Melisa dan Utari berusaha mengejar, sayangnya mobil hitam itu melaju kencang seolah dia tahu sesuatu tengah mengancamnya.
"Udah, Tar ...," ucap Melisa ngos-ngosan. "Kita pulang aja!" Utari pun kesulitan mengatur napas, dia mengangguk mengiyakan ajakan Melisa. Keduanya berjalan kaki, jarak area pemakaman dengan rumah Utari tidaklah jauh, tidak sampai 15 menit dengan berjalan kaki. Keduanya berjalan perlahan, Melisa tampak gelisah, "Tar ... aku mau ngomong sesuatu, tapi--" "Apa? Ngomong aja!" sambar Utari menanggapi, dia menatap Melisa dengan yakin. "Ehm, ini cuma desas-desus, obrolan orang tua, Tar, bukan fakta," lanjut Melisa. "Katakan, Mel! Aku butuh banyak informasi, banyak pertanyaan di kepalaku yang entah dimana jawabannya," ungkap Utari mencoba meyakinkan Melisa yang bertele-tele. "Soal jembatan di kampung kita itu, kata orang tua jembatan keramat. Memang dulu ada beberapa kasus orang yang meninggal di sana, konon ... dijadikan ... tumbal," ucap Melisa ragu. Utari menatap sepupunya penuh tanya, "Tumbal?" "Iya, tapi semua kasus kematian di sana hanya pemuda yang belum pernah melakukan hubungan suami istri alias perjaka, walau enggak banyak kasusnya paling ... sepuluh tahun sekali, tapi ... sepertinya Bhama memang korban, Tari," lanjut Melisa masih ragu, tapi topik ini sangat hangat di bicarakan warga terkait kematian Bhama. "Bhama udah menikah, Mel. Dia aja selingkuh sampai perempuan itu hamil," ucap Utari lesu, langkahnya terasa berat. Sepanjang jalan, setiap orang yang melihat mereka berdua langsung berbisik atau hanya mencuri pandang penuh selidik. Tentu saja, Utari banyak sekali diakitkan dengan kematian Bhama mengingat kandasnya hubungan mereka tepat sebelum Bhama tiba-tiba menikah. Melisa meraih lengan Utari dan berbisik, "Nah, itulah anehnya, Tari. Bahkan, kamu mengenal Bhama jauh lebih baik dari pada Bu Mirah mengenal anaknya, apa kamu yakin Bhama selingkuh? Apalagi wanita itu hamil duluan? Apa kamu yakin, Tari?" "Maksudmu?" tanya Utari. "Jangan-jangan bukan Bhama yang menghamili wanita itu, Jadi Bhama melompat di jembatan dengan pertaruhan, kalau dia mati berarti dia masih perjaka, tapi kalau dia sakit parah atau cacat artinya memang dia pelakunya," ucap Melisa dengan yakin. Utari menatap Melisa dengan setengah percaya, mencerna setiap kalimatnya yang tidak masuk akal. Utari menggeleng, "Bhama nggak sebodoh itu, Mel." Meski dalam hati, Utari pun memiliki keraguan yang sama. Utari kembali melangkah meninggakkan Melisa yang kecewa karena Utari tidak setuju dengan teorinya. "Aku menyayangkan waktu terakhir kami, Mel, harusnya ... aku tidak menyerah pada hubungan itu, harusnya ... aku bersikeras meminta penjelasan, harusnya ...." Utari membiarkan kalimatnya tergantung. Melisa menepuk pelan pundak Utari untuk menguatkan, "Jangan salahin diri kamu sendiri, Tari!" "Apapun itu, pasti hal berat. Bhama bukan orang bermental lemah yang akan bunuh diri, Mel, kasihan dia!" ungkap Utari