Share

Pemakaman Yang Pilu

Penulis: Betti Cahaya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-27 06:21:57

"Tari ... bangun, Nak!" Bu Ratna mengusap wajah Utari perlahan.

Kepala Utari berdenyut nyeri seiring kesadarannya yang kembali. Utari menyipitkan mata dan menyapu pandangan. Dia di kamarnya. Dengan keras Utari mencoba mengingat kejadian sebelum dia kehilangan kesadaran. Tragedi.

"Bhama, Bu?" ucap Utari mengadu, suaranya parau.

Bu Ratna memeluk putrinya dengan sedih, kembali dia usap air mata di wajah Utari dengan gemetaran.

"Ikhlaskan, Nak! Ikhlaskan!" Bu Ratna mencoba menguatkan putrinya, meski dirinya pun tidak yakin bisa.

Kabar tragis itu meledak dan menjadi buah bibir, banyak video amatir beredar di sosial media. Kejadian tragis, yang sangat disayangkan semua orang.

Keesokan paginya, langit kelabu seolah turut berkabung, menyelimuti suasana pemakaman Bhama. Angin dingin menusuk, membawa aroma bunga layu bercampur tanah basah.

Warga desa membeludag, berkerumun di sekitar pusara yang masih terbuka. Di tepi liang lahat, Bu Mirah menangis tersedu, tubuhnya disangga oleh Hanum yang wajahnya tak kalah muram. Beberapa tetangga pun ikut berjaga untuk menyangga kedua perempuan itu.

Sementara di sisi lain, seorang lelaki tua yang kurus dan kumal berdiri menatap proses itu dari kejauhan, dia dijaga oleh seorang kerabat. Pandangannya berbeda, dia yang biasanya gila, kini menatap sedih seperti orang pada umumnya. Dia Pak Sigit, bapak Bhama yang menjadi ODGJ sejak Bhama remaja.

Banyak kemalangan hidup yang harus Bhama tanggung. Dia harus bekerja di perkebunan bibit tanaman setelah pulang sekolah untuk menjadi tulang punggung keluarga.

Utari berdiri di barisan belakang, warga yang banyak tidak menyisakan banyak tempat. Utari pun sengaja tidak mendekat ke keluarga Bhama, meskipun hatinya teriris melihat sosok Bu Mirah dan Hanum yang begitu kehilangan. Ada jarak yang terlalu lebar di antara mereka sekarang—jarak yang diciptakan oleh rasa kecewa.

Seminggu lalu, saat Bhama memilih Vina, dia merasa tak hanya kehilangan Bhama, tapi juga keluarga yang dulu menyayanginya seperti anak sendiri. Utari tidak keberatan dengan segala kekurangan keluarga Bhama, status keduanya di masyarakat pun cukup timpang.

“Utari, kamu yakin mau di sini?” suara Melisa--sepupunya, terdengar pelan di telinganya. Melisa adalah satu-satunya orang yang tahu betapa dalam Utari mencintai Bhama. “Kalau berat, kita bisa pulang sekarang.”

Utari menggeleng pelan. “Aku perlu di sini, Mel. Setidaknya sampai Bhama … benar-benar pergi.”

Mata Utari terpaku pada jenazah yang perlahan diturunkan ke liang lahat. Langkah-langkah para pengusung terasa lambat, seolah waktu sengaja diperlambat untuk memperpanjang penderitaannya. Ketika jenazah itu akhirnya mencapai dasar, suara tangis Bu Mirah semakin pecah. Banyak warga ikut menangis terbawa kesedihan dan cerita pilu yang beredar menyertainya.

“Bhama … kenapa kau tinggalkan ibu seperti ini? Kenapa, Nak?” Bu Mirah meronta, membuat beberapa warga harus memegangi tubuhnya yang lemas. “Apa salah ibu padamu? Kenapa harus begini?”

Hanum mencoba menenangkan ibunya, tapi gadis itu sendiri tak mampu menyembunyikan tangisnya. “Bu, cukup … Kak Bhama nggak mau lihat kita begini .…”

Utari ingin maju, ingin memeluk Bu Mirah dan Hanum, mengatakan bahwa dia juga merasa kehilangan yang sama. Tapi dia ingat tatapan dingin wanita itu seminggu lalu, saat Utari datang mencari Bhama. Kata-kata tajam itu kembali terngiang.

