Kehidupan SMA Aura yang acakadut tambah berantakan saat pulang bersama sahabat kakaknya, Bayu, yang juga mengajar di sekolahnya sebagai guru Bahasa Perancis. Mereka yang lapar di jam tanggung, melipir menikmati jajanan sore dan menemukan bayi yang masih merah di semak Taman Komplek. Aura dan Bayu lalu saling tuduh untuk merawat bayi itu. Bukannya menemukan solusi, mereka malah dinikahkan karena dituduh sebagai orang tua asli bayi oleh warga setempat karena rekaman mencurigakan CCTV. Apa yang terjadi selanjutnya? Bisakah mereka mengasuh bayi itu bersama? Benarkah setelah menikah Bayu yang semprul bisa menjadi suami sempurna seperti slogan hidupnya, ‘I Will to Be Perfect Husband’? Atau malah sebaliknya jadi ‘PerFAKE Husband’? Ikuti terus ceritanya...
View More“Lo tuh kebiasaan ya! Gue ‘kan udah bilang baliknya jam lima. Lo malah jalan sama cewek lo dan ngelupain gue!” aku berteriak begitu mendengar jawaban mengesalkan si Adit.
“Eh, nyebelin lo ya! Pake teriak-teriak segala. Gue gak budek kalik, Ra!” “Ya elo nyebelin! Bukan budek lagi tahu gak, tapi Bolot. Gue ‘kan udah bilang tadi pagi waktu sarapan. Emang Oneng lo!” “Satu aja ya lo ngatain gue! Ngapa di borong?” “Suka-suka gue lah! Pokoknya gue gak mau tahu, gue pengen dijemput sekaraaaang!” Klik. Aku mematikan sambungan telpon dengan kakak tunggal nyebelin itu. Selain Bolot, dia emang Oneng, persis ucapanku beberapa detik lalu. Belum hilang rasa marahku, ponsel yang masih ku genggam bergetar pendek. Ada pesan singkat dari Adit Similikiti yang doyan mangkir dari jadwal mengantar jemputku sepulangnya kerja. Dia tuh sebenarnya sempat-sempat saja, cuma masalahnya tuh anak malesnya naudzubillah. Sok-soan sibuk dengan kehidupan dewasanya yang enggak banget. “Gue dijemput si Bayu? Bayu siapa?” Aku tak sempat berpikir, karena sebuah mobil Honda HR-V tiba-tiba berhenti di depan tubuhku yang sedikit sempoyongan karena lapar. Kaca mobilnya terbuka. “Ra, ayo.” “Ayo kemana?” tanyaku pada guru baru Bahasa Perancis. “Balik lah. Emang lo mau nginep disini? Buru!” “Si Adit bilang gue dijemput si Bayu.” Cowok usia dua puluh tujuh tahun itu membuang nafas malas, “Gue Bayu.” “Hah? Bukannya lo... Ananta?” “Bayu Ananta. Lo cuma panggil nama belakang gue aja. Buruan!” “Bentar kalik.” aku membuka pintu mobil dan duduk disebelah cowok sok kecakepan itu, “Cari makan dulu yuk. Laper nih.” “Ra, gue mau jalan sama cewek gue. Sekarang gue mau nganterin lo balik aja harusnya sujud syukur. Gak tahu diri!” “Dih. Yang gak tahu diri tuh elo. Lo lupa kenapa bisa jadian sama pacar lo? Itu karena hasil sketsa lukisan gue yang ciamik ya. Gak tahu terima kasih lo!” Bayu diam. Sepertinya dia baru mikir kalo mukanya yang ganteng itu bakal sangat percuma jika dijadikan pacar karena otaknya sedikit dodol. Untungnya aku pintar mencari peluang untuk menyerangnya seperti biasa. “Oke, gue hutang budi sama lo. Mau makan dimana?” tanyanya kemudian. “Ntar gue mikir dulu.” kataku sok jual mahal. Bayu yang tengah menyetir mengerem tiba-tiba. Dia menoleh dan menjitak kepalaku, “Ra, ini tuh Jakarta. Lo mikir lima menit aja udah membuang sisa waktu gue buat jemput pacar gue yang ada di Bekasi.” Aku mengusap kepalaku dan meringis menatapnya, “Lagian ngapain macarin mahluk beda planet sih? Nyusahin diri sendiri tahu gak!” “Ya terus gue harusnya