Bagian 65 Putra Mahkota duduk di meja kerjanya. Ia baru saja memeriksa seluruh istana sampai bagian sudut ditemani Shen Du demi mencari apa yang bisa dicurigai. Namun, hasilnya kosong. Mata sipit sang pangeran pertama melihat surat dari adiknay yang belum dibuka. Sudah tiga hari Li Wei pergi dan ia baru mengingatnya. Segera saja lelaki dengan hidung bengkok itu membukanya. Surat yang cukup panjang dan membuatnya menahan napas sejenak. Surat itu diletakkan oleh Zu Min. Li Wei bermaksud baik padanya, ia tahu itu. Namun, permintaan sang adik mengapa sangat berat?“Dari sekian banyak orang, mengapa kau memintaku mencurigai ibuku sendiri? Sejahat-jahatnya Ibu, beliau tetap ibuku dan ketika aku diangkat menjadi Kaisar, Ibu akan menjadi Ibu Suri.” Surat itu dibakar oleh Zu Min dan ia anggap lupa dengan isinya. Meski surat sudah jadi abu, Putra Mahkota tetap saja terbawa pikiran. Ia bahkan memikirkan hal itu ketika makan bersama Bai Jing. “Fujin (suamiku), apakah makanannya tidak enak?
Iring-iringan kereta Pangeran Kedua melewati desa di mana padi sedang kuning-kuningnya tumbuh. Pangeran yang berada di dalam kereta membuka jendela begitu juga dengan Su Yin demi menikmati pemandangan indah. “Waaah, di kota besar lahan ini sudah berubah menjadi jalan raya, mall, pertokoan dan apartement. Aku benar-benar beruntung bisa melihat Cina yang agung di zaman dulu,” ucap Su Yin sambil melihat beberapa petani menjaga sawah. “Tang yang agung dan tenang, jangan sampai diganggu oleh musuh dari mana saja. Rakyat sudah hidup tenteram dan mereka tidak perlu tahu tentang boroknya dalam istana. Biarkan mereka makmur sebagai petani, pedagang atau apa saja.” Begitu isi kepala Li Wei. Rombongan terus melewai persawahan dan perkebunan, kali ini kebun semangka. Merasa senang, Su Yin keluar dari kereta dan memilih jalan kaki sambil menikmati udara segar. Pemandangan di luar istana membuatnya lebih bahagia. Siang hari tiba, iring-iringan itu istirahat di tepi sungai dan para pelayan memas
Iring-iringan kereta terus berjalan menuju pegunungan utara yang dingin. Kini mereka melewati jalanan di antara tebing tinggi di sisi kiri dan kanan. Saking tingginya, ukuran manusia kecil sekali kalau dilihat dari atas. “Aku perlu memakai mobil berjam-jam kalau pergi ke tempat ini, dan sekarang aku benar-benar pergi pakai kereta.” Su Yin menyibak tirai. Terkadang, kalau ia kelelahan dirinya akan tidur di dalam kereta yang dibuat cukup besar demi kenyamanan para tuan. Angin yang bertiup cukup dingin di antara tebing yang menjulang. Su Yin merapatkan mantel dan asap berembus dari bibirnya. Kotak pemberian dari Ru Yi tergeser. Sang permaisuri meraih dan melihat isinya. Di sana ada beberapa cream wajah dengan aroma bunga yang alami. Lalu ada benang sutra untuk menjahit luka, kasa, beberapa bubuk obat, salep, juga jarum jahit. “Kotak P3K zaman dulu, terima kasih kawan.” Su Yin menutup lagi kotak itu. Kereta berhenti dan sang permaisuri turun, ia disambut oleh Pangeran yang terlihat k
Gadis yang merintih memohon pertolongan itu terlihat kesakitan bahkan mulai menjerit. An Lee menyimpan pedang dan memapahnya ke salah satu api unggun. Wajah gadis tak dikenal itu sangat pucat sekali bahkan seperti orang tidak punya darah. Tang Ri datang mendekati ibunya yang terlihat kepayahan mengurus seorang gadis. “Bawakan ibu air hangat. Sepertinya dia tidak terluka, mungkin belum makan beberapa hari,” ucap An Lee dan putranya lekas mencari air hangat. Diberinya minum gadis itu dan wajahnya seketika memerah. “Siapa dia, Bu?” tanya Tang Ri. Sang guru hanya menggeleng. “Bencana, bencana!” ucap gadis itu tanpa sebab. “Bencanaaaaa!” jeritannya cukup kencang dan membangunkan Su Yin yang baru saja terlelap dan Li Wei pun tersentak. “Tenangkan dirimu, di sini banyak orang. Kalau ada yang menyakitimu katakan padaku.” An Lee meremas tangan gadis itu agar berkata jujur padanya. “Bencana, di mana-mana ada bencana, darah, bulan akan berdarah tak lama lagi. Kalian akan mati semua.” “Ken
