Share

Bab 2 - Tak Baik Menolak Rejeki

Perlahan wujud Bidan Hanum menampakan wajah aslinya, lidahnya mulai menjulur hingga menyentuh bagian perutnya. Kedua bola matanya melotot penuh nafsu mengarah pada jalan lahir wanita itu, bau anyir tiba-tiba menyeruak memenuhi ruangan tersebut. Rambut sang bidan yang semula rapi tergelung, kini tergerai dengan warna putih menjuntai manyapu lantai. Kuku-kukunya yang runcing juga gigi yang mulai memperlihatkan taring tajamnya. 

Langkah demi langkah makhluk itu semakin mendekati wanta yang kini terlihat sangat ketakutan. Keringat sebesar biji jagung mulai membasahi sekujur tubuhnya, ingin rasanya wanita itu berteriak sekencang mungkin. Namun mulutnya serasa terkatup tak mampu bergerak, meskipun berkali-kali wanita itu mencobanya. Karena tak sanggup melihat pemandangan yang dilihatnya, wanita itu pun akhirnya tak sadarkan diri. Terdengar suara tawa bahagia yang membuat merinding siapapun yang mendengarnya.

“Hihihi ….”

*****

Saat pagi hari menjelang, kehidupan di dusun Warnajati terlihat sangat tenang. Sama sekali tak menampakan keramaian peristiwa semalam yang cukup membuat merinding bagi yang mengalaminya. Namun semua terlihat berjalan seperti biasanya, bahkan kini pria paruh baya yang semalam menjemput Bidan Hanum, tengah memasuki pekarangan rumah wanita yang dianggapnya berjasa bagi keluarganya.

“Selamat pagi, Bu Bidan,” sapa pria itu dengan senyum bahagianya.

Wanita yang disapa pun merasa terkejut, karena saat itu dirinya tengah menyapu pekarangan depan rumahnya.

“Oh, eh, Pak Darmo. Selamat pagi, mau ke mana, Pak? Pagi-pagi sudah membawa hasil kebun sebanyak itu,” jawab ramah sang bidan dengan senyum hangatnya.

“Anu, Bu Bidan, saya memang sengaja datang ke sini pagi-pagi. Selain ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan Bu Bidan semalam, juga mau mengantarkan hasil kebun yang kami tanam. Semoga Bu Bidan, berkenan menerimanya,” jawab Pak Darmo dengan sikapnya yang sopan, wajahnya berseri menandakan jika lelaki itu tengah berbahagia saat ini.

Sejenak wanita itu tertergun mendengar penuturan pria paruh baya di hadapannya, ia berusaha mengingat kejadian semalam.

‘Rasanya semalam aku tidak kemana-mana, setelah Maghrib, aku tidak melakukan pekerjaan apapun. Apalagi membantu persalinan,’ ucapnya dalam hati dengan ekpresi tak mengerti.

Namun karena tak tega melihat pria itu telah susah payah membawakan banyak aneka hasil kebun untuknya, Bidan Hanum menerimanya meski dengan perasaan bingung.

“Ooh, iya, Pak Darmo, sama-sama. Selamat atas kelahiran cucunya ya, semoga tumbuh jadi anak yang sholeh. Ini semua saya terima dengan senang hati, sekali lagi terima kasih banyak sudah repot-repot,” tutur Bidan Hanum lembut.

Dengan hati riang, pria itu menurunkan semua yang dibawanya dari atas sepeda ontel miliknya ke teras rumah. Sedikit pun tak ada rasa lelah terpancar dari wajah tuanya, hanya raut bahagia karena di usianya kini lengkap sudah kehidupannya sebagai orang tua. Dirinya kini telah resmi menyandang status sebagai seorang kakek dari bayi yang semalam baru saja dilahirkan putrinya. Hingga pria itu akan melakukan apapun sebagai ungkapan terima kasihnya pada wanita yang sudah membantunya.

Setelah selesai menurunkan semua bawaannya, pria itu pun berpamitan karena khawatir meninggalkan putrinya seorang diri.

“Memang suaminya belum pulang, Pak?” tanya bidan itu ingin tahu.