macarin orang Jakarta gitu, misalnya siapa? Elo?” “Gue gak ngomong kayak gitu. Buat bayanginnya aja gak ada ya, Ta, lo jadi pacar gue. Soalnya lo tuh tua, bangkotan juga.” “Nama gue Bayu, berhenti panggil gue Ananta dan berhenti ledek gue tua.” protesnya lanjut menyetir. “Gue gak suka arti nama lo. Apaan Angin. Bisa-bisa hidup gue yang tenang ini berantakkan kalo gue deket-deket lo.” “Terserah. Kita makan di taman komplek rumah lo aja. Karena kalo makan di kafe, lo suka gak punya adab minta bayarin yang mahal-mahal.” “Cewek High Value kayak gue cuma di bawa ke taman komplek? Keterlaluan lo.” “Keterlaluan itu elo yang doyan morotin pacar orang.” “Liatnya jangan dari arah sana dong. Lo ‘kan sahabat dunia akhiratnya si Adit. Jadi hal yang wajar kalo lo bayarin adik imutnya ini.” “Huwek. Turun!” “Keterlaluan lo nurunin gue di tengah jalan! Angin!” Bayu tak menggubris suara kencangku. Dia keluar dari mobil lebih dulu. Aku pun mengedarkan mata indah ini ke sekeliling. Aku baru sadar sudah sampai. Aku juga baru ingat kalau Bayu membawa mobil dengan kecepatan setara Kijang berlari sedari tadi. “Pak, Siomaynya dua porsi. Yang satu campur yang satu Pare semua.” “Yang bener, mas?” bapak penjual menatap Bayu yang berwajah bule itu ragu. Aku melirik Bayu sinis. Aku juga curiga dengan pesanannya, “Yang Pare semua punya siapa?” “Elo lah. Muka lo asem tuh, perlu di seimbangkan sama yang pait.” Aku menggebug lengan kekar Bayu, “Pak, yang Pare buat supir saya nih.” “Supir?! Wah, kurang didik ya tuh mulut!” Bayu menyusulku duduk ditembok bawah pohon Mangga yang baru berbunga. Saat tengah sama-sama menikmati suasana sore yang ceria, dengan sinar matahari mengenai sebagian tubuh, serta suara anak-anak yang riang, Bayu tersenyum. “Gejala nih.” ledekku. Bayu tersenyum, “Gue suka anak kecil.” “Termasuk gue?” tunjukku pada diri sendiri. Bayu memasang wajah super datar, “Jenglot mah enggak.” Aku mengangkat tinggi-tinggi lengan kemejaku untuk kemudian menggebug lengan Bayu seperti biasa. Tapi tidak jadi karena bapak penjual Siomay sudah berdiri dihadapan kami membawa dua porsi berisi Siomay campur. “Makasih banyak ya, pak, gak jadi bikin yang isinya Pare semua.” ungkap Bayu memamerkan barisan giginya yang sebesar gigi Kuda. “Hehehe, soalnya kalian pesennya gak serius tadi. Dari pada mubadzir gak di makan, saya bikin campur aja. Silakan di nikmati mas, dek.” “Makasih, pak.” Bayu melirikku, “Makan, Ra.” “Ya iya lah di makan, masa gue goyang Dombretin.” “Ck, basa-basi doang gue.” Kami makan dalam keadaan tenang dan khidmat, bukan karena mahluk terpelajar, tapi karena takut keselek karena sangking cepatnya masing-masing menyuap. “Oaaaak.” terdengar sayup suara bayi. Bayu melirikku. “Apa?” “Lo gak denger suara barusan?” “Denger. Suara lo ngomong ‘kan?” “Bukan suara gue.” “Jelas lo ngomong barusan. Masa Pare yang ngomong?” Bayu sudah mengacungkan tangannya untuk menjitakku seperti biasa. “Apa? Lo ih, kalo gue geger otak gimana?” “Gak ada orang geger otak karena di jitak.” “Ada, gue!” “Oaaaaak.” “Tuh, denger, kedengeran gak?” “Oaaaak.” Aku menatap piring Siomay, “Itu suara Kentang Siomay?” Bayu ikut melirik piring milikku dengan polosnya, “Sejak kapan Kentang punya suara? Buka dong kuping lo lebar-lebar, itu suara bayi, Ra.” Aku menyimpan piring milikku lalu berdiri