“Lantas bagaimana aku menolaknya?” tanya Adisti mengiba.
“Pikirkan sendiri! Jika kamu menikah, lantas bagaimana aku? Aku suamimu, Adisti! Suamimu!” teriak Abimanyu penuh penekanan di setiap ucapannya. Sepertinya ia benar-benar marah kali ini.
Tentu saja marah. Mana ada laki-laki yang rela berbagi istri? Tidak ada! Ia pun mana mungkin mau berbagi suami dengan wanita lain.
“Katakan! Bagaimana cara aku menggagalkan perjodohan itu?” Wajah Adisti tampak memelas. Ia lelah berdebat dengan Abimanyu yang tidak mau mengalah.
Abimanyu diam sejenak. Mana mungkin perjodohan antar manusia itu bisa ia batalkan. Abimanyu hanya bisa mengikat Adisti, tidak dengan rencana manusia yang lain, yaitu rencana Kartilan.
“Jika kamu ada cara menggagalkan perjodohan itu, akan aku lakukan.” Adisti pasrah dengan apa yang dikatakan Abimanyu nanti.
“Aku tidak tahu!” ucap Abimanyu akhirnya.
“Aku dan la
Kini tinggallah keluarga Dion, Adisti, dan Kartilan yang tersisa. Semua tamu sudah pulang. Pun dengan teman-teman Adisti di pabrik. Mereka sangat terkejut saat mendapat undangan pernikahan Dion dan Adisti. Tidak ada yang mengira bahwa diam-diam Adisti menikah dengan manajer pabrik sendiri.Bahkan, sempat ada yang mengira mereka memiliki hubungan sebelum Dion bekerja di pabrik. Namun, semua itu dibantah Dion. Ia mengatakan bahwa baru bertemu Adisti dan ternyata dijodohkan.“Kemasi semua barangmu, Adisti. Mulai sekarang kamu istriku. Jadi kamu harus patuh padaku.” Dion menggamit lengan Adisti untuk sedikit menjauh dari orang-orang.“Kenapa? Bukankah pernikahan ini hanya di atas kertas?” tanya Adisti tidak mengerti.Dion menghela napas. “Hei, walaupun di atas kertas. Kita harus bersandiwara total dalam hal ini. Bagaimana pandangan orang jika kita baru saja menikah dan ternyata kita tidak serumah? Coba pikirkan apa yang akan mere
Dion masuk ke rumah. Pertemuannya dengan Abimanyu menyisakan sedikit luka. Ternyata fisik laki-laki itu nyaris sempurna. Pantas saja Adisti mau menjadi istrinya.Namun, mengingat ucapan Ustaz Ramli, Dion menggeleng pelan. Mencoba menghilangkan pikiran buruk tentang Adisti. Ya, wanita itu tidak bersalah. Ustaz Ramli mengatakan bahwa Adisti terkena mantra Abimanyu. Karena itulah wanita itu mau menikah dengan makhluk tak kasatmata itu.Saat masuk kamar, pandangan yang pertama kali ia lihat adalah Adisti yang hanya mengenakan handuk dililitkan di tubuh dan membelakanginya. Menampakkan kaki jenjang Adisti yang putih bersih. Tentu saja jiwa kelelakian Dion keluar. Namun, mengingat hubungan mereka seperti apa, segera ia membalikkan badan.“Segera pakai baju! Jika tidak kamu akan saya terkam malam ini!” perintah Dion.Mendengar suara Dion, segera Adisti menoleh ke sumber suara lalu berteriak.Mendengar teriakan Adisti, dengan cepat Dion mendeka
Adisti dan Dion sudah kembali bekerja hari ini. Setelah sarapan dan berpamitan pada Dini, mereka berangkat bersama. Sepanjang perjalanan mereka membisu dengan pikiran masing-masing.Dion ingin memulai pembicaraan pun merasa tidak enak karena melihat wajah Adisti yang datar. Berbeda saat ada Dini, wanita itu terlihat sangat ramah. Begitu hanya berdua dengan Dion, seketika bibir Adisti membisu.“Nanti turunkan aku di pertigaan saja.”Permintaan Adisti membuat Dion mengernyit.“Kenapa?” tanya Dion tidak mengerti.“Tentu saja aku tidak mau jadi bahan gunjingan sepabrik, Mas.” Adisti memutar bola matanya dengan malas lalu memalingkan wajah.“Gunjingan?” ulang Dion tidak mengerti.“Iya, aku tidak mau dikira mereka memikirkan macam-macam tentangku.”Dion menghela napas. Ia tidak membalas ucapan Adisti. Namun, saat mobil mendekati pabrik ia teta
“Kenapa menangis? Apakah itu tangis kebahagiaan?” tanya Abimanyu semringah. Ia memegang pundak Adisti, lalu berkata, “Aku bahagia akhirnya kamu hamil, Adisti.”Adisti menggeleng, air matanya mengalir perlahan. Sepertinya mengataka pada Abimanyu percuma saja. “Aku tidak mau hamil anakmu!” teriak Adisti histeris. Ia memegangi kepala dengan kedua tangan lalu terduduk di lantai.Abimanyu menggeram marah. “Apa kamu bilang? Tidak mau hamil anakku? Sialan! Manusia tidak tahu cara berterima kasih! Padahal aku sudah memberimu banyak harta, tapi kenapa tidak mau mengandung anakku?”Sambil terus menggerutu Abimanyu duduk di tepi ranjang. Ditatapnya Adisti yang terus menangis. “Apa yang kamu tangisi?”Adisti menatap Abimanyu tak percaya. “Bagaimana masa depanku? Anak ini? Dan pernikahanku di dunia nyata?” cecar Adisti.“Perutmu tidak akan membesar di mata manusia, Adisti.”