sedih, langkahnya semakin berat. *** Rumah kecil dan sederhana yang semalam ramai kini mulai sepi, garis polisi masih terpasang bergerak tertiup angin begitu saja, semalam massa cukup banyak yang merangsek mendekat karena penasaran pada proses kepengurusan jenazah, karena itulah polisi terpaksa memasang garis. Bhama yang pergi, tapi setelah itu seluruh penghuni rumah telah kehilangan semangat hidupnya. Bu Mirah masuk ke kamar dan menangis hingga tertidur. Begitu juga Hanum yang mengurung diri di dalam kamar, dia menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong, hatinya gamang membayangkan kehidupan keluarganya nanti tanpa kakaknya. Sementara Pak Sigit tertidur di kamar yang terkunci setelah diberi obat penenang oleh Pak Lis, adiknya. "Assalamulaikum!" Pak Lis menatap ke arah pintu, dia tengah berjaga di rumah duka. "Waalaikumsalam, silakan masuk Pak Jamal, maaf ... Mba Mirahnya lagi istirahat," sambut Pak Lis dengan baik. "Nggak papa, maaf saya telat melayat. Kami sekeluarga sangat syok dengan ... tragedi ini, Pak Lis," ucap Pak Jamal. Pak Lis berusaha memaklumi, "Ah, iya. Mba Utari ... pasti sedih juga." Dengan wajah sungkan Pak Jamal mencoba memberanikan diri, "Banyak berita dan kabar beredar Pak Lis, tapi saya tidak ingin terbawa kabar yang tidak benar, kalau tidak keberatan, saya mau menanyakan, apa yang sebenarnya menimpa Bhama?" tanya Pak Jamal. Pak Lis masih sungkan, keluarga Pak Jamal adalah keluarga terpandang, berbeda sekali dengan keluarga mereka yang biasa bahkan miskin. "Saya hanya sedih, bagaimanapun Bhama sudah kuanggap anak sendiri, saya nggak bermaksud apapun Pak Lis, hanya kasihan dengan Bhama," lanjut Pak Jamal menjelaskan. Pak Lis menarik nafas panjang, bukan itu maksud hatinya. Entah berapa kali Pak Lis harus menceritakan peristiwa kemarin pada pihak-pihak yang bertanya, entah karena tugas dan pekerjaan, atau hanya sekedar ingin tahu. Padahal, peristiwa itu juga cukup membuatnya trauma. "Nggak papa, Pak Jamal. Saya ceritakan." Pak Lis menarik nafas panjang, pandangannya menerawang, "Sejak Vina mengaku hamil anak Bhama dan datang menuntut pertanggung jawaban, Bhama sangat berubah. Entah apa yang ada di pikiran anak itu? Kasihan sebenarnya." "Maaf, kalau aib itu sudah melukai Mba Utari dan membuat Pak Jamal sekeluarga kecewa. Kami tidak bisa apa-apa. Tapi, hari setelah pernikahan Bhama makin pendiam, saya hanya ingat saat Mas Sigit pertama kali depresi itu seperti Bhama." "Mba Mirah meminta saya mendampingi Bhama di hari ke tiga setelah menikah, katanya Bhama bertengkar hebat dengan Vina sampai Vina pulang ke rumah orang tuanya. Bhama mulai bicara, menangis, dan kadang tertawa sendiri." "Beberapa malam Bhama tidak tidur, sampai hari itu, Bhama mulai berjalan-jalan. Katanya untuk mencari udara segar, saya selalu mengikutinya ... sejak sehabis Ashar, Bhama sudah mondar mandir di jembatan itu beberapa kali, saya ...," Pak Lis menahan suaranya yang bergetar. Pak Jamal menepuk