mencari sumber suara. Semakin dekat suara itu semakin terdengar jelas, “Ananta sini, suaranya makin jelas.” Bayu mengikuti kemana aku berjalan pelan. Aku menoleh menatap wajahnya yang bloon, “Itu mungkin gak ya suara bayi Thumbelina?” “Thumbelina apaan?” “Barbie.” jawabku tanpa dosa. Bayu meniup rambutku sehingga beberapa helainya mengenai pipi, “Keadaan lagi tegang gini lo malah bahas Barbie. Itu suara orok manusia, Ra. Dengerin dong.” “Oaaaaak-oaaaaak.” Suara bayi itu semakin kencang, membuatku kini bisa lebih mudah menyusurinya setelah berjalan beberapa langkah mendekati semak. “Ananta, sini, buru!” kataku sedikit panik. Bayu kini berdiri dibelakang tubuhku. Kami sama-sama bisa melihat bayi merah di sebuah keranjang yang diletakkan dibawah semak taman komplek. “Ananta, itu—ba-yi si-apa?” tanyaku terbata. “Kalo gue tahu, nama gue bukan Bayu Ananta, tapi mbah Bayu.” Aku melirik sahabat si Adit yang tampak terpukau menatap bayi laki-laki itu. Meski begitu dia tidak kaget sama sekali, “Kok lo gak kaget. Jangan-jangan... itu anak lo ya!”Dua tahun kemudian... “...sayang, tiketnya habis, gimana dong? Kita pending aja, ya, sampe liburan tahun baru beres?” Bayu baru masuk ke dalam apartemen sambil menggantung mantelnya, karena di Paris sekarang sedang musim gugur mendekati musim salju. “Mas, kamu tuh, cari dong ke penerbangan lain. Kalo kita harus berangkat dari Paris Beauvais atau kalo ke Itali dulu juga gak papa kok. Yang penting kita pulang ke Indonesia sebelum musim liburan abis!” Bayu memijat bahuku, “Sayang, jangan marah-marah dong. Kasian anak kita.” Aku membalikkan badan memelototinya, “Ganti tuh popoknya.” “Iyaaa. Kamu jangan marah dong.” Aku tak mengindahkan ucapan Bayu lagi. Dia selalu begitu. Kalau gagal langsung diam, bukan mencari opsi lain. Setelah dua tahun menikah, dia masih saja lemot seperti dulu. Aku membuka bungkus roti bertuliskan bread RaYu : delicieux, Leger, Cipieux (Enak, Ringan, Kenyang). Brand roti yang kami buat disini sambil aku kuliah, dan Bayu bekerja. “Sayang?” Aku menoleh sambil
Aku terus menyisir rambutku depan cermin. Sedangkan Bayu sok sibuk dengan kado-kado yang kami dapat. Tok-Tok-Tok “Ra, Bay, buka dulu. Kalian belum ngapa-ngapain ‘kan?” Aku melirik Bayu, “Buka tuh.” Bayu bergerak mendekati pintu, “Kenapa, ma?” Ku lihat mama memberikan dua jamu beda warna itu pada Bayu, “Yang kiri untuk kamu, yang kanan untuk Aura. Oyah, Aura—mana?” Aku berlari mendekati pintu, “Aku disini, ma.” “Hehehe, kalian—bener gak mau nginep di hotel aja?” Aku dan Bayu menggeleng keras-keras. “Oh ya udah. Mama—tinggal ya?” “Iya, ma.” Mama sudah pamitan, tapi tak kunjung pergi. Sampai papa datang menyeret mama menuruni tangga. “Kalian—lanjutin aja. Mama tuh kurang minum, jadi agak lambat geraknya. Kalian masuk sana. Kunci ya, pintunya. Ayo, ma.” Aku dan Bayu menahan senyum. “Gue tutup ya.” kataku. Sebelum pintu ditutup, kakek mendorong pintu. “Kek? Ada apa?” Kakek melihat ke dalam kamar, “Kalian—gak butuh apa-apa?” Aku dan Bayu saling lirik dan
