Share

Nagih ke rumah, siapa takut?

Detik kemudian setelah centang abu itu berubah biru, profil Mbak Ida jadi hilang. Aku diblokir!

.

.

"Buk, kenapa bau gosong?" tanya Rumi tiba-tiba. Putri pertamaku yang berusia 13 tahun itu tergopoh menghampiriku, ia lekas menurunkan wajan yang berada di atas tungku menggunakan selongket kayu.

"Astaghfirulloh," gumamku. Kuusap air mataku agar Lina tak melihat jika aku habis menangis.

"Ibu, lupa Rum. Keasyikan main H*!" kilahku.

"Dibu*ng saja Rum. Goreng yang baru, kebetulan Ibu beli setengah kilo kemarin," imbuhku.

"Ada-ada sih, Buk. Gak papa deh, gosong, masih bisa dimakan, kok, ini," ucapnya sembari mencicipi ikan Asin yang sudah berubah hitam pekat itu.

"Ibu kenapa, kok matanya merah?" Rumi bertanya kala menatapku, karena sedari tadi, ia masih fokus pada ikan asin itu.

"Kenapa, enggak, Kok Rum. Mata Ibu merah karena kena asap dapur," kilahku. Rumi diam, seperti curiga, ia melirik H* yang kupegang, kemudian kembali melihatku.

"Yaudah, panggil adikmu, kita sarapan. Hari ini Ibu masak sayur bening bayam. Lauknya, biar Ibu goreng ikan lagi, nanti Ibu gorengin tempe kalo Bapak pulang," ucapku.

Meski ingin berkata, Rumi tetap mengangguk, dan memanggil Lina-adiknya yang berusia 6 tahun. Lina, putriku yang kedua itu sekolah masih kelas TK B, dan kebetulan, ia duduk bersama dengan Anak Mbak Ida. Biasanya, aku dan Mbak Ida berangkat bersama saat mengantar anak kami, karena sekolah TK hanya berjarak 100 meter dari rumah. Entah bagaimana setelah ini jika Mbak Ida pulang. Melihat dia membl*kirku, sudah pasti hubungan kami tak lagi akan baik.

"Assalamualaikum!"

"Bapaaak!" Lina langsung berlari menghampiri Mas Abas saat baru datang dari pasar. Suamiku itu mengeluarkan jajan pasar yang dibungkus daun pisang dari kantong plastik.

"Horeee ceniiil! Kak Rumi! Bapak bawa cenil!" teriaknya girang. Lina lantas menghampiri adiknya dan segera memakannya dengan lahap. Begini saja mereka sudah senang.

"Tumben pulang cepet, Mas, biasanya jam sembilan," tanyaku.

"Iya Dek. Tadi juragan Ishaq bilang, dia nyuruh aku buat manen jagungnya di sawah. Tadinya sih mau tetep pulang kalo dagangan gak habis, tapi kebetulan tempenya diborong orang buat acara selamatan katanya. jelas Mas Abas.

"Yang ini buat modal besok. Ini buat kamu." Mas Abas mengeluarkan uang dari dompet usangnya, ia menghitung, dan memberikannya padaku 50 ribu.

"InsyaAllah, nanti, bakal ada tambahan dari up*h manen jagung," imbuhnya.

"Makasih, ya, Mas. Yaudah, Mas sarapan dulu. Aku siapin bekal buat dibawa ke sawah," ujarku. Mas Abas mengangguk kemudian berlalu. Sedang aku, aku kembali menyalakan tungku dan memasak untuk Mas Abas. Masih ada sisa tempe kemarin yang hampir busuk buat dibikin bacem.

Hari menjelang sore. Selama itu, berulang kali aku membuka W* berharap Mbak Ida membuka bl*kirannya dan beritikad baik memb*y*r h*tangnya. Aku bingung, terpaksa aku harus mol*r lagi dan bicara pada guru ngaji Lina.

Usai memandikan Lina dan memakaikan baju. Aku gegas mengantarkannya mengaji. Berbeda dengan waktu Rumi kecil yang tergolong lebih berani dan mandiri sejak seumuran Lina, Lina lebih pemalu dan cengeng. Jika mau berangkat sekolah ataupun mengaji, aku pasti melewati banyak drama untuk merayunya agar dia mau berangkat.

"Ayo, Nduk! cepat. Keburu telat!" panggilku saat Lina tak kunjung keluar rumah. Sementara aku sudah siap di atas motor.

Setelah Lina naik. Aku langsung menghidupkan dan menancap gas motorku ku. Namun saat melewati rumah Mbak Ida, kulihat pintunya terbuka, mungkinkah dia sudah pulang. Aku berniat bicara langsung padanya tentang masalah tr*ns*eran yang tidak masuk itu sepulang mengantarkan Lina mengaji. Masa bodoh jika nanti ada perdebatan, yang penting, aku harus mendapatkan hakku kembali.