pundak lelaki itu untuk memberi dukungan. "Saya nggak menyangka .... sama sekali, Bhama akan lom-pat," ungkapnya sedikir terbata. "Benar-benar di luar perkiraan saya." "Waktu Ashar hampir habis, saya liat keadaan Bhama aman, dia sedang duduk di kursi ruang tamu. Saya pamit sebentar pada Mba Mirah untuk sholat Ashar ... tapi, baru saja mulai wudhu, Mba Mirah udah teriak-teriak katanya Bhama pergi." "Wudhuku juga belum selesai Pak Jamal, saya keluar dari kamar mandi dan masih sempat melihat punggung Bhama pergi. Saya lari, Pak. Tapi langkah Bhama cepat sekali, karena gugup saya malah mengikutinya dengan jalan kaki bukannya naik motor ...." "Saat sampai di jembatan, saya melihat Bhama sudah berdiri di atas besi pembatas. Dan dia ...." Suara Pak Lis makin bergetar dan berat, kalimatnya menggantung, Pak Lis membuang napasnya perlahan dan kesulitan melanjutkan kalimatnya. Dukung cerita ini yuk, teman! Dengan like, komen, subcribe, dan follow. Terimakasih."Bu ... doain ya, aku mau bicara sama Pak Jamal soal permintaanya untuk segera menikahi Utari," ucap Bhama berpamitan pada Bu Mirah yang tengah sibuk dengan setrikaan tetangga."Iya, Bham, mudah-mudahan mereka ngerti, kalau kalian berjodoh pasti semuanya dipermudah, kok!" jawab Bu Mirah merestui."Bagus nggak, Bu?" tanya Bhama menunjukan sesuatu.Mata Bu Mirah berbinar, "cantik, Bham ... semoga Tari suka."Lalu saat malam tiba, sepeda motor keluaran lama berhenti di depan rumah Utari, Bu Ratna melihat anak gadisnya turun dan mengajak lelaki yang mengantarnya pulang untuk masuk."Pak ... ada Bhama itu, sini!" seru Bu Ratna memanggil suaminya.Beberapa waktu yang lalu mereka mempertanyakan keseriusan Bhama pada Utari."Assalamualaikum ...." Utari masuk disambut ibu dan bapaknya, Bhama pun mengucap salam dan menyalami kedua orang tua Tari dengan sopan."Aku ke dalam dulu," ucap Tari, dia baru saja pulang dari kampus, secara sengaja dia membiarkan Bhama bicara dulu dengan orang tuanya, se
"Sialan, Anggara!" Damar menahan geram, tangannya terkepal erat, sementara hatinya tidak tega mendengar setiap kalimat yang keluar dari Hanum."Ayo laporkan dia ke polisi!" ajak Utari di puncak kemarahannya."Jangan ...!" Hanum menggeleng lemah, wajahnya pucat."Jangan takut, Num!" Damar mencoba menenangkan, nada suaranya melunak, meski masih diliputi kemarahan.Hanum menggeleng lagi, kali ini lebih kuat, air mata mengalir di pipinya. "Dia pernah bilang, kalau pun dia masuk penjara, paling tidak akan lama. Dia punya uang, Kak. Dia punya banyak orang dalam. Setelah dia keluar ... dia akan ngejar aku lagi." Suaranya bergetar, napasnya tersengal. "Sementara aku ... malunya akan seumur hidup."Utari menatap Hanum dengan mata basah. "Num, kita ada di sini untuk kamu. Kamu nggak sendiri." Tapi kata-kata itu terasa hampa ketika Hanum menunduk, menghindari tatapan mereka."Melaporkan Mas Anggara, artinya mengungkap aibku," ucap Hanum akhirnya, suaranya lirih, hampir tak terdengar. "Rasanya ..
