Share

Lima

Pernikahan Zuhra dengan Dirgam tinggal seminggu lagi, semua persiapan sudah diurus. Undangan merah maroon pilihan mereka kemarin juga sudah disebar.

Awalnya Zuhra berpikir pernikahan mereka akan digelar di gedung hotel, namun ternyata Dirgam lebih memilih halaman belakang rumah Zuhra yang luas sebagai tempat resepsi mereka.

Dirgam mewujudkan impian pernikahan garden party ala-ala Zuhra. Namun alasan utamanya adalah agar Zuhra tidak capek bolak balik ke hotel untuk sekedar mengecek persiapan pernikahan mereka. Dirgam memberikan peluang penuh bagi Zuhra untuk mengatur dekorasi sesuai keinginannya.

Zuhra tersenyum mengingat itu.

“Sudah makan?” Suara berat itu mampu mengembalikan Zuhra ke dunia nyata.

Zuhra mengangguk sebagai jawaban, “Mas baru pulang?”

“Hmm.”

“Zuhra buatkan teh, ya?”

“Tidak usah, saya hanya sebentar.”

Saya, saya, saya, sayaaa.

Zuhra sebal setiap mendengar bahasa baku Dirgam.

“Terus ngapain ke sini?” gerutu Zuhra. 

Entahlah, dia seperti tidak rela ditinggal Dirgam pulang. Dia trauma ditinggalkan. 

Ya hanya itu, tidak ada perasaan lain, batin Zuhra meyakinkan.

“Bertemu Pak Albar, masalah surat.”

Cuek amat, niat nikahin nggak sih?

“Terus kenapa cepet-cepet pulang?” tanya Zuhra yang malah kelihatan sewot.

Dirgam yang masih berdiri di hadapan Zuhra memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. 

Sok keren, batin Zuhra. Tapi memang keren, lanjutnya.

“Karena sudah selesai.”

Zuhra mengembuskan napas malas. “Ya udah, pulang sana, pulang,” ketus Zuhra.

Dirgam maju satu langkah lalu menyodorkan tangan kanannya pada Zuhra.

“Apa?” tanya wanita itus bingung.

“Salam.”

Zuhra tercengang di tempatnya, apa-apaan Dirgam itu? Namun seperti terhipnotis, Zuhra menuruti perintah Dirgam dan mencium punggung tangan pria itu.

Aneh, jantungnya bergerak liar. Saat dirinya tersadar ternyata Dirgam sudah tidak ada di hadapannya. Pria itu melenggang pergi sambil tersenyum tipis tanpa Zuhra sadari.

✏✏✏

[Kita perlu bicara, ini tentang Reno. Gue tunggu di Cafe Breaks.]

[Al]

Pagi ini Zuhra dikejutkan oleh sebuah pesan dari nomor tidak dikenal yang ternyata milik Albi, sahabat karib Reno. Mau apa lagi dia?

Zuhra mengabaikan pesan tersebut, dirinya bergegas mandi dan sarapan.

“Pagi, Bun. Pagi, Yah,” sapanya dengan senyum tersungging di bibir. “Loh, kok ....” Langkahnya terhenti saat melihat Dirgam yang sudah duduk manis di sebelah kursi yang biasa ia tempati.

“Eh, anak Bunda udah bangun, sini duduk,” panggil sang bunda saat melihat anaknya berdiri kaku di tempat.

“Mas Dirgam, kok di sini?” tanya Zuhra pelan seraya berjalan ke kursinya.

“Oh, itu. Iya, Ayah dan Bunda kan pagi ini rencananya mau pergi ke rumah Bu Dewi ambil jahitan kemeja batik ayah dan abangmu, sekalian mampir di rumah Tante Nirma.”

Bu Ratna meletakkan sepiring nasi goreng di hadapan Zuhra. “Kak Ren hari ini dinas pagi, jadi tidak ada yang menemanimu di rumah, maka dari itu Bunda meminta Nak Dirgam menjagamu hari ini,” jelasnya.

“Bun, Zuhra kan bukan anak kecil.”

“Kamu nolak Dirgam, Dek? Padahal dia udah bela-belain ke sini.” Rendy tiba-tiba muncul dengan pakaian rapinya.

“Bukan gitu,” Zuhra bergerak tidak nyaman, “tapi kan Kak Dirgam juga harus kerja, Bun, Zuhra nggak mau ngerepotin.”

“Saya libur hari minggu.”

Zuhra refleks menoleh ke arah Dirgam, tidak menyangka pria itu akan berbicara setelah sekian menit bungkam.

Bunda Zuhra tersenyum lebar, “Jadi, permasalahan clear ya.”

✏✏✏

Zuhra memandang sebal pada Dirgam, apa tadi katanya, ‘Saya libur hari minggu’?