“Utari, kamu bukan siapa-siapa lagi untuk Bhama. Jangan datang ke rumah ini lagi.”

Sakitnya masih terasa segar di hati Utari. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, menahan emosi yang bercampur aduk. Rasa kehilangan yang mendalam bercampur dengan kemarahan yang sulit dia redam.

Kenapa mereka menangis sekarang, setelah membiarkan Bhama terjebak dalam situasi yang menghancurkannya?

Vina berdiri di dekat pusara, mengenakan kerudung hitam. Tangisnya keras dan dramatis, menarik perhatian semua orang. Tapi bagi Utari, tangisan itu terdengar kosong, seperti akting yang terlalu dipaksakan.

“Kenapa kamu menangis, Vina?” gumam Utari pelan, suaranya bergetar oleh kemarahan yang ia pendam. “Kamu yang mengambil Bhama dariku. Kamu yang memaksanya menjalani hidup yang dia benci.”

Melisa yang mendengarnya pun melirik Utari khawatir. “Tari, kamu nggak apa-apa?”

“Aku nggak tahu, Mel,” jawab Utari jujur. “Aku bahkan nggak tahu apa yang harus aku rasakan sekarang.”

Saat pemakaman selesai, satu per satu orang mulai pergi. Tapi Utari tetap berdiri di tempatnya. Pandangannya kosong.

Dari kejauhan, Bu Mirah melirik sekilas ke arah Utari, tapi tidak mengatakan apa-apa. Hanum, yang berdiri di sampingnya, juga menatap Utari dengan mata yang tampak lelah. Ada sesuatu dalam tatapan mereka yang membuat Utari merasa terasing, seolah dia adalah orang luar di pemakaman ini.

Ketika hampir semua orang pergi, Utari mendekat ke pusara. Dia berlutut di samping gundukan tanah yang masih basah, tangannya gemetar saat menyentuh permukaannya. Aroma bunga pemakaman menyeruak menambah kesedihan yang tidak berkesudahan. Air mata akhirnya mengalir deras di pipi Utari.

"Dari awal harusnya aku yang jadi rumahmu, Bham. Kenapa kamu malah memilih pemakaman, bukannya Vina?" ucap Utari dengan suara bergetar.

“Kenapa, Bhama?!" Tangan Utari menggenggam tanah seolah mencari jawaban yang tidak akan ada, pertanyaan yang seharusnya dia tanyakan dengan tajam sebelum ini terjadi. Terlambat.

"Apa tidak cukup kamu selingkuh?" isak Utari tidak mampu lagi menahan kesedihannya yang meluap-luap.

Oksigen seolah enggan masuk ke dada Utari, sedak, "Apa tidak cukup pengkhianatan kamu itu?"

"Menikah saja dan bahagia sama Vina, bukannya kalian akan punya bayi?"

"Tapi kenapa?" Utari terisak.

"Kenapa kamu memilih jalan bodoh ini!"

"Jelaskan, Bhama! Kenapa kamu memilih mati, aku rela asal kamu bahagia, tapi kenapa kamu malah begini!" isak Utari putus asa.

"Kenapa kamu menyerah!" ucap Utari setengah berteriak seperti marah.

"Aku tau bebanmu banyak, bukannya kita biasa berbagi? Jawab Bhama!" Suara Utari melembut, seolah mengakui kerasnya hidup Bhama.

"Aku nggak bisa kehilangan kamu, tapi lebih tidak bisa menerima jalan yang kamu pilih ini!" Nada suara Utari meninggi meski di depannya hanya sebuah makam.

"Udah, Tari!" ucap Melisa yang tidak tahan dengan kesedihan Utari, dia menarik Utari yang mulai histeris ke pelukannya. "Kita pulang ya, nggak baik, biarkan Bhama tenang!"

Utari hanya menangis, meluapkan hatinya yang sesak.

Melisa memapah Utari menjauh, tidak baik karena Utari hampir tidak bisa mengendalikan diri.

Dari kejauhan, Utari kembali melihat Vina. Gadis itu menaiki sebuah mobil hitam. Aneh sekali perempuan itu, Utari tidak mengenalnya sebelum ini.

