“Bonjour (Halo), siapa yang nikah? Kok saya gak di undang?” Bayu nyelonong masuk begitu saja. Dia memang tipikal manusia sok asik.
“Pak Bayu?” Karina merapikan rambutnya yang mirip mbah Surip itu. “Saya mau minta maaf karena kemarin izin tiba-tiba. Saya ada urusan mendadak. Jadi untuk tugas tes percakapan bahasa Prancis akan saya atur ulang, dan ini ada yang harus kalian hapalkan. Nanti begitu selesai tes, saya mau semua maju ke depan. Saya mau tahu seberapa jauh kemampuan bicara kalian.” “Baik, pak.” jawab siswa tak serentak. Bayu melirikku, “Aura kemarin juga katanya gak sekolah ya? Kamu kemana?” tanyanya dengan muka datar itu. Boleh juga aktingnya. “Aura habis liburan ke Dubai, pak.” jawaban Nadia disambut tawa yang lain termasuk Sean. “Wah, keren. Ya udah kalo begitu, saya permisi ya. Ini tolong dibagikan. KM kelas ini siapa?” Karina mengangkat tangannya, “Saya aja, pak, yang bagiin.” “Oke. Merci (terima kasih).” “De rien (sama-sama).” Sampai Bayu tak terlihat di dalam kelas, Karina terus menatapnya. Dia memang suka pada Bayu. Entah apa jadinya jika ia tahu kalau guru sok kecakepan itu adalah suamiku. Mungkin dia akan ayan tujuh hari tujuh malam. Aku duduk dimejaku, membereskan buku-buku yang akan dipelajari hari ini. Sean menghampiri mejaku, “Ra, nanti kamu ada ekskul melukis ‘kan?” “Hm. Kamu juga?” tanyaku berbasa-basi, padahal aku jelas tahu dia tidak tergabung dengan ekskul apapun. Sean tertawa, “Enggak. Aku belum tahu mau gabung ekskul apa. Menurut kamu yang cocok buat aku apa?” Karina yang sedang membagikan lembaran dari Bayu berupa beberapa kalimat bahasa Prancis yang harus dihapalkan, menaruh kertas itu dengan kencang di meja, “Sean, lo kalo mau ikut ekskul jangan tanya si Aura. Dia madesu.” Sean mengernyit, “Madesu? Apa itu?” Aku dan Nadia tertawa, lagian bule begitu malah diberi ucapan singkatan. “Madesu is masa depan suram, Sean. Lo kalo mau ikut ekskul mending tanya gue.” Sean tersenyum miring, “Aku pikir masa depan suram itu kamu, Karina, bukan Aura. Masa depan kamu ketutupan bedak tuh.” Aku dan Nadia tertawa lagi. Sifat Karina memang nyebelin. Aku yang sering jadi sasaran empuknya sebenarnya senang-senang saja membalasnya, tapi berhubung ada Sean, biarkan saja mereka yang ribut. “Nyebelin lo ya! Dasar bule Kangguru.” Karina menghentakkan kakinya lalu pergi. “Aura, nanti jam istirahat kita bisa makan bareng ‘kan?” “Aku—” “Bisa.” jawab Nadia dengan sotoynya. Aku melirik Nadia sebal. “Jadwal makan Aura itu acak-acakkan. Lo emang perlu nemenin dia makan biar asupan gizinya cukup.” “Oke, kita makan bareng nanti.” Sean berlalu untuk duduk dibangku belakang. Aku lalu melirik marah ke Nadia, “Lo tuh ya. Gue gak mau makan sama dia, Nad.” “Kenapa sih? Lo ‘kan jomblo juga, gak akan ada yang marah lah.” “Gue yang marah. Gue gak suka sama Sean.” Nadia dengan otak seperempatnya malah menoleh ke orang yang sedang kita bicarakan, “Cakep gitu, lo gak