Putra Mahkota pergi ke kuil yang berada dalam naungan Departemen Sihir dan Perbintangan. Ia sedang galau luar biasa. Istrinya diam seribu bahasa dan ibunya pun akhir-akhir ini senang menyendiri. Tak ada yang tahu apa isi wanita. Ditambah Li Zu Min masih terbeban dengan permintaan Li Wei. “Sepertinya Pangeran punya banyak sekali beban hidup.” Shen Du menyalakan dupa dan memberikan pada Putra Mahkota. “Aku merasa kesialan menerpaku bertubi-tubi, meski tidak ada yang bicara terang-terangan di depanku, tapi aku tahu mereka bilang kalau ini karma ibu.” Li Zu Min melakukan persembahayangan dengan sungguh-sungguh kali ini. “Tenangkan hatimu, Pangeran, sebisa mungkin kita harus mencegah terjadinya peristiwa bulan purnama berdarah.” “Itu juga yang mengganggu isi hatiku. Belum ada keanehan yang aku temui sejak beberapa hari yang lalu. Semua pelayan terlihat biasa-biasa saja di depanku, tapi …” “Tapi apa, Pangeran.” “Salah satu pelayan ibuku menghilang dan tidak ada jejaknya sama sekali.
Selir Agung sedang minum teh di pagi hari yang cerah. Secerah senyumnya dibalut gincu merah merekah. Lalu Gui Mama datang mendekat dan berbisik padanya. “Hamba sudah mengirim orang untuk membunuh Pangeran Kedua di perjalanan.” Kata demi kata menyeramkan terucap dengan senyuman gigi emas Gui Mama. “Bagus, penghambat takhta putraku harus segera dibasmi. Yang berani melawanku akan mati.” Ming Hua menghabiskan teh dan menikmati sarapan yang lezat di atas meja. Setelah itu ia pun berjalan mengelilingi taman yang indah, kemudian lanjut mengunjungi istana naga emas. Begitu terus yang Selir Agung lakukan dalam satu minggu terakhir. Hingga pada suatu hari ia melihat putra dan menantunya tak saling bertegur sapa di meja makan. “Kalian baik-baik saja?” tanya Selir Agung. Baik Putra Mahkota dan permaisurinya mengangguk saja. Kejadian malam tadi benar-benar mengguncang kesadaran dan kesabaran keduanya. “Aneh sekali, biasanya Bai Jing sangat murah senyum,” gumam Ming Hua sambil memindahkan ma
“Ayo turun, kita sudah sampai.” Li Wei melompat dari kuda terlebih dahulu lalu menyambut turun Su Yin dari kereta. Mereka semua termasuk para pelayan menggunakan mantel bulu tebal karena udara di Pegunungan Utara sangat dingin daripada biasanya. “Waaah, tanpa salju saja aku sudah hampir membeku.” Sang permaisuri memeluk dirinya sendiri. Asap dari bibirnya keluar dan gigi nyaris gemeratakan. “Tenang saja nanti aku peluk kau sepanjang hari agar tak kendinginan.” Pangeran Kedua mengedipkan sebelah matanya. “Gayamu, baru buka baju saja sudah beku kulit duluan.” Hampir Su Yin tak tahan dingin kalau tak menggunakan mantel tebal sebanyak dua lapis. Tak lama kemudian para penjaga yang berasal dari Suku Bintang datang meyambut rombongan Pangeran Kedua. Mereka mempersilakan Li Wei dan Su Yin untuk bertemu dengan kepala suku. Yun Chi adalah nama ketua suku sekaligus ayah dari Yun Zi. “Kami memeri hormat pada Pangeran Kedua sekaligus Permaisuri Yin selaku utusan dari Chang An.” Yun Chi mem