“...saya terima nikah dan kawinnya Aura Riana binti Jefri Septian dengan mas kawin tersebut, tu-nai.” “Bagaimana para saksi?” tanya pak penghulu. “Sah.” “SAAAAAAH!” teriak Adit dan Karina kompak. Aku menahan tawaku ketika duduk bersanding dengan Bayu di meja akad. Aku salim padanya, ia juga mencium keningku. Setelah mendengar semua pengakuannya kemarin, hatiku terenyuh pada rayuan si semprul satu ini. Aku pun mengakui kalau perasaanku sama padanya. Bayu langsung mengatakan akan menikahiku hari ini. Ia langsung mengabari mama-papa, ibu-ayah dan kakek. Kini semua hadir disini, dalam acara pernikahan asli antara RaYu alias Aura dan Bayu. Setelah menyalami tamu yang di undang hanya teman dekat dan keluarga, aku dan Bayu menghampiri meja dimana semua tengah berkumpul. “Kita sambut pengantin no palsu-palsu club kita, Adu RaYu. Beri tepuk tangan yang meriah untuk mereka.” Adit tiba-tiba berteriak seolah menjadi MC. Semua menurut, mereka bertepuk tangan meriah. “Akhirny
Aku berlari dari rumah Bayu menuju rumahku. Di depan garasi, ada motor Adit. Aku masuk ke dalam rumah yang sepi. “...gue bisa mati kalo gini caranya, Dit.” “Jangan mati dulu lah, Bay, belum umur tiga puluh.” “Diem lo! Lo emang gak bisa dipercaya. Lo gak liat luka gue sebesar ini, hah? Lo mah enak, cuma baret aja.” Aku berhenti di dapur, menatap Adit yang sedang menyesap kopinya di kursi, dan Bayu yang terduduk lesehan diatas tikar. Mereka dalam kondisi baik-baik saja. Tidak ada baret, atau luka apapun. “Kalian—gak papa?” Adit dan Bayu menoleh. Bayu berdiri dan melotot tak percaya melihatku ada disini, “Ra? Lo—disini?” Adit menggaruk kepalanya. “Gak lucu tahu gak!” Bayu dan Adit saling tatap. “Itu ide si Adit, Ra. Gue gak ikutan.” Aku melirik Adit, “Lo tuh tahu gak sih kalo gue hampir mati dapet kabar tadi?” “Ya lo bilang si Bayu gak akan mati, gimana sih.” Aku menangis, tak percaya Adit masih bisa membela diri padahal jelas ia salah. “Ra, gue—minta maaf
Pagi yang mendung. Sedari malam, Surabaya diguyur hujan. Langit seolah tahu, bahwa aku merindukan Jakarta dan seisinya hingga menangis. Drrrrt~ Aku meraih ponsel di nakas, “Adit?” “Ra, halo? Ra, urgent banget lo harus pulang.” Adit bicara dengan hebohnya. “Lo—kenapa?” “Gue kecelakaan, Ra.” “Hah?” aku bangkit dari kasur, “Kok bisa? Lo gak papa ‘kan?” “Gue hampir sekarat.” Aku diam sejenak, “Ada ya, orang sekarat suaranya kenceng dan semangat gini?” Adit diam. “Lo tuh caper banget sih. Pacar lo ‘kan disana, lo telpon Karina lah, gue ‘kan jauh. Kecelakaan kecil gak akan bikin lo mati.” “Si Aura.” Aku tertawa, “Ketauan nih ye, mau nipu gue.” “Yang sekarat bukan gue.” Katanya lirih. “Terus? Ka-rina?” “Bukan. Karina di rumahnya. Gue kecelakaan berdua, sama si Bayu.” Deg! “Ra, si Bayu—sekarat. Lo—bisa pulang sekarang ‘kan?” Aku diam, menggigit jariku kencang, “Kok si Bayu—ada di Jakarta? Dia—bukan di Prancis?” “Ceritanya panjang. Dia balik lagi dari
Aku baru beres mengaudit keuangan pabrik tiga bulan terakhir. “Akhirnya selesai juga.” Seorang pegawai perempuan usia Adit menghampiriku, “Kak, permisi, ada surat dari pengadilan.” “Hm? Siapa yang cerai?” “Itu... dari pengadilan tinggi, kak, bukan dari pengadilan agama.” “Ah, iya. Aku pikir ada yang cerai.” Aku menerima dan membaca isi surat yang diberikan. Aku mengernyit, “Ini maksudnya pabrik kita digugat atas persamaan nama dengan badan usaha lain?” “Betul, kak. Pabrik roti yang udah berdiri lima puluh tahun lalu merasa dirugikan dengan persamaan nama pabrik ini. Katanya banyak orang mengira ini adalah pabrik cabang.” Aku melirik membaca nama pabrik roti yang masih kecil ini, “Sari Rasa?” “Karena bu Syaira gak ada disini, jadi kakak yang harus ke pangadilan minggu depan.” “Aduh, ini gak ada cara yang lebih simpel apa, mbak?” “Ada, kak. Pihak pabrik pesaing bilang, kalau kita ganti nama secepatnya, mereka akan cabut gugatan.” “Bentar ya.” aku membuka pon
