"Tari ... bangun, Nak!" Bu Ratna mengusap wajah Utari perlahan.
Kepala Utari berdenyut nyeri seiring kesadarannya yang kembali. Utari menyipitkan mata dan menyapu pandangan. Dia di kamarnya. Dengan keras Utari mencoba mengingat kejadian sebelum dia kehilangan kesadaran. Tragedi. "Bhama, Bu?" ucap Utari mengadu, suaranya parau. Bu Ratna memeluk putrinya dengan sedih, kembali dia usap air mata di wajah Utari dengan gemetaran. "Ikhlaskan, Nak! Ikhlaskan!" Bu Ratna mencoba menguatkan putrinya, meski dirinya pun tidak yakin bisa. Kabar tragis itu meledak dan menjadi buah bibir, banyak video amatir beredar di sosial media. Kejadian tragis, yang sangat disayangkan semua orang. Keesokan paginya, langit kelabu seolah turut berkabung, menyelimuti suasana pemakaman Bhama. Angin dingin menusuk, membawa aroma bunga layu bercampur tanah basah. Warga desa membeludag, berkerumun di sekitar pusara yang masih terbuka. Di tepi liang lahat, Bu Mirah menangis tersedu, tubuhnya disangga oleh Hanum yang wajahnya tak kalah muram. Beberapa tetangga pun ikut berjaga untuk menyangga kedua perempuan itu. Sementara di sisi lain, seorang lelaki tua yang kurus dan kumal berdiri menatap proses itu dari kejauhan, dia dijaga oleh seorang kerabat. Pandangannya berbeda, dia yang biasanya gila, kini menatap sedih seperti orang pada umumnya. Dia Pak Sigit, bapak Bhama yang menjadi ODGJ sejak Bhama remaja. Banyak kemalangan hidup yang harus Bhama tanggung. Dia harus bekerja di perkebunan bibit tanaman setelah pulang sekolah untuk menjadi tulang punggung keluarga. Utari berdiri di barisan belakang, warga yang banyak tidak menyisakan banyak tempat. Utari pun sengaja tidak mendekat ke keluarga Bhama, meskipun hatinya teriris melihat sosok Bu Mirah dan Hanum yang begitu kehilangan. Ada jarak yang terlalu lebar di antara mereka sekarang—jarak yang diciptakan oleh rasa kecewa. Seminggu lalu, saat Bhama memilih Vina, dia merasa tak hanya kehilangan Bhama, tapi juga keluarga yang dulu menyayanginya seperti anak sendiri. Utari tidak keberatan dengan segala kekurangan keluarga Bhama, status keduanya di masyarakat pun cukup timpang. “Utari, kamu yakin mau di sini?” suara Melisa--sepupunya, terdengar pelan di telinganya. Melisa adalah satu-satunya orang yang tahu betapa dalam Utari mencintai Bhama. “Kalau berat, kita bisa pulang sekarang.” Utari menggeleng pelan. “Aku perlu di sini, Mel. Setidaknya sampai Bhama … benar-benar pergi.” Mata Utari terpaku pada jenazah yang perlahan diturunkan ke liang lahat. Langkah-langkah para pengusung terasa lambat, seolah waktu sengaja diperlambat untuk memperpanjang penderitaannya. Ketika jenazah itu akhirnya mencapai dasar, suara tangis Bu Mirah semakin pecah. Banyak warga ikut menangis terbawa kesedihan dan cerita pilu yang beredar menyertainya. “Bhama … kenapa kau tinggalkan ibu seperti ini? Kenapa, Nak?” Bu Mirah meronta, membuat beberapa warga harus memegangi tubuhnya yang lemas. “Apa salah ibu padamu? Kenapa harus begini?” Hanum mencoba menenangkan ibunya, tapi gadis itu sendiri tak mampu menyembunyikan tangisnya. “Bu, cukup … Kak Bhama nggak mau lihat kita begini .…” Utari ingin maju, ingin memeluk Bu Mirah dan Hanum, mengatakan bahwa dia juga merasa kehilangan yang sama. Tapi dia ingat tatapan dingin wanita itu seminggu lalu, saat Utari datang mencari Bhama. Kata-kata tajam itu kembali terngiang. “Utari, kamu bukan siapa-siapa lagi untuk Bhama. Jangan datang ke rumah ini lagi.” Sakitnya masih terasa segar di hati Utari. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, menahan emosi yang bercampur aduk. Rasa kehilangan yang mendalam bercampur dengan kemarahan yang sulit dia redam. Kenapa mereka menangis sekarang, setelah membiarkan Bhama terjebak dalam situasi yang menghancurkannya? Vina berdiri di dekat pusara, mengenakan kerudung hitam. Tangisnya keras dan dramatis, menarik perhatian semua orang. Tapi bagi Utari, tangisan itu terdengar kosong, seperti akting yang terlalu dipaksakan. “Kenapa kamu menangis, Vina?” gumam Utari pelan, suaranya bergetar oleh kemarahan yang ia pendam. “Kamu yang mengambil Bhama dariku. Kamu yang memaksanya menjalani hidup yang dia benci.” Melisa yang mendengarnya pun melirik Utari khawatir. “Tari, kamu nggak apa-apa?” “Aku nggak tahu, Mel,” jawab Utari jujur. “Aku bahkan nggak tahu apa yang harus aku rasakan sekarang.” Saat pemakaman selesai, satu per satu orang mulai pergi. Tapi Utari tetap berdiri di tempatnya. Pandangannya kosong. Dari kejauhan, Bu Mirah melirik sekilas ke arah Utari, tapi tidak mengatakan apa-apa. Hanum, yang berdiri di sampingnya, juga menatap Utari dengan mata yang tampak lelah. Ada sesuatu dalam tatapan mereka yang membuat Utari merasa terasing, seolah dia adalah orang luar di pemakaman ini. Ketika hampir semua orang pergi, Utari mendekat ke pusara. Dia berlutut di samping gundukan tanah yang masih basah, tangannya gemetar saat menyentuh permukaannya. Aroma bunga pemakaman menyeruak menambah kesedihan yang tidak berkesudahan. Air mata akhirnya mengalir deras di pipi Utari. "Dari awal harusnya aku yang jadi rumahmu, Bham. Kenapa kamu malah memilih pemakaman, bukannya Vina?" ucap Utari dengan suara bergetar. “Kenapa, Bhama?!" Tangan Utari menggenggam tanah seolah mencari jawaban yang tidak akan ada, pertanyaan yang seharusnya dia tanyakan dengan tajam sebelum ini terjadi. Terlambat. "Apa tidak cukup kamu selingkuh?" isak Utari tidak mampu lagi menahan kesedihannya yang meluap-luap. Oksigen seolah enggan masuk ke dada Utari, sedak, "Apa tidak cukup pengkhianatan kamu itu?" "Menikah saja dan bahagia sama Vina, bukannya kalian akan punya bayi?" "Tapi kenapa?" Utari terisak. "Kenapa kamu memilih jalan bodoh ini!" "Jelaskan, Bhama! Kenapa kamu memilih mati, aku rela asal kamu bahagia, tapi kenapa kamu malah begini!" isak Utari putus asa. "Kenapa kamu menyerah!" ucap Utari setengah berteriak seperti marah. "Aku tau bebanmu banyak, bukannya kita biasa berbagi? Jawab Bhama!" Suara Utari melembut, seolah mengakui kerasnya hidup Bhama. "Aku nggak bisa kehilangan kamu, tapi lebih tidak bisa menerima jalan yang kamu pilih ini!" Nada suara Utari meninggi meski di depannya hanya sebuah makam. "Udah, Tari!" ucap Melisa yang tidak tahan dengan kesedihan Utari, dia menarik Utari yang mulai histeris ke pelukannya. "Kita pulang ya, nggak baik, biarkan Bhama tenang!" Utari hanya menangis, meluapkan hatinya yang sesak. Melisa memapah Utari menjauh, tidak baik karena Utari hampir tidak bisa mengendalikan diri. Dari kejauhan, Utari