“Hei, duduk, kau bikin malu saja.” Li Wei menarik tangan istrinya yang bersorak-sorak bergembira melihat pertunjukan lelaki kekar di depannya. “Lepas, jarang-jarang aku melihat seperti ini.” Su Yin tak mau dilarang. Kapan lagi bisa melihat pemandangan indah seperti sekarang. “Memang lelaki saja yang butuh banyak perempuan cantik,” gumamnya sambil suit suiiit. Semakin meriah pesta dengan ketukan gendang dan tarian pedang dari para lelaki. “Waaah, perutnya ada kotak-kotak delapan, eight pack, langka, sisiwiiiwiiiit.” Tingkah Su Yin membuat Li Wei memejamkan mata dan Ana Mama menahan senyuman sesaat. Ya, memang perempuan juga butuh hiburan tapi jangan terlalu terang-terangan juga memuji di depan suaminya. “Perut kotak-kotak begitu aku juga punya, perlu aku bukan baju di sini?”“Jangan, bikin malu saja nanti,” sahut permaisuri. “Heeh, kau yang bikin malu dari tadi. Lihat perempuan lain duduk manis, kau seperti cacing kepanasan.” “Pangeran, biarkan Permaisuri bahagia. Mungkin dia beta
Ibu kota berdiri megah di bawah cahaya matahari pagi. Menara-menara istana menjulang tinggi, sementara jalan-jalan dipenuhi suara lonceng perunggu yang menggema di antara paviliun megah.Di tengah kemegahan itu, Li Wei, Raja dari Selatan, melangkah dengan tenang, diiringi oleh barisan prajuritnya yang membawa peti-peti berisi upeti bagi Kekaisaran Tang.Gerbang istana terbuka lebar ketika pasukan dari Selatan tiba di halaman utama. Mata para pejabat tinggi kekaisaran memandang penuh selidik, seolah ingin memastikan bahwa setiap langkah Li Wei memang sebuah tanda tunduk dan bukan awal dari pemberontakan. Namun, Li Wei tetap berjalan dengan sikap penuh hormat dan percaya diri.Saat ia melangkah ke aula besar, Kaisar Li Zu Min, telah duduk di atas singgasana berhias naga emas. Tatapan Kaisar teduh dan penuh kerinduan. Sudah lama sekali kakak dan adik itu tidak bertemu.“Hormat kepada Yang Mulia. Hamba membawa persembahan dari Selatan,” ucap Li Wei dengan suara tegas seorang jenderal pera
Su Yin masih mendekap Li Wei sangat erat. Malam setelah mereka kembali menyatu dan malam-malam berikutnya terasa sangat membara kerinduan yang harus dilampiaskan. Sejoli itu bagai tak memiliki waktu lain, seolah-olah perjumpaan mereka sangat singat dan tak mau kehilangan momen apa pun.Sebagai raja, Li Wei berusaha menjalankan aturan di selatan dan sebagai ratu Su Yin menjaga kewibawaan di depan bawahannya. Lain cerita di depan suaminya, ia seperti anak kecil yang terus memegang tangan pangeran kedua begitu erat.Sebab Su Yin teringat dengan kata Shen Du bahwa umurnya di masa lalu tidak panjang. Cerita sejarah yang ia peroleh pun hanya sedikit catatan tentang Permaisuri Yin, wanita yang mati muda ketika melahirkan anak keduanya.“Apakah semua persiapan sudah selesai?” tanya ratu pada rajanya.“Hampir. Kau sedang buat apa?” Li Wei balik bertanya ketika telah kembali dari luar.“Ehm mantel bulu. Kau akan menempuh perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan, angin di luar sana tidak b