suka? Ih, mata lo kureng ya? Ini kesempatan baik, Ra, untuk pacaran sama bule kayak dia. Lo gak mau memperbaiki keturunan lo apa?” “Emang kenapa sama keturunan gue?” “Biar cakep aja, biar gak kayak si Adit entar muka anak lo.” “Selamat pagi anak-anak.” “Ada guru tuh. Belajar yang bener lo. Biar gak madesu.” Nadia menoyor kepalaku. Pelajaran Fisika berjalan cepat. Sebelum lanjut pada pelajaran kedua yakni Bahasa Indonesia, aku izin ke toilet sendiri. Saat berjalan menyusuri lorong, papa Bayu berjalan santai lalu jadi terburu-buru ketika melihatku, “Aura.” “Pak Rino?” panggilku formal karena ini ada dilingkup yayasan. “Ra, syukurlah papa ketemu kamu. Bayi kalian—” “Om, sssst,” kataku mendesis persis Ular sawah, “Jangan kenceng-kenceng.” “Oh iya, maaf-maaf. Kamu jangan panggil om, dong, ‘kan kamu udah jadi menantu papa.” “Oh iya, papa. Ada apa?” “Bayi kalian udah keluar dari rumah sakit. Setelah dapet transfusi dari Adit keadaannya langsung membaik.” “Ah, syukurlah.” “Nanti pulang sekolah kamu langsung tinggal di rumah papa ya.” Aku diam sejenak, memikirkan nasib kakak tunggalku yang masih kekanak-kanakan, “Kak Adit gimana, pa?” “Adit bilang dia bisa tinggal sendiri.” “Oh gitu.” jawabku lirih. Entah, aku merasa sedikit sedih akan berpisah dengan beban terbesarku itu. “Papa hampir lupa, kalian belum kasih nama anak kalian.” “Aku udah siapin namanya, pa. Baru tadi pagi diskusi sama si—eh maksudnya sama kak Bayu.” “Oyah? Kalian mau kasih nama siapa?” “Askara Ananta, pa. Artinya cahaya abadi.” Papa yang mendengar nama yang kuberikan itu diam lalu menangis. Aku bingung bagian mana yang membuatnya menitikkan air mata. “Pa? Kok nangis?” “Papa terharu karena ternyata sudah punya cucu. Apalagi cucu itu dari kamu.” “HAH? PAK RINO PUNYA CUCU DARI AURA?” suara Nadia yang terkenal kencang seperti senk membuat hampir semua orang yang tengah berlalu lalang menengok padaku. Kapan datangnya sih makhluk ini? “Nad,” aku menghampirinya, menatap mulutnya yang melongo dan matanya yang melotot, “Lo salah denger.” “Gue gak salah denger. Pak Rino tadi bilang punya cucu dari lo.” Aku menatap papa sambil berpikir keras, “Eum, Nad, maksud pak Rino itu beliau seneng dapet—cucurut dari gue. Lo tahu Curut ‘kan? Tikus kecil itu.” “Emang iya?” Papa mengangguk cepat. Untungnya papa tidak selemot anaknya. “Oh, gue kira cucu anak manusia.” Aku membuang nafas pelan. Untungnya spek otak Nadia sedikit dibawah rata-rata sehingga aku mudah mengelabuinya. Bayu yang baru keluar kelas lain ikut berkumpul dengan kami, “Papa, eh maksudnya pak Rino ada apa disini? Ada yang bisa saya bantu?” “Gak ada, saya tadi cuma ngobrol sama Aura sebentar.” Bayu melirikku, “Oh, iya, mau nanyain dia yang kemarin habis liburan ke Dubai ya?” “Dubai? Oh hehehe, iya.” “Enggak, bohong, pak. Tadi pak Rino habis ngomongin cucu sama Aura.” celetuk Nadia. Wajah Bayu mendadak merah. Ia menatap khawatir pada papa, “Cu-cu?”Dua tahun