"Dia nggak pulang ke rumah suaminya?" tanya Melisa yang juga merasa heran.

"Ayo kejar dia, Mel. Aku harus bertanya banyak hal padanya! Aku yakin ada yang tidak beres!" ucap Utari sambil menyeka air matanya.

Mobil itu pun mulai melaju, sementara Melisa dan Utari berlarian mengejarnya.

Selamat membaca, jangan lupa dukung cerita ini dengan like, komen, subcribe, dan follow. Terimakasih teman-teman.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU   Cincin Istimewa

    "Bu ... doain ya, aku mau bicara sama Pak Jamal soal permintaanya untuk segera menikahi Utari," ucap Bhama berpamitan pada Bu Mirah yang tengah sibuk dengan setrikaan tetangga."Iya, Bham, mudah-mudahan mereka ngerti, kalau kalian berjodoh pasti semuanya dipermudah, kok!" jawab Bu Mirah merestui."Bagus nggak, Bu?" tanya Bhama menunjukan sesuatu.Mata Bu Mirah berbinar, "cantik, Bham ... semoga Tari suka."Lalu saat malam tiba, sepeda motor keluaran lama berhenti di depan rumah Utari, Bu Ratna melihat anak gadisnya turun dan mengajak lelaki yang mengantarnya pulang untuk masuk."Pak ... ada Bhama itu, sini!" seru Bu Ratna memanggil suaminya.Beberapa waktu yang lalu mereka mempertanyakan keseriusan Bhama pada Utari."Assalamualaikum ...." Utari masuk disambut ibu dan bapaknya, Bhama pun mengucap salam dan menyalami kedua orang tua Tari dengan sopan."Aku ke dalam dulu," ucap Tari, dia baru saja pulang dari kampus, secara sengaja dia membiarkan Bhama bicara dulu dengan orang tuanya, se

  • PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU   Nikahi

    "Sialan, Anggara!" Damar menahan geram, tangannya terkepal erat, sementara hatinya tidak tega mendengar setiap kalimat yang keluar dari Hanum."Ayo laporkan dia ke polisi!" ajak Utari di puncak kemarahannya."Jangan ...!" Hanum menggeleng lemah, wajahnya pucat."Jangan takut, Num!" Damar mencoba menenangkan, nada suaranya melunak, meski masih diliputi kemarahan.Hanum menggeleng lagi, kali ini lebih kuat, air mata mengalir di pipinya. "Dia pernah bilang, kalau pun dia masuk penjara, paling tidak akan lama. Dia punya uang, Kak. Dia punya banyak orang dalam. Setelah dia keluar ... dia akan ngejar aku lagi." Suaranya bergetar, napasnya tersengal. "Sementara aku ... malunya akan seumur hidup."Utari menatap Hanum dengan mata basah. "Num, kita ada di sini untuk kamu. Kamu nggak sendiri." Tapi kata-kata itu terasa hampa ketika Hanum menunduk, menghindari tatapan mereka."Melaporkan Mas Anggara, artinya mengungkap aibku," ucap Hanum akhirnya, suaranya lirih, hampir tak terdengar. "Rasanya ..

  • PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU   Anggara Baji*ngan

    PERHATIAN.Bacanya pelan-pelan, Kakak. Di sini alurnya mundur, terus mundur lagi. Selamat membaca."Betul, Num. Kami nggak bisa apa-apa dan akan terus kelimpungan begini kalau nggak tahu masalah sebenarnya apa, tolong jujur pada kami, kami janji akan membantu dan melindungimu dari Anggara," tegas Damar.Hanum menunduk tanpa berani menatap Damar apalagi Utari, tangan yang memegang segelas teh manis pun bergetar, dia mencengkram erat-erat pegangan di gelas itu."A-aku ...."Tangan Utari terulur meraih tangan Hanum yang gemetaran, meski kepalanya masih berat dia berusaha bangun untuk lebih dekat dan memberi Hanum kenyamanan. Damar yang melihat inisiatif Utari pun sigap membantu Utari untuk duduk tegak.Hanum sontak menatap mata Damar, pandangannya memancarkan cinta yang begitu tulus pada Utari. Hatinya sakit mengingat Bhama, meski harusnya dia baik-baik saja. Hanum berusaha keras menekan perasaannya. Bagaimana pun Utari berhak melanjutkan hidup dan bahagia."Num ... berat ya? Sejahat itu

  • PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU   Jujur Pada Kami

    "Antar anak gadis Pak Jamal ini pulang. Kalau dia melawan ... bolehlah kasih sedikit pelajaran," ucap Anggara dengan nada dingin.Anggara menyeret Hanum masuk ke dalam gudang. Hanum meronta, tapi kekuatannya tidak sebanding. Di luar, Utari berusaha mengejar, tapi langkahnya dihadang oleh Raka, Tegar, dan Januar."Hanum!" seru Utari."Pergi, Kak! Aku nggak apa-apa!" teriak Hanum dari dalam gudang, mencoba menyembunyikan rasa takutnya sebelum pintu gudang itu dibanting menutup. Hanum tidak ingin ada orang lain yang terbawa oleh masalahnya."Hanum!" Utari menatap pintu itu dengan panik, tapi tiga lelaki di depannya menahan langkahnya."Kalian nggak malu ngelawan perempuan rame-rame begini?" Utari mencoba menekan ketakutannya, suaranya penuh keberanian yang hampir memudar."Kita nggak ngelawan, Kak," ucap Raka, suaranya terdengar tenang, tapi ada nada ancaman yang samar. "Ayo, aku antar Kakak pulang. Hanum cuma mau dibantu belajar sama Anggara. Ujian dia sudah dekat, kan?"Utari menatap R

  • PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU   Permainan Kotor Anggara

    Tegar masuk ke dalam ruangan dengan langkah tergesa-gesa, wajahnya datar, tapi sorot matanya menyiratkan keraguan yang mulai tumbuh. "Saka udah beres, Bos," ucapnya singkat, suaranya nyaris tanpa intonasi.Anggara, yang duduk santai di kursi sambil memainkan pemantik api, tersenyum penuh kemenangan. "Bagus ... biar dia tahu siapa yang dia tantang!" ucapnya sambil tertawa kecil, suaranya dingin seperti ancaman terselubung.Tegar hanya mengangguk, senyumnya getir. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, bagaimana pun Saka adalah teman kecilnya, tapi dia memilih diam."Mas Damar juga udah pergi lagi. Sekarang aman," tambah Raka dari sudut ruangan, memastikan semua berjalan sesuai rencana.Anggara berdiri, memasukkan pemantik api ke sakunya. "Kan udah kubilang. Semua bakal beres. Kalau aku yang urus, hasilnya pasti sempurna."Januar, yang berdiri di dekat pintu, ikut bersuara sambil tertawa kecil. "Nggak ada yang bisa ngalahin Bos Anggara. Emang keren banget!"Mereka tertawa bersama, sepe

  • PERJALANAN PANJANG MERELAKANMU   Fitnah Keji

    "Aku bilang bukan satu, mungkin bukan satu orang, atau satu orang tapi tidak sekali! Yang jelas, orang yang tidur di sebelahku tanpa busana adalah Mas Bhama!" tegas Vina, sorot matanya tajam menusuk, seakan ingin memojokkan Utari hingga tak ada ruang untuk bernapas."Bhama nggak mungkin ngelakuin hal itu!" seru Utari, suaranya pecah karena emosi. Matanya memanas, seolah-olah api membakar hatinya yang kini dipenuhi rasa sakit bercampur marah."Dia mabuk, apa pun bisa terjadi, Mba! Aku nggak mengada-ada!" balas Vina dengan nada yang tak kalah tinggi, bersikukuh mempertahankan klaimnya.Utari berdiri mendadak. Napasnya memburu, jemarinya mengepal erat. "Kamu!" serunya penuh geram, kata-katanya tertahan di kerongkongan karena dadanya begitu sesak.Beberapa detik yang lalu, Utari merasa simpati terhadap Vina, perempuan yang dikiranya korban permainan kotor Anggara dan teman-temannya. Tapi sekarang? Sikap Vina memusnahkan rasa iba itu. Yang tersisa hanya kemarahan."Tari..." Saka, yang dudu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status