Home / Historical / PERMAISURI YIN / Pangeran Kedua

Share

Pangeran Kedua

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2024-10-07 15:58:39

“Pangeran, sudahlah, sudah cukup kau terluka parah,” ucap Fu Rong, pengawal pribadi pangeran kedua. Ia telah bersama sejak dulu dan bersedia mengorbankan nyawa demi tuannya.

“Tidak, belum, sedikit lagi kita berhasil!” Pangeran kedua mengangkat pedangnya.

Entah sudah berapa hari yang ia lalui dalam jebakan musuh. Entah sudah berapa banyak darah pengawalnya yang tumpah. Namun, sang pangeran tak menyerah.

“Fu Rong, berapa amunisi yang kita punya?” tanya pangeran kedua. Lelaki yang baru menikah tapi dipisahkan oleh istrinya dengan cara tidak adil.

“Tak banyak, Pangeran, hanya ada lima pengawal pribadi dan hanya tersisa 70 pengawal umum saja.”

“Musuh diperkirakan ada berapa?”

“Sekitar 400 orang, Pangeran.”

“Kalau begitu kita harus berperang dengan cerdas. Kita harus menang, agar kita bisa pulang.” Namun, baru saja mengucapkan kalimat demikian sang pangeran tiba-tiba roboh. Luka di punggung akibat tertancap panah belum sempat diobati.

***

Di bawah langit kelabu yang selalu mengintai perbatasan kota Chang An, Pangeran Kedua, Li Wei, berdiri tegak di atas bukit kecil. Lelaki dengan luka di bagian pungung itu memandang ke arah medan perang yang tak kunjung usai.

Sudah hampir setahun sejak ia memimpin pasukan kekaisaran melawan suku pemberontak yang tak kenal lelah. Setiap hari adalah perjuangan, setiap malam adalah mimpi buruk yang penuh dengan darah dan jeritan.

“Li A Yin.” Pangeran Li Wei menyebut nama istrinya.

Apakah itu rindu atau cinta, ia tak tahu, sebab A Yin wanita yang ia kenal pertama dengan sangat begitu dekat tanpa batasan sama sekali walau sehelai kain.

“Agh.” Lelaki itu memejamkan mata kemudian mengusap luka di lengannya.

Salah satu dari banyak luka yang telah ia terima selama pertempuran. Tubuhnya penuh dengan bekas luka. Namun semangatnya tetap membara. Ia tahu bahwa kemenangan adalah satu-satunya jalan untuk membawa kedamaian kembali ke tanah airnya.

Berbagai strategi telah dicoba. Dari serangan mendadak di malam hari hingga pengepungan yang panjang. Namun suku pemberontak selalu menemukan cara untuk bertahan.

Mereka adalah pejuang yang tangguh. Dipimpin oleh seorang jenderal yang cerdik dan bengis, yang tampaknya selalu selangkah lebih maju dari Li Wei. Atau mungkin ada yang sengaja membocorkan strategi perang?

“Fu Rong,” panggil Li Wei pada pengawal setianya.

“Siap, Pangeran.”

“Apakah ada surat dari istriku?” Sang pangeran menadahkan tangan di atas benteng. Untuk menampung air yang turun dari genting.

“Tidak ada, Pangeran, tapi yang hamba tahu, di istana juga sedang tidak baik-baik saja. Menurut kabar, Permaisuri A Yin sedang menjalin kerja sama politik dengan salah satu menteri.”

Pangeran Li Wei menoleh melihat pengawalnya. Sebab yang ia tahu A Yin termasuk perempuan yang tak mau terjerat urusan politik dengan kubu manapun.

“Apakah istriku sanggup?”

“Soal itu hamba belum menerima kabar, Pangeran.”

“Fu Rong.” Li Wei menarik napas berat. “Kita jalankan serangan terakhir, apa pun hasilnya. Hidup atau mati. Tapi lebih baik mati daripada hidup menjadi budak. Tapi jika aku mati A Yin akan jadi budak. Kita usahakan memperoleh kemenangan di serangan terakhir ini.” Li Wei meminum semangkuk arak sebagai tanda ia siap berperang.

“Baik, Pangeran.” Fu Rong yang setia sejak kecil akan selalu menemani ke manapun tuannya pergi.

***

Pangeran Li Wei mempertaruhkan hidup dan mati dalam menghadapi serangan terakhir. Ia merelakan gelar pangeran kedua di genggaman tangannya. Sebab jelas kata kaisar, jika perang tak dimenangkan maka Li Wei lebih baik mati atau jadi budak saja.

Tekanan ini membuat Li Wei semakin bertekad untuk menang. Meskipun itu berarti harus mengorbankan segalanya.

Di malam yang gelap dan penuh ketegangan, Li Wei memimpin pasukannya dalam serangan terakhir. Dengan Fu Rong di sisinya yang membawa panah dengan kobaran api sebagai tanda siap menyerang.

Pasukan di bawah kepemimpinan sang pangeran menghadapi musuh dengan keberanian yang tak tergoyahkan. Setiap langkah mereka adalah tarian antara hidup dan mati. Setiap ayunan pedang adalah pertaruhan nasib.

Di tengah kekacauan, Li Wei menemukan kekuatan yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Dengan tekad yang membara dan sekelebat senyuman A Yin saat keduanya sah sebagai suami istri, ia berhasil memimpin pasukannya menuju kemenangan yang gemilang.

“Matilah kau!” Pedang Li Wei menebas leher sang jenderal dari suku pemberontak.

Suku itu kalah dan memilih mundur. Begitu juga dengan sang pangeran yang mengalami luka dalam cukup parah hingga tak sadarkan diri lagi.

“Bawa pangeran ke barak, sekarang!” Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, Fu Rong dan para pengawal menempuh jarak bermil-mil agar pemimpin mereka selamat.

***

“Aku di mana?” tanya pangeran kedua ketika membuka mata.

Rambut panjangnya tidak diikat dan bibirnya kering serta pecah-pecah. Mata jernih sang pangeran seperti melihat A Yin di depan mata.

“A Yin, kau di sini.” Li Wei bangkit dan mencoba menggapai istrinya. Tujuh hari tak sadarkan diri ia bermimpi buruk kalau sang permaisuri akan segera dihukum mati.

“Pangeran, kau sudah sadar. Dia bukan permaisuri, dia hanya pelayan biasa.” Fu Rong datang tepat waktu.

“Oh, kupikir …” Li Wei duduk kembali setelah lelah berdiri.

“Pangeran, sebaiknya lekas beristirahat. Hamba akan panggilan tabib untuk memeriksamu. Tenang saja perbatasan sudah aman dan suku pemberontak sudah mundur semuanya.”

Fu Rong berbalik setelah pangeran duduk tenang. Namun, sebuah surat jatuh dari pinggangnya. Li Wei bangkit perlahan dan mengambil serta membaca surat itu.

“Apa ini?” Terlihat jelas gurat kemarahan di wajah Li Wei.

Surat itu berisikan kabar buruk bahwa Permaisuri Li A Yin akan segera dieksekui mati karena terbukti membunuh menteri keamana dalam istana.

“Memukul nyamuk saja A Yin tidak berani, apalagi membunuh orang.” Pangeran berdiri semampunya. Ia meraih baju resmi dan sesegera mungkin berkuda menuju istana.

“Pangeran, kau mau ke mana?” Fu Rong baru saja datang membawa tabib.

“Menyelamatkan istriku.” Li Wei membuang surat itu hingga sang pengawal pun terkejut.

“Maafkan hamba, Pangeran, tapi kau sedang terluka, sedangkan perjalanan ke Chang An memerlukan waktu kurang lebih satu minggu jika kita berkuda tanpa lelah. Menurut ham—”

“Kau ingin kau membiarkan istriku mati karena kesalahan yang tak mungkin ia lakukan!” Suara sang pangeran menggelagar.

Semua yang ada di sana termasuk Fu Rong berlutut karena takut dihukum mati. Pembawaan serta keberanian Li Wei sudah hampir mirip dengan sang kaisar terdahulu.

“Maafkan hamba, Pangeran.”

