“Anas,” kataku dengan sedikit penekanan. “Kamu enggak perlu menyembunyikan sesuatu.” Aku menatapnya sedikit tajam tapi masih berusaha santai agar orang kepercayaan suamiku ini, bisa mengatakan hal yang dia sembunyikan.
Aku percaya, Anas mengetahui sesuatu.
“Tapi apa yang saya katakan, itu kenyataannya, Bu.” Dia tertunduk. Aku jadi agak geram dan membuatnya tersentak lantaran tangan ini refleks memukul meja.
“Maaf.” Aku menghela penuh frustrasi. “Saya benar-benar pengin tahu tentang Bapak, Nas.”
Anas akhirnya menatapku. Ada yang berbeda dengan tatapan pemuda itu padaku. Seolah sedikit mengasihaniku padahal aku tak ingin itu terjadi. Karena itu juga, aku memalingkan pandangan ke arah lain.
“Saya ingin kamu jujur. Seandainya kecurigaan saya benar, saya ... berusaha menerima.”
Aku dengar Anas menghela panjang. Dari ekor mataku bisa terlihat dia kebingungan. Di satu sisi aku
“Kamu enggak seharusnya memperlakukan Hannah seperti itu, Dek!”Aku menatap Mas Hanung dengan sorot tak percaya. Padahal aku sudah menjelaskan apa yang terjadi tapi ternyata dia tak pernah berniat membelaku. Berbeda saat dulu Hannah berbuat ulah yang merugikan, terutama untukku, Mas Hanung adalah garda terdepan yang akan membelaku.Ke mana perginya suamiku itu? Entah apa yang merasuki Mas Hanung sampai membutakan pengamatannya seperti itu.“Mas, aku memperlakukan Hannah sesuai tindakannya,” kataku, berusaha menahan getar di suaraku. Tanganku terkepal kuat menahan gelombang emosi yang mulai membesar. Siap meledak kapan pun. “Dia mengambil uang di butik, Mas. Tanpa izin. Dan itu bukan jumlah kecil. Ditambah lagi dia seenaknya memakai barang pribadi aku.”“Itu kan cuma tas!” sergah Mas Hanung. “Dan soal uang, Hannah pasti cuma pinjam. Kamu aja yang keburu marah duluan.”Aku terkekeh pelan, su
Tarik napas yang dalam, embuskan perlahan, sembari terus menerus mengucap kata sabar. Itu yang aku lakukan sepanjang langkah memasuki rumah. Aku tak terlalu memedulikan sambutan Minah, hanya mendengar sepintas lalu jika ada tamu datang berkunjung. Entah siapa yang datang, aku hanya ingin bertemu Hannah.Setelahnya, kuurus tamu yang datang meski sedikit terlambat.Kekesalanku sudah memuncak. Dari rekaman CCTV di ruang kasir, Hannah sedikit memaksa karyawanku untuk membuka mesin kasir. Lantas tampak memarahi mereka seolah Hannah adalah pemilik serta orang yang menggaji para staf di butik. Meski aku yang menggaji mereka, aku belum pernah memarahi sampai menuding mereka seenaknya seperti Hannah.Adik iparku itu benar-benar keterlaluan.“Assalamualaikum,” sapaku begitu memasuki ruang tamu. Kulihat ibu mertuaku tampak bersantai memainkan ponselnya. Di meja, beberapa camilan menemani saat santainya itu.Ibu mertuaku melirik tajam. “Kamu
“Anas,” kataku dengan sedikit penekanan. “Kamu enggak perlu menyembunyikan sesuatu.” Aku menatapnya sedikit tajam tapi masih berusaha santai agar orang kepercayaan suamiku ini, bisa mengatakan hal yang dia sembunyikan.Aku percaya, Anas mengetahui sesuatu.“Tapi apa yang saya katakan, itu kenyataannya, Bu.” Dia tertunduk. Aku jadi agak geram dan membuatnya tersentak lantaran tangan ini refleks memukul meja.“Maaf.” Aku menghela penuh frustrasi. “Saya benar-benar pengin tahu tentang Bapak, Nas.”Anas akhirnya menatapku. Ada yang berbeda dengan tatapan pemuda itu padaku. Seolah sedikit mengasihaniku padahal aku tak ingin itu terjadi. Karena itu juga, aku memalingkan pandangan ke arah lain.“Saya ingin kamu jujur. Seandainya kecurigaan saya benar, saya ... berusaha menerima.”Aku dengar Anas menghela panjang. Dari ekor mataku bisa terlihat dia kebingungan. Di satu sisi aku
