Share

Bab 3 - Persyaratan Hanum

“Selamat pagi, Laras. Wah … kamu terlihat semakin cantik saja, nih. Perawatan di salon mana? Mau dong, jadi bening kaya kamu,” seloroh Hanum yang terkesima melihat kecantikan asistennya yang semakin hari semakin terlihat cantik. 

“Ah, Bu Hanum, bisa aja. Saya gak pernah masuk nyalon, Bu. Eman uangnya, mending buat biaya yang lainnya,” jawab Laras dengan wajah sendu.

Seketika perasaan bersalah menyeruak dalam hati Hanum, melihat perubahan ekspresi wajah asistennya. Karena wanita itu tahu betul bagaimana pahitnya kehidupan wanita yang berhadapan dengannya saat ini. 

“Ah, maaf, Laras. Saya gak bermaksud ….”

“Gak apa. Bu. Saya mengerti, kalau begitu saya pamit masuk ke dalam. Mau rapi-rapi ruang periksa dulu, mumpung belum ada pasien yang datang,” ucap Laras seperti menghindari pembicaraan dengan Hanum kala itu.

“Silahkan, Ras. Kebetulan, ruangannya sudah aku buka sejak tadi,” timpal Hanum.

Kedua wanita itu segera berpisah untuk melanjutkan aktivitasnya masing-masing, Hanum yang mengangkati semua hasil bumi yang diberikan Darmo padanya, sementara Laras mengerjakan tugasnya sebagai asisten di tempat itu. Satu per satu pasien wanita hamil dan juga yang sedang bermasalah dengan kesehatannya, mulai nampak berdatangan melakukan pendaftaran. Laras dengan keramahannya segera memberikan nomor urut sesuai dengan kedatangan mereka, serta tidak lupa memeriksa sedikit keadaan pasien yang datang sebelum di tangani Hanum.

Hari itu sekitar dua belas orang pasien yang mengantri untuk di periksa Hanum, tiga diantaranya adalah pasien ibu hamil dengan perkiraan lahir hanya tinggal menghitung hari. Hanum yang kebetulan menerima juga pasien rawat inap, segera menganjurkan untuk langsung menginap pada salah satu pasien yang terlihat sudah mulai menunjukan tanda-tanda lahiran. 

“Ibu tinggal di mana?” tanya Hanum yang sepertnya belum pernah melihat wajah perempuan itu melakukan pemeriksaan dengannya sebelumnya.

“Di Kampung Sawah, Bu Bidan,” jawab seorang laki-laki yang menemani wanita hamil itu.

“Bapak?” tanya Hanum ingin memastikan status keduanya.

“Saya, suaminya, Bu Bidan.”

“tempat itu cukup jauh dari sini, Pak. Kenapatidak langsung di bawa ke puskesmas saja? Bukankah jaraknya dekat?” tanya Hanum yang tidak mengerti, seraya tangannya sibuk memeriksa keadaan pasiennya.

“Istri saya tidak mau dibawa ke sana, Bu Bidan. Karena istri saya mendapat cerita dari temannya, katanya kalau melahirkan di bantu Bu Bidan Hanum, selain tidak sakit dan langsung sehat, juga biayanya tidak mahal,” jawab pria itu jujur, membuat Hanum merasa bersyukur karena merasa di butuhkan. Sekaligus bingung, karena merasa tikda percaya dengan yang dikatakan lelaki itu, ‘Apa benar semua pasien yang ku bantu. Langsung segera sehat?’

Namun pikiran tersebut segera Hanum kesampingkan, ia memilih fokus memeriksa keadaan pasien yang semakin terlihat kepayahan menahan sakit di area perutnya. 

“Kapan mulai terasa kontraksi, Bu?” tanya Hanum pada pasiennya.

“Sejak semalam, Bu. Tapi tadi subuh ada sedikit darah di celana dalam saya, makanya tadi pagi minta antar suami saya segera kemari, Bu Bidan,” jawab wanita itu disela-sela ringisannya menahan kesakitan.

“Hmm, baiklah. Simpan tenaga Ibu, ya. Jangan dulu mengejan sebelum bukaannya lengkap dan ada instruksi dari saya, tarik napas dan hembuskan perlahan setiap kali kontraksi itu datang. Banyak berdoa agar persalinan Ibu, lancar. Begitu juga dengan Bapak, doakan keselamatan untuk istri dan calon buah hatinya. Saya akan berusaha semaksimal mungkin, hasilnya hanya Tuhan yang menentukan,” kata Hanum mengucapkan kata-kata yang membuat erasaan pasiennya sedikit tenang.

