Seharusnya kusadari sejak awal jika suamiku mendadak rajin ke sekolah, ternyata tujuan utamanya bukan mengantarkan putriku saja. Tapi bermain api di belakangku seolah, aku tak tahu. Silakan. Anggap saja begitu. Karena begitu aku bertindak, suamiku dan pelakor kesayangannya tak akan lagi bisa bermain api. Kupadamkan sampai tak bersisa. Tak lagi menyala. Bahkan sampai hidup mereka hancur tanpa sisa. Salah sendiri kenapa main api? Hangus terbakar, kan?
Lihat lebih banyak“Lho, Mas? Mau ke mana?” tanyaku heran sesaat setelah meletakkan bekal makanan kesukaan Nabil—putriku, nasi goreng seafood.
“Antar Nabil sekolah,” sahut Mas Hanung dengan entengnya. “Memang aku mau ke mana lagi, sih, Dek?” Enteng pula dia beri sebuah kecupan mesra di pipi, kanan dan kiri. Membuat aku merona malu. “Sarapan untukku sudah disiapkan?”
“Sudah, Mas.” Aku mengekori langkahnya ke meja makan. “Kopi dan roti bakar lapis madu, kan?”
Mas Hanung tersenyum lembut dan mengusap puncak kepalaku. “Istri aku paling tahu apa yang aku sukai. Tapi ... sepertinya kamu lupa kalau semalam aku bilang aku enggak akan sempat sarapan di rumah. Ada janji dengan buyer di Tebet.”
Keningku berkerut banyak. “Iya, kah?”
Tanpa ragu Mas Hanung mengangguk. “Apa semalam apa yang Mas lakukan buat kamu lupa?”
Ugh! Mas Hanung paling bisa membuatku malu dan benar-benar tersipu. Sampai menundukkan pandangan tak lagi berani menatap manik mata kecokelatan milik suamiku yang tampan. “Mas! Jangan begitu. Nanti Nabil dengar, lho!”
Dia tertawa. Jenis tawa yang renyah dan menyenangkan hati. Bagaimana aku tak semakin jatuh cinta dengannya? “Tapi, Mas ... kalau kamu ada janji temu dengan buyer di Tebet, biar aku saja yang antar Nabil. Lagian itu kan tugasku,” kataku sembari menarik salah satu kursi makan. Duduk di samping Mas Hanung sembari memastikan siapa tahu kopi buatanku setidaknya dicicip meski sedikit.
“Enggak apa, Dek. Mas masih sempat antar Nabil. Tapi untuk sarapan sepertinya enggak bisa.” Mas Hanung terlihat memerhatikan jam yang melingkari tangan kanannya. “Sudah jam enam lewat. Mana Nabil? Nanti dia terlambat.”
“Aku panggilkan, ya,” kataku bergegas memanggil Nabil yang sepertinya masih ada di kamar. Tak butuh waktu lama, Nabil sudah ada di sampingku. Aku juga sudah memastikan tak ada yang tertinggal di dalam tas sekolahnya. Jangan sampai anakku mendapatkan perhatian guru lantaran buku atau tugasnya tertinggal.
Sesibuk apa pun seorang ibu, bukankah anaknya harus mendapatkan perhatian utama?
Namun saat kami berada di ruang makan, Mas Hanung tak ada di sana. Bahkan kopi yang tadi kusentuh untuknya, tak disentuh sama sekali. Sama halnya dengan roti panggang yang sengaja kubuat untuknya.
“Katanya Papa sudah siap, tapi ke mana Papa?” tanya Nabil dengan wajah bingung.
“Kamu sarapan dulu, ya.” Aku mengusap kepala putriku penuh sayang. “Mami panggilkan Papa dulu.”
Nabil mengangguk patuh. Putriku jarang sekali membantah ucapanku. Dia tipe gadis kecil yang penurut. Usianya baru 8 tahun tapi kehadirannya membuat rumah tangga kami semakin semarak.
Biasanya aku yang mengantar Nabil ke sekolah karena aku tak memiliki banyak kegiatan kecuali di siang hari. Itu pun hanya sebatas mengecek butik milik almarhum ibuku. Tapi sebulan lalu, aku mengalami insiden. Kakiku keseleo dan tugas mengantarkan Nabil segera diambil alih oleh Mas Hanung. Meski awalnya sedikit merasa keberatan tapi aku perhatikan, hari ke hari Mas Hanung tampak menikmati kegiatan tambahan mengantar jemput Nabil sekolah.
