Adit membawa Rina ke tempat bibinya, yang tinggal di Batu, Malang. Dia tahu benar mereka akan diterima baik di situ. Bibinya sejak dulu sangat menyayangi dia dan kakaknya. Seringkali beliau berani melawan kakaknya demi membela kedua keponakannya.
Bibi kesayangan Adit ini hidup sendiri di rumahnya, yang telah ditempatinya dari mulai dia menikah dulu. Sayangnya, bibinya ini tak pernah mempunyai keturunan dan suaminya meninggal karna kecelakaan sepuluh tahun setelah pernikahan mereka. Semua keluarga mendesak beliau menikah kembali supaya tidak kesepian, tapi beliau begitu setia dengan almarhum suaminya yang sangat dicintainya itu. Itulah yang membuat Adit dan kakaknya sering mengunjungi dan menginap di rumah bibinya. Dengan cara itu, mereka berharap bibinya bisa menghilangkan rasa kesepiannya, walau sedikit saja.Mereka sampai di sana pas jam enam sore dan seperti dugaannya, bibinya itu terlihat girang saat membukakan pintu pagar untuk Adit. Beliau memandang bingungYang pertama menarik bibirnya dan melepaskan pelukan adalah Rina. Dia mengalihkan pandangannya begitu dia menyudahi kecupan itu. Adit memperhatikan perubahan ekspresi cewek itu dari terlihat bingung hingga berubah menjadi malu dan kesal. Tanpa disangka, Rina menjauh dan berjalan keluar dari sungai itu, meninggalkan Adit begitu saja.Adit bingung dan tak habis pikir, bagaimana bisa emosi cewek itu berubah secepat itu. Jelas-jelas tadi Rina membalas ciumannya dan juga tak kalah bersemangatnya saat menyambut ciumannya tadi. Lalu kenapa hanya beberapa detik saja sikapnya tiba-tiba berubah. Adit sama sekali tak merasa dia ada melakukan kesalahan apapun."Jangan-jangan dia merasa jijik padaku, gara-gara apa yang barusan terjadi tadi!" pikir Adit dalam hati. Tak ayal dia merasa sedih saat menyadari kemungkinan itu. Meninggalkan apa yang ada di pikirannya, dia berusaha mengejar Rina. Mau tak mau mereka harus pulang hari ini dan masalah mereka berdua bisa menunggu
Cuaca tampaknya terlalu cerah, jika dibandingkan dengan suasana hati Adit saat ini. Hatinya gundah gulana karena bel sudah berbunyi tapi Rina sama sekali tak terlihat. Ditambah lagi, sejak kemarin tak sekalipun pacarnya itu menjawab telpon dan pesan-pesannya.Adit takut terjadi apa-apa pada Rina. Betapa dia menyesal tak masuk saja dan melindungi Rina kemarin. Dia terlalu berhati-hati dan tampaknya itu malah menyulitkan Rina, pikirnya.Semua murid tampaknya sudah masuk ke dalam kelas dan hanya Adit saja yang tertinggal sendirian di lapangan. Bapak satpam sudah menyuruhnya masuk berkali-kali dengan nada kesal. Akhirnya Adit pun menurut, sambil terus berusaha menghubungi Rina.Saat itulah tiba-tiba gerbang sekolah kembali terbuka. Sebuah mobil mewah masuk dan berhenti tepat di sebelah Adit berdiri. Tidak pernah satu pun mobil yang berani memarkirkan mobilnya di area lapangan sekolah. Parkir mobil sudah disediakan di sebelah sekolah. Semua guru dan murid, baik kepala sekolah pun hanya bol
Seminggu berlalu dan semuanya masih saja sama. Adit masih saja tak bisa mendekati Rina. Melewati kelas Rina saja dia sudah dihadang beberapa murid yang tiba-tiba saja menjadi pengawal dadakan Rina. Beberapa kali juga Adit mencoba menelpon Rina, tapi tampaknya cewek itu sudah memblokir nomer Adit dan itu membuatnya semakin susah menjangkau Rina.Jalan satu-satunya adalah pergi ke rumah Rina dan menunggunya di sana sampai dia mau menemui Adit. Tidaklah mudah memang karena orang tua Rina pasti melarang menemuinya. Tapi Adit pikir jika dia tak berusaha, dia tak bisa menggali kebenaran dari mulut pacarnya itu. Yang dikhawatirkannya adalah bahwa sebenarnya pacarnya itu sangat membutuhkannya saat ini.Sejak pukul satu siang, sepulang sekolah, Adit sudah nongkrong di depan rumah Rina sambil berusaha memanggil nama cewek itu berkali-kali supaya dia keluar. Sayangnya, pintu rumah itu tetap tertutup rapat dan tak ada seorangpun yang keluar. Adit memarkirkan sepedanya di sebelah pohon rindang di