“Mungkin baru akhir pekan ini, Bu Bidan. Maklum lah, menantuku itu terlalu sibuk mencari uang. Padahal saya sudah memintanya untuk tetap tinggal menemani istrinya di rumah, tapi katanya sayang waktu terbuang percuma. Karena tidak tahu kapan bayinya lahir, gak tahunya malah semalam si utun keluar. Kalau tahu seperti itu, mungkin dia pun akan menunda kepergiannya, Bu,” jawab Pak Darmo. Meski pun dari nada bicaranya mengandung kesedihan dan kekecewaan pada sosok menantunya, akan tepai tak mengurangi binary bahagia di wajahnya. 

“Semoga menantu Pak Darmo, sepat pulang, ya. Dia pasti akan merasa sangat bahagia, ketika pulang mendapati kejutan yang selama ini dinantikan,” ucap Hanum dengan senyumnya.

“Semoga, Bu Bidan. Kalau begitu saya pamit, permisi.” Pria tua itu pun berlalu meninggalkan Hanum dengan pertanyaan yang masih belum ditemukan jawabannya.

Wanita itu bergegas duduk di kursi teras, seraya pikirannya kembali mengingat kegiatannya semalam. 

“Semalam setelah Maghrib, rasanya aku tidak ada panggilan Partus, tapi kenapa pagi ini Pak Darmo mengucapkan terima kasih dengan membawa hantaran segini banyaknya?” tanya wanita itu pada dirinya sendiri.

“Apa jangan-jangan Pak Darmo, salah kirim? Mungkin Bidan, lain, yang membantu putrinya melairkan. Tapi … kalau kuantarkan kembali ke rumahnya, tentu dia akan merasa kecewa. Lalu, kalau ternyata salah kirim gimana?” tanyanya lagi.

“Ya biarkan saja, Bu. Namanya juga rejeki, gak baik kalau di tolak,” kata Gunawan, suami Hanum, yang tiba-tiba muncul dan ikut duduk bersamanya.

“Ishh, Bapak, ini loh. Aku tuh lagi bingung, Pak. Semalam perasaan gak ada yang meminta bantuanku untuk bersalin, tapi pagi ini Pak Darmo datang dengan membawa semua ini. Katanya sebagai ucapan terima kasih, karena sudah menolong putrinya melahirkan . Bukankah kita habis isya’ langung tidur, Pak? Kok ….” Hanum tidak melanjutkan ucapannya. Entah mengapa perasaannya mendadak tidak enak, bulu kuduknya meremang seketika.

“Kenapa, Bu?” tanya sang suami padanya, melihat perubahan mimik di wajah sang istri yang tiba-tiba seperti ketakutan.

“Enggak Pak, apa jangan-jangan semalam, anaknya Pak Darmo, dibantu sama orang halus ya?” ucap Hanum seraya matanya celingukan ke sana-kemari dengan gelisah.

“Huush! Ngawur aja. Mana ada yang seperti itu, kalau pun ada pastinya salah satu itu akan celaka. Atau mungkin keduanya, ini kan enggak? Jangan bepikiran macam-macam, Bu. Masalah ini, biar kita simpan saja, takutnya Pak Darmo atau putrinya nanti dengar, malah jadi ribut nanti,” kata Gunawan mengingatkan istrinya. Seketika Hanum pun terdiam dengan perasaan masih belum plong, karena merasa teka-teki ini belum terungkap. Siapa yang menangani persalinan semalam di rumah Pak Darmo.  

Sementara Gunawan setelah berbicara sejenak bersama sang istri, lelaki berbadan tegap dan berwajah cukup tampan itu segera masuk ke dalam rumah. Suami dari Hanum itu bersiap untuk pergi mengajar di sebuah sekolah menengah kejuruan milik swasta yang berada cukup jauh dari rumahnya. Sehingga harus berangkat sedikit lebih awal agar tidak kesiangan, karena menggunakan sepeda untuk bisa sampai ke tempatnya bekerja.

Menyadari jika suaminya harus segera berangkat menunaikan kewajibannya, Hanum segera beranjak menuju kamarnya untuk membantu suaminya menyiapkan semua keperluannya. Setelah semuanya siap, barulah Gunawan diantar istrinya menuju depan rumah. Lelaki bertubuh tegap yang sudah berpenampilan rapi dan wangi, bergegas menaiki sepedanya kemudian di kayuhnya perlahan menuju sekolah tempatnya mengabdi.

Sepeninggal sang suami tercinta, Hanum pun bermaksud hendak masuk ke dalam rumahnya. Akan tetapi sebuah sapaan dari seorang wanita yang dikenalnya, menghentikan langkah wanita itu seketika.

“Selamat pagi, Bu Hanum.”

“Kamu ….”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status