kemudian... “...sayang, tiketnya habis, gimana dong? Kita pending aja, ya, sampe liburan tahun baru beres?” Bayu baru masuk ke dalam apartemen sambil menggantung mantelnya, karena di Paris sekarang sedang musim gugur mendekati musim salju. “Mas, kamu tuh, cari dong ke penerbangan lain. Kalo kita harus berangkat dari Paris Beauvais atau kalo ke Itali dulu juga gak papa kok. Yang penting kita pulang ke Indonesia sebelum musim liburan abis!” Bayu memijat bahuku, “Sayang, jangan marah-marah dong. Kasian anak kita.” Aku membalikkan badan memelototinya, “Ganti tuh popoknya.” “Iyaaa. Kamu jangan marah dong.” Aku tak mengindahkan ucapan Bayu lagi. Dia selalu begitu. Kalau gagal langsung diam, bukan mencari opsi lain. Setelah dua tahun menikah, dia masih saja lemot seperti dulu. Aku membuka bungkus roti bertuliskan bread RaYu : delicieux, Leger, Cipieux (Enak, Ringan, Kenyang). Brand roti yang kami buat disini sambil aku kuliah, dan Bayu bekerja. “Sayang?” Aku menoleh sambil
Aku terus menyisir rambutku depan cermin. Sedangkan Bayu sok sibuk dengan kado-kado yang kami dapat. Tok-Tok-Tok “Ra, Bay, buka dulu. Kalian belum ngapa-ngapain ‘kan?” Aku melirik Bayu, “Buka tuh.” Bayu bergerak mendekati pintu, “Kenapa, ma?” Ku lihat mama memberikan dua jamu beda warna itu pada Bayu, “Yang kiri untuk kamu, yang kanan untuk Aura. Oyah, Aura—mana?” Aku berlari mendekati pintu, “Aku disini, ma.” “Hehehe, kalian—bener gak mau nginep di hotel aja?” Aku dan Bayu menggeleng keras-keras. “Oh ya udah. Mama—tinggal ya?” “Iya, ma.” Mama sudah pamitan, tapi tak kunjung pergi. Sampai papa datang menyeret mama menuruni tangga. “Kalian—lanjutin aja. Mama tuh kurang minum, jadi agak lambat geraknya. Kalian masuk sana. Kunci ya, pintunya. Ayo, ma.” Aku dan Bayu menahan senyum. “Gue tutup ya.” kataku. Sebelum pintu ditutup, kakek mendorong pintu. “Kek? Ada apa?” Kakek melihat ke dalam kamar, “Kalian—gak butuh apa-apa?” Aku dan Bayu saling lirik dan
“...saya terima nikah dan kawinnya Aura Riana binti Jefri Septian dengan mas kawin tersebut, tu-nai.” “Bagaimana para saksi?” tanya pak penghulu. “Sah.” “SAAAAAAH!” teriak Adit dan Karina kompak. Aku menahan tawaku ketika duduk bersanding dengan Bayu di meja akad. Aku salim padanya, ia juga mencium keningku. Setelah mendengar semua pengakuannya kemarin, hatiku terenyuh pada rayuan si semprul satu ini. Aku pun mengakui kalau perasaanku sama padanya. Bayu langsung mengatakan akan menikahiku hari ini. Ia langsung mengabari mama-papa, ibu-ayah dan kakek. Kini semua hadir disini, dalam acara pernikahan asli antara RaYu alias Aura dan Bayu. Setelah menyalami tamu yang di undang hanya teman dekat dan keluarga, aku dan Bayu menghampiri meja dimana semua tengah berkumpul. “Kita sambut pengantin no palsu-palsu club kita, Adu RaYu. Beri tepuk tangan yang meriah untuk mereka.” Adit tiba-tiba berteriak seolah menjadi MC. Semua menurut, mereka bertepuk tangan meriah. “Akhirny