Kusajikan sarapan untuk Nabil sembari mencari sosok suamiku. Ah, itu dia. Tampak punggungnya yang tegap menghadap ke area taman belakang di dekat dapur. Kurasa dia sedang melalukan sesuatu?
Aku harus segera memanggilnya karena waktu terus berjalan. Jangan sampai Nabil terlambat sampai di sekolah. Saat akan menghampiri suamiku, tampaknya dia sedang terlibat pembicaraan di telepon. Mungkin dengan buyernya? Namun ...
“Iya, Mas tahu. Tunggu, ya. Sebentar lagi Mas berangkat, kok.”
Samar kudengar pembicaraan yang terjadi. Apa bicara dengan buyer semesra itu?
“Kamu sudah siapkan sarapan? Wah ... baiknya. Bawakan saja, kita sarapan bersama.”
Dengan siapa suamiku bicara saat ini? Aku yang penasaran segera menghampiri dan bertanya ... “Mas?”
“Ah,” Mas Hanung tersenyum tapi tampak gugup. “Nabil sudah kamu panggil, Dek?”
“Siapa yang bicara sama kamu?”
“Pak Bimo. Beliau ajak sarapan bersama.” Mas Hanung segera memasukkan ponselnya ke saku celana. Pertanda panggilan itu terputus begitu saja. “Ayo, Mas harus segera antar Nabil. Takut terlambat.”
Aku masih belum tenang karena sungguh ... aku tak salah dengar. “Mas serius bicara dengan Pak Bimo? Tapi kok nadanya mesra banget?”
Mas Hanung terkekeh. Sekali lagi rambutku diberantaki dengan lembut serta diberi satu kecupan mesra. “Mungkin kamu salah dengar? Masa iya Mas bicara mesra sama Pak Bimo?” Lalu dia terbahak. “Jangan ngawur, ah.”
Aku hanya menarik senyum tipis. Meski Mas Hanung bicara dengan nada penuh yakin, aku sama sekali tak bisa menyingkirkan gelisah di hati.
Siapa lawan bicara Mas Hanung barusan? Benarkah Pak Bimo?
***
Sepertinya aku memang harus menyingkirkan kecurigaan pada suami sendiri. Mas Hanung bersikap seperti biasanya. Tak ada yang aneh. Sering kali telepon dengan orang-orang yang memiliki kepentingan dengan pekerjaan, di depanku. Seolah membuktikan padaku, jika seharusnya aku tak khawatir pada hal yang tidak perlu.
“Mas, biar aku saja yang antar Nabil.” Aku sudah siap menjalani tugasku kembali. Bukan apa, aku merasa Mas Hanung semakin sibuk hari ke hari. Wajar, sih, jelang ramadhan pasti orderan membludak di garment yang dikelola Mas Hanung.
Mas Hanung yang sudah lebih dulu berada di ruang makan. Tapi ada sedikit hal yang membuat aku tak bisa melepaskan pandangan darinya. “Mas ... rapi banget. Mau ke mana?”
Dia malah tertawa. “Memangnya aku enggak pernah rapi di matamu?”
Aku merengut. “Bukan begitu. Biasanya Mas cukup pakai polo shirt dan jeans saja. tapi sekarang, kemeja dan celana kain?”
“Aku ada meeting dengan Pak Haris. Beliau ajak meeting di Le Meridien. Masa iya aku pakai polo shirt?” Dia mengacak rambutku dengan gemasnya. “Doakan proyek kali ini goal, ya, Dek. Lumayan untuk tambah THR nanti.”
“Aaamiinn,” kataku dengan mata berbinar. Sepertinya aku tak perlu risau hanya karena Mas Hanung pakai kemeja warna biru langit dipadu celana panjang cream. Outfit yang benar-benar memanjakan mata dan penampilan suamiku bertambah tampan beberapa kali lipat. Rasanya ... aku ingin ikut kegiatan Mas Hanung hari ini.
“Aku boleh ikut, Mas?” Biasanya Mas Hanung mengizinkan makanya aku memberanikan diri.
“Kenapa harus ikut? Pertemuanku cukup lama, Dek. Takutnya kamu bosan. Lebih baik kamu awasi butik, kan? Kamu bilang, laporan keuangan akhir bulan cukup menyita waktu. Lebih baik kamu fokus dulu di sana.”