“Apa maksudmu kita tidak pernah bercerai? Bukankah kamu tahu sendiri aku sudah hamil bukan denganmu!” sungut Adisti kesal.“Sekali aku bilang tidak, ya tidak! Paham?”Ucapan Dion selalu seperti perintah yang harus Adisti patuhi, tidak bisa menolak atau menyangkal. Selalu seperti itu.Adisti mengatupkan bibir rapat. Ia menatap Dion tajam, sedangkan yang ditatap cuek bebek seolah tidak pernah mengatakan apa pun.“Besok ikut aku dan tidak ada penolakan.”Kembali Dion memberi ultimatum pada Adisti. Sengaja ia melakukan itu agar Adisti tidak bisa berkutik. Ia takut jika mengatakan yang sebenarnya, Adisti akan kembali menolak.“Ke mana?” tanya Adisti mengernyit.“Rahasia!” jawab Dion sembari memainkan ponsel untuk mengalihkan pandangan.Adisti terlihat ingin membantah, tetapi gagal karena pelayan datang membawa makanan pesanan. Sebelumnya Adisti tetap diam saat ditanya, Dion memutuskan memesan makanan yang sama untuk Adisti, yaitu nasi goreng seafood.Mata Adisti berbinar saat melihat beber
Tak lama kemudian, mereka sampai di rumah Ustaz Ramli. Dion sengaja memarkirkan mobil agak jauh ke dalam, tepat di halaman belakang. Di sana ia sudah disambut Aldi dan beberapa temannya.“Sudah ditunggu di pendopo, Kak.” Aldi menyilakan Dion dan Adisti berjalan lebih dulu.Dion segera menggenggam erat jemari wanitanya itu menuju pendopo yang tidak jauh dari parkiran.Perasaan Adisti benar-benar tidak enak begitu kakinya melangkah di tangga pendopo. Sebenarnya ia sudah merasakan keanehan saat mobil Dion baru saja masuk halaman. Namun, ia masih berusaha menahan diri untuk tidak protes.“Kenapa kita ke sini lagi?” tanya Adisti ketus. Ia ingat betul bagaimana dirinya pingsan dan merasa hawa tidak enak di rumah Ustaz Ramli. Namun, ia sedikit heran, tumben sekali ia tidak pingsan atau kesakitan seperti sebelumnya.“Menyembuhkanmu!” jawab Dion datar.Adisti mengernyit, tiba-tiba ia menghentikan langkah lalu berusaha melepas genggaman Dion. Namun, Dion semakin erat menggenggam jemari Adisti.
Mendengar ucapan Aldi, seketika Dion panik. Raksasa? Mungkinkah itu makhluk tak kasatmata yang marah? Dion menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran buruk di kepalanya. Ia menatap Ustaz Ramli yang hanya tersenyum samar. Sepertinya laki-laki itu sudah memprediksi kedatangan makhluk itu.“Tenang, ada Allah yang bersama kita.” Ustaz Ramli mencoba menenangkan semuanya. Ia sudah tahu jika makhluk itu pasti datang untuk protes. Gegas ia berdiri lalu berjalan menuju halaman depan.Langkah Dion dicegat Aldi. “Kakak di sini saja menunggu temannya. Biar dia urusan kami.”Dion mengernyit. Mengapa dirinya tidak boleh melihat keadaan. Namun, akhirnya ia pasrah dan patuh atas perintah Aldi. Ia sadar, dirinya tidak paham sama sekali bagaimana cara menghadapi makhluk tak kasatmata.Dion hanya mengangguk sebagai jawaban.“Jangan lepas alfatihah dan zikir, Kak.” Aldi menepuk pundak Dion sebelum berlalu menyusul Ustaz Ramli.Akhirnya, Dion memutuskan untuk duduk di kursi yang sebelumnya diduduki Ustaz R
“Ustaz, saya pamit sekarang.” Dion menemui Ustaz Ramli yang sedang mengawasi muridnya latihan fisik.Laki-laki dengan jenggot tipis itu tersenyum samar, lalu mengangguk. “Tidak menunggu makanan matang dulu?”Kambing yang sebelumnya digunakan sebagai media untuk memindahkan janin sudah disembelih dan sedang diolah oleh murid Ustaz Ramli yang tidak memiliki kegiatan. Mereka sengaja datang untuk membantu Ustaz Ramli malam itu.“Tidak usah, Taz. Sudah tengah malam, istri saya butuh segera istirahat.”Ustaz Ramli mengangguk-angguk. “Hati-hati di jalan, Nak.”Dion mengangguk lalu menyalami Ustaz Ramli. Ia bergegas kembali menuju pendopo untuk menjemput Adisti setelah mengambil mobil.Laki-laki itu membuka pintu lalu menyilakan Adisti masuk. Setelah itu ia sendiri masuk dan melajukan mobil menuju rumahnya.Sengaja ia mengatur kursi agar bisa digunakan Adisti untuk rebahan. Dion kasihan melihat wajah Adisti yang belum sepenuhnya segar.Selama perjalanan, sesekali ia melirik Adisti yang tertid