PERHATIAN.Bacanya pelan-pelan, Kakak. Di sini alurnya mundur, terus mundur lagi. Selamat membaca."Betul, Num. Kami nggak bisa apa-apa dan akan terus kelimpungan begini kalau nggak tahu masalah sebenarnya apa, tolong jujur pada kami, kami janji akan membantu dan melindungimu dari Anggara," tegas Damar.Hanum menunduk tanpa berani menatap Damar apalagi Utari, tangan yang memegang segelas teh manis pun bergetar, dia mencengkram erat-erat pegangan di gelas itu."A-aku ...."Tangan Utari terulur meraih tangan Hanum yang gemetaran, meski kepalanya masih berat dia berusaha bangun untuk lebih dekat dan memberi Hanum kenyamanan. Damar yang melihat inisiatif Utari pun sigap membantu Utari untuk duduk tegak.Hanum sontak menatap mata Damar, pandangannya memancarkan cinta yang begitu tulus pada Utari. Hatinya sakit mengingat Bhama, meski harusnya dia baik-baik saja. Hanum berusaha keras menekan perasaannya. Bagaimana pun Utari berhak melanjutkan hidup dan bahagia."Num ... berat ya? Sejahat itu
"Antar anak gadis Pak Jamal ini pulang. Kalau dia melawan ... bolehlah kasih sedikit pelajaran," ucap Anggara dengan nada dingin.Anggara menyeret Hanum masuk ke dalam gudang. Hanum meronta, tapi kekuatannya tidak sebanding. Di luar, Utari berusaha mengejar, tapi langkahnya dihadang oleh Raka, Tegar, dan Januar."Hanum!" seru Utari."Pergi, Kak! Aku nggak apa-apa!" teriak Hanum dari dalam gudang, mencoba menyembunyikan rasa takutnya sebelum pintu gudang itu dibanting menutup. Hanum tidak ingin ada orang lain yang terbawa oleh masalahnya."Hanum!" Utari menatap pintu itu dengan panik, tapi tiga lelaki di depannya menahan langkahnya."Kalian nggak malu ngelawan perempuan rame-rame begini?" Utari mencoba menekan ketakutannya, suaranya penuh keberanian yang hampir memudar."Kita nggak ngelawan, Kak," ucap Raka, suaranya terdengar tenang, tapi ada nada ancaman yang samar. "Ayo, aku antar Kakak pulang. Hanum cuma mau dibantu belajar sama Anggara. Ujian dia sudah dekat, kan?"Utari menatap R
Tegar masuk ke dalam ruangan dengan langkah tergesa-gesa, wajahnya datar, tapi sorot matanya menyiratkan keraguan yang mulai tumbuh. "Saka udah beres, Bos," ucapnya singkat, suaranya nyaris tanpa intonasi.Anggara, yang duduk santai di kursi sambil memainkan pemantik api, tersenyum penuh kemenangan. "Bagus ... biar dia tahu siapa yang dia tantang!" ucapnya sambil tertawa kecil, suaranya dingin seperti ancaman terselubung.Tegar hanya mengangguk, senyumnya getir. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, bagaimana pun Saka adalah teman kecilnya, tapi dia memilih diam."Mas Damar juga udah pergi lagi. Sekarang aman," tambah Raka dari sudut ruangan, memastikan semua berjalan sesuai rencana.Anggara berdiri, memasukkan pemantik api ke sakunya. "Kan udah kubilang. Semua bakal beres. Kalau aku yang urus, hasilnya pasti sempurna."Januar, yang berdiri di dekat pintu, ikut bersuara sambil tertawa kecil. "Nggak ada yang bisa ngalahin Bos Anggara. Emang keren banget!"Mereka tertawa bersama, sepe
"Aku bilang bukan satu, mungkin bukan satu orang, atau satu orang tapi tidak sekali! Yang jelas, orang yang tidur di sebelahku tanpa busana adalah Mas Bhama!" tegas Vina, sorot matanya tajam menusuk, seakan ingin memojokkan Utari hingga tak ada ruang untuk bernapas."Bhama nggak mungkin ngelakuin hal itu!" seru Utari, suaranya pecah karena emosi. Matanya memanas, seolah-olah api membakar hatinya yang kini dipenuhi rasa sakit bercampur marah."Dia mabuk, apa pun bisa terjadi, Mba! Aku nggak mengada-ada!" balas Vina dengan nada yang tak kalah tinggi, bersikukuh mempertahankan klaimnya.Utari berdiri mendadak. Napasnya memburu, jemarinya mengepal erat. "Kamu!" serunya penuh geram, kata-katanya tertahan di kerongkongan karena dadanya begitu sesak.Beberapa detik yang lalu, Utari merasa simpati terhadap Vina, perempuan yang dikiranya korban permainan kotor Anggara dan teman-temannya. Tapi sekarang? Sikap Vina memusnahkan rasa iba itu. Yang tersisa hanya kemarahan."Tari..." Saka, yang dudu