Ni Imah yang duduk di samping suaminya lalu menggeleng, dan akik pun lalu menatapku dan mengatakan kepadaku agar aku tidak usah memikirkan tentang Aryo lagi, dan aku harus fokus pada tujuanku. Karena masih ada ritual lain yang masih harus kami lakukan, dan akik tidak ingin masalah Aryo mengganggu ritual yang sudah kami mulai sebelumnya.“Sekarang Nak Ajeng lebih baik beristirahat saja. Karena besok kita harus melakukan ritual terakhir,” ujar Akik.“Iya, Ki.”Akik dan ninik kemudian keluar setelah melihatku berbaring, dan mereka mengatakan kepadaku akan menyiapkan perlengkapan ritual lagi untuk besok pagi. Karena perlengkapan ritual sebelumnya sudah hancur berantakan karena ulah Aryo. Jadi mereka harus menyiapkan ulang.***Aku tidak tahu kapan aku tidur tadi malam. Karena seingatku, gara-gara memikirkan tentang Aryo aku tidak bisa memejamkan mataku. Walaupun aku sudah berusaha memejamkan mataku tapi tetap saja pikiranku terus saja memikirkan tentang Aryo.Sedangkan ninik dan akik, aku
“Euuu, euuu,” panggilku dengan suara yang harus sedikit aku paksa.“Ki, Nak Ajeng,” terdengar suara ninik berteriak.Aku yang masih merasakan perih dan sakit di seluruh tubuh dan wajahku kemudian mencoba menggerakan tubuhku dan membuka mata, tapi rasa sakit itu masih saja menyerangku. Bahkan rasa sakit itu sampai ke tulang.“Ada apa dengan Nak Ajeng, Ni?” tanya akik.“Nak Ajeng sudah sadar, Ki. Lihat, Nak Ajeng sudah membuka matanya,” jawab Ni Imah.“Syukurlah, Ni.” Jawab Ki Joko sambil menatapku dan wajahnya terlihat bahagia, “Nak Ajeng, apa Nak Ajeng bisa mendengar akik?” lanjut Ki Joko.Ketika aku akan menjawab apa yang Ki Joko tanyakan mulutku masih terasa sakit untuk berbicara. Jangankan untuk berbicara menelan ludahku saja terasa sakit sekali.Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku, tapi ketika aku mencoba melihat tubuhku. Aku melihat tubuhku dililit dengan kain, dan memiliki bau yang tidak pernah aku ketahui sebelumnya.“Kalau Nak Ajeng tidak bisa bicara maka cukup mengger
“Ada apa, Nak Ajeng?” tanya Ki Joko yang berada di belakangku bersama istrinya.“I –itu, Ki. Siapa wanita yang berada di dalam air itu? Apa dia penunggu sungai ini?” tanyaku sambil menunjuk ke arah sungai.“Kemari, Nak Ajeng.” Ajak Ki Joko sambil menggandengku.Ki Joko beserta istrinya mengajakku ke sungai di mana aku melihat bayangan wanita tadi, dan aku lalu berhenti ketika kami sudah mendekati sungai.“Jangan takut, Nak Ajeng. Ayo,” ajak Ki Joko.“Tapi, Ki. Ajeng takut.”“Percayalah dengan akik, Nak Ajeng. Kami tidak akan mencelakakanmu,” tambah Ni Imah.Aku yang awalnya ragu, akhirnya berusaha untuk mempercayai mereka berdua. Karena bila mereka memang berniat mencelakaiku, hal itu pasti sudah mereka lakukan ketika aku terbaring tidak berdaya waktu itu.Akik dan ninik lalu menuntunku hingga kami tiba di tepi sungai, dan akik lalu memintaku untuk menatap sungai itu dan memperhatikan baik-baik siapa yang sebenarnya yang ada di sungai itu.“Itu, Ki. Wanita itu siapa? Apa dia penunggu
“Cempaka, cepat ke sini! Bawa sekalian makanan yang ada di depanmu itu!” teriak Bu Darmi.“Baik, Bu.” Teriakku tak kalah kencangnya.Aku yang baru saja selesai menyusun makanan yang diminta Bu Darmi segera membawa makanan itu ke depan. Hiruk pikuk suara pembeli dan warga yang sedang menyantap makan siang mereka menambah ramai warung Bu Darmi.Berbagai makanan dan minuman yang menggugah selera, semua tersedia di warung ini. Mulai dari nasi pecel, nasi rames, nasi ayam bakar dan masih banyak lagi, dan warung ini hanya buka sampai selesai makan siang saja. Karena bila sudah lebih dari jam makan siang semua hidangan yang disiapkan warung ini pasti akan habis.“Cempaka, cepat antar makanan ini ke meja itu,” perintah Bu Darmi sambil memberiku dua piring makanan yang sudah dipesan pelanggan.Dengan langkah hati-hati aku membawa makanan itu. Karena banyak sekali orang yang sedang mengantri untuk mendapatkan makan siang mereka di warung Bu Darmi ini.“Ini makan siang anda, Pak.” ucapku sambil