Aku berlari dari rumah Bayu menuju rumahku. Di depan garasi, ada motor Adit. Aku masuk ke dalam rumah yang sepi. “...gue bisa mati kalo gini caranya, Dit.” “Jangan mati dulu lah, Bay, belum umur tiga puluh.” “Diem lo! Lo emang gak bisa dipercaya. Lo gak liat luka gue sebesar ini, hah? Lo mah enak, cuma baret aja.” Aku berhenti di dapur, menatap Adit yang sedang menyesap kopinya di kursi, dan Bayu yang terduduk lesehan diatas tikar. Mereka dalam kondisi baik-baik saja. Tidak ada baret, atau luka apapun. “Kalian—gak papa?” Adit dan Bayu menoleh. Bayu berdiri dan melotot tak percaya melihatku ada disini, “Ra? Lo—disini?” Adit menggaruk kepalanya. “Gak lucu tahu gak!” Bayu dan Adit saling tatap. “Itu ide si Adit, Ra. Gue gak ikutan.” Aku melirik Adit, “Lo tuh tahu gak sih kalo gue hampir mati dapet kabar tadi?” “Ya lo bilang si Bayu gak akan mati, gimana sih.” Aku menangis, tak percaya Adit masih bisa membela diri padahal jelas ia salah. “Ra, gue—minta maaf
Pagi yang mendung. Sedari malam, Surabaya diguyur hujan. Langit seolah tahu, bahwa aku merindukan Jakarta dan seisinya hingga menangis. Drrrrt~ Aku meraih ponsel di nakas, “Adit?” “Ra, halo? Ra, urgent banget lo harus pulang.” Adit bicara dengan hebohnya. “Lo—kenapa?” “Gue kecelakaan, Ra.” “Hah?” aku bangkit dari kasur, “Kok bisa? Lo gak papa ‘kan?” “Gue hampir sekarat.” Aku diam sejenak, “Ada ya, orang sekarat suaranya kenceng dan semangat gini?” Adit diam. “Lo tuh caper banget sih. Pacar lo ‘kan disana, lo telpon Karina lah, gue ‘kan jauh. Kecelakaan kecil gak akan bikin lo mati.” “Si Aura.” Aku tertawa, “Ketauan nih ye, mau nipu gue.” “Yang sekarat bukan gue.” Katanya lirih. “Terus? Ka-rina?” “Bukan. Karina di rumahnya. Gue kecelakaan berdua, sama si Bayu.” Deg! “Ra, si Bayu—sekarat. Lo—bisa pulang sekarang ‘kan?” Aku diam, menggigit jariku kencang, “Kok si Bayu—ada di Jakarta? Dia—bukan di Prancis?” “Ceritanya panjang. Dia balik lagi dari
Aku baru beres mengaudit keuangan pabrik tiga bulan terakhir. “Akhirnya selesai juga.” Seorang pegawai perempuan usia Adit menghampiriku, “Kak, permisi, ada surat dari pengadilan.” “Hm? Siapa yang cerai?” “Itu... dari pengadilan tinggi, kak, bukan dari pengadilan agama.” “Ah, iya. Aku pikir ada yang cerai.” Aku menerima dan membaca isi surat yang diberikan. Aku mengernyit, “Ini maksudnya pabrik kita digugat atas persamaan nama dengan badan usaha lain?” “Betul, kak. Pabrik roti yang udah berdiri lima puluh tahun lalu merasa dirugikan dengan persamaan nama pabrik ini. Katanya banyak orang mengira ini adalah pabrik cabang.” Aku melirik membaca nama pabrik roti yang masih kecil ini, “Sari Rasa?” “Karena bu Syaira gak ada disini, jadi kakak yang harus ke pangadilan minggu depan.” “Aduh, ini gak ada cara yang lebih simpel apa, mbak?” “Ada, kak. Pihak pabrik pesaing bilang, kalau kita ganti nama secepatnya, mereka akan cabut gugatan.” “Bentar ya.” aku membuka pon