Aku kembali merengut.
“Nabil,” panggil Mas Hanung dengan nada penuh sayang. “Ayo, sarapan dulu. Kita berangkat bareng, ya.”
Nabil yang baru saja menghampiri kami di ruang makan, terdiam. Matanya menatap Mas Hanung dengan rasa enggan. “Ehm ... bisa langsung ke sekolah aku saja, Pa? Jangan ke rumah Arya dulu. Aku hari ini ada tugas pagi.”
“Siapa Arya, Sayang?” tanyaku pada Nabil dengan penuh keheranan.
“Itu, lho, teman sekelas aku. Anaknya Tante Rara. Kan, tiap hari Papa jemput Arya dan Tante Rara. Kita berangkat bersama.”
Hah? Apa maksudnya ini? “Mas? Bisa jelaskan apa maksud Nabil?”
Mas Hanung menghela napas panjang, lantas merangkulku dengan mesra. Tapi aku tak langsung menerimanya sebelum ia katakan dengan jujur, apa yang sebenarnya terjadi? Siapa Tante Rara? Dan kenapa Mas Hanung harus menjemput orang itu?
“Akan Mas jelaskan nanti, ya? Sekarang sudah sangat terlambat. Kasihan Nabil kalau telat sampai di sekolah,” bujuk Mas Hanung sembari menatapku lekat.
“Enggak! Jelaskan sekarang. Yang singkat saja.” Aku mendesak Mas Hanung. Meski aku juga memikirkan Nabil tapi ...
“Dek, jangan egois, ah. Mas bilang, Mas akan jelaskan. Tapi enggak sekarang. Mas harus antar Nabil dan Mas ada janji temu.” Mas Hanung seperti tak memerhatikanku. Ia memilih untuk menghampiri Nabil dan memintanya untuk segera berangkat.
“Mas!” Aku kesal jadinya.
“Apa?” Mas Hanung menatapku jengkel. Aku tahu itu. Tatapannya tak sehangat biasanya.
“Aku ikut!” putusku tanpa mengindahkan larangannya. Enak saja. Aku harus mendengarkan penjelasannya sekarang. “Mas bisa jelaskan selama perjalanan ke sekolah Nabil.” Aku tak ingin menghabiskan waktu dengan berburuk sangka. Aku harus tahu, siapa sebenarnya Tante Rara.
“Terserah!”
Mas Suami :Cintaku, Manisku, Manjaku. Lagi apa? Sudah makan belum?Aku yang baru saja merapikan stok gamis edisi terbaru, mengernyitkan kening membaca pesan dari Mas Hanung. Saking terherannya, aku sampai terduduk dengan mata yang tak lepas dari ponsel.Mas Suami :Kok cuma dibaca saja, Dek? Sibuk ya? Padahal Mas kangen lho.Jemariku refleks menuliskan balasan karena sepertinya responsku ditunggu oleh Mas Hanung.Me :Bukan enggak mau balas, tapi tumben banget Mas panggil aku semanis itu?Bukannya balasan yang kembali aku dapatkan, melainkan telepon di mana saat aku angkat, suara Mas Hanung tertawa dengan renyahnya.“Enggak boleh, ya, aku panggil kamu seperti itu, Dek?”Aku? Ya tersipu malu, lah! Mas Hanung memang orang yang cukup romantis tapi jarang sekali menunjukkan sisi yang seperti ini. Aku bersyukur, kesalahpahaman beberapa waktu lalu berakhir. Mas Hanung meyakinkanku jika pemikiran yang terus menerus ada di kepalaku, hanya kekhawatiran yang tak akan pernah terjadi.Mas Hanung
“Wah, akhirnya Lisa gabung juga ke sini!”Aku menyeringai canggung. Kedatanganku ke kafe ini untuk menuntaskan rasa penasaran yang setinggi Gunung Everest. Padahal kesibukanku di butik tak bisa terlalu sering ditinggal hanya demi berkumpul bersama ibu-ibu wali murid di kelas yang sama dengan Nabil. Hanya saja ...“Iya, Bu Erna. Kebetulan aku lagi lowong.” Aku pun mengambil duduk di tengah kerumunan, karena kebetulan juga, salah satu dari mereka menyodorkan tempat itu untukku. “Lagian sudah lama enggak bertemu ibu-ibu sekalian, kan? Apa kabar semuanya?”Setidaknya, aku harus ramah dan bersikap seolah akrab dengan mereka semua. Sebenarnya perkumpulan seperti ini, memiliki hal yang positif juga. Tapi terkadang dipandang sebelah mata karena sepertinya lebih banyak hal negatifnya, seperti bersaing satu sama lain terkait anak atau suami. Oh, yang paling parah ... berkaitan dengan keuangan rumah tangga masing-masing.Mereka bersaing siapa yang lebih unggul di kumpulan ini. Mengenakan pakaian