Selesai penobatan, Li Wei langsung membagi tugas-tugas penting untuk para bawahannya. Ia dan Su Yin akan tinggal di istana utama, menggantikan kaisar selatan yang telah tewas. Istana itu memang tidak lebih megah daripada di Chang An, tetapi memiliki ukiran serigala yang sangat kokoh.Jenderal Naga Perak memulai langkahnya dengan menerapkan sejumlah aturan di selatan. Di antaranya cara berpakaian mengikuti protokol Dinasti Tang. Warna merah hanya untuk raja dan ratu saja. Warna biru untuk para prajurit pemberani dan terhormat.Rakyat biasa tak lagi menggunakan pakaian dari kulit serigala. Mereka boleh menggunakan sutra atau bahan lainnya selama tidak menyamakan diri dengan pakaian raja dan ratu. Kulit serigala akan dijadikan hiasan bukan bahan utama.Sang raja memasuki kamar ketika urusan pekerjaannya telah selesai. Terlihat ratu sudah membuka baju warna merahnya dan menggunakan dalaman warna putih saja. Luntur harapan Li Wei, tadinya ia ingin mengulang momen malam pertama dan membuka
Su Yin sedang memeriksa sekujur tubuh suaminya yang mengalami luka dan memar. Perilaku keduanya tidak mirip dokter dan pasien, melainkan seperti sejoli yang rindu berat dan tak punya kesempatan untuk melampiaskan hasratnya.Dokter forensik itu menyetuh lengan bagian atas Li Wei yang ia jahit dua minggu lalu menggunakan benang sutra. Lukanya mulai mengering dan hanya butuh dibersihkan setiap hari.Dua mata itu saling menatap tanpa berkedip. Pangeran Kedua yang masih sakit tulang tak bisa menahan diri, ia menarik wajah Su Yin hingga keduanya tak ada jarak lagi.Permaisuri Yin melepas semua peralatan medis dan balas mencium Li Wei lebih dalam. Ya, memang keduanya saling merindukan. Namun, ketika polisi wanita itu menekan salah satu anggota tubuh suaminya, Li Wei pun melepas ciumannya dan mengaduh.“Sakit, kan?” tanya Su Yin dengan tatapan tak puas. Padahal ia sudah terbawa suasana.“Iya, aduh sakit sekali, kapan sembuhnya?” Li Wei memegang pinggangnya. Luka memanjang yang paling dalam.“
Permaisuri Bai Jing tak membuka mata meski Ru Yi telah melakukan segala cara untuk menyadarkannya. Wanita baik hati itu tak kuat ketika harus mengeluarkan bayi separuh serigala yang berwujud manusia biasa. Shen Du datang mendekat dengan keadaan tangan terluka. Lelaki itu mengambil sebuah benda bulat seperti mutiara. Ia meminta Ruyi agar menghancurkannya di air hangat dan memercikkan ke seluruh tubuh permaisuri. “Apa itu?” tanya Kaisar sambil menimang anaknya. “Mustika penahan arwah, Yang Mulia, belum saatnya Permaisuri Jing tutup usia, tapi karena huru-hara kandungan dan tubuhnya pun terganggu.” Kaisar hanya menghela napas saja. Benar-benar situasi yang tidak terkendali meski keamanan istana sudah dibuat sampai empat lapis. “Singkirkan semua mayat dan bersihkan kembali istana. Putriku harus mendapatkan penyambutan yang layak.” Perintah Kaisar pada pengawal pribadinya. “Yang Mulia, apa semua baik-baik saja.” Pangeran ketiga masuk ke rumah sakit istana. “Iya, semua baik, terima k
Seutas kain merah turun di departemen sihir dan perbintangan. Kain itu kemudian berubah menjadi sosok Aligur yang wajahnya ditumbuhi bulu-bulu warna merah. Dukun tersebut merupakan kaki tangan dewi serigala langit yang turun malam ini atas jamuannya. Aligur masuk ke kuil dengan niat mencari Shen Du. Namun, kepala departemen itu tidak ada di tempat. Dukun berambut merah tersebut ingin pergi, tetapi ia mendengar suara lonceng berdentangan dari ruang bawah tanah. Ya, ia menyadari kedatangan seorang saman yang sengaja mengganggunya. Wanita itu berubah jadi kain lagi dan turun menabrak semua jimat. Awalnya Aligur terpental, tetapi ia menjentikkan jari dan membakar semua jimat kertas hingga hangus dan tersisa jadi abu. Namun, Abu itu ternyata mengenai wajahnya dan ia terluka dalam. “Bedebah.” Dengan kemarahan di dalam dada Aligur menendang pintu yang dilapisi jimat lagi. Tiga kali tendangan pintu itu terbuka juga. Terlihat Park Hwa Rim menghentikan tarian demi menyambut tamu agungnya.
