Share

FOTO GEO DI AKUN SOSMED

Di dalam mobil yang membawa kami ke kantor pagi ini, Geo lebih banyak diam. Bahasa tubuhnya menandakan kegelisahan. Entah apa yang membuatnya seperti itu.

 

"Ge, kenapa sih?" tanyaku penasaran.

 

"Apa?" Dia nampak sedikit kaget. Sepertinya tadi dia sedang memikirkan sesuatu hingga kaget saat kutanyai.

 

"Kok kayak orang nggak tenang gitu, kenapa?" desakku. 

 

"Nggak papa. Perasaan kamu aja, Al."

 

"Jangan-jangan kamu sakit ya, Ge?" Aku memiringkan tubuhku untuk memegang dahinya. "Nggak panas," gumamku.

 

"Memang nggak sakit. Kamu aja yang terlalu perasa. Aku nggak papa kok."

 

Dan kami pun kembali terdiam hingga mobil akhirnya terparkir di pelataran kantor. 

 

Aku berjalan mengikuti langkah Geo yang sedikit tergesa menuju lobby. Tapi kemudian kami berdua mendadak berhenti ketika seorang satpam tiba-tiba memanggil namaku. 

 

"Bu Alma, diminta langsung ke ruangan Pak Dewo," kata si satpam. Geo yang juga ikut mendengarkan, menoleh ke arahku, sekilas menautkan kedua alisnya seolah ingin bertanya 'Ada apa?'. Tapi aku segera mengedikkan bahu tanda tak mengerti.

 

"Mau ikut?" tanyaku padanya. Dia langsung menggeleng. 

 

"Aku langsung ke ruanganku saja," ujarnya. Lalu dia berjalan cepat meninggalkanku menuju lift. Sementara aku menuju ke ruangan Papa dengan lift yang berbeda.

 

Tiba di ruangan Papa, aku sedikit kaget karena ternyata beliau sedang berbincang dengan seorang tamu. 

 

"Alma, kamu sudah datang? Kemarilah," titah Papa saat melihatku menyembul dari balik pintu ruang kerjanya. Aku berjalan mendekat dan perlahan mendudukkan diri di samping tamu Papa. Dia seorang pria, mungkin seumuran dengan Geo. Sekilas kami hanya saling memandang dan melempar senyum.

 

"Oya Al, ini kenalin, Adrian, yang akan manjadi asisten sekaligus pembimbing kamu mulai hari ini," kata Papa memperkenalkan si pria. Aneh, karena sepertinya kulihat pria itu sedang menahan senyumnya saat Papa berbicara.

 

"Halo, Bu Alma, senang bertemu dengan Anda. Saya sudah siap untuk membantu," katanya setelah bangkit dan mengulurkan tangannya padaku. Dengan bingung aku pun mengikuti gerakannya. 

 

"I-iya, terima kasih, Pak Adrian, senang juga bertemu dengan Anda," kataku sedikit gugup. 

 

"Panggil Adrian saja, Bu Alma." Lalu dia pun kembali duduk. 

 

Pria ini sungguh sangat percaya diri sekali. Bahkan sebagai orang baru, dia termasuk sangat berani berbicara santai dengan Papa. 

 

"Oke kalau gitu kalian bisa langsung ke ruangan kalian. Selamat bekerja, Al!" kata Papa. Aku mengangguk walau masih belum begitu paham dengan semua rencana Papa ini. 

 

"Ruangan Alma memangnya dimana, Pa?" tanyaku kembali menoleh pada Papa sebelum berjalan menuju pintu untuk keluar.

 

"Ikuti saja Adrian. Dia sudah tau ruanganmu, Al."

 

"Oh, baik." 

 

Lalu aku pun segera berjalan mengikuti kemana kaki lelaki itu melangkah. Dan aku sedikit terkejut saat kami ternyata berhenti di depan ruang kerja Geo. Tepat berseberangan dengan ruangan Geo, terdapat ruang kaca yang sudah dipersiapkan untuk menjadi ruang kerjaku. Entahlah apa ini termasuk dalam rencana Papa atau tidak. Aku belum tau pasti. 

 

Adrian dengan cekatan membukakan pintu untukku. Dan sebelum memasuki ruangan, aku sempat melirik ke ruang seberang. Rasa penasaran dengan apa yang dilakukam Geo dan Cindy di dalam ruangannya menggelitikku hingga aku jadi terus menatap ke ruangan itu tanpa memperhatikan jalan. 

 

Tak ada yang mencurigakan. Disana, kulihat  Geo sedang sangat serius dengan layar monitor di depannya. Sedangkan di sudut lain, ada Cindy yang juga terlihat lumayan sibuk dengan berkas-berkas di atas mejanya. 