Pria tua itu masih saja menatapku dengan tatapan penuh harap, dan aku yang masih ragu memberitahu di mana Ajeng saat ini hanya bisa membeku tanpa bisa meneruskan kata-kataku lagi.“Kenapa diam, Nak Cempaka? Apa Nak Cempaka takut saya akan melukai Nak Ajeng?” tanya pak tua.“Bukan begitu, Pak. Saya hanya … maaf, Pak. Memangnya ada apa bapak mencari Ajeng?”Kali ini pria tua itu terlihat gelagaban ketika aku bertanya tentang tujuan dia mencari Ajeng, dan itu membuatku curiga.“Kenapa tidak bapak jawab? Apa bapak memang berniat mencari Ajeng untuk tidak menyakitinya?”“Bukan bapak tidak mau menjawab pertanyaan Nak Cempaka, tapi bapak tidak bisa menjelaskan di sini,” jawab pria tua itu.“Apa maksud bapak?” tanyaku penasaran.Tapi belum juga pria tua itu menjawab apa yang aku tanyakan, tiba-tiba Mbak Siti memanggilku dan menghampiri kami.“Siapa bapak ini, Cempaka?” tanya Mbak Siti sambil menatapku.“Hmmm, dia—,” ucapku binggung harus menjawab apa. Karena aku sendiri tak tahu siapa pria tu
Pak Dirga menghentikan langkahnya ketika aku aku bertanya kepadanya, dan pria tua itu lalu berbalik menatapku.“Ikut saja dengan saya, Nak Cempaka,” jawab Pak Dirga.“Saya tidak akan ikut dengan anda, Pak Dirga. Kalau bapak ingin berbicara dengan saya, kita bicara di sini saja,” tolakku.Pak Dirga hanya diam dan menatapku setelah aku mengatakan hal itu. Bahkan bergerak dari tempatnya saja tidak, dan itu membuatku semakin takut.Ketika pria tua itu baru saja akan memasuki hutan itu pikiranku sudah tidak enak, dan aku takut kejadian akan di masa lalu akan terjadi lagi. Lagi pula aku juga tidak bisa langsung percaya dan ikut dengan pria tua itu.Kami berdua diam di tempat kami masing-masing tanpa ada yang berbicara, dan tak lama pria itu kemudian melangkah mendekatiku. Tapi karena aku merasa takut, aku lalu melangkah mundur untuk menjaga jarak dengan pria tua itu.“Ada apa denganmu, Nak. Bapak tidak akan menyakitimu. Bukankah tadi kamu meminta bapak untuk berbicara denganmu di sini saja,
Aku yang terkejut dengan apa yang baru saja aku lihat hanya bisa membeku dan bersembunyi di balik pohon. Karena kecurigaan dan ketakutanku selama ini akhirnya menjadi nyata.Untung saja di sekitar pemakaman desa ini ada beberapa pohon besar. Sehingga aku bisa bersembuyi sambil mengintip apa yang terjadi.Awalnya ketika aku baru saja pergi dan bersembuyi di balik pohon sambil mengawasi Pak Dirga semua baik-baik saja. Tapi lama kelamaan aku melihat sesuatu yang aneh ketika pria tua itu menoleh ke sekitar seperti mencari sesuatu.“Nak Cempaka, Nak Cempaka,” panggil Pak Dirga sambil menoleh sekitar seperti mencariku, “Kmau di mana Nak Cempaka?” lanjutnya.Karena tidak mendapat jawaban dariku, pria tua itu kemudian kembali menatap makam Ajeng, dan pemandangan tak terduga tiba-tiba terjadi.Kaki Pak Dirga yang awalnya sama seperti kakiku, tiba-tiba hilang dan berubah menjadi ekor ular. Sedangkan badannya tetap sama seperti sebelumnya, dan itu membuatku merasa ngeri dan juga takut.Karena ak
Orang yang sedang mencariku itu sekarang sedang dikerumuni oleh beberapa wanita yang ada di warung ini. Bahkan sekarang untuk melihat wajahnya secara jelas saja aku hampir tidak bisa, tapi aku masih ingat sekali bagaimana wajah dan bentuk tubuh dari orang itu.“Cempaka, ada apa denganmu? Apa kamu kenal dengan pria itu?” tanya Mbak Siti menyadarkanku.“Tidak, Mbak. Aku tidak mengenalnya,” jawabku berbohong tanpa memandang Mbak Siti dan masih menatap pria yang duduk di ujung warung ini.“Benarkah kamu tidak mengenalnya, Cempaka? Kalau kamu tidak mengenalnya, mengapa dia bisa tahu kamu bekerja di sini?”Pertanyaan Mbak Siti membuatku menoleh ke arahnya, dan aku lalu mengatakan kepadanya bahwa aku benar-benar tidak tahu siapa dia, dan mungkin saja dia hanya pelanggan di warung Bu Darmi ini dan dia mengenalku dari warung ini.“Apa kamu yakin dia pelanggan kita, Cempaka? Karena sepertinya baru kali ini mbak melihat pria itu datang ke sini.”“I –Iya, Mbak. Dia pelanggan kita dan dia juga per