Share

Ketemu Mbak Ida

"Em, Rara suruh ambil kue yang tadi Mama kasih!"

Astaghfirulloh! batinku. Jadi dia tak ikhlas memberiku oleh-olehnya. Atau mungkin Mbak Ida memberiku hanya agar terlihat baik di depan Ibu-Ibu. Ah, aku jadi berburuk sangka gini kan.

"Tunggu sebentar, ya Rara." Aku masuk ke dalam, mengambil kotak kue itu dan memberikannya pada Rara.

"Ini, bilang sama Mama, terimakasih," ucapku.

Aku menghela napas berat. Jika saja tak ingat tangisan Rara tadi, ingin aku berpesan padanya "Bilang sama Mama, kalo gak ikhlas, gak usah ngasih!" Tapi, rasanya aku tak pantas berkata demikian di depan anak kecil seperti Rara. Nanti dia malah kembali disalahkan kembali oleh mamanya.

"Uangnya mana, Bude?" tanyanya polos. Mata bening tak berdosanya menatapku.

Hah, maksudnya uang 300 yang dia beri tadi. Benar-benar ngajak ribut Mbak Ida. Udah gak mau maju sendiri, malah anaknya yang disuruh. Jika ini maunya, baik, akan kuladeni!

"Bilang sama Mama Rara, kalo mau uangnya, suruh ambil sendiri kesini, ya," ucapku kemudian. Aku bicara selembut mungkin, meski nyatanya aku tengah menahan emosi.

"Siapa, Buk?" tanya Mas Abas menghampiriku.

"Rara, anaknya Mbak Ida," jelasku.

"Loh, gak ngaji dia. Ngapain kesini, cari Lina, ya?" tanyanya lagi.

"Dulu pernah ikut ngaji, tapi terus mogok gak mau berangkat," balasku.

Aku belum bercerita pada Mas Abas tentang masalahku dan Mbak Ida.

"Mas, pantas gak sih, orang ngasih terus diminta lagi," tanyaku.

"Ada-ada saja. Ya gak pantes to Buk. Lagian ngapain ngasih kalo ujung-ujungnya diminta lagi, bikin malu saja!" tukasnya. Akhirnya, aku bercerita pada Mas Abas, tentang pertengkaranku dengan Mbak Ida, tentang kue pemberianya yang diminta lagi, juga uang 300 ribu yang ingin ia ambil kembali dariku melalui Rara.

"Astaghfirulloh, kenapa Ibu gak bilang. Pantesan semalam kamu tidurnya gak nyenyak, gerak terus," tukasnya.

"Aku sakit hati, Mas. Aku sakit hati Mbak Ida mengataiku pelit sembari membawa-bawa status kita yang miskin. Aku juga punya harga diri, Mas! apalagi Mbak Ida masih tak mau mengakui jika dia salah! terlebih tadi di depan Ibu-Ibu, dia berlagak seolah aku yang meminta uangnya." Kembang kempis aku berucap. Dadaku kembali sesak mengingat caciannya. Jika aku pelit, tak mungkin aku selalu memberikannya sayuran segar saat Mbak Ida meminta ke rumah. Tak jarang aku menyuruhnya memetik sendiri di kebun belakang agar dia bisa memilihnya.

"Sabar Bu, semua kan sudah terlanjur. Lebih baik besok kita ke Bank. Minta print riwayat transaksi, biar kalo masalah ini masih dibesarkan, tinggal tunjukin aja bukunya." Aku hanya mengangguk menanggapi.

Waktu sudah menunjukkan jam 5 sore. Aku bermaksud menjemput Lina. Biasanya, Lina akan pulang bersama kakaknya Rumi, tapi karena mau membayar seragamnya, jadi kali ini, aku menjemput biar sekalian beres.

"Ibuuuuk! teriak Lina girang saat melihat motorku menghampirinya. Rumi dan Lina sudah setengah perjalanan pulang.

"Tumben Ibu jemput," ucap Lina.

"Iya, mau bayar seragam adikmu. Bu ustazahnya udah pulang belum, ya?" tanyaku.

"Kayaknya belum, Buk. Belum ada lewat," jawab Rumi.

"Kamu mau terus pulang atau ikut Ibu."

" Rumi pulang aja deh, Bu."

"Aku ikut Ibuk!" sahut Lina. Ia lantas menaiki motor dan berpegangan.

"Assalamualaikum, Bu Hamzah." Aku menghampiri guru ngaji Lina. Ia baru saja keluar dari kelas dan mengunci pintunya.

"Waalaikumsalam. Eh, Bu Lilis, ada apa Bu?" tanyanya.

"Ini, mau bayar sergam Lina," jelasku.

