Share

Didatangi Bu Rt

"Mbak, kembalikan uangku!" ucapku. Jika tak bisa dengan cara baik-baik, cara lain pun kuladeni.

Wajah Mbak Ida seketika merah padam. Ia menatapku dengan tajam. Biar sekalian malu dia pada Mas kurir.

"Heh, Mbak Lilis! jangan kurang ajar kamu, ya! aku gak punya urusan sama kamu!" cecarnya berkacak pinggang sembari menatapku nyalang.

"Begitu ya, kalo Mbak Ida susah begini. Terpaksa aku menagih pada suamimu!" ancamku. Mas kurir terlihat bingung, memandangku dan Mbak Ida bergantian.

"Coba saja kalo bisa! wong hutang wes dibayar kok tetep minta lagi. Kalo memang butuh uang, bilang! gak usah pakek bohong segala! kali miskin itu minimal yang jujur, Mbak! biar hidupnya berkah!" Mbak Ida semakin keras mengeluarkan caciannya padaku. Detik kemudian, Bu Rt dan beberapa tetangga menghampiri kami, mungkin karena mendengar keributan. Bisa kulihat Mbak Ida terkejut saat melihat kedatangan tetangga. Jelas saja, selama ini, Mbak Ida dikenal dengan Istri yang lemah lembut, dan sabar seperti di sosial media. Sukurin! akhirnya ada tetangga yang melihat tabiat aslinya.

Mbak Ida langsung merubah ekspresi wajahnya yang tadinya kejam menjadi datar. Ia lantas masuk dan keluar membawa uang 300 ribu sebelum kemudian memberikannya padaku. Ia seolah berakting di depan Ibu-Ibu tetangga.

"Ada apa sih, ini Mbak, kok ribut-ribut," tanya Bu Rt.

"Ini, lo, Bu. saya kan kemarin pinjam uang sama Mbak Lilis karena gak ada uang cash. Nah, pdahal uangnya sudah saya bayar, tapi dia malah minta lagi. Katanya belum dibayar." Aku terkejut mendengar pernyataan Mbak Ida. Tentu saja aku tak terima. Bu Rt dan lainnya sampai memandangku aneh.

"Ya Allah, Mbak! bisa-bisanya kamu fitnah aku gini. Aku cuma mau hakku kembali, karena memang gak ada bukti transfer dan uang masuk di rekening!" Bu RT dan Ibu-Ibu lainnya memandangku dan Mbak Ida bergantian, seolah mencari kebenaran.

"Sudah, Mbak. Jadi ini masalah transferan gak masuk?" tanya Bu RT. Baru saja aku ingin membalas, tapi Mbak Ida mendahului membicaraanku.

"Sudah masuk, kok, Bu! gak mungkin saya bohong. Lagipula, ngapain saya perkarain uang 300 ribu. 300 ribu gak ada apa-apanya bagi saya. Biarlah saya bayar lagi, mungkin Mbak Lilis memang lagi butuh," tukasnya membela diri. Mbak Ida bicara begitu tenang, aura gelapnya hilang seketika, tidak seperti dia mencaciku saat tetangga belum datang tadi.

"Enggak Bu Rt! gak ada uang masuk, makanya saya sampai datengin gini karena Mbak Ida sudah memblokir nomor saya!"

"Jangan fitnah, kamu, Mbak!" sahut Mbak Ida.

"Mau cari pembelaan apa lagi, Mbak. Apa perlu saya posting percakapan kita di WA supaya orang sekampung tahu masalah kita? atau biar sekalian follower Mbak Ida tau tabiat Mbak yang sebenarnya," ucapku, wajah Mbak Ida langsung berubah pias. Dia seketika bungkam seribu bahasa.

"Bu, ini gimana paketnya. Saya buru-buru! daripada berdebat gak ada ujung, lebih baik Bu Lilis ke Bank, minta cetak transaksi keluar masuk uang. Beres, deh! nanti kan, kelihatan siapa yang benar, dan siapa yang salah," tutur Mas Kurir. Aku yang mendengar itu seakan mendapat angin segar, kenapa gak kepikiran dari awal, ya.

"Nah, bener, itu. Lebih baik begitu," sahut Bu Ramlah. Tetangga sebelah Mbak Ida.

"Baik, Bu. Besok saya akan ke Bank, dan menyelesaikan perselisihan ini," balasku.

Mbak Ida masih diam, ia terlihat bingung namun berusaha menutupinya. Sampai suara Mas kurir membuyarkan lamunannya.

"Bu, paketnya gimana? totalnya seratus lima puluh delapan ribu sama ongkir," jelasnya.

"Eh, iya, Mas. Tunggu sebentar, ya, saya ambil uang dulu!" Mbak Ida masuk ke dalam. Sedang aku masih berbincang ringan dengan Ibu-Ibu. Entah kenapa Mbak Ida lama sekali mengambil uang, hingga Mas kurir beberapa kali celingukan dan melihat jam tangannya. Sampai akhirnya, Mbak Ida keluar dengan tangan kosong.

"Mas, saya gak ada uang cash. Tuh, uangnya sudah kukasih ke Ibu itu tadi!" ucap Mbak Ida sembari menunjukku, membuatku kembali geram. Berulangkali dia mengatakan seolah aku yang meminta uangnya. Tentu saja aku diam, tak menawarkan uang 300 milikku yang sudah susah payah kudapatkan kembali.

"Lah, terus gimana ini, Bu!" ucap Mas kurir.

"Kalo, Mas mau nungguin saya ambil uang dulu di ATM!" balas Mbak Ida.

"Kelamaan, Bu! saya buru-buru. Sia-sia dong saya nunggu Ibu disini daritadi!"

"Yaudah, Mas, cancel saja!"

"Ya Allah Bu, pinjam saja dulu!"

Ibu-Ibu menatapku seolah menyuruhku untuk meminjamkan kembali pada Mbak Ida.

"Maaf, uang ini mau saya buat bayar seragam anak saya," ucapku.

"Lagian siapa yang mau uangku kembali, Mbak!" sahut Mbak Ida. Dia tetap ngotot bahwa ini uangnya.

"Kalo Mbak Ida masih ngotot ini uang milikmu. Buka blokirannya, biar aku kasih liat bukti print dari Bank besok!" Aku tahu Mbak Ida menahan emosi. Hanya saja, dia masih mempertahankan citra baiknya di depan Ibu-Ibu.

"Sudah, sudah! biar pake uang saya dulu," Bu Ramlah menyela. Ia lantas pulang mengambil uang dan memberikannya pada Mas Kurir.

"Berapa tadi, Mas?" tanyanya.

"158 ribu, Buk," jelasnya.

"Ini, 160, kembaliannya ambil saja!" ucap Bu Ramlah dibalas Mas Kurir dengan senyuman dan ucapan terimakasih sebelum akhirnya ia pergi melanjutkan pekerjaannya.

"Bu Ramlah, makasih, ya. Nanti malem aku ganti. Maaf ngrepotin. O iya, saya ada oleh-oleh dari bali untuk Ibu-Ibu semua," ucap Mbak Ida, ia lantas masuk ke dalam dan kembali membawa empat bungkusan kotak kue pie susu khas Bali. Dalam hati, bukannya waktu itu dia bilang ke rumah mertuanya karena acara pernikahan. Ah, sudahlah, memang apa peduliku.

Aku pamitan pada Ibu-Ibu untuk pulang saat Mbak Ida masuk ke dalam, namun, teriakan Mbak Ida membuatku menghentikan langkah, dan membuatku kembali menghampirinya karena tak enak dilihat Ibu-Ibu.

Aku berterimakasih pada Mbak Ida karena mendapat bagian, meski kurasa, dia tak ikhlas saat memberikannya padaku. Bisa kutangkap wajah tak sukanya saat mata kami bertemu. Setelahnya, semua pulang ke rumah masing-masing.

Aku kembali menaiki motor yang berada di pinggir jalan, dan pulang ke rumah. Belum sempat aku mendudukkan bokong, namun suara anak kecil memanggilku, membuatku kembali keluar.

"Bude ... Bude Lilis!" teriaknya.

"Ya, sebentar!"

"Rara? ada apa sayang," tanyaku. Rara tak langsung menjawab, dia menunduk sembari memainkan jemarinya seolah takut.

"Rara, bilang saja," ucapku meyakinkan.

"Em, Rara suruh ambil kue yang tadi Mama kasih!"

Astaghfirulloh!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status