Sementara Laras menatap keadaan wanita hamil itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Wanita itu pun ikut mempersiapkan segalanya, mulai dari peralatan medis dan obat-obatan yang akan digunakan ketika wanita itu melahirkan. Juga perlengkapan bayi yang akan dipakaikan pada bayi setelah lahir dan di bersihkan nantinya.

Karena Hanum melihat baru bukaan tiga, sehingga biasanya masih memerlukan waktu yang lama untuk persalinan. Wanita itu pun kemudianmelanjutkan memeriksa pasien lainnya yang sudah terlihat sabar menunggu.

“Waaah, mohon maaf semuanya. Jadi sedikit lama menunggu,” ucap Hanum dengan senyumnya yang tulus.

“Tidak apa, Bu Bidan. Kami paham, kok. Orang mau bersalin, kan gak bisa menunggu. Harus segera di tangani. Kami masih bisa kok menunggu, iya gak Bapak-bapak dan Ibu-ibu?” ujar seseorang yang ada di sana menjawab perkataan Hanum, lalu semua pasien yang ada di sana pun mengamini ucapan orang itu.

“Terima kasih atas pengertiannya, kita lanjutkan ya,” kata Hanum dengan senyum ramahnya.

Akhirnya pagi itu sekitar jam sepuluh, Hanum selesai dengan tugasnya menerima pasien. Biasanya akan dilanjutkan sore hari mulai jam empat sore sampai masuk Maghrib. Sekarang waktunya bagi Hanum, kembali memeriksa keadaan pasien yang hendak melahirkan. Sejak dirinya memeriksa pasien lain, tugasnya di serahkan pada Laras. 

“Bagaimana keadaannya, Ras? Apakah ada kemajuan?” tanya Hanum pada gadis muda itu.

“Belum, Bu. Masih sama seperti tadi, apakah harus di rujuk ke rumah sakit atau gimana, Bu?” tanya Laras dengan setengah berbisik.

“Kita tunggu dulu dalam dua jam terakhir, jika tidak ada perkembangan dan keadaan pasien semakin memburuk, terpaksa harus di rujuk,” jawab Hanum.

Keduanya pun kemudian melakukan tugasnya dengan memeriksa keadaan wanita itu lebih teliti dan memperhatikan setiap perkembangan yang terjadi. Hingga empat jam mereka menunggu, nampak wanita itu pun semakin lemah keadaannya. Akhirnya Hanum pun terpaksa merujuk pasien tersebut untuk di bawa ke fasilitas kesehatan tempat lain yang lebih lengkap. 

Akan tetapi wanita itu tetap ngotot dengan pendiriannya, hanya ingin dibantu oleh Bidan Hanum.

“Tapi, Bu. Saya tidak memiliki peralatan yang mendukung untuk membantu persalinan Ibu. Keadaan Ibu, pun saya perhatikan semakin lemas. Saya khawatir jika tetap saya yang melakukannya, akan terjadi komplikasi yang akan membahayakan ibu dan janinnya nanti,” beber Hanum, mencoba memberi perngertian pada wanita itu.

“Tidak, Bu Bidan! Lebih baik saya mati dari pada harus melahirkan di tempat itu. Tidak!” kata wanita itu tetap menolaj anjuran yang di berikan Hanum.

“Pak, tolong beri pengertian sama istrinya. Saya tidak sanggup membantu persalinan dengan keadaan Ibu, seperti ini, Pak.”

“Bagaimana, Bu? Apa tetap ingin di sini, atau ikuti anjuran Bu Bidan?” tanya lelaki itu membuat Hanum merasa kecewa. Bukannya mengambil keputusan yang tegas untuk keselamatan istri dan bayinya, malah menanyakan hal yang sudah tahu pasti jawabannya.

“Tidak mau, Pak. Aku mau lahiran di sini saja, titik!” tegas wanita itu menatap penh harap ke arah Hanum.

“Baiklah, tapi jika terjadi sesuatu di luar perkiraan, tolong jangan libatkan saya. Silahkan buat dulu surat pernyataan, Bapak. Biar di bantu asisten saya, silahkan.” Pada akhirnya Hanum mengalah, dengan sebuah persyaratan yang diajukannya.

Seketika wajah pasangan suami istri itu berubah lega, lalu suami dari wanita itu pun mengikuti langkah Laras keluar ruangan tersebut untuk membuat surat yang diminta Hanum sebelumnya.

“Lalu bagaimana selanjutnya, Bu Bidan?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status