Rina mencoba keras melepaskan cengkraman Adit di bagian depan bajunya dan berkali-kali menjauhkan kepalanya untuk menghindari cumbuan kasar cowok itu pada bibirnya. Tangan Adit pun berpindah pada bagian belakang leher Rina. Dia memegang leher cewek itu dan memaksa wajah yang ketakutan itu memandang lurus padanya. "Kenapa menghindar? Bukankah biasanya kau suka dengan semua ini dan malah membalasnya dengan cukup lihai untuk ukuran cewek kuper sepertimu! Gini aja... kalau kau menurut, akan aku biarkan kau keluar tanpa lecet sedikitpun beberapa menit lagi, gimana... tertarik???"Badan Rina bergetar mendengar perkataan itu dan matanya tampak menghindar dari wajah Adit yang berada seinchi saja dari wajahnya. Dia menggerakkan tangannya dan mendorong badan Adit sekuat tenaga supaya menjauh darinya. Kakinya pun berusaha menendang ke arah pangkal paha Adit dengan bertubi-tubi.Sayangnya badan Adit yang lebih berotot dan lebih tinggi darinya, menahan pinggulnya dengan pinggul cowok itu dan meng
SEPULUH TAHUN KEMUDIAN Sepuluh tahun berlalu dan banyak yang sudah berubah setelah itu. Dari anak gadis yang berumur tujuh belas tahun, Rina telah tumbuh dewasa dan menjadi seorang wanita berumur dua puluh tujuh tahun. Waktu yang panjang itu berhasil mengubah jalan hidup wanita paruh baya ini. Sejak kali terakhir dia berpisah dengan Adit, nasib wanita ini secara dramatisnya berubah seratus delapan puluh derajat. Ini dimulai saat papanya, yang memiliki banyak simpanan itu, ditipu oleh dua wanita selingkuhannya. Mereka mengenalkan papa Rina pada seorang pebisnis, yang usut punya usut berhasil membuat Sigit Wibowo melakukan investasi di sebuah bisnis yang katanya bisa memberi keuntungan yang berlipat kali ganda. Rayuan wanita dan ditambah lagi dicekokin minuman berkali-kali, papanya dengan gampangnya melakukan investasi pada perusahaan yang sama sekali belum dia kenal. Pria hidung belang itu bahkan berani meminjam uang pada rentenir untuk membiayai bisnis
Rina hanya bisa menelan ludah dan memandangi pria yang ada di depannya sekarang.Tidak butuh waktu yang lama bagi pria itu mengetahui identitasnya, pikirnya. Toh dia memegang semua data-data yang diberikannya pada pengasuhnya tadi.Semua impiannya buyar. Harapan mendapatkan gaji yang lebih baik menguap begitu saja saat pria itu menyebut namanya tadi.Masih untung kalau dia bisa kabur dari sini nanti. Seingat Rina, Adit terlihat begitu marah saat terakhir mereka bertemu waktu itu. Tinggal tunggu waktu saja sebelum akhirnya dia meledak dan mencabik-cabik Rina di ruangan itu.Laki-laki itu tiba-tiba berdeham dan menatapnya. Hati Rina berdebar tak karuan. Keringat dingin begitu deras mengucur dari keningnya."Rina?" Panggilnya, membuat jantung Rina hampir meloncat keluar."Y-aa?" Rina mengejamkan mata menahan ketakutannya."Miss Rina kepanasan?" tanyanya lagi. Rina membuka mata mendengar itu."Oh... ndak pak nggak a
Tepat seperti yang dijanjikan, uang sebesar empat juta rupiah langsung ditransfer ke rekening Rina di awal bulan. Seumur hidup, baru kali ini Rina dibayar dengan uang sebesar itu hanya untuk menemani seorang anak kecil. Keesokan harinya, tepat jam dua belas siang, sepulang mengajar, Rina langsung menuju rumah Adit dan menunggu anak muridnya pulang sekolah. Sesampainya di sana, Rina disambut oleh pembantu baru bosnya, yang bernama Bu Saroh, orang Madura yang umurnya kira-kira empat puluhan. Sayangnya, hanya pembantu baru saja yang datang, sedangkan untuk pengasuh Moza belum ada kabar sama sekali. Hal ini berlangsung sebulan lamanya. Rina harus membatalkan semua tawaran mengajar lainnya, karena dari siang sampai malam, dia harus siap kapan pun untuk mengurusi anak bos barunya itu. Sebenarnya tidaklah sulit mengurus keperluan gadis kecil bermata coklat tersebut. Itu karena kebiasaan anak itu yang diam dan lebih suka bermain dalam ruangan, daripada berlari
Sepanjang lima jam menunggu Moza selesai sekolah, Rina akhirnya berhasil mengusir pikiran-pikiran terlarangnya tentang Adit. Dia menyibukkan diri menyusun jadwalnya sendiri dan anak asuhnya, kemudian menulis apa saja yang perlu diajarkannya pada Moza selama seminggu ke depan. Intinya, selama jam-jam itu, pemikiran tentang Adit tak muncul sedikitpun di benaknya. Namun, tampaknya itu takkan berlangsung lama, karena saat sang sopir menjemput, sialnya sopir itu menyampaikan bahwa bosnya akan mengajak dia dan Moza makan siang bersama di café dekat kantor bosnya.Detik mendengar undangan yang tak diharapkannya itu, Rina langsung menjadi gusar. Dia ragu bisa menahan diri jika berada satu ruangan lagi dengan bosnya. Masalahnya, dia baru saja memulihkan kewarasannya dari hal-hal yang terlarang, tapi jika secepat ini dia harus kembali berdekatan dengan bosnya lagi, dia tak bisa menjamin penyakit ‘mesumnya’ tak akan kembali lagi. Adit menyambut mereka dengan sumri