Aku berjalan pelan menuju mobil bersama ayah dan Adit. “Jadi klien ayah yang nyuruh cari Andre itu—papa? Maksud aku—om Rino?” Ayah mengangguk, “Kami punya tujuan yang sama. Mencari orang tidak pernah semenyenangkan ini sebelumnya. Ayah gak nyangka bisa menemukan Andre di ATM deket sekolah kamu. Ayah pikir dia kabur ke luar kota. Pantes ayah pergi ke tempat lain, orang gak pernah liat dia.” Aku mengernyit, “ATM?” “Yah, si Andre itu—” Aku menatap Adit memintanya diam. “Kenapa sama Andre? Ada yang harus ayah tahu? Biar ayah sampaikan sama kepolisian untuk memberatkan masa tahanan.” Adit menggeleng, “Gak papa, tadi cuma mau bilang si Andre pasti lagi ngambil duit.” Ayah tertawa, “Ya iya lah, Dit, masa ngambil cucian. Laundry kali.” “Euh, lo tuh ya.” aku ikut mengalihkan topik. Mama, papa, dan Bayu berjalan mendekati kami. “Kamu tenang sekarang, Ra, Andre udah mendapatkan hukumannya.” Aku tersenyum, “Makasih ya, pa, masih mengusahakan mencari dia, sampe duel segala
Aku memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. Adit mengembalikan mobilku dengan baik. Dia memang pandai menjaga barang. “Lo serius mau berangkat sekarang?” tanya Adit yang disikut ibu, “Nyari univ ‘kan gak harus kesana langsung. Lewat internet aja, gue bantuin.” “Banyak yang harus gue urus disana, kak.” “Gue bisa anterin lo kalo akhir pekan.” “Gak usah, lo ‘kan sekarang sibuk pacaran sama Elsa.” Aku menghampiri ibu dan memeluknya, “Bu, aku pamit sekarang, ya? Doain perjalanannya lancar.” “Pasti. Kamu kalo pegel, ngantuk atau apapun itu, berhenti dulu.” “Siap.” “Lagak lo sih, ke sana bawa mobil sendiri. Naek pesawat aja, atau kereta gitu, atau nggak Buroq.” Aku melepaskan pelukkan ibu, “Lo tuh ya. Terserah gue lah.” Aku berdiri dihadapan Adit, “Gue—pamit ya, kak. Sama-sama, gue seneng bisa ngurus lo selama ibu di Surabaya. Udah kenyang banget gue teriak sama lo selama ini. Tapi meskipun gitu, gue pasti akan merindukan elo sih. Jengukin gue kesana loh.” Kami berpeluk
Aku membereskan baju-baju dan semua keperluan yang akan dibawa ke Surabaya. Aku sudah pulang, membawa mobil dan hadiah emas dari kakek. Aku pamerkan pada Adit, membuatnya memohon untuk meminjamkan mobilnya untuk pergi dengan Karina. “Kalo lo pelit, kuburaan lo sempit loh, Ra.” Adit masih gencar merayuku. “Tinggal beli lagi tanah kuburannya. Gue sekarang kaya, Dit, gue punya lima batang emas.” Adit manyun memainkan pintu kamar. “Mau pergi kemana sih lo?” “Ya keliling aja. Gue akan bilang kok kalo itu mobil elo.” “Dit, si Karina itu orang kaya. Dia pasti bosen kalo kemana-mana naek mobil. Naek motor tuh pengalaman baru buat dia.” “Gue yang bosen.” Aku menghentikan aktivitas beberesku. Ku lirik Adit yang memasang wajah super mengkhawatirkan, “Iya-iya gue pinjemin.” Adit melotot senang, “Serius lo?” “Tapi itu bensinnya abis, tolong di isi ya.” Adit menghampiriku, “Oke, gue isi gocap.” “Yah, gocap. Lo pikir mobil barbie. Yang bener aja dong.” “Gue belum gajian, gu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments