Li Wei duduk di kamar tempatnya tidur dengan A Yin, tanpa pencahayaan sama sekali. Ia hanya ditemani bayang-bayang yang terus menghantuinya. Hari-hari berlalu dalam kesunyian, diisi oleh napas yang berat dan tatapan kosong ke arah dinding.Tanpa A Yin, dunia Li Wei terasa seperti kehilangan warna. Gelap, hitam, sesekali kelabu. Namun, dalam malam-malam panjang yang dipenuhi kesedihan, ia selalu kembali pada pesan terakhir A Yin, yaitu mencari Su Yin.Dengan berat hati, lelaki itu akhirnya keluar dari tempat persembunyiannya. Ia mengesampingkan rasa kehilangan yang tak kunjung reda. Langkahnya terasa asing saat ia berdiri di luar pagar sekolah tempat Su Yin belajar, matanya menelusuri setiap sudut lapangan.Di sana, di bawah sinar matahari, Su Yin berlari lincah, mengejar bola basket dengan semangat yang menyala di matanya. Gerakannya cepat dan penuh perhitungan, seolah setiap langkah sudah ditentukan oleh strategi yang kuat.Saat istirahat, gadis itu beralih ke latihan kungfu. Tubuhny
Langit sore menghiasi kuil sunyi di ujung kota. Patung dewa kebahagiaan di dalam sana menciptakan bayangan panjang di lantai batu tua, yang telah lama tak disentuh langkah kaki.A Yin berdiri di depan gerbang kayu yang mulai lapuk, matanya menelusuri ornamen-ornamen kuno yang terpahat di dalam kuil. Ada banyak kisah lama tentang doa dan janji yang mungkin pernah diucapkan di tempat itu.Li Wei melangkah dan memperhatikan bagaimana angin malam bermain dengan helai-helai hanfu sutra Dinasti Tang yang dikenakan A Yin. Keanggunan wanita itu selaras dengan ketenangan kuil yang sudah jarang dikunjungi, seolah-olah waktu pun melambat demi memberi mereka kebersamaan tanpa gangguan dunia luar.“A Yin, apa kau yakin ingin melakukan ini?” tanya Li Wei. Suaranya lembut tetapi penuh kehati-hatian.Wanita itu mengangguk dan senyumannya tipis serta sarat kebahagiaan.“Aku hanya ingin mengulangnya, tanpa kemewahan, tanpa tuntutan, dan tanpa tekanan dari para bangsawan. Hanya kita dan doa yang sederha
A Yin bergerak terus di dalam rumah susun. Ia mengatur bajunya satu per satu. Ia melipat dengan rapi dan menaruhnya di lemari kecil yang kini menjadi miliknya.Udara masih terasa hangat meski musim dingin hampir tiba, dan ia berusaha mengalihkan pikirannya ketika rasa sakit di dada semakin terasa. Di sudut ruangan, Li Wei tertidur di sofa. Tubuhnya tampak tenang, tetapi napasnya dalam dan berat. Namun, di balik kelopak matanya yang terpejam, ia tidak benar-benar beristirahat. Kegelapan menyelimuti pikirannya sebelum akhirnya suara itu datang dan terdengar lirih serta berbisik di telinganya seperti kenangan dari masa yang telah lama terkubur. "Terima semuanya. Jangan ditolak." Li Wei mengerutkan keningnya dalam tidur dan sesaat tubuhnya menegang. Li Wei selalu berusaha menghindari ingatan masa lalunya dan membiarkan tetap tersembunyi di dalam pikirannya. Namun, kini kenangan itu datang seperti ombak yang menerjang tanpa bisa dihindari.Ia melihat dirinya berdiri di koridor istana
Su Yin menatap botol birnya yang kosong dengan rasa marah bercampur kekecewaan."Hei, itu punyaku!” ucapnya sambil menggebrak meja. Su Yin menatap Li Wei dengan mata menyala. Li Wei, yang baru saja meneguk sisa bir terakhir, meletakkan botol kosong itu dengan tenang."Kau masih terlalu muda untuk minum terlalu banyak,” jawabnya tanpa rasa bersalah. Su Yin mendengkus kesal, lalu ia menyilangkan tangannya di dada."Kita tak saling kenal. Jangan sok jadi wali hidupku. Aku bisa menentukan sendiri apa yang boleh dan tidak boleh kulakukan!"Li Wei hanya tersenyum tipis. Dengan gerakan santai, ia melambaikan tangan memanggil Nyonya Liu. "Pesankan makanan paling enak untuk gadis keras kepala ini. Tenang saja, Paman yang traktir, ayo duduk."Su Yin mengerutkan keningnya, tapi ketika aroma makanan mulai tercium, perutnya keroncongan. Ia mencoba bersikap cuek saja, tetapi begitu sepiring mi panas dengan irisan daging lembut dan kuah yang menggoda tersaji di hadapannya, Su Yin menyerah."Baikla
Perlahan Li Wei membuka matanya. Ia masih terengah-engah setelah terlempar dari mimpi yang begitu nyata. Cahaya lampu di bawah jendela kamar menyinari wajahnya yang basah oleh keringat.Dadanya naik turun dan pikirannya kacau. Bayangan Permaisuri A Yin masih begitu jelas dalam benaknya. Seolah-olah ia baru saja menggenggam tangannya di bawah langit Dinasti Tang yang berkilauan.Ia menegakkan tubuh, jari-jarinya mencengkeram kain sprei seperti mencari pegangan dalam kebingungannya. Mungkinkah semua itu bukan sekadar mimpi?Suara lembut Permaisuri A Yin, sentuhan jemarinya yang hangat dan tatapan penuh kasih di malam pengantin mereka. Semua terasa begitu nyata dan bukan sekadar ilusi.Bagaimana Li Wei mengecup bibir Permaisuri Yin, lalu menarik pinggangnya agar pelukan mereka lebih erat, dan dua tangan itu saling menggenggam dalam kesunyian. Tidak hanya itu saja satu demi satu pakaian merah Permaisuri A Yin pun ia buka hingga keduanya menyatu dalam kebisuan dan hanya ada tatapan mata sa
Li Wei turun dari jeep, deru mesin perlahan mereda di tengah udara malam yang dingin. Jari-jarinya menggenggam tangan A Yin dengan erat, seolah ingin memastikan bahwa ia tetap ada di sisinya. Tak peduli apa yang akan terjadi.“Jangan takut, ingat pesanku diam saja, ya,” ucapnya dan A Yin mengangguk.Di depan mereka, sebuah gudang tua menjulang di tepian dermaga. Pintu besinya terbuka sedikit dan memperlihatkan cahaya redup di dalamnya. Li Wei menarik napas, lalu melangkah dan membawa A Yin masuk ke dalam sarang yang penuh dengan kekejian.Di dalam, puluhan pengawal berdiri seperti patung. Pakaian hitam mereka menyatu dengan bayangan. Tatapan mereka dingin dan tajam. Namun perhatian A Yin segera tertuju pada sosok di tengah ruangan.Seorang perempuan dengan rambut merah menyala yang jatuh di pundaknya. Wajahnya tersembunyi di balik topeng emas yang berkilauan. Ia duduk di kursi besar seperti ratu, jemarinya yang bersarung hitam mengetuk sandaran tangan dengan irama lambat."Li Wei. Lam