Sepulang mengantarkan Lina, aku mampir ke rumah Mbak Ida yang hanya berjarak tiga rumah dari rumahku. Kulihat sekelebat bayangan Mbak Ida yang masuk ke dalam saat aku baru memasuki halamannya.

"Assalamualaikum!" ucapku setengah berteriak. Dadaku sesak saat ucapan salamku yang ke tiga tak kunjung mendapat jawaban. Tidak mungkin jika dia tidak dengar. Menit kemudian, Rara, anaknya keluar dari kamar. Ia membawa mainan boneka barbie di tangannya.

"Rara!" panggilku dan dia lantas mendekatiku yang masih berada di teras rumahnya.

"Apa, Tante," balasnya.

"Rara kapan datang dari rumah nenek?" tanyaku.

Layaknya bocah kecil, Rara menjawab pertanyaanku dengan polos dan sedikit bingung.

"Kemarin."

"Tapi, Rara gak di rumah nenek," imbuhnya lagi. Aku sedikit kaget, tidak mungkin jika dia mengarang.

"Lo, bukannya di rumah Nenek Rara ada manten?" Rara menggeleng dengan polosnya.

"Lalu, Rara kemarin dari mana sama Mama Rara?" tanyaku lagi.

"Dari pantai." Hanya itu kalimat yang Rara ucapkan. Aku tak ingin bertanya lebih jauh. Masa bodoh kemarin Mbak Ida darimana. Tujuanku kesini hanya untuk me*inta u*ngku kembali.

"Sekarang, Mama Rara dimana?"

"Di kamar mainan hp," jawabnya lugu sembari menunjuk kamar utama, tempat Rara keluar tadi. Astaga! tidak mungkin jika Mbak Ida tak mendengar salamku. Jika saja tak ada Rara disini yang akan mendengar, ingin kuberteriak "Kamu b*dek, ya, Mbak! masa diteriakin gak denger!"

"Rara, bisa tolong panggilin Mama, gak? bilang ada bude Lilis," ucapku kemudian. Emosiku seakan mau meledak. Jika saja u*ngku banyak, aku tak akan memaksa seperti ini. Aku yang memberi p*'njam*n, dan sekarang aku seperti pengemis yang me*inta u*ngnya.

Rara mengangguk, ia lantas masuk ke dalam kamar. Namun, detik kemudian, Rara berteriak, menangis seperti kesakitan. Hingga suara Mbak Ida terdengar olehku "Sudah Mama bilang, gak usah keluar!"

"Diam! atau Mama cubit lebih keras lagi!" bentaknya lagi, kali ini, dia seolah mengancam Rara. Suara tangisan Rara langsung berhenti saat Mbak Ida mengatakan kalimat terakhirnya. Aku sampai beristighfar dalam hati. Kasar sekali Mbak Ida terhadap anaknya sendiri, sungguh berbanding terbalik dengan kehidupannya di sosial media yang selalu memposting status tentang parenting pada anak. Mbak Ida sering mengunggah video saat dia mempraktekan parenting itu melalui Rara. Ia berbicara dan menjelaskan begitu lembut, hingga tindakannya banyak menuai komentar yang memujinya. Mendengar tangisan Rara tadi, aku jadi menyesal menyuruh Rara memanggil Mbak Ida.

Dengan dada sesak menahan emosi. Aku akhirnya memutuskan untuk pulang.

"Mbak Ida! aku tahu kamu mendengarku. Jangan harap aku akan membi**kanmu begitu saja!" teriakku kemudian.

Aku lantas menghidupkan motor, namun detik kemudian, Mbak Ida keluar dari kamarnya dan membanting pintu depan dengan keras. Aku sampai terkejut karenanya, membuatku reflek mengumpat dalam hati. Jika saja aku tak memikirkan tatakrama, sudah kutendang pintunya itu. Biar engselnya copot sekalian. Tau sendiri kekuatan emak-emak jika sudah ngamuk.

Baru saja aku keluar dari halam rumah Mbak Ida, kulihat dari kaca spion seseorang memasuki halaman rumah Mbak Ida. Tak salah lagi, itu tu*ang paket! tak ingin membuang kesempatan, aku langsung menghentikan motor di pinggir jalan, dan kembali ke rumah Mbak Ida.

"Pa*eeet!" teriak Mas p*ket sembari membawa bungkusan paket yang mungil di tangannya. Entah apa isinya, aku tak peduli. Tak perlu menunggu lama seperti saat aku berteriak tadi, Mbak Ida langsung membuka pintu rumahnya. Ia seperti terkejut saat melihatku menghampirinya.

"Mbak, kem*ali*an u*ngku!" ucapku. Jika tak bisa dengan cara baik-baik, cara lain pun kuladeni.

Wajah Mbak Ida seketika merah padam. Ia menatapku dengan tajam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status