"Maksudmu, apa kau bersedia menikah denganku dalam waktu dekat ini?"
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Benarkah? Coba tolong katakan, aku ingin dengar suaramu," sergahnya lagi.
"Iya mas, tolong pertemukan aku dengan Mbak Nisa."
"Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah," sahutnya.
Tak pernah kusangka ekspresinya bisa sebahagia itu. Mendadak dia berlutut dan menengadahkan tangannya keatas seperti orang yang sedang berdoa.
"Terima kasih, Ya Allah, terima kasih," serunya dengan suara yang cukup keras. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya yang terkesan lucu.
"Udah mas, ayo. Mau sampai kapan seperti itu?" tegurku.
Dia tersenyum kemudian bangkit berdiri.
"Kita langsung ke rumahku ya ketemu mbak Nisa," ucapnya.
Aku mengangguk lalu mengikuti langkahnya dari belakang.
"Hati-hati dek," katanya ketika melewati jalan setapak.
Kami berjalan bersama hingga sampai di parkiran minimarket, dimana mobi
"Emmh ... Anu mbak, katanya Mbak Nadia gak boleh dekat-dekat sama calon suaminya." "Calon suami? Mbak tahu siapa?" "Ini ada undangannya mbak," ujar Mbak Sarni sembari memberikan kertas undangan mewah berwarna gold dengan hiasan pita. "Makasih ya Mbak." Mbak Sarni mengangguk. "Saya permisi dulu mbak Nadia," lanjutnya lagi. Karena rasa penasaranku yang tinggi, aku segera membuka tali pita tersebut. Mataku terbelalak kaget, melihat ukiran nama yang terpampang begitu jelas dalam undangan pernikahan itu. Menikah : Hasbi Alhanan & Andin Kartika Mendadak hatiku rasanya luluh lantak. Belum apa-apa rasanya udah sesakit ini. Ada yang berdenyut sakit di ulu hati. Bunga-bunga yang tadinya bermekaran mendadak layu kembali. Tanganku gemetaran memegang surat undangan ini. Kalau sudah punya calon istri, kenapa harus melamarku? Apa Mas H
[Hallo, assalamualaikum Nadia. Kamu ada dimana?] tanya Mas Hasbi di seberang telepon.[Waalaikum salam, iya mas. Aku ada di rumah sakit][Lho, kamu sakit?][Enggak sih mas, cuma ...][Tunggu, tunggu. Kamu jangan kemana-mana ya. Tetap disitu, aku akan menjemputmu][Baik, mas][Assalamualaikum][Waalaikum salam]Panggilan itupun terputus. Kuembuskan nafas dalam-dalam. Bukan tanpa alasan aku berada disini. Aku melakukan pemeriksaan kesuburan di rumah sakit ini, sesuai permintaan Mbak Nisa. Sebenarnya ingin kurahasiakan ini dari Mas Hasbi. Tapi Mas Hasbi pasti khawatir kalau tiba-tiba aku berada di rumah sakit. Apa yang harus kukatakan padanya?Aku menunggu di halaman parkir rumah sakit. Selang beberapa waktu, mobil Mas Hasbi datang. Seperti biasa, dia tersenyum padaku.Lelaki berkacamata itu terlihat berlari-lari kecil ke arahku."Nadia kamu sakit apa?" tanya Mas Hasbi menautkan kedua alisnya."Ak
3 hari berlaluAku kembali ke rumah sakit, untuk mengambil hasil tes lab, hasil pemeriksaan tes kesuburanku kemarin."Ini Bu, hasil pemeriksaannya," ujar seorang suster sembari memberikan lembaran kertas itu padaku."Terima kasih ya, sus. Kalau begitu saya permisi.""Baik, Bu. Kalau mau konsultasi lagi, bisa hubungi dokter yang kemarin menangani ibu ya.""Baik, sus. Saya permisi."Perawat itu mengangguk dan tersenyum. Aku kembali melangkah keluar rumah sakit. Lembaran kertas ini langsung kumasukkan ke dalam tas tanpa membukanya lebih dulu. Nyaliku terlalu ciut untuk mengetahui tentang kenyataan. Jantungku berdegup kencang. Entahlah, rasanya begitu takut, mendadak rasa tak percaya diri kembali hadir. Apakah aku pantas untuk Mas Hasbi?Tiba-tiba, Bruukk ...Seseorang menabrakku hingga aku terjatuh, sepertinya dia sedang terburu-buru. Segera kupungut kertas hasil tes lab dan beberapa barang lain yang berserakan di lantai."