“Kamu yakin sudah baik-baik saja, Lis?” tanya Winda dengan nada dan raut khawatir yang tak bisa dia sembunyikan. Saat aku diantar ke rumah sakit, Winda-lah yang paling banyak membantu. Sayangnya ia tak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Begitu aku mendapatkan perawatan, tak lama Mas Hanung dan wanita itu datang.“Menurutmu?” tanyaku sembari mengambil buah potong yang ia sajikan untukku. Siang ini dia mengunjungiku di rumah. Katanya dapat izin cuti setengah hari yang dia pergunakan untuk memastikan, apakah aku sudah jauh lebih baik atau belum.“Entahlah, sehat di luar belum tentu sehat di dalam.” Winda menyeringai. “Aku boleh menebak sesuatu?”Tatapanku tertuju pada Winda yang kini menatapku lekat.“Wanita itu yang orangnya?”Aku mengangguk tanpa perlu mengatakan banyak hal.“Enggak tahu diri.”“Kalau tahu diri namanya bukan pel4kor, Win.”
“Kenapa Ibu yang harus jaga istrimu, sih, Mas?”Sudah dua hari sejak aku pulang ke rumah dan benar-benar tak melakukan apa pun. Mas Hanung melarangku dengan keras. Bahkan sekadar ke minimarket di depan kompleks saja, Mas Hanung meminta pembantu yang melakukannya. Mungkin jika orang lain diperlakukan seperti ini, seolah dicintai demikian besar. Tapi aku tak berpikir begitu.Aku yakin, apa yang terjadi padaku dijadikan tameng bagi Mas Hanung agar bisa leluasa bersama Rara di luar sana. Tanpa rasa curiga juga khawatir. Ditambah pergerakanku sangat dibatasi lantaran ibu mertua serta Hannah ada di rumah. Suasana di rumah juga semakin tak nyaman karena interupsi mereka.“Bu, tolong sabar sedikit.”Obrolan mereka tampak samar tapi aku masih bisa mendengar walau harus semakin mendekat di tembok pembatas koridor. Niatnya ingin mengambil minum di dapur malah mendengar mereka bicara.“Kalau proyek aku goal yang ini, aku yakin bis
“Enggak ada yang perlu dikhawatirkan dari kondisi Bu Lisa. Tapi tetap saja enggak bisa dianggap enteng. Untuk sementara waktu, Bu Lisa sebaiknya istirahat yang cukup dan perhatikan asupan makannya.”Aku merespons dengan anggukan kecil, berbeda dengan suamiku yang sejak tadi tampak khawatir. Entah khawatir secara tulus atau berupaya menutupi banyak hal yang ingin dia sembunyikan. Aku memilih mengikuti permainan mereka sebelum menyiram bensin di atas bara yang dihidupkan secara sengaja.“Terima kasih, Dokter. Akan saya pastikan jika istri saya mendapatkan istirahat dan perawatan terbaik,” kata Mas Hanung dengan penuh perhatian. Baik dokter juga perawat yang datang berkunjung memeriksa keadaanku, tampaknya ada sorot kagum jatuh pada sosok pria yang duduk di sampingku ini. Yang menggenggam tanganku dengan eratnya seolah keadaanku sangat membuatnya khawatir.Mereka percaya begitu saja, seakan-akan ... Mas Hanung adalah suami yang sangat mencin