Dengan pakaian seperti gundik, Aligur berjalan dengan gemulai di tengah kota Chang An. Tentu saja hal itu membuat mata lelaki tertuju dan mengikutinya. Ia tertawa dan menutupi wajahnya dengan kipas. Aligur terus berjalan hingga tak jauh lagi dari gerbang istana. Tiba-tiba saja dukun berambut merah itu menari dengan gerakan yang sangat indah. Ia mengangkat kedua tangannya ke atas lalu berputar-putar. Tak ayal langit yang tadinya terang benderang langsung ditutupi awan gelap. “Hei, kau berhenti melakukan gerakan itu!” Kebetulan Pangeran Ketiga lewat di sana. Ia memerintah anak buahnya mengusir Aligur. Namun, belum sempat didekati anak buah pangeran ketiga terpental begitu jauh hingga kepalanya pecah. “Tangkap dia!” Pangeran Ketiga semakin terkejut ketika darah dari kepala prajuritnya dijilat seekor serigala. Penduduk pun berlarian ke sana kemari. Ditambah wajah Aligur perlahan-lahan menampakkan perubahan. Bulu warna merah tumbuh lebat di lehernya. “Dewi Serigala Langit, berkatilah
Shen Du bersujud di depan Kaisar. Ia dipanggil secara khusus di tengah malam atas peringatan tentang peristiwa bulan berdarah. “Karena kau yang paling pertama memperingatiku. Kau yang harus bertanggung jawab mencegah peristiwa ini terjadi. Sebagai kaisar aku sudah memperketat keamanan. Lalu, apa yang telah kau lakukan?” “Yang Mulia,” ucap Shen Du. “Angkat kepalamu, aku sedang bicara denganmu.” Shen Du kemudian menegakkan tubuhnya. Ia menarik napas sebentar. Ketika ingin berbicara pemimpin departemen sihir dan perbintangan itu merasakan beberapa roh jahat terbang di dekat kaisar. “Yang Mulia, secara spiritual hamba akan mencegah terjadinya peristiwa bulan berdarah hingga Permaisuri Utama akan melahirkan dengan selamat, hanya saja.” “Hanya saja? Apa maksudmu?” “Hamba membutuhkan bantuan. Hamba memiliki kenalan seorang dukun saman terkenal dari Silla yang agung. Park Hwa Rim, dia bisa membantu hamba menekan kekuatan jahat yang mulai memasuki istana.” “Kekuatan jahat sudah masuk?”
Su Yin dan An Ama terkejut ketika sampai di kapal perang, beberapa prajurit Tang melawan serigala dengan ragam warna. Ya, pasukan Yi Gur sebagian bisa mengubah wujud, begitu pula dengan pemimpinnya. “Nyonya, hati-hati,” ucap An Mama ketika dua serigala memandang ke arah mereka. “Tebas langsung ke kepala saja, hiaaat!” Sang permaisuri melompat dan melayangkan pedang ke arah serigala hingga lepas. An Mama mendorong dan membuang binatang itu ke laut. Hal yang sama kemudian dilakukan oleh prajurit Tang yang lain. “Kenapa dia ada di sini?” Perhatian Li Wei teralihkan. Pada saat yang sama Yigur menodongkan belati ke lehernya. “Enak saja, hanya aku yang boleh menyakiti suamiku, hiaaat!” Su Yin berlari dan menghalangi belati Yigur dengan pedangnya. “Kita jumpa lagi, kau datang juga.” Yigur tersenyum. “Kenapa kau tidak menuruti kata-kataku!” Li Wei masih sempat bertanya. “Kita bahas hal itu nanti, selesaikan yang di depan dulu.” Su Yin dan Li Wei bekerja sama melawan Yi