Share

Bab 4 - Pilihan yang Sulit

Ketika sore menjelang, tiba-tiba saja Hanum mendapat panggilan dari kecamatan untuk segera datang ke rumah sakit di sana. Karena tenaganya dibutuhkan untuk membantu dan menerangkan beberapa hal yang mana hanya Hanum yang tahu pada dokter yang baru saja datang bertugas dari pusat. Wanita itu pun merasa kebingungan antara menjalankan kewajibannya menepati janji dengan pasiennya, atau memilih menjalankan tugasnya ke rumah sakit. Hanum pun membaicarakan masalah tersbut dengan Gunawan, suaminya, ketika lelaki itu telah pulang ke rumah mereka.

“Pak, aku boleh minta pendapatmu?” tanya wanita itu saat melihat suaminya tengah bersanti melepas penatnya.

“Apa itu, Bu?” 

“Aku ada pasien yang hendak melahirkan di ruang bersalin, aku sudah berjanji untuk menolongnya. Tapi beberapa saat yang lalu, aku dipanggil ke kecamatan untuk membantu dokter yang akan bertugas di rumah sakit. Mana yang harus ku pilih, Pak?” tanya Hanum dengan raut wajah yang kebingungan.

Nampak Gunawan pun ikut berpikir sejenak, pria itu pun sepertinya kesulitan membantu istrinya mengambil keputusan.

“Keduanya pilihan yang sulit, Bu. Antara tugas dan kewajiban, keduanya datang bersamaan.”

“Karena itu lah, Pak. Aku minta pendapat darimu, rasanya aku enggan untuk pergi ke kecamatan. Karena pasienku kali ini cukup beresiko jika kutinggalkan, sejak tadi pagi datang sampai sekarang bukaannya belum ada kemajuan,” kata Hanum, kemudian mengalirlah kisah yang terjadi pagi tadi termasuk dirinya terpaksa meminta surat pernyataan dari suami pasiennya.

“Itu sudah tepat, Bu. Karena resiko yang akan Ibu, hadapi ke depannya jika terjadi sesuatu. Tapi … setelah membuat surat itu, lantas akan Ibu tinggalkan?” tanya Gunawan menatap istrinya.

“Itulah, Pak. Ibu, bingung jadinya,” jawab Hanum sambil menghela napas berat, seakan tengah berada dalam posisi buah simalakama baginya.

Gunawan pun kali ini tidak bisa memberikan pendapatnya begitu saja, lelaki itu tahu persis resiko yang akan didapati sang istri. Selain kredibilitasnya yang diragukan, juga izin prakteknya terancam tutup. 

“Kalau kamu tetap memutuskan pergi, apa Laras, sudah bisa menggantikan posisimu, menangani proses persalinan?” tanya pria itu pelan.

“Jika dalam keadaan normal, aku yakin dia bisa, Pak. Tapi pasien ini beresiko jika ditangani Laras, dia belum berpengalaman menangani kasus persalinan yang bermasalah,” sahut Hanum, ada secercah harapan baginya pada asistennya. Akan tetapi dia masih meragukan kemampuan gadis tersebut.

“Kalau begitu, bagaimana kalu begini saja? Aku akan mencari pinjaman sepeda motor, lalu kita berangkat ke kecamatan. Jika sekarang kita pergi, kemungkinan pekerjaanmu tidak sampai larut malam selesai. Kamu pun bisa segera kembali membantu persalinan pasienmu, bagaimana?” Tiba-tiba sebuah ide di peroleh lelaki itu.

Nampak Hanum berpikir sesaat, lalu wanita itu pun menyetujui usul suaminya tersebut. Lalu keduanya tanpa membuang waktu melakukan apa yang dikatakan Gunawan sebelumnya, keduanya segera bersiap kemudian bergegas melanjutkan langkah selanjutnya. Gunawan yang pergi mencari pinjaman sepeda motor, sementara Hanum pergi menemui pasiennya sekaligus Laras. 

Wanita itu menjelaskan keadaan yang di luar perkiraannya dan berjanji akan segera kembali secepatnya begitu urusannya selesai. Tak lupa mewanti-wanti Laras, agar gadis itu tidak ceroboh dalam menangani pasien yang datang, apalagi jika sampai salah memberikan diagnosa. Dengan berat hati pasien itu pun menerima keputusan Hanum, dalam hati mereka berdoa semoga persalinan tidak terjadi sebelum wanita itu kembali. 