kembali melihat Vina. Gadis itu menaiki sebuah mobil hitam. Aneh sekali perempuan itu, Utari tidak mengenalnya sebelum ini. "Dia nggak pulang ke rumah suaminya?" tanya Melisa yang juga merasa heran. "Ayo kejar dia, Mel. Aku harus bertanya banyak hal padanya! Aku yakin ada yang tidak beres!" ucap Utari sambil menyeka air matanya. Mobil itu pun mulai melaju, sementara Melisa dan Utari berlarian mengejarnya. Selamat membaca, jangan lupa dukung cerita ini dengan like, komen, subcribe, dan follow. Terimakasih teman-teman."Apa?!" Mata Utari membelalak tidak percaya."Mereka siapa? Bhama 'kah?" tanya Utari cepat."Iya, Kak!""Jawab yang benar, mereka itu siapa aja? Nggak mungkin cuma Bhama!" Kesabaran Utari mulai habis. "Bhama yang tidur sama Vina di kamar!" jawab Raka cepat.Napas Utari sesak seketika, kalimat Raka bagaikan pukulan berat yang menghantam dadanya. Utari sedikit terhuyung kehilangan keseimbangan.Sedih, marah, dan kecewa kini bereaksi cukup buruk di kepalanya. Utari terpejam, tangannya bergetar menahan akal sehatnya agar tetap bekerja."Nggak mungkin," gumam Utari.Utari kembali mengangkat wajahnya menatap Raka, "Dari sekian banyak cowok dan hanya tiga cewek, kenapa hanya Bhama yang meniduri Vina!" cecar Utari mulai kehilangan kendali, tanpa sadar tangannya sudah berada di kerah kaos Raka dan menariknya.Raka menatap Utari ketakutan. "Aku nggak tahu, Kak. Aku mabuk berat, nggak mungkin ingat.""Kamu sendiri bagaimana?" Tatapan Utari tajam, menerabas jendela hati Raka yang berusaha keras
"Ta-tari?" Saka gugup, dia menatap jemari, sadar rokoknya habis terbakar udara, baranya hampir mengenai kulit, Saka membuangnya di bawah tatapan penuh intimidasi Utari. Tangannya sedikit kaku saat meraih gelas yang jatuh, dibiarkannya genangan kopi di meja begitu saja. "Ada apa?" Suara Saka terdengar dipaksakan, mencoba menyembunyikan kegugupan. Utari mendekat, langkahnya tegas, tatapannya tajam menusuk, "Jelaskan, Saka!" Saka meraih beberapa lembar tisu dan mengelap genangan kopi dengan gerakan asal. "Apanya?" Utari menarik tangan Saka, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya, Saka tidak bisa mengelak lagi. "Kamu pasti tahu maksudku, harusnya aku bertanya saat Bhama tiba-tiba memutuskanku, kalau saja ... kalau saja, aku tahu apa yang sebenarnya terjadi, pasti Bhama ... pasti Bhama tidak akan begini." Saka menarik tangannya dari Utari. Pandangannya jatuh ke lantai. Kepergian Bhama yang tragis masih meninggalkan luka yang cukup dalam untuk orang-orang terdekatnya, termasuk S
"Saat sampai di jembatan, saya melihat Bhama sudah berdiri di atas besi pembatas. Dan dia ...." Pak Lis membuang napasnya dengan berat.Pak Jamal yang mendengarkan pun terbawa suasana tegang."Saya melihat dengan mata kepala sendiri, detik-detik dia melompat ...," ucap Pak Lis, kepalanya tertunduk, terlihat bagaimana dia menyayangkan perbuatan keponakannya.Keduanya saling diam, Mereka sama-sama tahu karakter Bhama sebelum ini. Badannya kekar karena bekerja keras, kulitnya sedikit kecoklatan karena sering terkena matahari, garis wajahnya tegas layaknya pria sejati. Dia punya senyum yang khas, jika dia bicara terlihat berkharisma membuat siapa saja betah bercakap dengannya.Namun, hatinya lembut dan penuh kasih sayang pada ibu dan Hanum, dia juga ikhlas memikul tanggung jawab yang saat itu belum menjadi miliknya dengan lapang dada. Bhama selalu ceria dan tidak mengeluh.Semua orang terkejut, dengan langkah terakhir yang diambil Bhama."Jadi ... itu murni keinginan Bhama? Bukan ada kece