 

"Anda melamun, Bu Alma?" Adrian membuyarkan pikiranku dengan kalimatnya. "Kita bisa mulai kerja sekarang jika Anda mau," ujarnya. 

 

"Ee eh, iya boleh. Apa yang harus saya pelajari dulu, Pak Adrian?" kataku masih dengan kikuk. 

 

Adrian melangkah menuju ke set meja kerja tak jauh dari meja kerjaku, mengambil sebuah map dari sana dan membawanya ke mejaku. 

 

"Kita akan memulai dari mengenal perusahaan dulu. Dia duduk di depanku, membuka map itu dan segera menjelaskan satu per satu hal yang berkaitan dengan struktur organisasi, departemen, kepemimpinan, dan juga tanggung jawab. Banyak sekali, sampai aku bingung harus kuingat yang mana dulu. Ini lebih susah dari pelajaran waktu aku kuliah musik di luar negeri. 

 

"Bisa dipahami kan?" tanyanya setelah menyelesaikan semua penjelasannya.

 

"Asal tidak ada ujian untuk kenaikan kelas, tidak masalah, Pak Adrian."

 

"Panggil Adrian saja," sahutnya cepat.

 

"Baik, Adrian."

 

 

"Alma??" Kami sama-sama menoleh saat sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah pintu. 

 

"Hei, Ge," sapaku ramah. Wajahnya terlihat sangat keheranan menatapku. Matanya memperhatikan sekeliling dengan sorot penuh pertanyaan.

 

"Ini ruanganmu?" tanyanya keheranan.

 

"Iya, kata Papa," jawabku ragu. Aku mendengar seperti nada tidak suka dalam kalimatnya. 

 

"Lalu ini siapa?" Geo menunjuk ke arah Adrian.

 

"Aku Adrian, asisten Bu Alma." Dahiku berkerut saat mendengar kalimat yang diucapkan pria bernama Adrian itu. Dia menyebut dirinya 'Aku' pada Geo. Apa dia tidak tahu siapa Geo?

 

"Hei ... lancang sekali ya Kamu? Kamu tidak tau siapa saya?" tanya Geo sedikit murka.

 

"Aku tidak peduli siapa Anda. Aku disini bekerja langsung untuk direktur utama, independen, dan tidak terikat oleh siapapun."

 

"Berani sekal ..."

 

"Ge, sudah!! Adrian ini ditunjuk Papa untuk menjadi asisten sekaligus pembimbingku. Jadi kamu jangan marah-marah nggak jelas seperti ini. Papa lho yang memerintahkan ke dia langsung," kataku mencoba melerai pertikaian.

 

"Adrian, ini Pak Geonino, dia calon direktur di sini yang akan menggantikan Papa. Dan dia suamiku. Jadi tolong, Kamu hargai dia," kataku pada Adrian. 

 

"Baik, Bu Alma. Maaf."

 

"Ini apa-apaan sih, Al? Aku nggak ngerti deh, sumpah!" Sepertinya Geo mulai frustasi, tapi segera kutenangkan dengan dalih akan membuat Papa marah jika ada pertengkaran di kantor.

 

"Ge, sudah. Semua ini Papa yang mau. Jadi apa yang bisa kita lakukan? Nggak ada kan? Udah lah kita turutin saja kemauan Papa."

 

Demi mendengar ucapanku, akhirnya dia kembali juga ke ruangannya. Pandangan matanya jelas sangat tidak suka dengan Adrian.

 

 

Sementara dari dinding kaca aku bisa melihat kekesalan Geo di ruangannya. Wajahnya tertekuk seperti menahan marah. Lalu beberapa saat kemudian, kulihat Cindy mendekat ke meja kerjanya membawa beberapa berkas dan mereka berdua terlibat pembicaraan yang sepertinya sangat serius. Entah apa. Mungkin tentang pekerjaan. Tapi jujur saja, hatiku sedikit panas. Ternyata begini rasanya melihat suami yang berdekatan dengan wanita lain. Sedangkan wanita itu jelas-jelas sangat mencurigakan. 

 

Lama memperhatikan mereka berdua dari ruanganku, membuatku kaget saat ponselku bergetar. Satu pesan masuk ke akun w******p ku.

 

[Al, ini suami Kamu 'kan?] tulis seorang sahabatku sewaktu SMA, Dira. Lalu dia mengirimkan sebuah screenshoot akun medsos milik seorang wanita. 

 

Screenshoot itu ada di sebuah postingan yang agak lama, lebih dari setengah tahun yang lalu. Foto sepasang pria dan wanita yang sedang berpose mesra dengan caption 'My Future Husband' 

 

Dira memang tidak salah. Wajah pria di foto itu memang Geo, dan wanitanya adalah ...  Ah, tidak salah lagi, itu Cindy, adik angkatnya. 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status