Tak berselang lama, Gunawan sudah kembali dengan membawa sebuah sepeda motor. Lalu keduanya pun bergegas meninggalkan rumah mereka menuju kecamatan denan menggunakan kecepatan diatas rata-rata. Karena meskipun keadaan di kampung, akan tetapi jalan penghubung di desa tersebut sudah aspal, sehingga tidak terlalu menyulitkan penduduk.

Sepeninggalnya Hanum, Laras teringat dengan pesan yang dikatakan wanita itu padanya. Karena itulah gadis itu memutuskan untuk tidak membuka praktek, kalau pun jika ada pasien yang sifatnya darurat harus ditangani, maka gadis itu akan melakukan semampunya. Namun kebanyakan pasien ketika sudah sampai di tempat itu dan mengetahui jika Hanum tidak di tempat, mereka memilih untuk kembali pulang. Membuat Laras menarik napas lega, karena sesungguhnya gadis itu merasa jika ilmunya belum seberapa. 

Keadaannya seperti itu membulatkan tekad dalam hatinya untuk melanjutkan jenjang pendidikannya. Namun mengingat kondisinya saat ini, sangat sulit mewujudkannya. Gadis itu hanya bisa menarik napas berat dan menghembuskannya dengan kasar, seakan sadar jika keinginannya itu takkan mungkin bisa di raih.

Terdengar suara erangan dan jeritan kesakitan dari arah kamar bersalin, bergegas Laras segera berlari menuju kamar tersebut. Nampak wanita itu tengah mengusap perutnya yang terasa kesakitan, keringatnya sudah membasahi sekujur tubuhnya. Air matanya pun tiada henti mengalir di pipi wanita itu, pandangan matanya mengarah pada Laras. Seolah meminta pertolongan pada gadis muda itu. Tidak ada sosok lelaki yang mengantarnya tadi pagi, ‘Mungkin sedang pulang untuk mengambil beberapa kebutuhan istrinya.’ Begitu yang dipikirkan Laras saat itu

“Mbak, tolong saya. Perutku sakit sekali, mungkin bayinya sudah mau keluar,” kata wanita itu, wajahnya selalu meringis menahan sakit yang menderanya.

“Sebentar ya, Bu. Saya periksa dulu,” jawab Laras yang kemudian ia memeriksa keadaan pasien tersebut dengan teliti.

“Pembukaannya ada kemajuan, Bu. Ada harapan untuk bisa melahirkan normal dan dibantu Bu Hanum saat pulang nanti, terus berdoa dan lakukan seperti yang Bu Hanum katakan,” ucap Laras pada wanita itu, membuat perasaannya sedikit menjadi lebih tenang.

“Syukurlah, semoga saja begitu, Mbak. Aku berharap sekali bisa lahiran secara normal, aku gak mau perutku di belek-belek terus kata orang lama proses penyembuhannya. Selain itu juga biayanya mahal, karena itulah aku gak mau waktu Bu Bidan mengatakan harus di rujuk ke puskesmas apalgi rumah sakit,” ungkap wanita itu pada akhirnya mengatakan alasan yang sebenarnya, membuat Laras trenyuh. Gadis itu sangat memahami bagaimana sulitnya jika berada dalam posisi wanita itu sekarang.

“Saya paham, Bu. Tapi, kenapa tidak mengatakannya langsung pada Bu Hanum? Beliau pasti akan bantu, sehingga biayanya tidak terlalu mahal nantinya,” ujar Laras mengajak wanita itu berbincang agar tidak terlalu fokus pada sakitnya.

“Tidak usah malu, Bu. Karena itu sudah merupakan tugas dan kewajiban Bu Hanum, nanti jika terjadi kesulitan dan harus tetap di rujuk ke puskesmas, Ibu bilang saja terus terang,” kata Laras kembali.

“Baiklah, Mbak. Tapi saya berharap agar persalinanku berjalan normal dan lancar.”

Saat sore telah berganti malam, wanita itu pun melahirkan seperti yang dinginkannya. Nampak bayi merah cantik perempuan tengah bergerak lucu di dalam boksnya, sementara sang ibu kini tengah tertidur dengan nyenyaknya. Tidak ada sosok lelaki yang mengaku sebagai suaminya menemani persalinan wanita itu, hanya ada Laras dengan bajunya yang terkena cipratan darah dimana-mana.

“Ahh, segarnya darah itu ….”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status