Melisa dan Utari berusaha mengejar, sayangnya mobil hitam itu melaju kencang seolah dia tahu sesuatu tengah mengancamnya."Udah, Tar ...," ucap Melisa ngos-ngosan. "Kita pulang aja!"Utari pun kesulitan mengatur napas, dia mengangguk mengiyakan ajakan Melisa. Keduanya berjalan kaki, jarak area pemakaman dengan rumah Utari tidaklah jauh, tidak sampai 15 menit dengan berjalan kaki.Keduanya berjalan perlahan, Melisa tampak gelisah, "Tar ... aku mau ngomong sesuatu, tapi--""Apa? Ngomong aja!" sambar Utari menanggapi, dia menatap Melisa dengan yakin."Ehm, ini cuma desas-desus, obrolan orang tua, Tar, bukan fakta," lanjut Melisa."Katakan, Mel! Aku butuh banyak informasi, banyak pertanyaan di kepalaku yang entah dimana jawabannya," ungkap Utari mencoba meyakinkan Melisa yang bertele-tele."Soal jembatan di kampung kita itu, kata orang tua jembatan keramat. Memang dulu ada beberapa kasus orang yang meninggal di sana, konon ... dijadikan ... tumbal," ucap Melisa ragu.Utari menatap sepupun
"Tari ... bangun, Nak!" Bu Ratna mengusap wajah Utari perlahan.Kepala Utari berdenyut nyeri seiring kesadarannya yang kembali. Utari menyipitkan mata dan menyapu pandangan. Dia di kamarnya. Dengan keras Utari mencoba mengingat kejadian sebelum dia kehilangan kesadaran. Tragedi."Bhama, Bu?" ucap Utari mengadu, suaranya parau.Bu Ratna memeluk putrinya dengan sedih, kembali dia usap air mata di wajah Utari dengan gemetaran."Ikhlaskan, Nak! Ikhlaskan!" Bu Ratna mencoba menguatkan putrinya, meski dirinya pun tidak yakin bisa.Kabar tragis itu meledak dan menjadi buah bibir, banyak video amatir beredar di sosial media. Kejadian tragis, yang sangat disayangkan semua orang.Keesokan paginya, langit kelabu seolah turut berkabung, menyelimuti suasana pemakaman Bhama. Angin dingin menusuk, membawa aroma bunga layu bercampur tanah basah.Warga desa membeludag, berkerumun di sekitar pusara yang masih terbuka. Di tepi liang lahat, Bu Mirah menangis tersedu, tubuhnya disangga oleh Hanum yang waj
"Ada yang Bunu* diri!""Ada yang lompat di jembatan!""Ada yang jatuh!"Suara teriakan segerombolan remaja laki-laki itu menggema, mengguncang udara sore yang mulai gelap, suasana yang harusnya tenang kini menjadi gaduh. Warga yang mendengar langsung bergabung berlarian ke arah jembatan.Beberapa memekik ngeri, yang lain hanya terpaku dengan wajah tegang. Dari bawah jembatan, suara air sungai mengalir deras bertemu bebatuan menambah suasana mencekam.Teriakan warga cukup mengusik Utari yang sedang termenung di terasnya, hatinya patah setelah ditinggal kekasihnya menikah. Namun kegemparan ini mengalihkan perhatiannya."Ada yang lompat di jembatan!"Bu Ratna dan Pak Jamal --orang tua Utari, keluar dari rumah, menyambut teriakan warga yang menyebarkan kabar yang sangat tabu dengan wajah yang terkejut dan tidak percaya. Mereka bertiga saling menatap dan bertanya lewat pandangan mata."Bener enggak itu? Masa sih?" tanya Bu Ratna tidak percaya hal semengerikan itu terjadi di kampungnya.Pak