“Aku akan pergi menemui A Yin. Siapkan pasukan kecil untuk berangkat denganku. Jika ada yang memberontak penggal saja kepalanya.” Pangeran kedua dengan wajah pucat nekat pergi.

Li Wei abaikan luka dalamnya demi menyelamatkan A Yin. Bahkan jika ada yang berani melukai permaisuri akan ia penggal dengan pedangnya sendiri.

Bersambung …

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PERMAISURI YIN    Kebahagiaan yang Sempurna

    "Apakah kau gugup?" tanya Li Wei perlahan.“Sangat gugup karena harus berjalan sejajar dengan seorang pangeran berpakaian merah menyala,” bisik Su Yin sambil menahan debar. Ia nyaris tak percaya bisa melewati prosesi pernikahan di dunia sekarang.“Kalau begitu, aku harus meyakinkanmu bahwa pangeran ini tidak akan membuatmu tersandung di altar.” Li Wei tertawa dengan penuh kehangatan.Langkah mereka menyatu dan perlahan menapaki jalan yang ditaburi kelopak bunga peony sesuai permintaan Su Yin. Di kiri kanan, para tamu menunduk hormat. Semua terlihat bahagia.Tamu lebih banyak rekan kerja Su Yin. Jimmi datang dengan kekasihnya bahkan Jaksa Aaron menggandeng tangan Cecilia sepanjang prosesi berlangsung.“Ini terasa seperti mimpi,” gumam Su Yin.“Kalau ini mimpi,” jawab Li Wei sambil menoleh padanya, “aku harap kita tak pernah bangun.”Su Yin diam sejenak, lalu balas menatap dari balik tirai merah itu. “Jangan menatapku seperti itu, Li Wei. Aku bisa jatuh cinta padamu untuk kedua kalinya,

  • PERMAISURI YIN   Kehangatan

    Angin berembus perlahan di taman bunga, membawa harum bunga peony yang bermekaran di antara jalur batu berusia ratusan tahun. Su Yin berdiri di tengah taman, ia mengenakan jubah kebesaran seorang ratu. Perhiasan emas yang menghiasi rambut, membingkai sosoknya dengan aura seorang ratu yang disegani.Meskipun ia dikelilingi keindahan, hati Ratu Yin terasa hampa. Di kejauhan, suara musik istana menggema dari aula utama, tetapi hanya kesunyian yang menemani langkahnya di taman. Ke mana suami dan anaknya?Suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Su Yin menoleh. Di sana, dengan senyum manis dan mata yang memancarkan kelembutan serta cinta padanya, Raja Li Wei berdiri membawa seikat peony. Warna merah kelopak bunga tampak menyayu dengan pakaian kebesaran seorang raja."Aku pikir kau akan menyukai ini," ujar Raja Li Wei sambil menyodorkan bunga itu kepada Ratu Yin. "Bunga peony melambangkan keindahan seorang wanita serta kemuliaan dan cinta yang abadi."Su Yin menatap suaminya sejenak. Ra

  • PERMAISURI YIN   Pedang Kayu

    Su Yin membeku di pintu masuk unit apartemen. Di depan matanya, Nona Fang menekan Li Wei ke dinding, jemarinya mencengkeram leher lelaki itu dengan kekuatan yang luar biasa. Namun yang lebih mengerikan adalah cahaya berkilauan yang perlahan muncul dari dada Li Wei. Ya, mutiara keabadian terdesak keluar dari tubuh lelaki itu.Su Yin tidak pernah melihatnya secara langsung, tapi Li Wei pernah cerita mendapatkan mutiara keabadian tersebut dan akibatnya ia diincar oleh Nona Fang. Mutiara itu melayang, berpendar dengan energi murni, dan dalam sekejap diserap oleh Nona Fang. Li Wei terhuyung, bibirnya bergetar. Cahaya di matanya meredup, dadanya terangkat, seperti ada sesuatu yang menguras kehidupannya dari dalam. Nona Fang tak hanya menelan mutiara keabadian saja melainkan menginginkan energi murni miliknya juga. Su Yin tak berpikir dua kali. Dengan gerakan cepat, ia meraih pedang kayu Jimmi dan menerjang Nona Fang. Wanita dengan topeng emas itu tersungkur akibat dorongan dari Su Yin d

  • PERMAISURI YIN   Pancaran Energi

    Su Yin melemaskan bahunya yang terasa kaku setelah duduk berjam-jam di meja kantor. Jam sudah hampir tengah malam, dan ponselnya yang tergeletak di samping dokumen masih menunjukkan layar kosong. Li Wei belum menjawab panggilannya. Dengan tarikan napas dalam, Su Yin bangkit dan berjalan ke sudut ruangan tempat Officer Jimmi tengah merapikan loker pribadinya. Lelaki itu tampak sibuk mengemas barang-barang lamanya. Sesekali Jimmi menghela napas seolah-olah tenggelam dalam kenangan lama. “Apa kau pindah divisi?” Su Yin bersandar di pinggir pintu. Jimmi menoleh dan menjawab pertanyaan itu. “Bukan, Nona Yin, aku hanya beres-beres, akhirnya dapat waktu untuk itu.” Tatapannya kembali pada sebuah benda panjang yang ia keluarkan dari dalam loker. Sebuah pedang kayu dengan ukiran kuno di gagangnya. Su Yin langsung mengenali benda itu. "Itu milik Shen Du, leluhurmu?” ucap Su Yin keceplosan.Jimmi mengangkat pedang itu, lalu memperhatikan detailnya sejenak sebelum mengangguk. “Ya. Katanya

  • PERMAISURI YIN   Pencuri

    Angin malam berembus kencang, menerpa rambut Nona Fang yang berwarna merah. Dunia menjadi saksi bisu dari ambisi yang telah lama ia nantikan. Cahaya lampu kota bermain di matanya dan memantulkan kegembiraan yang bercampur dengan rasa sakit.“Aku bersumpah, sakit ini akan berakhir dengan mutiaramu.” Dengan jemari gemetar, ia menyentuh luka di wajahnya. Rasa perihnya tak sebanding dengan perjuangan yang telah ia lalui.Di bawahnya, apartemen Li Wei tampak sunyi. Para penghuninya tak menyadari bahaya yang mengintai. Nona Fang menarik napas dalam-dalam, bibirnya tersenyum tipis. Ia telah merusak rencana Li Wei dan selanjutnya ia akan menghancurkan hidup lelaki itu.***Lift apartemen bergetar pelan sebelum pintunya terbuka. Su Yin melangkah masuk dan menghela napas panjang. Ia lelah setelah seharian bekerja.Di sudut lift, Li Wei sudah berdiri lebih dulu, tangannya ia masukkan ke saku jaket. Tatapan lelaki itu sangat tenang tetapi menyembunyikan sesuatu.“Kau dari mana?” tanya Su Yin, kar

  • PERMAISURI YIN   Merajut Masa Depan

    Su Yin menyandarkan punggung pada dinding dapur yang hangat. Seragam polisinya tergantung rapi di kursi rotan. Hari itu ia baru saja kembali dari patroli malam di distrik tenggara, matanya masih menyimpan kelelahan, tapi bibirnya tersenyum saat mendengar suara kuas Li Wei di ruang sebelah. Sejak tinggal bersama, kehadiran Li Wei seperti menghangatkan kehidupannya yang dingin. Bahkan lelaki itu punya cita rasa masakan yang lebih baik darinya. Selain tentunya kebutuhan batin Su Yin akan cinta dipenuhi oleh Li Wei. Mereka hanya mengulang kemesraan di masa lalu saja.Di dalam studio mungil itu, Li Wei menggerakkan kuasnya perlahan di atas kanvas. Warna-warna lembut mengalir dari jemarinya. Ia mengabadikan cahaya pagi yang menembus tirai jendela. Ia tahu hidup mereka tak akan mudah. Su Yin bekerja dalam risiko, dan ia sendiri masih berjuang untuk menjual lukisan demi menabung masa depan. Tapi justru dalam ketidakpastian itu, mereka menemukan kehangatan.Sayangnya dari balik gang sempit y

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status