“Jadi ini nomor Rara,” gumamku pelan. Mataku terus menatap lekat layar ponsel yang memperlihatkan deretan angka, tanpa profil apa-apa, serta jarang terlihat online mungkin karena kesibukannya. Sepertinya wanita itu memberi pengaturan jika nomornya tidak disimpan, maka tidak bisa melihat foto profil penggunanya.Karena itulah, aku mengetikkan namanya sebagai kontak baru.Nomor itu juga masuk ke grup sekolah, persis dengan timing yang Nabil katakan padaku pagi tadi. Sepertinya benar, jika Rasya Arya adalah siswa pindahan dan baru mengikuti ajaran baru di semester ini. Dan sebab itu juga, nomor baru diundang masuk ke dalam grup yang kebanyakan berisi orang tua murid yang sekelas dengan Nabil.“Aku save, deh,” putusku dan segera saja jemari ini mengetikkan nama pada kontak baru di ponsel.Pada akhirnya, aku ikut Mas Hanung ke Le Meridien. Meski sepanjang jalan suamiku merengut, tapi aku tak mau kalah. Lagi pula kalau memang kecurigaanku itu hanya bualan semata, seharusnya suamiku tak perl
“Dia itu murid pindahan, Mi,” kata Nabil memberiku penjelasan saat bertanya siapa Arya Arya. Bukan apa, aku baru mendengar namanya. Apa aku yang terlalu ketinggalan berita mengenai sekolah Nabil?“Oh, murid pindahan?” tegasku. Pantas saja aku tak familier dengan nama anak itu.“Miss Nina bilang, Arya pindah dari Semarang. Anaknya baik, kok. Les juga di EFF Pondok Indah, satu room sama aku.”Aku mengangguk paham. “Kamu akrab dengan Arya?” tanyaku pada Nabil sembari diam-diam mencari kontak baru di grup sekolah, siapa tahu aku bisa mendapatkan nomor orang tua Arya. Yang dipanggil Tante Rara oleh Nabil.“Kami berteman. Dia cerita, kalau papanya kerja di laut. Bukankah laut itu luas, Mi? Enggak ada tanah, kan, di laut? Jadi dia kerjanya bagaimana?”Aku nyengir. “Ehm ... mungkin di kapal besar?”Ada banyak hal yang Nabil katakan seputar teman barunya itu. Kebanyakan berisi informasi betapa keren sosok Arya dalam hal seni—menggambar dan mewarnai. Tapi sepanjang cerita itu juga, Mas Hanung d
“Lho, Mas? Mau ke mana?” tanyaku heran sesaat setelah meletakkan bekal makanan kesukaan Nabil—putriku, nasi goreng seafood.“Antar Nabil sekolah,” sahut Mas Hanung dengan entengnya. “Memang aku mau ke mana lagi, sih, Dek?” Enteng pula dia beri sebuah kecupan mesra di pipi, kanan dan kiri. Membuat aku merona malu. “Sarapan untukku sudah disiapkan?”“Sudah, Mas.” Aku mengekori langkahnya ke meja makan. “Kopi dan roti bakar lapis madu, kan?”Mas Hanung tersenyum lembut dan mengusap puncak kepalaku. “Istri aku paling tahu apa yang aku sukai. Tapi ... sepertinya kamu lupa kalau semalam aku bilang aku enggak akan sempat sarapan di rumah. Ada janji dengan buyer di Tebet.”Keningku berkerut banyak. “Iya, kah?”Tanpa ragu Mas Hanung mengangguk. “Apa semalam apa yang Mas lakukan buat kamu lupa?”Ugh! Mas Hanung paling bisa membuatku malu dan benar-benar tersipu. Sampai menundukkan pandangan tak lagi berani menatap manik mata kecokelatan milik suamiku yang tampan. “Mas! Jangan begitu. Nanti Nabi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen