Share

KECURIGAAN PAPA

Agak jauh dari rumah mama mertuaku, aku menyuruh Pak Parjo memarkirkan mobil. Aneh, karena harusnya mobil Geo sudah ada disana jika dia tadi mengantarkan Cindy pulang. Tapi sampai hampir dua jam kami berada di salah satu sudut jalan sambil memperhatikan rumah itu, tidak ada nampak mobil suamiku itu datang. Atau mungkin tadi Geo hanya mengantar Cindy sampai depan rumah dan langsung pulang?

 

"Pak," panggilku ke Pak Parjo.

 

"Ya, Non?"

 

"Kita pulang," kataku sambil membenarkan posisi dudukku di jok belakang.

 

"Baik."

 

 

Dan benar saja, saat mobil kami memasuki halaman rumah, aku melihat mobil Geo sudah terparkir rapi di garasi. Dan saat aku beranjak masuk, bertiga Mama, Papa, dan Geo sudah menungguku di ruang tengah.

 

"Sayang, dari mana saja sih kok jam segini baru pulang?" tanya Geo bangkit menyambut kedatanganku.

 

Haduuuh ... pinter sekali ternyata akting suamiku ini. Bukannya tadi dia sudah tahu kalau aku mencarinya ke kantor? Sekarang kenapa dia jadi berlagak nggak tahu aku kemana?

 

"Eeem ... habis dari jalan sama Gemma tadi kebetulan aku ketemu temen di jalan, Ge. Jadi sekalian aja ngobrol," jawabku sekenanya. 

 

"Ngomong-ngomong tadi aku ke kantor lho," kataku tiba tiba. Aku ingin tahu bagaimana reaksinya. 

 

"Oya? Jam berapa, Sayang?" 

 

"Habis maghrib. Tapi kata satpam kamu udah pulang." 

 

Geo nampak kebingungan merespon ucapanku.

 

"Udah sana, mandi dulu Alma. Baru nanti suaminya diajakin ngobrol kalau sudah wangi," ujar Mama terkekeh menggoda kami. Geo terselamatkan oleh Mama.

 

"Iya, Ma." senyumku mengembang ke arahnya. Lalu bergegas aku ke kamar untuk membersihkan diri. Lagipula aku juga sudah sedikit jengah dengan tingkah Geo seharian ini. 

 

***

 

Saat malam menjelang, aku sengaja tidak segera ke kamar untuk beristirahat. Setelah membersihkan diri, aku duduk di halaman belakang sambil memainkan ponselku. Lastri yang tadi menemaniku kusuruh istirahat karena beberapa kali kulihat dia sudah tidak kuat menahan kantuk. 

 

Entah kenapa hari ini aku jadi sangat tidak nyaman dengan suamiku itu. Aku semakin merasa dia sangat asing. Sedikitpun aku bahkan tidak mengenalnya. 

 

Meskipun selama ini aku tidak terlalu mengenalnya, tapi aku selalu mengira bahwa Papa sudah tahu banyak tentang Geo. Karena yang kutahu beliau begitu mempercayai lelaki itu. Maka ketika Papa memutuskan untuk menikahkan kami, aku sama sekali tidak keberatan karena sejujurnya aku pun sudah sangat lama mengagumi sosok Geo sebagai orang kepercayaan Papa yang paling muda dan keren.

 

Namun saat ini, semua seolah berbalik 180 derajat. Saat kutemukan kejanggalan demi kejanggalan dalam beberapa hari ini. Padahal usia pernikahan kami belum genap 1 bulan dan mendadak aku jadi  mempertanyakan apakah benar Papaku mengenal Geo sebaik itu?

 

"Al, nggak tidur Kamu?" Suara Papa dari arah sampingku sangat mengagetkanku. 

 

"Belum ngantuk, Pa," jawabku singkat.

 

Papa mendudukkan diri di kursi sampingku. Bergabung bersamaku memandangi air kolam yang begitu tenang malam itu memantulkan sinar indah dari lampu-lampu yang ada di sekeliling pagar rumah kami

 

"Apa ada yang sedang kamu pikirkan, Al?"

 

"Nggak ada kok, Pa"

 

"Jangan bohong. Papa ini sudah hidup bersamamu selama lebih dari 25 tahun lho. Papa hafal betul wajah seperti itu." Papa mulai terkekeh.

 

"Menurut Papa, Al lagi punya masalah?"

 

"Papa yakin Kamu sedang memikirkan sesuatu. Apa soal suamimu?"

 

"Papa tau dari mana?" Dahiku berkerut menatap Papa.

 

"Al, sebagai orang yang memintamu untuk menikah dengan lelaki pilihan Papa, Papa ingin meminta maaf sama Kamu." Kalimat Papa tiba tiba terhenti. 

 

"Kenapa Papa berkata begitu?" Aku keheranan. 

 

"Papa mau minta maaf sama kamu, Al. Jika mungkin papa telah salah memilihkanmu seorang jodoh."

 

"Maksud Papa?" Aku sangat tidak suka melihat Papa seperti ini. Wajah tuanya nampak sedih dan jauh dari kesan pemimpin seperti biasa. 

 

"Jujur saja, Papa melihat ada yang aneh dari suamimu. Dan sayangnya Papa baru menyadarinya setelah pernikahan kalian. Papa sungguh menyesal, Al."

 

"Apa yang Papa rasa aneh dari Geo?"

 

"Pertama, waktu kamu bilang kalian ingin menunda momongan. Itu bukan kemauan kamu 'kan, Al?"

 

Aku tertunduk. Ternyata Papa sebenarnya tahu hal itu.

 

"Kamu nggak perlu menutupi apapun dari Papa. Papa bisa melihat semuanya dengan jelas. Semua itu benar 'kan?"

 

"Iya, Pa. Memang Geo yang minta," kataku dengan hati teriris.

 

"Lalu kemudian, saat adik angkatnya yang bernama Cindy itu ikut makan malam bersama kita. Papa juga melihat ada sedikit kejanggalan. Kamu juga merasakannya 'kan?"

 

"Iya, Pa. Alma juga tau itu."

 

Jadi ternyata Papa juga merasakan apa yang aku rasakan. Papa menaruh kecurigaan pada Geo sama persis seperti kecurigaanku padanya. Dan sayangnya semua itu terjadi setelah pernikahan kami berlangsung. 

 

"Meskipun Papa masih belum tahu kebenaran itu sepenuhnya Al, tapi Papa menggantungkan harapan padamu. Papa berharap mulai sekarang kamu mau belajar untuk mengelola perusahaan. Karena Papa nggak mungkin menyerahkan tanggung jawab perusahaan sepenuhnya pada suamimu. Kepercayaan Papa sudah luntur, Al."

 

"Tapi, Apa Papa pikir Alma akan sanggup melakukannya?"

 

"Harus! Jika Kamu ingin menyelamatkan perusahaan kita, maka Kamu harus belajar mulai sekarang. Minggu depan Papa akan mengumumkan kepemimpinan perusahaan yang baru. Papa harap kamu juga sudah akan disana menggantikan Papa."

 

Jadi diam-diam Papa sudah mengetahui semuanya. Dan Papa pun juga sudah merencanakan sesuatunya dengan sangat matang. Beliau berbicara panjang lebar malam itu mengatakan apa saja yang harus kulakukan untuk menyelamatkan perusahaan. Walaupun sebenarnya kami berdua belum yakin sepenuhnya bahwa tujuan Geo sebenarnya menkahiku adalah karena harta Papa. 

 

Aku nampak mengangguk mengerti saat Papa kemudian menjelaskan padaku semuanya. Begitu besar harapan yang dibebankan Papa padaku kali ini. Pada anak manjanya yang sangat lemah dan tidak berguna ini. 

 

***

 

Keesokan harinya saat sarapan, sebelum Papa dan Geo berangkat ke kantor, mendadak beliau mengatakan sesuatu yang aku yakin membuat suamiku dan bahkan Mama sekalipun mengerutkan dahinya keheranan.

 

"Al, mulai hari ini kamu harus ikut juga ke kantor. Kamu akan belajar tentang perusahaan sedikit demi sedikit. Jadi nanti kalian berdua bisa berdampingan dalam mengurus perusahaan."

 

"Apa? Alma, Pa? Ke kantor?" tanyaku berpura pura kaget. Mengikuti gerakan Mama yang menghentikan suapan nasi di piringnya, kaget. 

 

"Lhoh, nggak salah, Pa? Papa suruh Alma ke kantor?" Mata Mama sampai membulat. 

 

Geo meskipun tidak menampakkan reaksi berlebihan seperti kami, aku yakin kekagetan dia lebih hebat dari mendengar sebuah bom meledak. Tapi kulihat suamiku itu sangat pandai berakting. Wajahnya nampak tenang saat berkata.

 

"Wah, menyenangkan pasti kita bisa berdua terus, Sayang," ujarnya sambil meraih sebelah telapak tanganku dan menggenggamnya. Aku menyunggingkan senyum manisku padanya dan masih berakting seolah olah aku tak tahu apa-apa dengan keputusan Papa.

 

"Tapi Alma nggak tau apa-apa Pa tentang perusahaan," kataku kemudian. 

 

"Papa sudah menunjuk seorang asisten untukmu. Dia akan mengajarkanmu semuanya dari nol. Dan ingat, meskipun kalian di rumah ini suami istri, di kantor kalian harus menjaga jarak. Jangan mencampur-adukkan masalah rumah tangga dengan perusahaan. Kalian mengerti kan Alma, Geo?"

 

Dengan ragu aku mengangguk. Dan Geo pun nampak ikut mengangguk walaupun dengan sangat terpaksa. 

 

"Mengerti, Pa," katanya. 

 

"Nah, Al, usai sarapan bersiaplah. Kamu berangkat dan pulang bersama Geo sekarang. Kecuali jika nanti kalian ada urusan masing masing, Alma tinggal telpon Pak Parjo untuk mengantar dan menjemput. Oke, Anak-anak?"

 

"Ya, Pa." Aku dan Geo serentak menjawab.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status