pintu batu yang dibuka dengan cara dorong lalu digeser ke kiri.Setelah terbuka, barulah kamar lelaki tua itu terlihat dari luar. Nindya Saroya dimasukkan ke sana. Di baringkan di atas tempat tidur terbuat dari kayu. Dua orang tadi sudah keluar lagi.Sementara Santana palsu memperhatikan setiap sudut ruangan sembari menyesuaika

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status