Dengan wajah super serius dan macbook yang menyala di hadapannya, masih bisakah disebut libur bekerja? Libur ke kantor iya.

“Kalau tidak ditonton matikan saja.”

Zuhra cepat-cepat menghadap ke depan, mengalihkan pandangan matanya dari Dirgam.

“Kalau Mas sibuk harusnya nggak perlu ke sini.”

“Bunda kamu yang minta.”

Zuhra mendengus, jadi cuma karena permintaan bundanya, tidak ada yang lain?

Aish, apa yang kamu harapkan, Zuhra?

“Mas bisa tolak kalau memang enggak mau,” ujar Zuhra.

Dirgam menghela napas sebelum menoleh pada Zuhra. “Dari pada kamu ngomel terus, mending ambilin saya minum.”

Zuhra mencibir sesaat, tapi tetap menuruti perintah Dirgam. Dirinya pun berjalan gontai ke arah dapur sambil sesekali menggerutu.

Sesampainya di dapur Zuhra justru dilanda kebingungan ingin mengambil minuman apa, pasalnya dia lupa bertanya tadi karena keasyikan menggerutu. Akhirnya Zuhra memutuskan untuk membuat coklat panas saja karena di luar juga sedang turun hujan, tidak mungkin dia membuat jus jeruk di saat dingin seperti ini.

“Ini, Mas, diminum.” Zuhra meletakkan gelas yang dibawanya ke atas meja.

“Ada janji dengan siapa hari ini?”

Bukannya mengucapkan terima kasih, Dirgam malah melontarkan pertanyaan yamg membuat Zuhra bingung.

“Maksud Mas?”

“Di handphone kamu.”

Zuhra mengecek smartphone miliknya, ternyata benar ada satu pesan baru dari Albi. Zuhra memang mengatur aplikasi pesan yang bisa langsung menampilkan isi dari pesan tersebut tanpa kita buka terlebih dahulu. Saat-saat dirinya asik membuka sosial media atau berselancar di dunia wattpad aplikasi pesan tersebut cukup membantu, namun di saat seperti ini rasanya tidak.

[Ra, please dateng. Ini penting, tentang Reno dan orang tuanya.]

[Al]

Zuhra menatap Dirgam yang tengah memejamkan matanya.

“Mas ....”

“Kenapa tidak bilang?”

Zuhra terdiam bingung.

“Jadi itu alasan kamu tidak ingin saya di sini?”

“Bukan gitu,” elak Zuhra tak terima.

“Ingat perjanjian awal kita, kan?” Dirgam menoleh dengan mata kelamnya.

Zuhra mengangguk, tidak mungkin dirinya melupakan janji mereka malam itu.

“Lalu kenapa ingkar?”

“Mas,” Zuhra menyentuh punggung tangan Dirgam, “Zuhra nggak maksud bohong, cuma menurut Zuhra itu nggak penting.”

“Nggak penting?” Dirgam membeo, “Omong kosong!”

“Mas,” Zuhra yang tadinya berusaha sabar jadi kesal rasanya, “Kalau Zuhra mau bohong pasti Zuhra udah pergi nemuin Al dari tadi,” ucapnya.

“Itu tidak terjadi karena ada saya di sini.”

“Zuhra bisa buat alasan kalau cuma karena itu, lagian Mas lihat sendiri, apa Zuhra ada balesin pesan Al? Nggak, kan?”

Dirgam memejamkan matanya seraya mengembuskan napas dalam, saat terbuka, fokusnya menyorot dalam iris coklat milik Zuhra, “Saya cuma benci kebohongan, dan satu hal yang tidak bisa saya maafkan, penghianatan.”

Pria itu menarik napas lagi sebelum menambahkan, “jadi, belajar terbukalah mulai sekarang.”

✏✏✏

Jadi, belajar terbukalah mulai sekarang.

Zuhra rasanya ingin menjambak rambut Dirgam saat pria itu mengatakan hal menggelikan itu. Menyuruh orang lain terbuka, padahal dirinya sendiri bagaikan buku diary yang punya gembok rapat. Akan tetapi sesuatu dalam diri Zuhra merasa Dirgam keren saat berbicara tadi, dan Zuhra merasa gila karena sudah berpikiran seperti itu.

Dari pada gila sungguhan, Zuhra lebih memilih untuk mengenyahkan segala pemikiran tak waras itu. Secepat kilat dirinya mengambil handphone dan memasang earphone miliknya, memutar lagu sambil memejamkan mata. 

Yeah, begini lebih baik.

Tutup mata, dan tidur!

Komen (2)
goodnovel comment avatar
andre popai
12 koin ...
goodnovel comment avatar
Aqua Simorangkir
kelewat gede buat buka koin nya.. suek
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status