Aku segera memasukkan lingerie itu kembali ke dalam kotak. "Apa yang sedang kalian lakukan, sepertinya sangat seru?" tanyanya. "Emmh ini Mas, Mirna nganterin kebaya pengantinku," jawabku. Mirna masih saja cengengesan. "Oh ya, kalian belum makan kan, bagaimana kalau kita makan dulu, yuk ..." ajakku sambil menarik Mirna untuk duduk ke meja makan. "Sebenarnya aku ingin pulang, Nadia," jawab Mirna. "Ayolah Mirna sekali ini saja, kita sudah lama tidak makan bersama. Please ..." "Oke, baiklah." Mas Hasbi mengikuti kami. Mereka duduk di meja makan bersama. Sedangkan aku ke belakang menyiapkan makanan untuk mereka. Mak Piah membantuku membawakan makanan-makanan itu dan menghidangkannya diatas meja. "Wah, sepertinya enak banget nih," celetuk Mirna saat melihat makanan di hadapannya. "Makasih ya, Mak Piah." "Iya, sama-sama mbak." Kami menyantap makanan bersama. "R
Aku tidak tahu, kemana lagi harus mencari pinjaman. Teman-teman yang tadinya dekat denganku kini menjauh. Mereka enggan berteman dengan seorang pengangguran. Sebenarnya aku salah apa hingga mereka menjauh dariku? Apa karena sekarang aku miskin? Tak ada apapun yang tersisa, semuanya habis. Lalu bulan besok bagaimana aku membayarkan hutang ibu. Aku benar-benar stress dan pusing. Apa yang harus kulakukan? Setelah lama berjalan, tanpa sadar aku sudah berada di seberang ruko Nadia. Aku menatap bangunan itu. Hatiku kembali nyeri, bila mengingat kejadian dulu. Dia istri yang kusia-siakan, kini bisa berubah lebih maju dariku. Toko cateringnya nampak ramai. Mobilku (dulu) dipakai untuk mengantarkan pesanan ke pelanggan. Sepertinya, karyawannya pun bertambah. Nadia benar-benar sudah sukses sekarang, tidak lagi menjadi bayang-bayangku. Dia bisa mengolah dan menghasilkan uang sendiri. Padahal dulu, aku menghinanya habis-habi
Wajah Keysha cemberut, bibirnya mengerucut, ia tak terima dengan ucapanku."Mas, jangan marah-marah terus dong. Kamu gak mau kan kena stroke kayak ibu?!" pekiknya.Aku hanya mendelik ke arahnya. Seenaknya aja dia bilang seperti itu. Keysha mendengus kesal. Aku paham, ini karena rumah ini yang terlalu sempit untuknya. Apalagi ada ibu. Tapi gimana caranya aku mendapatkan uang lebih untuk menyewa rumah yang baru? Sedangkan kalau di rumah ibu, lambat laun petugas bank akan datang menagih utang, aku tidak ingin ibu kena serangan jantung lagi."Key, maaf ya, tolong ngertiin dulu. Rumah ibu bentar lagi disita, karena mas gak bisa nyetorin hutang ibu ke bank. Mas gak mau ibu terkena serangan jantung lagi," bisikku di telinga Keysha.Keysha mengernyitkan keningnya. "Rumah ibu disita?" ia balik bertanya dengan suara agak lirih."Ssstttt ..." sahutku sembari menempelkan jari telunjuk ke atas bibir."Jadi ibu hutang ke bank?"Aku meng
Hari H Akhirnya hari yang dinanti-nanti datang juga. Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Mas Hasbi. Persiapan sudah sempurna, awalnya Mas Hasbi ingin menyewa gedung, namun aku melarangnya. Aku ingin pernikahan diadakan di rumah saja. Biarlah yang sederhana saja, mengundang beberapa teman, tak perlu banyak-banyak. Menurutku dari pada menghamburkan uang untuk biaya sewa sana-sini lebih baik, uangnya dipakai untuk modal usaha. Sudah dari kemarin, orang-orang yang bekerja membantuku di toko, ikut sibuk menyiapkan makanan dan hidangan untuk para tamu. Sedangkan tim dekorasi berbeda lagi, kami mempekerjakan beberapa orang untuk beberes dan menghias rumah agar terlihat lebih indah. Meskipun sederhana namun tetap elegan dan sedap dipandang oleh mata. Aku sudah didandani layaknya seorang pengantin wanita. Mirna-lah yang mendampingiku. Dia menyemangatiku, memberikan pencerahan yang lain bahkan bercengkrama hingga membuatku tertawa, Mirna benar-benar
"Tunggu ...!" teriak seseorang dengan nada suara parau.Kami menoleh ke sumber suara. Mas Hasbi datang dengan langkah terseok-seok. Darah segar mengalir di wajahnya. Jasnya terlihat sangat kotor. Baru beberapa langkah, ia jatuh terjerembab di depan pintu."Astaghfirullah, Mas ...!" pekikku dengan nada histeris. Rasa panik luar biasa membuncah di dalam dadaku.Segera kulepas cekalan tangan Mas Rizki dan menghambur ke arahnya, diikuti oleh beberapa tamu yang lain. Mereka segera membantu Mas Hasbi, dibawanya tubuh lemas itu ke dalam rumah dan didudukkan bersandar diatas sofa panjang. Dengan cekatan Mirna mengambilkan air minum untuk Mas Hasbi, begitu pula dengan Mbak Sarni, dia mengambilkan air hangat untuk mengompres lukanya.Aku meraih gelas yang disodorkan Mirna untuk meminumkannya pada Mas Hasbi. Matanya mengerjap perlahan, ketika ia mulai sadar kembali. Ia meringis kesakitan dan memegangi kepalanya yang terluka.Kubersihkan darah yang mengalir di