"Loh, katanya tadi masih gak ada uang Bu. Gak papa kalo uangnya masih kepake. Saya sudah talangin dari dulu Bu. Jadi, bisa kapan-kapan bayarnya." Aku hanya tersenyum sungkan. Tadi, aku memang bilang saat mengantarkan Lina jika uangnya belum ada. Bu Hamzah ini ustazah paling sabar menurutku. Nada bicaranya lembut, pembawaannya kalem. Dia menikah sudah 17 tahun dan belum memiliki anak. Mungkin usianya tak jauh beda denganku. Kalo utazahnya Rumi, bukannya tegas lagi, malah terkesan galak. Ya, begitulah, dalam pendidikan, harus ada guru yang ditakuti para murid, agar mereka nurut.

"Aduh, jadi gak enak, saya sama Ibu. Sekarang uangnya sudah ada kok, Bu. Makanya saya buru-buru kesini, takut kepake lagi," jelasku. Bu Hamzah mengangguk, aku lantas memberikan uang 150 ribu padanya.

Setelah itu, aku berpamitan. Belum sampai aku menjalankan motorku, Bu Hamzah memanggil, hingga membuatku lantas mematikan motor.

"Bu Lilis!" panggilnya, ia lantas menghampiriku.

"Iya, Bu. Ada apa? uangnya kurang, ya?" tanyaku memastikan. Siapa tahu memang ada uang tambahan.

"Enggak Bu. Sebenarnya, saya mau ngasih sesuatu sama Bu Lilis, itupun kalo Bu Lilis mau," tukasnya.

"Saya pasti mau, Bu. Apapun akan saya terima dengan senang hati," balasku tersenyum.

"Kalo begitu, mari mampir ke rumah saya dulu. Lina biar saya bonceng, mau ya, Lin?" Bu Hamzah beralih menatap Lina, Lina tampak malu dan bersembunyi di belakangku.

"Ayo, Lina," ajak Bu Hamzah meraih tangan Lina dan memboncengnya di depan, karena motor Bu Hamzah motor matic, tidak seperti motor bebekku yang akan berbahaya jika Lina kubonceng di depan.

Sesampainya di rumah Bu Hamzah, aku bergegas turun. Bu Hamzah mempersilahkanku masuk, membuatku terkejut saat melihat isi di dalamnya. Dari luar, rumah Bu Hamzah terlihat sangat sederhana, rumah kuno seperti rumahku, bedanya, rumah kuno yang kutempati atapnya sudah lapuk, bahkan sebagian kayunya telah jatuh hingga membuat lubang di beberapa tempat. Jangan ditanya kalo hujan, pasti bocor. Apalagi kalo ada angin kencang, aku sampai membawa anak-anaku keluar rumah karena takut akan roboh.

Aku masih terpaku menatap sekeliling dalam rumah Bu Hamzah, begitu mewah dan tertata rapi. Lantainya menggunakan marmer putih, dengan pernak-pernik yang mengkilat. Bahkan ada akuarium raksasa dengan berbagai jenis ikan berukuran besar yang kutahu harganya mencapai jutaan seperti yang kulihat di TV.

"Silahkan duduk, Bu Lilis!" ucap Bu Hamzah mempersilahkan. Aku sampai malu, karena baru sadar.

"Eh, iya, Bu!" Bu Hamzah lantas ke belakang, membawa nampan berisi tiga toples kue kering dan minuman instant sebelum kemudian meletakkannya di meja dan menawarkannya padaku dan Lina.

"Rumahnya bagus, ya, Buk!" bisik Lina, namun masih terdengar keras, hingga membuat Bu Hamzah tersenyum.

"Lina kalo mau, boleh main kesini. Minta antar Ibu, nanti pulangnya dianterin sama Bu Guru!"

"Saya sering kesepian, Bu. Ya, namanya gak ada anak, ya begitu deh," ucapnya sedih.

"Yang sabar, ya, Bu. Mungkin memang belum waktunya. Semua kan, ada saatnya. Itu tandanya Bu Hamzah dikasih waktu yang panjang untuk berduaan sama Suami," jelasku hati-hati. Dalam hati, 'pantas, gak ya, aku ngomong gitu?' karena aku sendiri bingung menanggapi.

"O Iya, Bu. Saya sampe lupa, mari ikut saya ke belakang. Biar saya tunjukin sesuatu," ajaknya. Belum sempat kami berdiri, suara motor terdengar memasuki halaman rumah Bu Hamzah yang luas, kemudian berhenti tepat di samping motorku.

Mataku menyipit melihat seseorang turun bersama anaknya. Dia, Mbak Ida dan putrinya Rara! mau ngapain kesini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status